Jumat, 23 Januari 2015

Berpikir logis: Guru honorer



Pagi-pagi sekali saya berangkat menuju kampus untuk mengurus berkas-berkas ijazah yan diterbitkan setelah wisuda nanti. Sepanjang perjalanan saya terus berpikir dan berpikir, jadi apa saya setelah lulus nanti? Apakah menjadi buruh orang-orang kapitalis yang membantu mereka mengeruk uang yang lebih banyak? Mengurus toko nebeng orang tua tapi berhenti berwarna? Atau mungkin menjadi guru honorer bekerja minimal 24 jam per minggu yang gajinya hanya separuh dari UMR?

Iya. Bagi mereka yang belum tahu profesi guru yang non-PNS itu miris. Sekali. Gak bisa buat nyambung idup. Bahkan jika dibandingkan dengan pegawai supermarket waralaba masih 2x lipat dari guru swasta di desa saya. Uang segitu masih bisa termasuk "maklum", malah cerita dari seorang teman ada yang dibayar 500 ribu per dua bulan, ada juga yang hanya 100 ribu per bulan! Kalian bandingkan dengan orang jualan cilok juga masih jauh dari pendapatan mereka!

Salah satu hal yang membuat saya benar-benar muak yaitu mereka yang mengkritik tanpa tahu kondisi di lapangan sendiri seperti kebanyakan mereka adalah orang-orang cerdas, stand up comedian, menteri, dan beberapa politikus yang tak pernah nyemplung ke dunia pendidikan. Beberapa materi mereka utarakan seperti sistem pendidikan yang salah, kurikulum yang tak lagi relevan, guru yang kualitasnya kurang bagus. Jika kita tarik lagi, orang-orang middle class cerdas diatas semuanya pintar, saya tekankan lagi dengan huruf kapital, PINTAR. 

Indonesia memiliki banyak orang ber IQ tinggi (banyak juga yang gak mau tinggal di Indonesia karena tidak dihargai) namun hampir dari semua orang-orang pintar tak ada yang mau campur tangan di ranah pendidikan. Lalu apa ekspektasi kalian terhadap guru berpenghasilan rendah? Diberi pembekalan oleh dosen universitas negeri yang hanya sekali per dua bulan, dan tak adafeedback cara mengajar yang tepat dan benar. 

Satu-satunya program kependidikan oleh guru yaitu saat proses sertifikasi, bisa melewati PLPG, yaitu mengikuti program SM3T 1 tahun yang dilaksanakan pemerintah (yang akhir-akhir ini malah diadakan ujian masuk PLPG setelah pengabdian sengsara 1 tahun tanpa pulang, tanpa sinyal telepon seluler, akses jalan yang sulit, dan rentetan ancaman bagi mereka yang di pedalaman), 

ATAU para guru harus menunggu 10-20 tahun pengabdian untuk menggapai posisi ini, kalian bisa bayangkan betapa "rotten teaching method" yang mereka lalui selama mengajar. Kritik-kritik diatas seperti kritik semu oleh saya dan juga anda pada budaya ketimuran Indonesia yang semakin luntur, sedangkan kenyataannya tak ada yang mau melestarikan dan malah tergerus budaya konsumtif barat demi kegaulan semata.

Saya masih menunggu gebrakan pemerintah dengan program PLPG. Ekspektasi saya benar-benar besar pada program selama satu tahun yang mencatut seperti program NBCT ini. Namun, jangan bandingkan PLPG dan sistem sertifikasi di Indonesia dengan guru Amerika yang dilatih oleh NBPTS (National Board for Professional Teaching Standard) yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1980an.

 Guru NBCT (National Board Certified Teacher yang notabene lulusan dari sertifikasi NBTPS) disekolahkan dengan subsidi dobel oleh pemerintah Amerika dan juga negara bagian yang mensubsidi $2300 bagi tiap kandidat seperti North dan South Carolina, serta Florida. Setelah mereka lulus dari sekolah sertifikasi tersebut, guru NBCT diberi wewenang khusus dalam tiap sekolah mereka untuk mengevaluasi guru-guru lain, merekrut guru-guru baru, mengembangkan kurikulum dan beberapa potensi tambahan lainnya.

 Memang pada awalnya hal ini menjadi kecemburuan bagi guru lainnya, tapi inilah salah satu cara untuk menyadarkan guru agar mereka merefleksi cara mengajar agar tidak membosankan dengan metode ceramah dan metode yang itu-itu melulu yang membuat siswa merasa bosan. Dengan ini saya menyadari jika perubahan yang lebih baik itu memang awalnya ditentang HARUS DICACI semua pihak sebelum hal ini nantinya diapresiasi dan dielu-elukan nantinya. Dan bukan dengan cara mengikuti karantina sertifikasi guru selama seminggu lalu dilepaskan begitu saja. 

Saya jadi ingat cerita guru MTs saya yang 5 tahun mengajar di Malaysia. Seperti yang kalian tahu, negara tetangga yang kemerdekaannya bisa dikatakan "telat" namun hal pertama yang diurusi yaitu segi pendidikannya. Mengimpor guru-guru dari negara tetangga dan membenahi fasilitas kependidikan secara beringas dan cepat. 

Cerita kedua dari Jepang, negara kepulauan yang menguasai dunia dari invasi perang di masa lalu dan menjajah teknologi dunia saat ini. Disaat Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945 di luluh lantakkan menjadi cuilan debu, kalian tahu apa yang dikumpulkan secara darurat saat itu? Guru, seberapa banyak guru yang masih hidup untuk membangkitkan semangat juang negeri matahari itu.

Maka dari itu, segi pendidikan tak bisa hanya dengan mengkambinghitamkan kualitas guru. Pengaruh lingkungan dan peranan orang tua beretika yang juga harus ditingkatkan. Mengajar itu tidak semudah yang anda bayangkan. Mungkin membutuhkan tambahan pengajaran intensif 2 bulan penuh tentang kognitif siswa jika hanya untuk meloloskan mereka dari UN.

 Namun membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mereka yang dari awal etika dan moralnya sudah rusak. Esensi pendidikan bukan melulu tentang memperoleh nilai bagus, poin utamanya ialah membangun individu yang giat, santun juga sekaligus berjiwa besar.

sumber : http://uglyboydiary.blogspot.com/

Tidak ada komentar: