MELIHAT PENDIDIKAN AUSTRALIA DARI DEKAT
Tulisan ini berasal dari blog http://wekasaja.multiply.com. yaitu pengalaman Ananda Deni ketika mengikuti pertukaran pelajar ke Australia,
saya pikir tulisan ini sangat menarik untuk dibaca, kita jadi sedikit mengetahui tentang perkembangan pendidikan di Australia. untuk lengkapnya baca saja ya…yang jelas di sana pendidikan dari SD sampai SMA gratis…tis..tis untuk di perguruan Tinggi…ada pinjaman study yang dibayar kalau kita sudah kerja…waoooh
___________________________________________________________
Selama kurang lebih 15 hari aku bersama dua orang teman Aan Rukmana dari Universitas Paramadina dan Zakiyudin Baydhowi dari UMS Solo mengikuti program Young Leader Moslem Exchange Australia dan Indonesia 2007. Program ini adalah inisiatif pemerintah Australia melalui atase kebudayaan kedutaan besar Australia di Jakarta bekerjasama dengan beberapa komunitas Muslim di Australia. Salah satu target dari kegiatan ini adalah membangun kesepahaman antara Australia dan Indonesia terutama diantara komunitas muslim.
Selama program kami berkunjung ke tiga kota besar di tiga negara bagian di pesisir tenggara pulau Australia, yaitu Melbourne di Victoria, Brisbane di Queensland dan Sydney di New South Wales. Kalo dilihat di peta, kota-kota besar/ibukota setiap negara bagian di Australia semuanya berada di daerah pesisir. Dan kami beruntung karena tiga kota itu adalah 3 okta besar di Australia. Selama di Australia kami bertemu dan berdialog dengan beberapa akademisi Australia, komunitas Muslim, kelompok masyarakat dari agama lain, unsure Civil Society dan pejabat pemerintahan. Tentunya tidak lupa juga, kami mengunjungi beberapa tempat menarik seperti museum dan objek wisata.
Australia dan Multikulturalisme
Australia adalah Negara yang sangat multikultural. Masyarakat Australia adalah masyarakat multietnik, multinasionality. Saat ini penduduknya mempunyai latar belakang dari seluruh negara di dunia. Hampir satu dari empat penduduk Australia yang berjumlah sekitar 22 juta jiwa lahir di luar negeri, dan 43 % nya mempunyai salah satu atau kedua orang tua yang lahir di luar negeri.
Secara keseluruhan, masyarakat australia menggunakan lebih dari 200 bahasa, termasuk 45 bahasa penduduk asli dan sekitar 15 % dari masayarakat Australia menggunakan satu bahasa lain selain bahasa Inggris. Bahasa yang paling banyak digunakan selain bahasa Inggris adalah Italia, Yunani, Kanton, Arab, Vietnam dan mandarin.
Hal ini terjadi karena Australia bisa dibilang tanah harapan. Tempat dimana bangsa Inggris untuk pertama kali dan bangsa-bangsa lain datang kesana untuk mencari kehidupan baru dan tentunya yang lebih baik. Hal inilah yang melatarbelakangi keterbukaan mereka terhadap pendatang. Ditambah lagi setelah perang dunia II Australia memiliki program imigrasi secara formal yang telah mendatangkan 6 juta migrant ke Australia. Sejak itu, orang dari sekitar 200 negara yang berbeda telah menjadikan Australia sebagai kampung halamannya sendiri. Data lain juga menyebutkan bahwa program kemanusiaan Australia adalah terbesar ketiga di dunia dan dalam 50 tahun terakhir, lebih dari 635.000 pengungsi berpindah ke Australia. Mereka biasanya berasal dari daerah konflik dan peperangan.
Ketika kami jalan-jalan di tiga kota disana, jelas sekali terlihat keragaman tersebut. Dengan mudah kita bisa menemukan Orang dengan etnis dan kebangsaan yang berbeda, tionghoa, Itali, yunani, India, turki, lebanon dsb. Malah beberapa tempat sebuah komunitas berkumpul juga sempat kami kunjungi.
Namun keragaman ini, tidak berarti tidak menimbulkan masalah. Perbedaan kulturtempat asal, adaptasi pendatang, dan berkonsentrasinya kelompok tertentu disuatu wilayah terkadang menimbulkan riak-riak kecil juga di masyarakat Australia. Contoh yang paling sederhana dan jelas banget tentunya apa yang dialami umat islam disana pasca terjadinya serangan 11 september di Amerika. Beberapa insiden sempat terjadi yang tentunya kurang baik untuk keharmonisan penduduk Australia yang sangat multikultural.
Tantangan multikultural inilah yang kemudian mendorong perubahan kebijakan pemerintah Australia terhadap penduduknya. Menurut pemaparan dari salah satu pejabat komisi multikultural di negara Bagian Victoria, paling tidak ada tiga perubahan kebijakan di Australia mengenai multikulturalisme ini. Yang pertama adalah kebijakan asimilasi (sebelum thn 1970-an), kedua kebijakan pluralisme (antara tahun 1970-2000) dan terakhir kebijakan multikulturalisme (tahun 2000 – sekarang).
Kebijakan asimilasi lebih menitikberatkan pada percampuran pendatang dengan penduduk asli. Artinya pendatang harus menyesuaikan budayanya dengan kebudayaan yang sudah ada saat itu. Kebijakan pluralisme lebih menitikberatkan pada menumbuhkan toleransi terhadap berbagai kebudayaan yang datang saat itu. Nah kebijakan multikulturalisme ini menganggap bahwa keragaman budaya dan latar belakang etnis yang ada adalah suatu yang harus dijaga dan dimunculkan sebagai kekayaan nasional. Sehingga seseorang bisa menjadi warga Australia tanpa harus meninggalkan identitas etnis masing-masing.
Satu hal yang muncul dan masih menjadi pembicaraan di kalangan warga Australia adalah tentang nilai-nilai Australia. Apakah sebetulnya yang menjadi nilai Australia? Pertanyaan ini muncul di dalam daftar pertanyaan tes menjadi penduduk Australia. Dalam daftar jawaban disebutkan hanya ada 4 pilihan, yaitu kristen dan judaisme, Seulerisme, Kalik, Islam dan yang lainnya. Hal ini masih menjadi perdebatan yang masih alot disana.
Sebetulnya kalo kita perhatikan dari sudut pandang keragaman budaya Indonesia dan Australia memiliki beberapa kesamaan. Jika Australia memiliki keragaman latar belakang kebangsaan maka Indonesia memiliki keragaman suku. Di Indonesia di setiap pulau kita memiliki lebih dari satu suku. Begitu juga dengan bahasa.
Dengan keragaman seperti ini tentunya menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai adalah sebuah tantangan tersendiri bagi kedua negara. Perbedaan latar belakang budaya seringkali menimbulkan kesalahpahaman yang apabila tidak terkomunikasikan dengan baik tidak jarang menimbulkan konflik horisontal.
Islam di Australia : sebuah kesan
Australia adalah Negara sekuler. Seperti Negara sekuler lain pemerintah Australia tidak secara langsung mengurusi masalah yang berkaitan dengan agama. Negara sekuler memisahkan agama dengan urusan negara. Agama adalah sesuatu yang private, sehingga keberadaanya diserahkan kepada personil masing-masing.
Mayoritas penduduk Australia menganut agama Kristen. Namun penduduk Australia mendapatkan kebebasan untuk beragama ataupun tidak beragama. Dalam sensus tahun 2001 tercatat 15 % dari warga Australia yang terdata tidak memiliki agama. Sesuatu hal yang tentunya tidak ditemukan di negara kita.
Umat Islam di Australia adalah kelompok minoritas. Namun meskipun begitu, Islam adalah agama yang paling pesat perkembangannya. Pada tahun 2001, Muslim di Australia hanya berjumlah 282 ribu jiwa dari 19 juta jiwa. Saat ini diperkirakan umat Islam Australia berjumlah sekitar 400 ribu jiwa dari 22 juta penduduk Australia, dengan kata lain umat Islam mengalami peningkatan hampir 30 % dalam 5 tahun.
Pasca tragedi 11 september, Islam semakin menarik dan dijadikan objek kajian secara luas. Beberapa universitas di Australia membuka kajian yang berkaitan dengan Islam dan Umat Islam. Selain itu berbagai program pertukaran digelar untuk menjembatani dialog dengan dunia Islam.
Secara kelembagaan komunitas Muslim bisa merujuk Islamic Council (Majelis Umat Islam) di setiap negara bagian (state). Berbagai Islamic Council tersebut bergabung didalam satu naungan yaitu AFIC (Australian Federation of Islamic Council). Namun secara populasi Umat Islam Australia dapat ditemukan di daerah-daerah suburb (pinggiran kota atau kota kecil). Biasanya mereka berkelompok, dengan latar belakang negara/etnis masing-masing. Sebagai contoh, di Sydney kami sempat mengunjungi Lakemba daerah berpenduduk Muslim yang banyak berasal dari Lebanon dan Auburn dengan kebanyakan Muslim berasal dari Turki.
Latar belakang imigran yang datang ke Australia bermacam-macam. Sebagian besar diantara mereka datang ke Australia sebagai pengungsi atau pencari suaka dari daerah-daerah konflik. Walaupun ada beberapa yang menetap karena sebelumnya pernah belajar atau bekerja di Australia.
Sebagaimana permasalahan yang biasa dihadapi komunitas imigran, perbedaan budaya antara daerah asal dengan daerah tujuan seringkali menjadi masalah. Belum lagi mereka juga harus bertahan hidup karena memulai dari awal di daerah baru. Hal inipun dialami oleh Umat Islam Australia terutama generasi pertama. Namun untuk generasi kedua, ketiga dan seterusnya nampaknya hal ini tidak menjadi masalah karena mereka dibesarkan dalam kultur Australia.
Pelajaran dari Negeri Tetangga
Sangat menarik berkunjung ke Australia. Sebagai negara maju, pembangunan, tata kota dan tata kelola pemerintahan disana terasa lebih baik. Hal ini tentunya hasil dari perjanan panjang melalui proses yang lama pula. Saat ini Australia termasuk diantara jajaran negara maju (dunia pertama) di dunia.
Yang menarik adalah kualitas layanan publik yang sangat bagus. Sebagai contoh kalo kita lihat dari sarana transportasi yang memaksimalkan semua medium baik udara, tanah ataupun air. Di setiap kota yang dikunjungi, kami melihat jalan-jalan membentang dengan lebar dengan sistem terminal yang bagus, transportasi sungai yang nyaman dan tentunya sistem kereta api yang nyaman juga.
Hampir semua layanan publik servis dilakukan dengan memaksimalkan teknologi/online. Sehingga pelayanan bisa dilakukan dengan lebih cepat, mudah dan tentunya meminimalisir faktor human error.
Satu hal yang sangat aku rasakan adalah penegakkan hukum. Dengan kata lain nampaknya sistem dan aturan hukum telah berjalan dengan lebih baik sehingga hal itu juga mengkondisikan masayarakat menjadi lebih disiplin dan teratur. Sebagai contoh ada aturan disana bahwa di dalam ruangan tertutup atau fasilitas umum orang tidak diperbolehkan untuk makan, minum, merokok apalagi membuang sampah sembarangan. Dan semua anggota masyarakat mematuhi hal itu. Selama disana kami belum pernah melihat orang melanggar hal itu. Sepertinya pemahaman mengenai kewajiban dan hak sebagai warga negara sangat dimengerti oleh warga Australia.
Akses informasi pun sangat baik. Kurang lebih 37% rumah tangga di Australia memiliki koneksi internet. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Australia melek internet.
Di Australia ada 6 channel TV yang bisa ditangkap dengan pesawat biasa. Salah satu stasiun yang terkenal adalah SBS yang memutar tayangan multikulturalisme, selain tentunya ABC stasiun TV miliki pemerintah (seperti TVRI). Selain itu, untuk tayangan khusus kita bisa langganan TV kabel.
Yang menarik adalah setiap memulai acara selalu ada penjelasan jenis tontonan dan peringatan untuk tuntunan orang tua. Sehingga setidaknya penonton tahu jenis tayangan yang akan mereka saksikan. Selain itu tayangan yang berbau kekerasan dan kurang mendidik tidak ditayangkan dijam-jam prime time (jam utama). Suatu kondisi yang perlu dicontoh oleh pertelivisian kita.
Semua kemajuan ini tentu tidak terlepas dari taraf kehidupan (kesejahteraan) rakyat Australia yang sudah lebih baik. Sandang, pangan dan papan sudah tidak terlalu menjadi masalah bagi penduduk Astralia. Seorang teman disana pernah bilang kalo upah minimum di Australia adalah berkisar $A 30.000/tahun atau kurang lebih Rp 210 juta/tahun. Bahkan unttuk pekerjaan paruh waktu paling tidak seseorang bisa menghasilkan $A12/jam atau sekitar Rp 84.000/jam. Bandingkan dengan UMR jakarta aja yang Rp 900.000/bulan, agak jauh khan? Meskipun biaya hidup dan lain-lain disana lebih mahal juga dibanding di indonesia.
Kesejahteraan yang tinggi ini pun berimbas kepada tingkat pendidikan dan tingkat kedewasaan penduduk Australia. Selain itu keadaan ini juga didukung dengan kebijakan pemerintah Australia dalam bidang pendidikan.
Australia termasuk negara dengan kebijakan dan kualitas pendidikan yang bagus. ANU (Australian National University) adalah salah satu universitas terbaik di duinia. Pendidikan dasar dan menengah di Australia diselenggarakan oleh negara tanpa memungut biaya alias gratis. Jadi warga Australia tidak perlu bayar SPP untuk mendapat pendidikan SD-SMA. Begitu juga di perguruan tinggi, pelajar Australia bisa mendapat pinjaman dari pemerintah (loan) untuk kuliah. Pinjaman ini diberikan kepada pelajar yang ingin melanjutkan kuliah dan baru dibayar apabila mereka sudah punya income atau dapat pekerjaan. Jadi pendidikan bukanlah sesuatu yang mahal bagi penduduk Australia. Kapan bangsa kita bisa mencapai keadaan seperti ini?
Itulah Austrlia, negara tetangga yang nampaknya beberapa langkah sudah ada di depan dalam segi pembangunan dan pemenuhan kesejahteraan rakyatnya. Tentunya kondisi seperti itu diperoleh melalui proses yang tidak singkat. Namun walau bagaimanapun, Indonesia memiliki potensi dan peluang yang sama untuk berbuat atau mungkin bisa lebih baik. Kesejahteraan dan pendidikan nampaknya masih menjadi sesuatu yang sulit untuk dicapai di negeri tercinta ini. Semuanya tergantung kepada bangsa kita sendiri ke arah mana kita melangkahkan dan berusaha membuat perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar