GURU macam apakah yang bermanfaat itu? Banyak sekolah diisi dengan guru berindeks prestasi tinggi. Namun, tak tampak gereget dan prestasi di sekolah itu. Apa yang salah dengan guru semacam itu? Apa yang bisa dibuat sekolah agar para guru bermanfaat?
Sekolah adalah lembaga pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses. Dinamis dan proaktif adalah prinsip pendidikan. Kemandekan penghambat utama pendidikan.
Prinsip dinamis dan proaktif tak hanya diterjemahkan dalam sarana. Yang lebih utama diterjemahkan kepada guru. Guru tak boleh mandek. Guru yang mandek tidak bermanfaat bagi pendidikan.
Guru mandek ketika mereka tak lagi belajar. Nihilnya karakter pembelajar membuat guru mandek. Guru yang tak lagi belajar bukan berarti inteligensinya rendah. Begitu banyak guru berinteligensi tinggi justru mandek. Mereka sudah merasa cukup, beberapa bahkan meremehkan materi pengayaan diri.
Guru berinteligensi tinggi yang nihil karakter pembelajar serupa orang yang merasa kaya dan tak butuh bantuan orang lain. Sesungguhnya orang semacam ini adalah orang yang miskin sejati.
Sejalan pemahaman ini, setinggi apa pun inteligensi guru-guru kita (yang ditandai IP tinggi) ketika mereka tak mau terus belajar, sesungguhnya kita hanya menumpuk guru-guru yang ”bodoh” tak bermanfaat. Dinamika pembelajaran pun akan mandek.
Itulah yang penulis amati di sejumlah sekolah dan yayasan besar yang memiliki sejarah hebat. Di sekolah dan yayasan semacam itu perlahan tapi pasti prestasinya merosot. Beberapa mulai ditinggalkan masyarakat.
Dalam pengenalan penulis, faktanya memang para guru dan jajaran pengurus sekolah hingga pengurus yayasan memang miskin karakter pembelajar. Setiap kali penulis menanyakan apakah sudah membaca artikel pendidikan di koran, jawabnya selalu belum. Ketika ditanyai buku apa yang sedang digulati, jawabnya tidak ada karena tak sempat lagi.
Padahal, dalam ungkapan bahasa Jawa, ”Guru: digugu dan ditiru” yang bermakna guru itu menjadi panutan dan teladan, sesungguhnya tersirat hakikat pendidikan yang mendasar.
Pendidikan tak hanya mengalihkan sejumlah informasi. Daya mendidik sesungguhnya memancar dan meresonansi dari bagaimana karakter dan cara hidup guru.
Barangkali kita perlu merenungkan gagasan Nikola Tesla (1856-1943) yang menyatakan, ”If you want to find the secrets of the universe, think in terms of energy, frequency and vibration.” Sebab, “Our entire biological system, the brain and the earth itself, work on the same frequencies.”
Tema energi, frekuensi, dan vibrasi dalam ungkapan familiar kita merujuk pada aura. Ketika para guru hidup dengan karakter pembelajar, aura yang memancar adalah aura pembelajar. Sebaliknya ketika guru merasa sudah cukup ilmu dan tak merasa perlu belajar, aura yang dipancarkan adalah aura mandek belajar.
Mengelola pembelajaran
Kini sadarlah kita mengapa setelah negara melipatgandakan gaji guru, prestasi pendidikan kita tak serta-merta meningkat pesat.
Di banyak sekolah, perubahan paling kentara setelah era peningkatan gaji dan ragam tunjangan adalah bertambah panjangnya deretan mobil guru yang diparkir di sekolah. Gaji yang layak memang perlu. Namun, ketika guru tak dibantu untuk merawat karakter pembelajarnya, panambahan gaji hanyalah pemborosan percuma.
Dalam hal ini kita jadi ingat gagasan Stephen R Covey tentang ”asahlah gergaji” (mengasah kemampuan diri). Guru yang efektif (baca: bermanfaat) adalah guru yang terus belajar. Terus belajar tidak hanya diintensikan untuk menambah pengetahuan dan kemampuan, tetapi juga untuk mendarahdagingkan karakter belajar. Targetnya ia merasa ada yang tidak nyaman, bahkan merasa salah jika tidak terjadi suasana-atmosfer-aura belajar.
Guru yang terus belajar itu terus berproses. Proses itu bagai reaksi kimia yang memancarkan energi karena terjadi reaksi atom.
Karena itu, sementara guru terus berkembang menjadi manusia yang sungguh-sungguh dewasa dan kaya secara rohani dengan terus belajar, ia akan semakin berarti dan bermanfaat bagi dunia pendidikan.
Maka, dalam mengelola pendidikan negara jangan terus terlena oleh pemutakhiran sarana serta peningkatan gaji dan tunjangan. Apalagi jika prinsip keadilan diabaikan. Atmosfer studi dalam kehidupan para pendidik perlu diciptakan. Studi kelompok dan diskusi ilmiah, sejak di tingkat sekolah, perlu disemarakkan.
Ketika para guru tidak lagi menjadi pembelajar, bangunan pendidikan kita bakal ambruk.
Sidharta Susila ; Pendidik di Muntilan, Magelang
KOMPAS, 09 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar