Oleh : J. Firman Sofyan, S.Pd. (SMART Ekselensia Indonesia)
Di sebuah sekolah yang terletak di sebuah Desa Jampang, Kemang, Bogor, hampir setiap bulan selalu ada pergantian spanduk di halaman sekolah yang berisi prestasi-prestasi yang diraih para siswanya. Berbagai prestasi pernah ditampilkan dalam spanduk tersebut, baik prestasi tingkat regional, nasional, maupun internasional. Padahal, sekolah tersebut adalah sebuah sekolah yang bukan milik pemerintah, tidak ada huruf N di belakang setiap jenjang sekolahnya. Tidak jauh dari sekolah tersebut, sekolah lain yang memiliki gerbang dan tentu saja gedung lebih megah pun melakukan hal yang sama. Spanduk bahkan baliho berisi prestasi para siswa dengan mudahnya silih berganti. Wah, hebat-hebat sekali prestasi para siswa yang menempuh pendidikan di sekitar desa tersebut? Jika prestasi siswa desa saja seperti itu, bagaimana prestasi siswa-siswa kota? Pasti lebih fantastis, kan? Jika pergantian spanduk prestasi dilakukan di setiap bulan oleh sekolah di desa, berarti pergantian spanduk prestasi sekolah di kota pasti lebih dari seminggu sekali, kan? Mudah-mudahan!
Terus, apa masalahnya? Toh, tidak ada yang salah dengan sekolah-sekolah tersebut! Penempelan dan pergantian spanduk ataupun baliho tersebut wajar-wajar saja dilakukan oleh sekolah di mana pun. Tujuannya pun searah dengan tujuan spanduk dan baliho tersebut: promosi dan iklan! Jadi, kalau itu bukan masalah, ngapain dibahas? Yang perlu diperhatikan, dibahas, dikritisi, dan direnungkan adalah isi dalam spanduk tersebut! Sudah berapa kali sosok guru muncul dalam spanduk-spanduk tersebut sejak sekolah tersebut didirikan? Berapa banyak prestasi yang pernah diraih para guru sehingga mereka cukup pantas dan layak dijadikan sebagai ajang promosi dan iklan sebuah sekolah atau institusi pendidikan?
Beruntung, sekolah pertama yang saya sebutkan dalam tulisan ini, meski tidak sesering siswanya, termasuk yang mau dan bangga memasang wajah guru-guru berprestasi dalam spanduk mereka. Padahal, sekolah yang bernama SMART Ekselensia Indonesia tersebut adalah sebuah sekolah yang dikelola oleh sebuah lambaga zakat yang baru genap berusia 10 tahun! Bagaimana dengan sekolah-sekolah lain yang sudah dikelola bertahun-tahun secara profesional, sekolah yang dikelola pemerintah, atau sekolah-sekolah mahal yang katanya berstatus internasional? Berapa kali spanduk dan baliho mereka menampilkan sosok para pendidiknya? Mudah-mudahan pernah atau malah sering sekali! Kalau tidak pernah, semoga penyebabnya bukan karena tidak pernah ada prestasi yang ditoreh oleh para pendidik! Semoga saja, asalannya karena memang ajang promosi hanya diperuntukkan bagi para siswa yang mungkin secara fisik pun lebih “menjual” dengan para pendidik mereka di kelas. Dan, yang jangan sampai terjadi adalah sekolah tidak pernah mengapresiasi prestasi para pendidiknya meski hanya dengan menampilkan sosok mereka pada sehelai kertas berukuran raksasa di halaman sekolah mereka.
Entah sebuah jargon, pepatah, atau dagelan, mungkin kita pernah mendengar ini: GURU berarti yang digugu dan ditiru. Gugu (menggugu) sendiri menurut KBBI berarti mempercayai, menuruti, mengindahkan. Berarti digugu berarti dipercai, dituruti, diindahkan. Adapun tiru (meniru) berarti melakukan sesuatu seperti yang diperbuat orang lain dsb; mencontoh; meneladan. Ditiru berarti dicontoh dan diteladani. Jika jargon di atas benar, ternyata kata guru adalah sebuah profesi mengandung makna yang sangat dalam. Akan tetapi, coba renungkan! Makna yang tersurat dari kata guru ternyata adalah sebuah tantangan dan tuntutan besar untuk siapa pun yang akhirnya memutuskan atau terpaksa menjadi seorang guru. Akhirnya, muncul berbagai pertanyaan. Bagaimana kondisi guru saat ini? Teladan apa yang bisa diambil dari seorang guru? Sudah sehebat apa sehingga sorang guru bisa dicontoh dan diteladani? Guru memang manusia dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang tidak akan lupu dari dosa dan alpa. Guru pun tidak mungkin disejajarkan dengan teladan umat Muslim, Nabi Muhamamd Saw sehingga pantas untuk dicontoh dan diteladani. Salah satu cara agar seorang guru bisa digugu dan ditiru adalah dengan meraih prestasi.
Dalam hal ini, mohon maaf, saya kesampingkan dulu masalah akhlak guru yang tentu saja harus lurus dan searah dengan agama yang dianutnya masing-masing karena semua agama pasti mengajarkan segala kebaikan dan menuntut kebajikan. Secara tersirat pun, seorang guru memang sudah seharusnya memiliki akhlak mulia karena guru hal tersebut merupakan kewajiban seorang manusia terhadap Tuhannya. Ironisnya, dewasa ini banyak sekali terdengar berita yang negatif yang dilakukan oleh para guru. Salah satu kata yang kini identik dengan kata guru dalam sebuah berita justru kata maaf, cabul!
Kasus pencabulan sepertinya tak henti-hentinya mencoreng dunia pendidikan. Di berbagai daerah muncul kasusnya silih berganti, seperti berlomba-lomba ingin memburamkan wajah pendidikan kita yang sudah lusuh. Khususnya di wilayah Kepri, kasus pencabulan anak SMA oleh guru agama di Tanjung Pinang mencuat, kemarin kasus serupa terjadi di Batam. Hornyzon, Kepala sekolah SMP negeri di Batam diduga mencabuli 15 siswanya. Kasus ini terbongkar setelah salah satu korban bercerita kepada temannya. Selanjutnya berita tersebar dari mulut ke mulut dan menjadi perbincangan hangat di antara siswa. Sampailah masalah ini ke telinga wali murid. Usut punya usut, 15 siswi mengaku pernah dicabuli kepala sekolahnya (metro.kompasiana.com/18 April 2013).
Bukannya berlomba-lomba meraih prestasi, para guru dan bahkan kepala sekolah justru malah berlomba-lomba menjadi penghancur negeri. “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari!” kata orang bijak menasihati kita. Jika guru dan kepala sekolahnya melakukan tindakan tidak senonoh, maka siswanya akan melakukan tindakan yang jauh lebih tidak senonoh!
Gelar Itu Harus dan Pasti
Sejenak kita lupakan berita-berita di atas. Berita-berita yang tentu dipublikasikan oleh para media. Tidak perlulah kita menyalahkan mereka yang mungkin luput memberitakan berita-berita prestasi-prestasi prestisius yang pernah dibuat oleh para guru di Indonesia. Toh, itu hak mereka. Itu tuntutan mereka agar banyak orang yang membaca.
Kini, sudah saatnya mengintrospeksi diri. Sudah waktunya para guru bangkit dan berdiri. Prestasi yang akan akan menyebabkan guru memang menjadi sosok yang memang layak dicontoh dan diteladani. Prestasi yang akan membuat media-media bangga menjadikan berita seputar guru sebagai topik utama mengalahkan berita-berita utama seputar olahraga.
Lantas, prestasi apa yang bisa diraih oleh seorang guru? Peluang untuk meraih prestasi saya kira selalu ada. Salah ajang pencarian bakat untuk guru adalah Lomba Karya Ilmiah Guru (LKIG) yang setiap tahun diadakan secara rutin. Kalau itu berat, seorang guru bisa memulai prestasi dengan menulis! Bukan menulis di papan tulis, di daftar hadir, atau sekadar membuat administrasi pembelajaran tentu saja. Media, baik cetak maupun elektronik sekarang semakin terbuka untuk dimanfaatkan. Guru, adalah salah satu profesi yang diharapkan untuk mengisi berbagai forum, tulisan, atau jurnal di dalam media-media tersebut karena untuk sekadar menulis sebuah artikel di dalam sebuah koran, misalnya, saya kira semua guru pasti mampu jika mau!
Bukannya guru saat ini adalah sebuah profesi dengan berbagai tuntutan dan permintaan? Bukankah guru saat ini disibukkan dengan berbagai pekerjaan? Mengajar, mengoreksi, menyiapkan materi, membuat administrasi saja sudah sangat melelahkan, rasanya sudah tidak ada waku luang untuk mengerjakan hal lain lagi. Tidak salah memang. Akan tetapi, saya kira paling tidak dalam waktu 5-8 jam seorang guru di sekolah pasti jika memang mau dan berniat pasti mampu menghasilkan sesuatu. Siswa-siswa yang dari pagi sampai siang atau sore harus berada di kelas untuk mendapatkan pelajaran dari satu kelas ke kelas lain saja mampu menghasilkan sesuatu. Namun, mengajar dan teman-temannya memang sudah menjadi sebuah kewajiban, keharusan, dan rutinitas, saya kira. Guru, perlu lebih dari sekadar itu agar menjadi individu yang minimal bermanfaat bagi dirinya sendiri. Ibarat pohon yang tentu harus mendapatkan makanan dan minuman, pohon pun wajib mendapatkan pupuk agar bisa memproduksi buah yang unggul.
Berprestasi, kalau kata itu terlalu berat, jauh dari jangkauan, minimal berkaryalah karena manusia akan dikenang dan diabadikan karena karya-karya yang pernah dibuatnya. Berlomba-lomba meraih gelar formal dari berbagai universitas dan institut, baik dalam maupaun luar negeri tidaklah salah. Gelar memang penting, akan tetapi, maaf, saya katakan itu bukanlah sebuah karya apalagi prestasi karena gelar adalah sebuah kepastian dan keharusan yang harus diraih seorang guru! Faktanya, kini guru di Indonesia memang rata-rata telah minimal bergelar sarjana, apalagi pemerintah memberi waktu hingga akhir 2015 agar para guru telah lulus kialifikasi di bidangnya minimal S1 atau DIV sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bahkan, tidak sedikit guru yang telah menyelesaikan pendidikan S2 bahkan S3.Akan tetapi, sayang lebih banyak lagi yang tidak pernah berkarya apalagi berprestasi. Akhirnya, gelar-gelar yang diraihnya bertahun-tahun pun seolah-olah hampa.
Berlomba-lomba mengikuti pelatihan, seminar, dan lokakarya juga, maaf, saya kira itu pun bukanlah sebuah prestasi. Apalagi jika ujung-ujungnya sertifikatlah yang dicari yang kata para pengisi pelatihan bahwa semakin banyak seritifikat yang didapat, maka semakin banyak poin yang akan dirah untuk sertifikasi! Akhirnya, sertifikat sih dapat, namun bagaimana ilmunya? Sayang jika akhirnya semua sekadar pepesan kosong belaka.
Di dalam alam dunia sepak bola, tidak sedikit pemain-pemain sepak bola dari berbagai belahan dunia yang digelari ‘Lionel Messinya …….’ karena dianggap memiliki keterampilan dan kehebatan mendekati atau menyerupai salah satu pemain yang dinobatkan sebagai pemain terbaik di dunia tersebut . Di Indonesia sendiri, di dunia perbulutangkisan, banyak pemain yang diberi gelar ‘The Next Taufik Hidayat’ karena dianggap memiliki bakat dan kemampuan bermain mirip dengan salah satu pemain bulu tangkis terbaik dunia yang pernah ada itu. Siapa pun yang memangku kedua gelar tersebut pasti akan merasa sangat bangga karena disejajarkan dengan para manusia terbaik di bidangnya masing-maasing.
Di dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia, kita tentu bukannya tidak memiliki figur yang patut dibanggakan karena prestasi-prestasinya. Kita semua mungkin pernah mendengar nama Ki Hajar Dewantara. Kita juga sepertinya tidak asing dengan semboyan “Tut wuri handayani”, atau dalam istilah aslinya: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik). Indonesia saat ini tentu saja merindukan figur-figur guru yang mampu memberikan dorongan dari belakang, menciptakan ide dari tengah, dan memberikan teladan di depan kepada para anak didiknya hingga akhirnya sang guru pun layak diberi gelar ‘Ki Hajar Dewantara Selanjutnya (The Next Ki Hajar Dewantara)’. Salah satu caranya adalah dengan berprestasi. Namun, jika itu sulit, jadilah seorang guru yang membuat karya. Kalau itu pun masih tidak bisa, jadilah guru yang menulis karya. Karena dengan menulis, manusia menjadi baka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar