Pengabdian Tak Bertepi
Cerita ini berkisah tentang sebuah pengabdian. Pengabdian sejati akan sebuah keyakinan pada masa depan yang lebih baik. Kisah ini tidak terjadi di kota besar yang dekat dengan kemajuan, melainkan di sebuah sekolah sederhana di desa kecil di Pulau Bacan. Hanya ratusan orang yang tinggal di desa itu. Namun, cahaya pengabdian terpancar jelas dari institusi pendidikan satu-satunya di sana, sebuah sekolah dasar.
Cerita ini berkisah tentang bagaimana seorang guru benar-benar menjadi pelita bagi anak didiknya. Seorang guru yang bisa menjadi contoh dan teladan serta pantas untuk digugu dan ditiru.
—
Sesampainya di dermaga kecil Desa Wayatim, saya tertegun betapa sepinya desa ini. Tidak terlihat satu orang pun yang lalu lalang. Tercatat memang hanya tiga ratusan orang penduduk desa Wayatim di pesisir Pulau Bacan, Halmahera Selatan ini. Tak lama, muncul satu orang yang penasaran dengan kedatangan kami dan kemudian menunggu di ujung dermaga. Dari sana, tinggal menunggu waktu untuk bertemu seorang pejuang pendidikan hebat di sini.
Seorang guru mulia itu bernama Asri Ishak. Pertama kali bertemu Pak Asri atau biasa disapa Acil, tak ada kesan berlebih sama sekali. Beliau memakai kaos dan celana pendek. Penampilannya sangat bisa menipu. Dari perawakannya, saya kira Acil hanyalah seorang pemuda setempat yang membantu mengajarkan anak-anak.
Ternyata, Acil sedang melatih anak-anak untuk upacara bendera hari Senin keesokan hari. Dengan mempraktikkan gerak jalan sebagai pengibar bendera, Acil mengajarkan anak-anaknya untuk berjalan tegap seperti dirinya.
Acil boleh dibilang masih termasuk guru muda. Dari penampilannya, umur Acil mungkin baru mendekati 30. Beliau baru menikah. Meskipun begitu, pasangan baru ini pun harus menghadapi tantangan terpisah samudra karena tuntutan tugas. Istrinya mengajar SMP di Halmahera Tengah sedang Acil, dengan segala kerendahan hati, tidak mengeluh mengajarkan sekitar 85 orang anak SD di desa kecil ini.
Beliau hanya satu-satunya guru yang mengajar di Desa Wayatim. Sebenarnya, berdua dengan kepala sekolah. Namun, kepala sekolah sering kali keluar desa karena harus menyelesaikan kuliah sarjana-nya di Ternate. Oleh karena itu, Acil-lah yang menjadi tumpuan anak-anak untuk bisa belajar di sekolah. Acil sebenarnya juga sedang menyelesaikan kuliah. Akan tetapi, dia rela menundanya sampai kepala sekolah terlebih dahulu selesai dan kembali bisa mengajar.
Acil bukanlah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang rutin mendapatkan gaji lebih dari 1,5 juta per bulan plus bermacam-macam tunjangan. Status beliau hanya guru Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang juga tidak digaji Pemda seperti yang seharusnya. Gaji beliau didapatkan dari sumbangan masyarakat desa. Masyarakat sepakat untuk menggaji Acil 650 ribu per bulan agar beliau tetap mengajar di desa mereka.
Dulu, Acil dibantu oleh dua orang guru bantu. Akan tetapi, mereka tidak betah dengan sepi dan terlalu terpencilnya desa ini sehingga memutuskan pergi dan mengajar di tempat yang lebih nyaman. Meski demikian, Acil tak pernah kecil hati. Dengan sumber daya yang sangat terbatas, beliau dengan senang hati mengajar enam kelas sekaligus setiap hari.
—
Kekaguman saya akan Acil tak berhenti sampai di sana. Beliau mulai menunjukkan satu per satu kelas yang diajarnya. Kami masuk ke bangunan yang sudah agak tua. Gedung sekolah ini dibangun dari swadaya masyarakat. Karena sudah dibangun sejak lama, catnya pun sudah mulai usang dan temboknya terlihat agak rapuh.
Kelas 1 dan kelas 2 digabung karena keterbatasan ruang. Di dalam ruangan itu, Acil membuat gambar-gambar dengan huruf alfabet kemudian ditempel di satu sisi ruang kelas. “Saya buat sendiri gambarnya. Biar gambarnya kurang bagus, yang penting anak-anak bisa tahu huruf dan bendanya,” ujar Acil.
Di kelas III, ada ‘Sudut Baca’ di pojok ruangan. Buku-buku disusun pada sebuah meja kecil. Meskipun buku-buku sudah tua, bahkan beberapa ada yang amat tua, anak-anak tetap bisa menambah pengetahuannya dengan membaca. “Jujur, untuk kelas 1, 2, dan 3, saya masih fokus agar mereka bisa membaca, menulis, dan berhitung dengan benar. Saya belum masuk ke kurikulum. Di kelas 4, baru saya mulai sesuai panduan silabus,” Acil menambahkan.
Saya mulai sering merinding merasakan apa yang sudah Acil lakukan.
Saya mulai sering merinding merasakan apa yang sudah Acil lakukan.
Apa yang ada di kelas IV membuat saya sangat tertegun. Beliau membuat ‘Pojok Kreativitas Anak’ yang berisi dokumentasi kegiatan siswa. Acil menambahkan muatan lokal ‘Laut dan Terumbu Karang’ di SD ini. Acil berujar, “Ini sesuai dengan kondisi desa. Desa dekat dengan pantai yang punya terumbu karang. Anak-anak harus tahu bagaimana melestarikan terumbu karang.” Tak berhenti saya melihat dokumentasi foto itu satu per satu. Bagaimana anak-anak itu dengan ceria menanam, mempelajari, dan menjaga terumbu karang di desa mereka.
Dari tiga ruangan yang saya lihat, tidak ada satu sisi kelas pun yang kosong tanpa ornamen. Ada pantun, puisi, foto-foto pahlawan, karya-karya anak, gambar-gambar, dan apa pun yang bisa menambah atmosfer pembelajaran.
Belum lagi saya berhenti kagum, Acil kembali menunjukkan karyanya di kelas V dan VI. Beliau membawa saya ke gedung baru hasil bantuan pemerintah. Gedung kecil ini hanya berisi dua kelas. Kondisinya jauh lebih baik dari gedung sebelumnya karena sudah memakai beton dan lantai keramik sehingga terlihat kokoh dan bersih.
Di dalam kelas V, beliau membuat dua puluh poin peraturan kelas. Salah satunya tertulis, “Dilarang memakai bahasa daerah di kelas.” Jika ada anak yang melanggar, maka anak itu harus mengerjakan dua puluh soal yang dia pilih sendiri mata pelajarannya. Hal yang luar biasa mengingat kebanyakan guru di pedalaman Halmahera, lebih senang memukul anak jika mereka melanggar peraturan.
Ada juga jam mandiri. Anak-anak dilatih untuk inisiatif belajar sendiri jika Acil sedang mengajar kelas yang lain. Anak-anak juga dilatih untuk jujur ketika masuk kelas dan memutar sendiri jam masuknya pada minatur jam yang dibuat dari CD bekas. Ada lagi kartu absensi kelas untuk kehadiran setiap hari di kelas. Jika masuk ke sekolah, dia memutar kartu itu menjadi ‘Hadir’. Jika tidak, dibiarkan tetap ‘Alpa’.
Belum lagi ada portofolio anak-anak yang dipajang di sudut kelas. Dengan map plastik, setiap anak memasukkan karya-karyanya ke map itu. Gambar, puisi, kerajinan tangan, apa saja. Dokumentasi praktikum di luar kelas juga diletakkan bersisian dengan portofolio. Ada foto praktikum cahaya yang kembali membuat saya tak bisa berkata-kata.
Puas berkeliling sekolah, kami beranjak keluar kelas. Terlihat anak-anak duduk di bawah pohon dengan setia menunggu Acil. Saya mengajak Acil untuk minum teh bersama sambil mengobrol lebih lanjut di rumah kepala desa. Jawaban beliau tidak saya duga. “Maaf Pak, saya hanya bisa temani sampai sini saja. Saya harus melatih anak-anak upacara lagi.”
—
Asri Ishak adalah potret guru teladan di sebuah negara yang masih kekurangan figur untuk diteladani. Anak-anak Desa Wayatim sangat beruntung memiliki contoh teladan itu pada guru mereka. Seorang yang amat mencintai pekerjaan dan anak-anak didiknya. Berdedikasi luar biasa dengan kondisi yang amat sulit dan mau mengabdikan diri untuk mimpi murid-muridnya. Tidak banyak, sama sekali tidak banyak guru seperti beliau ini.
Mengajar enam kelas sendirian dan menjalankan pembelajaran kreatif di setiap kelasnya merupakan sebuah pekerjaan teramat berat. Akan tetapi dengan ketulusan hati, beribu-ribu pekerjaan pun tak akan pernah menjadi beban. Baginya mengajar bukanlah semata-mata pekerjaan, Acil butuh untuk terus bertemu dan mengajar murid-muridnya.
Dari Asri Ishak, kita belajar tentang arti ketulusan yang sebenarnya. Kita jadi semakin sadar bahwa di luar sana, masih banyak harapan untuk digenggam. Obor harapan itu dipegang erat-erat oleh orang-orang seperti Asri Ishak. Pada beliau, kita memandang sosok dengan pengabdian tak bertepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar