Rabu, 21 Januari 2015

Indahnya sebuah Pengabdian


“Setiap pria dan wanita yang sukses adalah pemimpin-pemimpin besar. Mereka berimajinasi tentang masa depan mereka, berbuat sebaik mungkin dalam segala hal, dan bekerja setiap hari menuju visi jauh kedepan yang menjadi tujuan mereka”.
(Brian Tracy)
Ini bukan cerita inspiratif tentang orang-orang yang luar biasa atau kisah yang mengharukan tentang perjuangan anak-anak di pelosok negeri. Bukan juga kisah penuh makna dan patut diteladani dari seorang anak muda, tapi ini tentang pengabdian seorang guru.
Siang itu begitu cerah tapi tak terlalu panas seperti biasanya. Matahari melakukan tugasnya di sebelah timur dengan ikhlas. Sementara burung-burung bernyanyi dengan merdunya seolah-olah memberikan semangat super pada mereka. Sepoi angin  Lembata berhembus dengan sopan, melambaikan daun-daun mente menemani perjalanan mereka.
Dua orang guru muda, bertubuh kurus, hitam manis, dengan sunyum jenaka disela-sela pipinya yang bulat, berangkat kedesa penugasan dari kota Kabupaten dengan ciri khasnya tas ransel bermerek maju bersama mencerdaskan Indonesiayang selalu mereka sandang. Desa dengan 100% warganya beragama Katolik tidak membuat mereka galau dan takut karena nilai Pancasila sudah tertanam dibenak mereka. Untuk mensiasati, seminggu sekali mereka harus pergi ke ibukota kabupaten untuk melaksanakan Sholat Jumat.
Begitu sampai di terminal bis tak lupa mereka sapa warga yang sedang menunggu bis datang. Untuk mengisi kejenuhan, mereka sempatkan ngobrol dengan beberapa warga disana. Sahut-menyahut ucapan selamat siang mereka lakukan dengan warga yang sedang sibuk dengan barang bawaannya. Mereka merasa senang hari-hari penuh dengan keramahan dan keceriaan.
Perjalanan kedesa penugasan lumayan jauh, perjalanan yang mereka lalui bukanlah mudah, empat jam naik bis dengan jalan berbukit, jurang dan medan yang membunuh. Sedikit saja bis tidak terkontrol maka jurang akan menanti. Hampir-hampir mustahil ada guru yang betah dan mau mengajar disekolah pedalaman yang jauh seperti itu. Lalu apa tujuan mereka? Guru itu terkekeh menjawab, “hanya mengabdi dan menambah koleksi ilmu dan pengalaman”. Tapi bukankah mereka bisa mengajar ditempat lain yang lebih dekat dengan kota dan lebih aman? Sekali lagi mereka terkekeh, “lalu siapa yang akan mengajar mereka? Siapa yang mau menuntun mereka bermimpi dan bercita-cita tinggi? Siapa yang mau memberi senyuman setiap pagi buat mereka? Katanya sambil menunjukkan beberapa siswa yang sedang menunggu bis bersama orang tuanya.
Ah! Betapa indahnya, bila sebongkah misi hidup dipadukan dalam sebuah pengabdian. Orang-orang yang memahami benar kehadiran karyanya, sebagai mana dua orang guru muda itu, yang bekerja demi setitik harapan dan cita-cita untuk anak negri, adalah tiang penyangga yang menahan langit agar tidak runtuh. Merekalah partikel cahaya yang membuat mimpi yang tampak gelap gulita dan harapan yang kabur ini menjadi terang bahkan sudah kelihatan. Bukankah demikian tugas kita sebagai guru: menghadirkan secercah harapan bagi sesama dan sebutir impian yang nyata.

Tidak ada komentar: