Rabu, 21 Januari 2015

Keberanian dan pengabdian: kisah seorang guru

Keberanian dan pengabdian: kisah seorang guru

Khru Suwimon Suwanat telah mengajar di kawasan Ujung Selatan Thailand yang dilanda pemberontakan selama 36 tahun, menolak kesempatan pindah ke daerah yang lebih aman.


Sekolah-sekolah negeri di seluruh Thailand telah memulai tahun ajaran baru minggu lalu. Di hampir seluruh 76 provinsi negara itu, para orang tua terutama mengkhawatirkan biaya seragam dan peralatan sekolah.
  • Khru Suwimon Suwanat telah menjadi guru sekolah selama 36 tahun di Ujung Selatan meskipun dia menghadapi ancaman kekerasan setiap hari. [Khabar/Ahmad Ramansiriwong]
    Khru Suwimon Suwanat telah menjadi guru sekolah selama 36 tahun di Ujung Selatan meskipun dia menghadapi ancaman kekerasan setiap hari. [Khabar/Ahmad Ramansiriwong]


Namun demikian, di provinsi-provinsi Ujung Selatan seperti Yala, Pattani, dan Narathiwat, para keluarga menghadapi tantangan yang sangat berbeda - yaitu berusaha untuk hidup normal di tengah ancaman serangan teror yang selalu ada.
Para pemberontak telah membakar sejumlah sekolah di kawasan itu sejak kekerasan meningkat pada tahun 2004. Lebih dari 150 guru terbunuh dalam kerusuhan itu, sebanyak 100 orang lagi menderita cacat permanen. Untuk menjaga keamanan staf mereka, sekolah-sekolah setempat mengandalkan personil keamanan untuk melindungi mereka.
"Setiap pagi, para tentara menjemput para guru dan mengantar mereka dalam iringan kendaraan, kemudian mengantarkan mereka pulang ketika hari sudah berakhir dengan cara yang sama," demikian kata direktur Sekolah Krong Pinang, Pollawat Boonchuy, kepada Khabar Asia Tenggara, menjelaskan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk melindungi personil sekolah di daerahnya.
Bagi guru sekolah dasar Khru Suwimon Suwanat, perjalanan yang dilindungi itu telah menjadi bagian rutinitas sehari-harinya. Hanya tinggal setahun lagi menjelang usia pensiun wajib pada usia 60 tahun, dia masih melakukan perjalanan setiap hari dengan pengawalan ketat sepanjang 15 km dari rumahnya ke Sekolah Krong Pinang, di mana dia telah bekerja keras tanpa kenal lelah selama 36 tahun terakhir.
"Ketika saya memutuskan bekerja di tiga provinsi perbatasan selatan, pada awalnya saya takut, hampir saja merasa ngeri. Tetapi ketika saya bertemu para guru kepala, mereka sangat baik kepada saya," tutur Suwimon, seorang penduduk asli provinsi tengah-selatan Nakhon Sri Thammarat.
“Saya cinta tempat ini layaknya rumah saya sendiri,” katanya kepada Khabar. “Saya suka sekolah ini dan penduduk setempat. Ketika saya pergi ke luar sekolah, saya tidak merasa takut. Tetapi ketika saya berbicara kepada mantan murid saya yang memberikan saya informasi mengenai apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, saya menuruti nasihat mereka dengan hati-hati.”
Di antara murid-murid setempat sekarang yang menghargai pengabdiannya adalah Funha Sah-ah yang berusia 11 tahun.
“Dia mengajar orang tua saya dan sekarang dia mengajar saya. Saya merasa sangat nyaman dengannya sebab dia sangat terdedikasi pada kami. Dia berkata dia akan bekerja di sini selama dia mampu, meneruskan pengetahuannya kepada para muridnya dan membantu kami menjadi orang-orang baik di masa depan sampai dia tidak lagi mampu berbuat demikian,” katanya kepada Khabar.
Guru menghadapi bahaya untuk mengajar matematika kepada murid
Sekolah Krong Pinang mempekerjakan 33 guru dan staf untuk mengajar lebih dari 510 murid, hampir semuanya adalah kaum Muslim Melayu.
Suwimon mengajar matematika di kelas empat dan bahasa Thailand di kelas dua. Setiap pagi dia bergabung dengan para rekan kerjanya di dekat rumahnya di provinsi tetangga, Yala, untuk berkendara di belakang songthew, sebuah truk bak terbuka yang dimodifikasi untuk mengangkut penumpang.
Tempat penjemputan tidak jauh dari lokasi serangan bom mobil pada tanggal 31 Maret yang menewaskan 11 orang dan mencederai lebih dari 100 orang, salah satu dari tiga serangan terencanakawasan tersebut pada hari Sabtu siang itu.
Penyedia keamanan bagi para guru adalah para anggota Unit Operasi Khusus 13 dari Angkatan Darat Kerajaan Thai yang berpusat di distrik Krong Pinang, yang bersama dengan distrik tetangganya, Raman, baru-baru ini ditunjuk oleh direktur badan pendidikan dasar di Yala sebagai dua distrik paling berbahaya dari delapan distrik di provinsi Yala.
Suwimon berkata dia menghargai risiko dan pengabdian para petugas keamanan yang telah menjaganya selama perjalanannya setiap hari selama bertahun-tahun ini.
“Mereka sangat tegas dengan tindakan keamanan. Hal ini memberi saya keyakinan dan rasa aman bahwa saya tidak ingin meninggalkan tempat ini, seperti banyak orang lainnya. Saya juga berniat tinggal di sini setelah saya pensiun tahun depan,” katanya.
“Saya merasa ini rumah saya”
Seperti yang lain, Suwimon awalnya memilih mengajar di Ujung Selatan untuk memulai profesi mereka. Akan tetapi, tidak seperti orang lain yang menggunakan kedudukan senior mereka agar bisa dipindahkan ke provinsi asal mereka, dia memutuskan untuk tetap tinggal.
Banyak guru sekolah negeri di kawasan itu telah meminta pemindahan tugas ke sekolah yang lebih dekat dengan rumah mereka atau sekaligus berada di luar kawasan Ujung Selatan, demikian katanya kepada Khabar.
“Pada tahun 2005, pemerintah menerapkan kebijakan yang memungkinkan para guru sekolah negeri di kawasan itu untuk pindah ke sekolah di provinsi asal mereka. Banyak teman saya yang pindah. Saya dulu juga berpikir untuk pindah. Keputusan itu berat. Tetapi setelah lama mengajar di sini, saya sekarang mengajar putra dan putri para mantan murid saya,” kata Suwimon.
“Saya menganggap mereka semua keluarga: merekalah putra, putri, dan sepupu saya. Saya merasa di rumah sendiri di sini,” katanya.

Oleh Ahmad Ramansiriwong untuk Khabar Asia Tenggara di Krong Pinang

Tidak ada komentar: