Kamis, 22 Januari 2015

Kisah Guru teladan : Edi Mohammad Muhtar


Usia 23 tahun merupakan usia terbilang muda bagi seorang remaja untuk memutuskan hidup mandiri. Apalagi, memiliki keberanian untuk mendirikan sekolah di sebuah lokasi transmigran yang terletak di kawasan pelosok yang belum terjamah. Dialah Edi Mohammad Muhtar, yang pada tahun 1991, dalam usia remaja, nekat meninggalkan tanah kelahirannya di Cianjur, Jawa Barat.

Edi mengadu nasib ke Kampar (sekarang Pelalawan), Riau. Ia menetap di sebuah kecamatan terpencil, Ukui, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Pelalawan. Untuk mencapai Ukui dari Pekanbaru, diperlukan waktu sekitar 4 jam menggunakan mobil atau motor. Sama sekali tidak ada angkutan umum. 

Medan yang harus dilalui menuju Ukui pun terbilang berat. Kawasan itu terletak di tengah perkebunan kelapa sawit. Jalan berliku mendaki bukit dan hanya beralaskan tanah sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Ukui.


Dulu, gaji saya sebulan Rp 30.000-Rp 40.000. Zaman dulu sih udah cukup itu. Apalagi, di pedalaman begini enggak butuh banyak
-- Edi Mohammad Muhtar

Edi mengisahkan, selesai menamatkan pendidikan guru agama (PGA) pada tahun 1988, dirinya sempat mengajar sebagai tenaga honorer di Cianjur. Saat ada program transmigrasi pemerintah pada tahun 1991, Edi meninggalkan keluarganya yang tinggal di kota itu menuju Riau. Pada waktu itu, usia Edi 23 tahun.

Dengan bantuan petugas transmigrasi, Edi pun akhirnya mencapai Ukui bersama ratusan transmigran lain dari Pulau Jawa. Sesampainya di kota kecil itu, Edi menyimpan rasa kaget luar biasa, saat melihat wilayah yang akan didiaminya.

"Wah dulu ini sebelum ada sawit, hutan semua. Pohon-pohon tinggi, masih ada harimau, macan, dan gajah yang bisa dilihat dekat rumah," kata Edi.

Seiring dengan perjalanan waktu, kawasan Ukui mulai berubah "wajah". Rumah-rumah tinggal mulai dibangun, dengan perkebunan sawit yang luasnya mencapai ratusan ribu hektar. Binatang-binatang liar pun mulai menyingkir.

Membangun pendidikan di Ukui

Ketika itu, Edi tinggal bersama orangtua angkatnya yang sudah lebih dulu mengikuti program transmigrasi di Ukui. Saat awal menginjakkan kaki di sana, Edi sempat luntang lantung tanpa pekerjaan. Pasalnya, mayoritas penduduk Ukui adalah petani sawit dan menjadi petani sawit bukanlah hasrat Edi.

"Akhirnya, karena latar belakang saya guru, saya waktu itu sudah ingin sekali mengajar. Tapi tidak ada sekolah," katanya.

Edi mengenang, pada tahun 1991, hanya ada satu sekolah di Kecamatan Ukui. Sementara, ada 15 desa di Ukui yang tersebar di bukit-bukit. 

Akhirnya, Edi pun memutuskan membantu temannya sebagai tenaga honorer guru agama di sebuah sekolah dasar (SD) yang letaknya belasan kilometer dari desanya di Silikuan Hulu. 

"Dulu, gaji saya sebulan Rp 30.000-Rp 40.000. Zaman dulu sih udah cukup itu. Apalagi, di pedalaman begini enggak butuh banyak," ujar Edi.

Setelah setahun mengabdi di sana, Edi memutuskan keluar. Ia ingin mewujudkan mimpinya yaitu mendirikan sekolah di tengah-tengah masyarakat Silikuan Hulu. Motivasinya cukup sederhana. Edi merasa miris melihat banyak anak-anak di Silikuan Hulu tidak mengenyam pendidikan akibat sulitnya akses menuju sekolah terdekat. 

"Karena dari awal sudah ada pendidikan guru, jadi jiwa pendidik saya selalu melekat. Dulu saya berpikir kalau tidak ada sekolah di lokasi transmigrasi, bagaimana mau membangun kota ini?" papar Edi. 

Untuk mewujudkan mimpinya itu, Edi melakukan lobi ke berbagai pihak. Dukungan dari seluruh masyarakat Silikuan Hulu pun dikantonginya. Dengan dana swadaya masyarakat, Edi membangun sekolah dasar. 

"Waktu itu belajarnya masih di barak-barak di lapangan dan di rumah-rumah warga. Pengajar juga dari warga semua, enggak ada yang pendidikan resmi. Belajar pokoknya seadanya, ha-ha-ha," kata pria berkumis ini sambil tertawa.

Lambat laun, Edi bersama warga sekitar juga mulai membangun Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

"Semua dari bantuan masyarakat," katanya. 

Pemerintah daerah melalui Kabupaten Kampar pada akhir tahun 1992 akhirnya memberikan bantuan berupa bangunan permanen. Sekolah kemudian berubah nama menjadi SDN Air Putih lalu berubah lagi menjadi SDN 012 Silikuan Hulu. 

Edi menceritakan, saat itu, desa Silikuan Hulu merupakan bagian dari Desa Air Putih. Tetapi, sejak tahun 2000-an, Desa Silikuan Hulu berdiri sendiri di bawah Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan. 

Ketika gedung baru sudah didapat, proses belajar mengajar pun berlangsung formal sesuai dengan aturan yang ditetapkan Dinas Pendidikan Riau. Namun, tetap dengan segala keterbatasan yang ada di kawasan pedalaman. 

"Beda pedalaman dengan kota itu jauh," ucap Edi. 

Di kota, katanya, fasilitas serba memadai. Sementara di pedalaman, untuk mendapatkan buku saja harus menunggu giliran. Buku-buku yang ada akhirnya dipakai bersama-sama oleh para siswa. Dengan sulitnya mendapat buku, Edi pun tak bermimpi membangun perpustakaan. 

"Mana bisa bangun perpustakaan? Orang ruangannya enggak ada. Bukunya apa lagi," canda Edi. 

Tetapi, pada tahun 2010, melalui program Pelita Pustaka Tanoto Foundation, SDN 012 Silikuan Hulu mendapatkan bantuan 120 buku pinjaman dan pelatihan gratis tentang manajemen perpustakaan. Namun, program itu tidak memberikan dana untuk membangun perpustakaan. 

"Iya kurangnya karena tidak ada dana. Kami berpikir, perpustakaan itu penting untuk anak-anak. Akhirnya bahan-bahan kayu yang ada di sekitar kami dikumpulkan dan bangun sendiri," ujar ayah satu anak ini.

Untuk pembangunan perpustakaan mini berukuran 7x8 meter ini, para orangtua siswa juga turt berkontribusi dengan menyumbangkan Rp 70.000. Meski sederhana dan terbuat dari kayu tanpa ada lampu penerangan, para siswa ternyata tetap antusias. 

"Kami bersyukur sampai penuh sesak kalau tidak dibatasi dan enggak dijadwal," tambahnya. 

Saat ini, Edi menjabat sebagai Kepala SDN 012 Silikuan Hulu. Ia bertanggung jawab terhadap proses pendidikan bagi 125 orang siswa yang mengenyam pendidikan di sana. 

Ia masih menyimpan satu harapan, yaitu perhatian dari pejabat setempat untuk memberikan bantuan buku kepada anak didiknya. Edi tahu, risiko tinggal di pedalaman adalah sulitnya akses dan minimnya dana untuk membangun. Namun, hal itu tentu tidak bisa dijadikan alasan untuk merenggut hak anak mendapatkan pendidikan terbaiknya. "

Siapa tahu di antara mereka ada yang sukses," ujarnya penuh harap.

Tidak ada komentar: