Rabu, 21 Januari 2015

Guru, Sebuah Pengabdian di Ujung Tapak


MENDENGAR kata guru pastinya akan mengembalikan memori klasik saat kita masih duduk di bangku sekolah. Entah itu di Taman Kanak-Kanak (TKK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA).
Bagi saya sendiri, bingkai foto yang terlihat oleh pasang mata di atas mencoba menghadirkan sejuta kesan dan kenangan yang tertinggal akan langkah kaki yang pernah menapak, uluran tangan yang terurai pada setiap nasehat yang terucap dari sosok para guru  yang pernah menempahku hinggah menjadi seperti ini.
Jika mau dikata, tulisanku ini layaknya sebuah refleksi perjalanan hidup bersama sebuah kata sederhana bernama pengabdian. Dan pengabdian itu pada kesempatan ini patut dianugerahi pada sosok para guru.
Pengabdian, mungkin itulah kata sederhana yang kuhayati penuh sejak diriku masuk sebuah sekolah pembinaan calon imam Seminari Pius XII Kisol, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Salah satu sekolah unggulan di pulau Flores bahkan jika mau dikata di Indonesia seandainya publikasi media mampu menerjang bukit terjal di pulau Nusa Bunga Flores.
Selama 58 tahun, baik SMP maupun SMA selalu meraih kelulusan 100% dalam Ujian Nasional. Pada irisan kesuksesan demi kesuksesan guru menempatkan dirinya dibalik senyuman setiap siswa. Di sini lah awalan sukses tersebut mulai diceritakan.
Pada tempat inilah, selama enam tahun saya belajar mengeja huruf menjadi sebuah kata pada kesudahannya menjadi kalimat. Pada tempat inilah sebuah tong kosong dapat diisi penuh oleh riak-riak kata bijaksana. Pada tempat inilah, duniaku penuh kenangan. Dan jika duniaku kuanalogikan sebagai sebuah biduk kehidupan, pada tempat inilah kumulai perjalanan itu.
Perjalanan yang dimulai dari kata pengabdian dan berakhir pula pada kata pengabdian. Dari satu kata sederhana ini akan dikenang sebagai suatu keabadian sejarah. Pada akhirnya sejarah akan menceritakan pengabdian seorang guru.
Dalam refleksi sederhana ini, ada rasa yang ingin ditumpahkan ketika mengingat kembali memori klasik para guru di seminarium abadi di lembah Kisol. Ada kesan yang tampak pada rangkaian pertemuan bersama mereka dari pagi hingga kesudahannya. Ada memoria yang memulangkanku kepada ibu yang telah membesarkanku. Itu semua karena sosok para guru di panti calon Imam Seminari Pius XII Kisol. Dan saat kedalaman refleksiku mulai mengurai, aku lantas akan bercerita.
Pertama soal pengabdian. Soal pengabdian, aku lantas mengingat saat di mana raga yang kokoh mulai menerjang jalanan panjang ketika hujan mulai turun. Berbekal sebuah payung sederhana, sepasang kaki pun mulai melangkah ke tempat mengajar. Meski tubuh kian dingin membasah, senyuman khas dari wajah mereka tak menampakkan kesan capai.
Tapi sayang, rona tubuh tak dapat membohongi ada keletihan ketika sang hari mulai berselingkuh bersama hujan pun angin. Satu hal yang pasti, pukul 07.15 pelajaran pertama dimulai. Soal kedispilinan inilah buah keteladanan yang bisa diurai dari kata pengabdian.
Sebagai peserta didik, inilah pelajaran informal yang tak diundangkan dalam aturan formal. Kedua soal cara mengajar. Soal cara mengajar, saya harus mengucap syukur kepada Tuhan karena diberi kesempatan untuk menjadi murid dari para guru yang menghayati arti dari sebuah proses.
Penghayatan proses inilah yang kemudian hadir dalam cara mengajar para guru. Sederhananya, murid meminta ikan guru lantas memberi kail. Mengapa bukan ikan? Jawabannya sederhana carilah maka kamu akan mendapat. Hiduplah dalam proses maka kamu akan mendapatkan segalanya.
Dalam setiap kesempatan mengajar, setiap guru memberikan kesempatan kepada saya dan teman-teman lainnya untuk mampu berbicara mengemukakan ide dan gagasan. Entah salah atau benar, pastinya kami diberi ruang untuk mengembangkan ide dan gagasannya sendiri.
Dalam pelajaran berhitung, kami diberi ruang untuk mengerjakan setiap soal dengan cara kami sendiri. Perkata salah atau benar pastinya adalah urusan kedua. Sehingga tak pelak dalam setiap ulangan atau ujian, bentuk soal yang keluar selalu meminta kami untuk menjelaskan bukan pilihan ganda. Setiap jawaban harus dipertanggungjawaban.
Nilai proses menjadi satu jualan yang begitu berharga. Ketiga soal relasi antara murid dan guru. Salah satu hal yang akan patut dikenang sepanjang masa. Sebuah relasi sosial yang mengedepankan unsur kekeluargaan antara guru dan murid.
Tak ada jarak yang memisahkan kami. Tugas sebagai guru mungkin menjadi pembeda. Kalau mau dikata, guru menjadi orang tua bagi kami. Di sela-sela tugasnya mengajar, selalu ada kata-kata motivasi yang memberi semangat untuk meraih dunia. Motivasi inilah yang kemudian membuat kami tak pernah merasa terbebani mengikuti setiap mata pelajaran. Sang guru, itulah sebuah nama yang telah menikah bersama nama lain yakni sang bijaksana.
Ketiga hal tadi adalah sebuah pengantar sederhana untuk menceritakan siapa dan bagaimana saya dan teman-teman lainnya mengikuti dinamika bersama pahlawan tanpa tanda jasa. Mengurai kembali bait-bait kisah yang pernah terjadi malah menambah rasa ingin pulang. Biarlah apa yang telah terjadi menjadi kisah abadi yang akan selalu terkenang.
Saya bersama jutaan alumni dari lembaga Seminari Pius XII Kisol tentu akan sepakat untuk mengatakan guruku adalah sebuah pengabdian diujung tapak. Yang selalu berkata pada tindaknya. Yang selalu berkorban pada dinamika kehidupannya. Yang selalu mengabdi demi masa depan anak-anak muridnya.
Sebuah pekerjaan luhur untuk mencetak generasi muda demi bangsa dan negara. Guruku adalah sebuah nilai. Dan nilai tersebut yang kemudian menghasilkan banyak lulusan. Jutaan lulusan pun sekarang sudah tersebar ke saentero dunia baik sebagai Rohaniwan Katolik maupun awam.
Dan penulis yakin, saat kata Kisol didengungkan kepada setiap alumni, memori pertama yang akan muncul adalah sebuah gubuk sederhana di bawah puncak Poco Ndeki dan Poco Lando bernama Seminari Pius XII Kisol. Dan perjalanan memori kemudian menghadirkan sosok para guru yang telah membesarkan mereka. Dan sebagai bagian dari sejarah yang pernah tercipta, izinkan aku mengucap selamat hari Guru kepada mereka yang telah menjadikanku ada.
Pengabdianmu adalah sebuah cerita. Dan cerita itu adalah sebuah sejarah. Dan cerita itu bernama guru, sebuah pengabdian pada di ujung tapak.
Petrus K.A Lahur
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan
Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD"
Yogyakarta

Tidak ada komentar: