PERMASALAHAN tentang kurikulum pendidikan nasional kembali menjadi perdebatan. Kurikulum 2013 yang mulai diterapkan pada awal tahun ajaran 2013/2014, kini tidak lagi sepenuhnya digunakan. Hal itu terjadi sebagai imbas keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 160 Tahun 2014, tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan 2013 yang mulai berlaku efektif sejak diundangkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 12 Desember 2014.
Implementasi dari keluarnya peraturan itu adalah satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang telah melaksanakan kurikulum 2013 sejak semester pertama tahun ajaran 2014/2015, kembali melaksanakan kurikulum 2006 di semester kedua tahun ajaran berjalan, sampai ada ketetapan dari pemerintah untuk melaksanakan kurikulum 2013.
Adapun, satuan pendidikan dasar dan menengah yang telah melaksanakan kurikulum 2013 sejak semester pertama tahun ajaran 2013/2014 tetap menggunakannya. Sekolah-sekolah itu merupakan satuan pendidikan rintisan penerapan kurikulum 2013. Sekolah tersebut dapat berganti melaksanakan kurikulum 2006 dengan melaporkan kepada dinas pendidikan provinsi/ kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.Sementara, satuan pendidikan usia dini dan satuan pendidikan khusus melaksanakan kurikulum 2013 sesuai ketentuan perundang-undangan.
Pro-kontra menjadi hal yang wajar. Hal tersebut merupakan buah dari munculnya berbagai perubahan kebijakan seiring dengan bergantinya pemerintahan. Kondisi ini membingungkan tenaga pendidik, siswa, dan orangtua. Di saat tenaga pendidik tengah berkonsentrasi pada standar lama yang masih ingin diresapi, pergantian kurikulum sudah ada di depan mata.Selain menghadapi kendala kurangnya waktu sosialisasi yang cenderung dipaksakan, pendidik kembali dihadapkan pada kebingungan pergantian kurikulum dan kesibukan lain yakni mensosialisasikan kepada anak didik dan orangtuanya. Padahal sebuah kebijakan jangka panjang (blue print) tentang pendidikan nasional diperlukan jika kita ingin dunia pendidikan Indonesia lebih maju di masa mendatang.
Berbicara soal pendidikan nasional, harus ada standar dasar pendidikan yang bisa sewaktu-waktu dikembangkan ke arah yang lebih sempurna yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Pasalnya, di tengah perkembangan dunia global yang semakin pesat, pendidikan karakter tidak bisa diraih secara instan. Ibarat kata, mendikbud yang sebelumnya menanam (memutuskan penggunaaan sebuah kurikulum), mendikbud berikutnyalah yang menyiram (memperbaiki) agar tumbuh berkembang dan semakin kuat.
Auditor pendidikan
Penerapan standar pendidikan nasional tidak bisa dilakukan dengan cara mengubahnya setiap ada pergantian pemerintahan. Selain menimbulkan inkonsistensi, tujuan utama mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk karak ter anak-anak melalui pendidikan di bangku sekolah tidak akan tercapai. Harus diakui, di belakang penciptaan kurikulum nasional ada sejumlah prefesional pendidikan yang mumpuni. Jadi apa pun kurikulum yang diluncurkan positif untuk para anak didik.
Persoalannya, butuh waktu lama untuk menyosialisasikan kurikulum baru. Butuh penyatuan napas edukasi dengan standar yang ditetapkan untuk jangka waktu yang panjang. Untuk itu, diperlukan auditor pendidikan yang akan memantau dan melihat sejauhmana penerapan kurikulum yang ditetapkan pemerintah sesuai dengan yang diharapkan. Bagaimana sekolah-sekolah mengembangkan kurikulum itu sesuai dengan kebijakan wilayah masing-masing, untuk kemudian dikaji ulang dan dievaluasi secara terus menerus. Selain itu, bagaimana siswa menjalani ujian nasional dengan nyaman dan tidak menganggapnya sebagai momok.
Penerapan kurikulum nasional harus konsisten, jangka panjang (long term), dan dikembangkan dari waktu ke waktu. Bagaimana menciptakan standar pendidikan nasional dengan pattern menanamkan karakter anak melalui budaya lokal merupakan pekerjaan rumah stake holder pendidikan nasional. Kurikulum yang telah dibuat pemerintah akan makin memiliki bobot jika di dalamnya juga memuat aturan yang mengharuskan adanya pendidikan soal kearifan lokal di setiap daerah dengan ciri khas dan karakternya.
Pendidikan berkarakter
Pada prinsipnya, kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara konsep cukup memenuhi standar baku pendidikan di Indonesia. Tidak bisa dimungkiri, standar pendidikan nasional lahir melalui penggodokan dan diskusi panjang yang melibatkan para pakar dan tokoh pendidikan. Namun sayangnya, dalam implementasinya masih ada kekurangan. Yang paling krusial adalah kurangannya kesiapan tenaga pendidik menerapkan kurikulum yang telah ditetapkan.
Di tengah upaya pencapaian kualitas intelegensia anakanak bangsa yang diperoleh di bangku sekolah, mungkin banyak yang lupa bahwa pendidikan karakter adalah hal mendasar yang harus ditanamkan.Harus diyakini bahwa untuk menjadikan anak-anak berbudi pekerti luhur, bukan hanya soal intelektual yang harus diperhatikan. Sisi emosional dan spiritual anak-anak didik, juga menjadi faktor penentu. Bagaimana anak belajar kejujuran, kedisiplinan dan menghargai perbedaan agama atau etnik tertentu, serta membiasakan diri hidup di tengah keberagaman juga menjadi hal penting yang harus diajarkan sejak dini.
Salah satu negara dengan mutu pendidikan terbaik dunia adalah Finlandia. Negara ini tidak mengenal akreditasi atau pemeringkatan. Alat kontrolnya ada di tangan masyarakat, yang menilai secara langsung apakah anak yang belajar di sekolah tersebut menjadi semakin baik, beretika, dan cerdas atau malah sebaliknya. Pemerintah hanya berfungsi sebagai konselor yang memantau setiap perkembangan anak didik di setiap sekolah. Setiap sekolah diberikan kebebasan mengembangkan kurikulum sendiri sesuai dengan potensi daerah masing-masing.
Apa yang dilakukan Finlan dia perlahan diterapkan pemerintah. Pendidikan karakter yang ditanamkan kepada anak didik mengacu pada kebijakan pemerintah daerah terkait budaya lokal. Bahasa daerah, keragaman suku bangsa, dan pengenalan permainan dan kesenian daerah masing-masing menjadi dasar pendidikan karakter. Mengapa demikian?
Budaya lokal diakui mampu membangun karakter anak didik melalui kekayaan yang dimiliki di setiap daerah. Bermain egrang atau gobak sodor menepis kebiasaan negatif anak didik yang keranjingan gadget yang cenderung memunculkan sifat individualistis. Demikian juga dengan pengenalan kesenian tradisional seperti gamelan dan tari-tarian, yang menstimulasi anak didik untuk mencintai kebudayaannya.Atau, dengan mengenal bahasa ibu (bahasa daerah) akan memunculkan karakter kecintaan kepada leluhur. Pengenalan terhadap budaya lokal tidak lantas melarang anak didik untuk meninggalkan kemoderenan yang ada saat ini. Kita tidak bisa melarang mereka untuk tidak lagi menggunakan gadget ataupun memakai akses teknologi informasi yang serbacepat. Namun, mereka harus diajari bahwa mengenal karakter bangsa sendiri merupakan hal penting.
Samuel Soemantri ; Direktur Sekolah Kesatuan Bogor
MEDIA INDONESIA, 09 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar