Jumat, 30 Januari 2015

Nasib Guru Wiyata / Guru Honorer

Anggaplah ini catatan ringan, yang semestinya anda baca dengan enteng saja. Tidak usah dianggap terlalu penting, meski sebenarnya tulisan ini ingin mengungkap sesuatu yang penting. Menyangkut hati. Adakah yang lebih penting dari soal hati? 

Dari pada membusuk di hati lebih baik saya keluarkan. Syukur-syukur dapat membuat anda nyengir, atau bahkan bisa menangkal hal-hal yang semestinya tidak perlu anda lakukan atau ucapkan. 

***


Suatu ketika, seorang guru wiyata* (lihat catatan kaki), mengeluhkan soal gajinya yang seiprit di depan atasannya. Lalu atasannya menanggapi begini: “Sudah syukur kamu bisa menjadi guru di sini. Jangan macam-macam minta kenaikan upah segala.”

Guru wiyata memegang dadanya. 

Di lain waktu, ada seorang guru wiyata mogok mengajar karena tidak digaji selama 3 bulan, lalu atasannya datang menegur: “Sudah banyak yang orang ngantri ingin wiyata di sekolah ini. Mbok disyukuri!”

Guru wiyata mengepalkan tangannya.

Pernah pula ada guru wiyata yang nulis surat terbuka untuk Pak Menteri Pendidikan, lalu muncul suara begini: “Ini orang maunya apa sih? Kalau memang tidak betah menjadi guru wiyata, kenapa tidak mengundurkan diri saja? Rampung! Tidak usah banyak bacot!” Suara itu memang hanya keluar dari hati, tapi angin mendengarnya dan mengabarkan kepada sang penulis surat. (aih, mirip dongeng aja)

Guru wiyata mengeluarkan jurusnya.

Belum puas menulis surat, ia datang kepada Pak Menteri (melalui sebuah mimpi yang ajaib). Pak Menteri sedang siap-siap mau chek out dari rumah dinasnya, menanggapi sok bijak: “Soal nasib anda dan kawan-kawan saya sudah ngerti, mas. Sabar saja. Rejeki itu datangnya dari Allah, bukan dari Pemerintah!”

Guru wiyata ndoplong mendoakan Pak Menteri semoga punya mantu guru Wiyata seperti dirinya. 

Kawan, itu hanya beberapa. Seolah fiksi memang, tapi begitulah gambaran yang terjadi selama ini. Betapa tanggapan-tanggapan itu terasa sangat menyakitkan!

Kalau saya jadi guru wiyata (eh!), maka saya tidak hanya akan mengelus dada, tidak pula cuma mengepalkan tangan, mengeluarkan jurus, apalagi mengutuk. Apa yang saya lakukan jika mendapat tanggapan-tanggapan seperti itu? Nantang kelahi? Bukan. Memecat atasan? Hum. Demonstrasi? Guru wiyata aja tidak solit. Lalu? Menulis. Ya. Dan saya pun mulai menulis:

Diary, hari ini gue disakiti orang lagi. Gue dibilang tidak bisa bersyukur, malah kadang-kadang disuruh mengundurkan diri jadi guru. Diary, gue sediiiiih banget. Tidak ada seorang pun yang perhatian sama gue. Menurut lo, apa yang mesti gue lakuin?

Diary yang sudah tahu semuanya merespon cepat:

Tenanglah, Teman! Biarkan anjing menggongong. Yang menjawab gonggongan anjing hanyalah anjing. Kau bekerja bukan untuk atasanmu, bukan? Lalui hari-harimu sebagaimana biasa. Tunjukkan kepada mereka, orang-orang yang mengejek dan mencibirmu itu, bahwa kau bisa menjadi guru yang lebih baik dari mereka, meski bayaranmu seuprit. Doakanlah kebaikan untuk mereka. Mereka tidak bermaksud mengejek dan menyakiti perasaanmu. Mereka hanya “orang yang tidak tahu”. Kau tentu tahu istilah apa yang tepat disandang untuk menyebut “orang yang tidak tahu”.

Maafin gue diary. Gue tidak cukup mampu untuk sebijak lo. Gue ingin menerangkan, menjelaskan dan memberi tahu, kepada mereka, tentang ucapan-ucapan yang mereka yang kurang ajar!

***

Jika saya adalah guru wiyata (eh, kan memang iya) kemudian saya disuruh bersyukur karena menjadi guru wiyata adalah sebuah keberkahan dan banyak orang yang menginginkan, maka saya akan menanggapinya begini:

Bersyukur adalah wajib, termasuk bagi tukang parkir dan pengemis. Memang ada banyak orang ingin menjadi guru wiyata, dengan berbagai alasan, sebagian karena mereka menabung harapan besar bisa diangkat menjadi pegawai pemerintah. Persoalannya, kata syukur jangan dimaknai secara sempit.

Bersyukur bukan berarti kita nrimo begitu saja nasib yang membelit, atau diam, terpaku, dan jalan di tempat. Anda tahu, mengeluh sering dikelompokkan pada sifat-sifat buruk. Dan anda juga tahu, mengeluhnya Guru Wiyata bukan karena ia cengeng, atau ingin dimanja. Mereka mengeluh dalam rangka menuntut hak-hak yang mestinya bisa mereka terima. Mereka mengeluh disebabkan oleh ketimpangan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan perlakukan kurang ajar. Maka, bagi guru wiyata mengeluh itu halal, bahkan dianjurkan, dalam rangka menjaga kehormatan dan hak-haknya.

Jika ada atasan atau rekan-rekan anda, wahai Guru Wiyata, yang mengatakan bahwa banyak yang antri ingin wiyata di sekolah anda, maka artinya anda sedang dibully, ditakut-takuti. Maka, jadilah macan! Tidak ada yang ditakuti kecuali Tuhan. Ck…ck..ck..

Penting disampaikan, bahwa kegemaran membully dan menggembor-gemborkan kata “syukur” adalah gaya orde baru dalam membungkam kaum tertindas. Kalau bisa dilawan, lawanlah! Kecuali jika anda ingin terus ditindas.

Ucapan-ucapan tidak senonoh yang dilontarkan kepada guru wiyata adalah bukti ketidakpedulian mereka dengan nasib yang mencekik saudaranya. Tanggapan orang-orang yang senada dengan apa yang diterima oleh teman guru wiyata kita pada cerita di atas, sama sekali tidak akan menyelesaikan persoalan. Sebaliknya, ia menjadi jarum yang menyerbu dada para guru wiyata. Maka, jika tidak punya niat atau keinginan membantu memperbaiki nasib mereka, lebih baik diam, tidak perlu juga bisik-bisik. Camkan!

Catatan:

*Guru Wiyata sering juga disebut guru tidak tetap, atau guru honorer di sebuah sekolah/madrasah, baik sekolah negeri atau swasta. Mereka punya banyak kesamaan dengan guru PNS: punya istri/suami, bisa lapar, bayar listrik, memelihara hape, mengajar dan mengurus administrasi pembelajaran, dan berkembang biak. Yang membedakan mereka dengan guru PNS, lebih pada status dan kesejahteraan (upah). Bagaimana jika statusnya biarlah berbeda, tapi upahnya sama, setujukan anda?


Tidak ada komentar: