Jumat, 23 Januari 2015
Kehidupan-Guru-Honorer-Sebuah-Komedi-atau-Tragedi
Guru, sebuah profesi yang mulia atau setidaknya “dianggap” mulia oleh masyarakat di negeri ini. Mulia karena memang menjadi guru adalah sebuah profesi yang bisa menentukan kemana generasi muda bangsa akan dibawa. “Dianggap” mulia, karena setidaknya saat ini sebagianguru mempunyai gaji yang layak sehingga dihargai masyarakat, tak seperti jaman Oemar Bakrie dulu, dimana gaji guru bahkan lebih rendah dari pada gaji kuli serabutan.
Namun, tak semua guru sudah meraih “kemuliaan” itu. Ada sebuah sisi lain dari profesi guru yang tetap tak sesuai dengan harapan, bahkan bisa dikatakan komedi kehidupan. Ya, sebuah sisi lain kehidupan guru yang disebut “guru honorer”. Sebuah kemuliaan yang tergerus oleh kenyataan. Kenyataan hidup, di mana mereka bekerja dengan tangung jawab yang sama mendidik anak bangsa, namun balasan yang mereka dapatkan tak lebih dari seorang peminta-minta.
Menurut sejumlah laporan, pada tahun 2013 di Indonesia terdapat 2,9 juta orang guru, dan 900.000-nya adalah guru honorer. Artinya ada 900.000 orang yang memiliki cita-cita mulia, tapi realitas mengatakan hal yang berbeda. Sudah terlalu banyak kisah-kisah miris tentang seorang guru honorer, mulai dari yang bekerja di pinggiran hingga pedalaman, atau yang bekerja belasan tahun dengan gaji yang jauh dari harapan. Sepertinya jika semua cerita miris tentang guru honorer dituangkan dalam tulisan ini, maka tulisan ini tak akan pernah selesai.
Perlu diingat juga, pemerintah telah menetapkan seorang guru setidaknya harus lulus pendidikan Strata 1 (S1). Mereka yang memiliki cita-cita mulia itu, telah rela menunda segala asa yang lain selepas meninggalkan bangku sekolah untuk duduk kembali di bangku kuliah. Selama setidaknya 4 tahun, mereka telah bersungguh-sungguh belajar tentang seluk-beluk pendidikan. Meski bayang-bayang kenyataan pahit belasan tahun menjadi guru honorer terus menghantui hari-hari mereka tanpa bisa terelakkan.
Pemerintah telah menetapkan alokasi dana APBN untuk sektor pendidikan harus mencapai 20%. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 disebutkan bahwa total anggaran pendidikan mencapai Rp 345,335 triliun, dan untuk tunjangan profesi guru mencapai lebih dari 43 triliun. Jumlah tersebut bahkan lebih besar daripada alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang hanya mecapai 23 triliun atau hampir dua kali lipatnya.
Menurut hemat penulis, daripada 43 triliun itu semuanya dijadikan tunjangan profesi (fungsional), alangkah lebih baik jika sebagiannya dialokasikan untuk memberi gaji layak bagi para honorer yang sudah bekerja bahkan hingga belasan tahun. Setidaknya berikanlah para “buruh negara” ini gaji yang layak selayak para buruh di pabrik-pabrik yang gajinya mencapai Upah Minimum Regional (UMR). Meski sekarang para guru honorer juga memperoleh tunjangan fungsional, namun jumlah tersebut tentu masih jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan gaji yang diterima oleh para Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Pembaca yang mulia.
Semua kenyataan itu membuat kita patut bertanya, kehidupan guru honorer itu sebuah komedi atau tragedi???
Sepertinya kehidupan guru honorer itu bisa dikatakan sebuah komedi atau juga sebuah tragedi. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihat.
Komedi, karena jika kita melihat potret kehidupan seorang guru honorer, kita seolah-olah sedang melihat sebuah parodi dalam kehidupan. Kenyataan lucu yang menimpa orang-orang yang berhati mulia.
Saking mulianya mereka bahkan tak tega mencari keadilan sampai turun ke jalan seperti yang para buruh lakukan. Bukan karena mereka tak mau mendapatkan keadilan, namun mereka tak punya waktu untuk dibuang. Mereka lebih suka menghabiskan waktu mereka untuk terus berkarya demi anak bangsa.
Adakah yang lebih lucu daripada kehidupan para guru honorer di negeri ini? Di saat mereka sebagai abdi negara harus patuh kepada Negara, mereka sama sekali tak mendapatkan penghargaan yang layak dari negara. Di saat mereka memiliki tanggung jawab yang sama, mereka tak mendapatkan keadilan dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang sudah jadi pegawai negeri.
Kepada siapa lagi mereka harus mengadu? Kepada siapa lagi keadilan itu dapat dipinta?
Kita memang tak bisa seadil Tuhan Yang Maha Adil. Namun setidaknya kita dapat berusaha berlaku adil sebagai seorang manusia, sebagai khalifah di bumi Tuhan Yang Maha Mulia. Adil bukan berarti segalanya harus sama rata, namun berikanlah hak mereka sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan. Berikanlah para pahlawan tanpa tanda jasa ini sebuah kegembiraan atas pengabdian yang telah mereka lakukan.
Tragedi, bagi mereka yang menjalani kehidupan sebagai seorang guru honorer, pada hakikatnya kehidupan ini adalah sebuah tragedi. Mereka bekerja sepanjang waktu, mencurahkan semua tenaga, pikiran, hingga uang dari saku mereka sendiri demi menjalankan tanggung jawab sebagai seorang guru dengan penuh kesungguhan. Namun, penghargaan yang nyaris tak ada membuat mereka terseok-seok menjalani kehidupan.
Apalagi yang lebih menyedihkan daripada kehidupan seorang guru honorer di negeri ini?
Ketika tanggung jawab yang berat mereka pikul, saat itu juga beban kehidupan menghimpit mereka. Banyak kisah miris tentang kehidupan seorang guru honorer yang bisa membuat kita menangis jika kita memang memiliki hati seorang manusia.
Salah satu kisah tragedi kehidupan seorang guru honorer, menimpa seorang guru honorer di derah Depok, di daerah yang tak jauh dari Ibu Kota Negara ini ada seorang guru yang sudah 15 tahun bekerja namun gajinya sangat jauh dari kepantasan.
Adakah diantara pembaca yang bisa menebaknya?
75 ribu (tujuh puluh lima ribu). Ya, 75 ribu rupiah, bukan 750 ribu rupiah. Tanpa bermaksud merendahkan profesi yang lain, gaji 75 ribu rupiah itu bahkan jauh lebih kecil daripada tukang memperbaiki ban bocor atau tukang memperbaiki ledeng. Padahal tanggung jawab mereka adalah memperbaiki kebocoran moral generasi bangsa, agar bangsa ini bisa tetap berdiri tegak di hadapan bangsa-bangsa yang lain.
Jika dibandingkan dengan gaji para anggota dewan yang terhormat, gaji guru honorer ini hanya 0,2 % dari para anggota legislatif yang mencapai 40 juta per-bulan. Tidak bisakah APBN itu diatur agar para guru honorer ini terlepas dari tragedi mengerikan ini? Tidak bisakah gaji ribuan anggota dewan mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat provinsi dan kabupaten ini dipotong dan diberikan kepada para pendidik yang mulia ini? Bukankah tanpa jasa dan dedikasi para guru ini tak akan ada yang namanya para anggota dewan dan pejabat tinggi Negara yang lainnya?
Jawabannya tergantung dari hati kita masing-masing. Tergantung dari para pemangku kebijakan. Tergantung dari para pejabat yang memimpin negeri ini. Tergantung dari presiden yang mengemban amanah dari ratusan juta rakyat di negeri ini.
Seluruh rakyat di negeri ini, termasuk para guru honorer yang masih dan akan terus berkarya bagi bangsa ini tentu berharap pemimpin selanjutnya akan mampu membawa angin perubahan bagi bangsa ini. Membawa perubahan bagi komedi yang menggelikan, dan tragedi menyakitkan dari kehidupan seorang guru honorer menjadi kehidupan yang penuh keadilan dan kemuliaan. Aamiin -
Asep Nuryadin
sumber : http://www.siperubahan.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
thanks ya...ijin copas gan
Posting Komentar