PEMIKIRAN Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang tak ingin menyakiti siapa pun, dan menghindari kesan ganti menteri ganti kurikulum, tecermin kuat dalam keputusan tentang Kurikulum 2013. Sebuah keputusan bertafsir ganda. Sebagian masyarakat menganggap Kurikulum 2013 dihentikan dan sebagian menyatakan diteruskan. Wakil Presiden Jusuf Kalla turut membantah Kurikulum 2013 dihentikan. ”Tak dicabut dan dihentikan. Siapa bilang dicabut,” kata Jusuf Kalla.
Keputusan itu tertuang dalam Peraturan Mendikbud Nomor 160 Tahun 2014 yang menyatakan pemberlakuan Kurikulum 2013 pada satuan pendidikan yang telah melaksanakannya selama tiga semester (6.221 sekolah?). Sekolah ini dianggap dan dijadikan rintisan penerapan Kurikulum 2013.
Sementara satuan pendidikan lain (201.779 sekolah?) yang baru menerapkannya satu semester alias sejak semester pertama 2014/2015 kembali ke Kurikulum 2006 mulai semester kedua 2014/2015. Sekolah-sekolah ini, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan pengawasnya akan mendapatkan pelatihan persiapan pelaksanaan Kurikulum 2013. Penerapan Kurikulum 2006 ini berlangsung paling lama empat tahun atau sampai 2019/2020.
Kebijakan ini sesuatu yang sulit dan tak langsung menyelesaikan problem tersebab Kurikulum 2013 yang tergesa-gesa, bahkan menjadi komplikasi bagi pembelajaran mendatang. Namun, putusan ini mesti diambil agar beragam kerancuan substansi dan kesukaran teknis implementasi Kurikulum 2013 tak berkepanjangan, penyempurnaan mendasar dapat dilakukan. Kita tak perlu berlama-lama menunggu fakta empiris yang menunjukkan, sesuatu itu tak benar atau tidak tepat jika secara logis (analitis) saja rancu.
Implikasi keputusan ini memunculkan dualisme standar operasi pembelajaran: Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006, yang jika berlangsung lama akan berimplikasi kesenjangan kualitatif. Bahkan mungkin berdampak diskriminatif karena sekolah pelaksana Kurikulum 2013 kebanyakan eks rintisan sekolah bertaraf internasional atau sekolah unggulan lain. Memang setiap pergantian kurikulum akan menghadapi masa transisi yang bercorak dualisme, tetapi biasanya perubahan itu seperti gradasi warna, tidak diametral seperti pemberlakuan Kurikulum 2013 bersama Kurikulum 2006.
Melangkah maju
Dalam suratnya (5/12/2014) untuk kepala sekolah, Mendikbud menyatakan, keputusannya meneruskan pelaksanaan Kurikulum 2013 dan kembali pada Kurikulum 2006 merupakan langkah tepat bagi pendidikan nasional. Ia menolak jika kebijakannya disebut—oleh Mohammad Nuh—sebagai kemunduran.
Anies menjelaskan bahwa Kurikulum 2013 substansinya tidak jelas dan tidak diimbangi kesiapan pelaksanaannya. Kurikulum 2013 tidak terdokumentasi dengan baik sehingga tidak didapatkan bagaimana kajian tentang Kurikulum 2006 yang melatarbelakangi perlunya Kurikulum 2013.
Lebih lanjut ditegaskannya bahwa di antara masalah substansial Kurikulum 2013 adalah ketidakselarasan antara ide dan desain kurikulum dan ketidakselarasan gagasan dengan isi buku teks. Adapun masalah teknis penerapan di antaranya berbedanya kesiapan sekolah dan guru, tak merata dan tuntasnya pelatihan guru dan kepala sekolah, serta penyediaan buku yang belum tertangani secara baik.
Pemikiran Mendikbud sejalan dengan dan didukung Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang menyatakan, problem-problem implementasi Kurikulum 2013 merupakan lanjutan dari inkoherensi beragam unsur fundamentalnya. Masalah mendasar itu meliputi asumsi, argumentasi, substansi, dan implementasinya yang tak berjalin koheren sehingga menghasilkan sebuah konsep operasional yang sukar dipahami, apalagi diterapkan.
Kesulitan memahami konsep dan teknis implementatif, seperti pendekatan tematik integratif, kesukaran melakukan evaluasi otentik, tidak semata disebabkan kompetensi pedagogi dan profesional guru yang memang masih rendah, tetapi konsep dan skenario Kurikulum 2013 tidak dibuat mudah berbasis pada realitas pendidikan kita
Doni Koesoema (Kompas, 8/12/2014) merangkum sepuluh hal fundamental yang harus jadi fokus dalam revisi Kurikulum 2013 di antaranya konsep kompetensi inti; pengarusutamaan spiritualisme; pendidikan agama, dan budi pekerti; pendekatan tematik integratif; model evaluasi; serta model pelatihan guru.
Meskipun menghadapi masalah tidak sederhana, Mendikbud tidak bermaksud ”menghapus” Kurikulum 2013. Mendikbud melakukan perbaikan mendasar agar dapat dijalankan dengan baik oleh guru-guru di dalam kelas. Saat telah diperbaiki dan dimatangkan, Kurikulum 2013 baru diterapkan dan disebarkan kembali.
Kebijakan Mendikbud merupakan langkah maju karena mengakui adanya kebaikan dalam Kurikulum 2013, tetapi menyadari banyak kekurangannya. Tidak memberangus, tetapi meneruskan dan menahan sebagian untuk perbaikan.
Menyikapi keputusan Mendikbud
Meski merepotkan, menyikapi keputusan Mendikbud terkait dengan perbaikan Kurikulum 2013 tak perlu reaktif emosional karena perubahan kurikulum tak membuat murid lantas jadi bodoh.
Namun, yang paling merisaukan dari keputusan ini, pertama, terjadinya dualisme yang akan berlangsung lama. Jika perbaikan Kurikulum 2013 secara mendasar, perlu waktu paling tidak tiga hingga lima tahun karena perlu dilakukan perunutan kembali beragam fondasi normatif, situasi obyektif, dan perspektif kebangsaan yang diikuti uji coba. Kecermatan sangat penting agar ”Kurikulum 2013 Amendemen” nantinya berdurasi panjang.
Dualisme tidak saja terjadi antarsekolah, tetapi juga dalam satu sekolah. Itu karena pemberlakuan Kurikulum 2013 tak serentak di semua kelas dalam satu sekolah. Keadaan ini selain merepotkan guru dan sekolah, juga akan berdampak pada kesenjangan kualitatif, bahkan dapat menjurus pada diskriminasi.
Kedua, pemberlakuan keputusan ini di tengah tahun pelajaran 2014/2015 terasa kesusu, bak mengulangi kesalahan Kurikulum 2013 sehingga persiapan ke Kurikulum 2006 juga tak matang. Tadinya dikira urgen karena terkait kontrak dan pencetakan buku semester genap 2014/2015 yang berpotensi pemborosan. Namun, sehubungan kontrak buku tak dapat dibatalkan—bukunya dijadikan referensi perpustakaan—pertimbangan yang memaksa kebijakan ini harus berlaku Januari 2015.
Meneruskan Kurikulum 2013 yang sudah diketahui banyak kelemahan, bahkan mendasar; kemudian memberlakukan Kurikulum 2006 yang juga ada kekurangan tanpa persiapan serta melatih kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan pengawasnya untuk persiapan pelaksanaan Kurikulum 2013 yang belum diketahui seperti apa jadinya merupakan ”kearifan” yang sukar dipahami apabila ”demi kepentingan anak bangsa kita.”
Untuk menghindari dualisme berkepanjangan dan beragam kerumitan, barangkali perlu dipertimbangkan, pertama, pemerintah membuat ”Pedoman Pembelajaran Sementara Masa Transisi” (kurikulum darurat, sesuai ide Mendikbud tentang ”Darurat Pendidikan”) atau apalah namanya. Dengan demikian, tidak perlu meneruskan Kurikulum 2013 dan menerapkan Kurikulum 2006. Kedua, pemberlakuannya dimulai akhir semester genap tahun pelajaran 2014/2015 sehingga pada semester ganjil tahun pelajaran 2015/2016 semua sekolah menggunakan dasar operasi pembelajaran yang sama.
Ketiga, ”Pedoman Pembelajaran Sementara Masa Transisi/Revisi” merupakan kompilasi dari Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006 yang sederhana dan praktis. Bagaimanapun, makna kurikulum bagi guru hanyalah panduan tentang apa mata pelajaran dan berapa lama diajarkan. Sederhana bukan?!
Mohammad Abduhzen ; Direktur Institute for Education Reform
Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
KOMPAS, 05 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar