Rabu, 21 Januari 2015

Kisah Pengabdian Dan Perjuangan Guru



Guru merupakan pekerjaan yang mulia, pengabdian yang tak kenal pamrih
melahirkan manusia yang terdidik, kritis, kompeten, bermoral dan
beretika. Banyak orang yang sukses berkat “polesan” guru. Guru dikatakan
sukses apabila sukses  mengantarkan anak didiknya sukses di dunia
maupun akhirat. Ibarat lilin yang terus menyala guru menerangi
lingkungannya dengan cahaya pengabdian. Walaupun terbakar dan meleleh
nyala lilin tetap menerangi, analogi yang tepat menggambarkan
pengorbanan dan perjuangan guru untuk mendidik siswanya agar menjadi
orang yang sukses kelak.

Lilin merupakan sebuh benda kecil yang mudah patah apabila terkena
goresan atau pukulan. Namun,kilaunya sinar yang dipancarkan menerangi
ketika kegelapan hadir disekitar kita. Itulah guru kita, guru bagaikan
lilin yang menerangi kita dari kehidupan yang gelap menuju kehidupan
yang lebih terang. Sinar yang terus mereka pancarkan kekal sampai mereka
tua dan tak berdaya.

Guru yang menjadi motivator, pendorong semangat peserta didiknya.
Guru yang rela hidup dakam kekurangan tetapi tetap mengabdi demi
kemajuan anak didiknya.Guru yang selalu berinovasi untuk membuat siswa
lebih tertarik dan giat belajar. Berikut kisah perjuangan dan
pengorbanan guru yang patut diteladani dalam melaksanakan tugas guru
yang mulia:

1. Tjandra Heru Awan

Kegigihan dan keuletan di balik kebersahajaan sangat melekat di
setiap sikap dan prilaku Tjandra Heru Awan. Dengan bekal ketekunan dan
kegigihan, guru fisika di SMAN 10 Malang ini meraih beragam prestasi di
tingkat nasional. Berbagai prestasi itu diukir melalui perjalanan
hidupnya yang panjang. Sikap bersahaja itu pun menjadi daya pikat
tersendiri bagi para muridnya. Apresiasi para murid tidak datang dengan
sendirinya, namun melalui perjuangan yang keras dan melelahkan. Itu
mengingat, bidang studi fisika selama ini sering dianggap sebagai
pelajaran yang menakutkan.

Tjandra Heru selalu merasa penasaran pada kondisi semacam itu,
sehingga dia ingin membuat para siswa belajar fisika dengan senang. Dia
pun menemukan jawabannya, dengan membuat alat peraga sangat sederhana
dan murah meriah. Makanya, tidak berlebihan bila banyak siswa yang
mengenal Tjandra Heru berkat temuannya.

Mereka mengakui kepiawaian ayah dari empat anak dan dua cucu ini bila
mengajarkan fisika. Saat mengajar, dia selalu menggunakan alat peraga
yang lucu dan mudah dipahami. ”Pokoknya, pelajaran yang sulit bisa jadi
gampang,” kata Dika. Pengakuan para siswa itu bukan isapan jempol
belaka. Di antara alat peraga itu adalah tabung boyle, mesin uap sangat
sederhana, kompas, AVO meter, tumbukan sederhana, paranglina (papan
rangkaian listrik sederhana), elena (elektroskop sederhana), molimama
(motor listrik matematik). Selain itu, dia juga membuat tabung
berneulli, tabung apung tenggelam, cerio (cermin 2 in 1), prisma air,
lensa air, tabung resonansi, lamp holder, magnet apung, dan lain-lain.
Hebatnya, semua alat peraga buatan Tjandra ini tidak membutuhkan biaya
yang mahal. Alat-alat itu terbuat dari barang-barang bekas seperti
kertas, kaleng bekas roti, seng bekas, dan lain sebagainya.

Berkat kreativitas dan inovasi Tjandra, fungsi semua alat peraga yang
sangat sederhana dan murah itu tidak kalah dengan alat peraga modern
yang harganya pasti lebih mahal. ”Itu semua, sudah saya tekuni sejak
1976,” kata Tjandra ketika ditemui di SMAN 10 Malang. Menurut dia,
membuat alat peraga dari barang bekas itu terilhami oleh banyaknya
keluhan dari siswa yang belajar fisika. Mereka merasa sangat kesulitan
bila mempelajari fisika. Keluhan serupa juga dia rasakan saat mengajar
di SMAK Jember.

Lantas, dia hijrah ke Malang dengan niatan untuk melanjutkan
studinya. Saat di Jember dia baru lulus diploma III, IKIP Malang,
jurusan Matematika yang mengambil minor Fisika. Sesampainya di Malang,
niat melanjutkan studi ke strata satu (S1) pun akhirnya hanya menjadi
impian. Maklum, uang yang sudah disiapkan untuk biaya pendidikannya itu
harus direlakan untuk biaya pengobatan anaknya, Renda Surenda Tjandra.
Anak perempuannya ini terjangkit penyakit tifus. Ususnya bocor. Ada
tujuh lubang di ususnya saat itu.

Tim medis yang menangani, terpaksa memutus sekitar 7 cm usus anaknya
itu. Setelah dioperasi dan dipotong, ternyata bocor lagi. Dioperasi
lagi, dan disambung lagi. Itu terjadi hingga lima kali. Akhirnya, dia
frustrasi, karena tim medis yang menangani Renda juga sudah menilai
secara medis tidak mungkin tertolong lagi. ”Sejak saat itu, saya hanya
bisa pasrah dan berdoa kepada Allah SWT. Saya berdoa kalau memang anak
titipan ini Allah izinkan untuk saya asuh dengan baik, mohon diberi
kesembuhan dan kesehatan. Waktu itu saya berdoa di masjid. Setelah itu,
ternyata alhamdulillah, anak saya sembuh hingga sekarang,” ujar dia
mengenang.

Meski anaknya sudah sembuh, dia tetap tidak bisa melanjutkan
studinya. Bahkan, dia pun susah mencari kerja. Beberapa hari kemudian,
suami Suciwati ini bertemu dengan teman kuliahnya, Muji Hartono seorang
guru fisika di SMA Widya Dharma, Turen. Kala itu, dia diminta
menggantikan mengajar fisika, karena Muji Hartono diangkat jadi dosen di
IKIP Malang. Mulai saat itu, dia mengajar lagi. Namun, guru PNS yang
kini berpangkat IIIB tersebut masih dalam kondisi yang serba kesusahan
dan kesulitan. Akhirnya, dia bertemu Lukman Hakim (kini Dekan MIPA
Universitas Negeri Malang) dan Ustad Mochtr Abdul Karim. Dua figur ini
selalu memberikan semangat dan motivasi kepada Tjandra.

Tjandra pun mulai bangkit dan bersemangat lagi. Pada 1990 dia melamar
menjadi guru PNS dalam usia 39 tahun. Tjandra diterima menjadi guru di
SMPN 8 Kediri. Sejak saat itu, dia sering bolak-balik Malang-Kediri,
karena keluarganya ada di Malang. Lantas, dia dipindah ke SMPN 17
Malang. Dia juga diminta temannya, Siswati membantu mengajar fisika di
SMAN 10 Malang. Kehidupan Tjandra dan keluarganya mulai tertata dengan
baik. Kreativitas dan sikap inovatifnya pun mulai tumbuh lagi sehingga
dia sering mengikuti seminar, lomba, dan membuat alat peraga (http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1201923239)

2. Pak Eko

Pak Eko seorang guru Matematika di Purworejo yang dengan
keterbatasannya dan tanpa gelar sarjana, tapi mampu menjadi guru
tauladan yang mampu menggugah semangat belajar anak didiknya sehingga
menjadikan pelajaran Matematika yang semula momok menjadi pelajaran
favorit siswanya. Dimana nilai rata-rata siswa untuk pelajaran
Matematika paling tinggi diantara mata pelajaran lain.

Pak Eko membawa masuk motornya ke dalam kelas hanya untuk mengajarkan
pada siswanya tentang lingkaran. Atau alat-alat peraga lainnya yang ada
di dalam kelas yang hanya dibuat dari kertas seadanya yang ada di
sekelilingnya tapi mampu menjabarkan konsep matematika Pak Eko yang
menarik bagi siswanya. Beliau juga tidak segan untuk memberikan
hadiah-hadiah sederhana bagi siswa yang berhasil mengerjakan tugas yang
diberikannya, yang semuanya berasal dari uang pribadi. (Pontianak Post,
2009)

3. Ibu Sri

Ibu Sri mengajarkan IPA di sebuah SD terpencil di Kabupaten Gunung
Kidul. Walaupun lokasi yang jauh dan minimnya sarana dan prasarana tidak
mematahkan niatnya untuk mengajar. Dia harus menempuh perjalanan 3 Km
dengan kondisi geografis yang cukup terjal untuk sampai di SD tempatnya
mengajar. Di sekolah dia harus membangkitkan motivasi anak didiknya yang
belajar dalam keadaan perut kosong, karena hampir setiap hari mereka
tidak sempat ”sarapan” karena tidak ada makanan di rumah.

Kesempatan untuk menikmati alat peraga IPA dari pemerintah yang ada 1
kali tiap 3 bulan (giliran alat peraga SD dalam satu gugus) membuat ibu
Sri mengajak siswanya belajar langgsung ke alam terbuka (mengingatkan
kita pada kisah ddalam Laskar Pelangi). (Pontianak Post, 2009)

Tentunya masih banyak kisah yang lain tentang pengabdian dan
perjuangan seoarang guru dalam mengabdikan dirinya untuk kemajuan
pendidikan di Indonesia. Untuk menjadi pendidik dalam keterbatasan
(”cahaya  lilin dalam kegelapan”) Arif Rahman seoarang pakar pendidikan
menyatakan:

  1. Memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; bahwa tejeki
    sudah diatur oleh Allah SWT  kita berdoa dan berusaha serta
    yakin pada kuasanya
  2. Mau berkorban dan ikhlas menerima kondisi yang ada
  3. Adanya tanggung jawab
  4. Adanya tekad ”Aku Bisa” membuat pendidik tidak putus asa dalam menjalankan tugasnya
  5. Tidak mengeluh, membuat pendidik terus termotivasi mencerdaskan bangsa
(Pontianak Post, 2009)

Tidak ada komentar: