Rabu, 21 Januari 2015

Karena menjadi Guru itu ... Mahal




Yah. Seperti inilah aku setelah menonton film.

“terinspirasi”

Ada hal yang membuatku begitu tidak bisa tenang dan berusaha menunjukkan serta menyampaikan pesan. Biasanya, pesan akan rasa iri, galau, dan perasaan yang lumayan alay. Memang.

Tetapi,

Aku benar benar tidak bisa menahannya. Aku ingin dunia tahu perasaan ini.

Perasaanku, yang aku alami sekarang.

Karena, film yang berusan aku tonton, benar benar mampu menyampaikan pesan padaku.

Judulnya “ The Teacher’s Diary” atau Khid thueng withaya. Aha~ Another Thailand movie. Seperti yang sudah aku pernah tulis dalam tulisan yang lain, film Thailand sekarang menjadi salah satu favorit film bagiku. Ringan, sederhana, “dekat”, dan menyentuh. Sensasi lucu pun juga tidak ketinggalan.

Film ini menceritakan tentang seorang guru, Pak Song yang ketika melamar kerja untuk menjadi seorang guru tetap malah dipindahkan oleh Kepala Sekolahnya ke Sekolah Rumah Kapal. Disekolah tersebut dia menemukan sebuah diary milik guru sebelumnya yang pernah mengajarnya disana. Nama guru itu adalah Bu Ann. Berdedikasi mengajar yang tinggi dan tidak lupa ... cantik. Pak Song pun yang awalnya kebingungan mengajar anak anak di Rumah Kapal yang terpinggirkan jauh dari tengah kota, menggunakan buku diary itu sebagai panduannya untuk mengajar anak anak disana. Disaat yang sama, Pak Song pun mengagumi sosok Bu Ann yang mampu menjadikan anak anak Rumah Kapal selalu membicarakan dirinya. Diam diam, Pak Song menaruh hati disana. Dan mungkin, jatuh hati padanya. Dimulailah kemudian kisah cinta dan kisah pengabdian seorang guru yang mengajar untuk murid dibagian pelosok yang penuh dengan haru dan candaan ringan.

Sedikit spoiler, gue akan cerita tentang best scene favorit gue.

Yaitu adalah saat Chon, salah satu murid di Rumah Kapal yang sudah kelas 6 menghadapi ujian semesternya, namun gagal karena dia tidak mampu mengerjakan soalnya. Bukan karena tidak bisa, tetapi karena dia kekurangan waktu. Disana digambarkan adegan ketika Chon masih mengerjakan soalnya, sendirian, karena yang lain sudah selesai, dan seorang ibu guru menunggu disampingnya. Kemudian, diambil secara paksa secarik kertas ujiannya yang belum selesai. Ketika perjalanan pulang, Chon pun bercerita tentang hal itu.

Dan guru Song, datang memeluknya sebagai ayah,

Dan sebagai sahabat.

Bresssss... air dimata ini sudah gak bisa lagi ditahan.

Disitu Pak Song bilang, bahwa bukan Chon sebagai muridlah yang salah.

Tetapi dia mengakui, belum menjadi seorang guru yang baik untuk Chon.


Mana ada guru yang seperti itu sekarang?


Aku sedikit sebal ya.. Cerita ini kok sepertinya ndak ada di film Indonesia. Atau memang aku-nya saja yang tidak tahu ya..

Padahal, cerita ini sungguh cocok menjadi cerita yang meng-inspirasi, bahwa guru itu bukanlah cuman pekerjaan.

Guru adalah seseorang yang mampu menjadi sahabat dan teladan bagi muridnya.

Guru adalah seseorang yang mampu menjadi kawan bagi para muridnya.

Guru adalah panggilan hati.

Anda mungkin bisa menyampaikan materi, mengajari berhitung, mengajari seorang anak kecil agar mampu membaca,

Tapi guru, seharusnya lebih dari itu.

Guru tidak selayaknya menyalahkan murid. Justru guru harus sadar bahwa dia belum cukup baik untuk menjadi seorang guru.

Guru bukanlah  tentang ilmu yang ditukar dengan uang, melainkan mengajarkan untuk bahagia dalam sesederhananya kehidupan yang dijalani.

Tidak ada yang lebih mulia selain guru.

Tidak ada.

Saya tidak akan menyalahkan siapapun yang tidak mampu untuk menjadi guru yang bagi muridnya.

Karena guru adalah panggilan hati. Hatimulah yang memilih.

Bukan karena sadarnya pikiranmu akan uang yang dihasilkan dari mengajar kemudian.

Karena itulah, kita tidak bisa mengharapkan seseorang untuk mampu menjadi guru yang sebaik baiknya guru, dari orang “murahan”.

Karena menjadi seorang guru itu ...

Mahal

Dan anda tidak bisa mengharapkan hal yang mahal dari orang yang murahan.

Tidak ada komentar: