Kegagalan Kurikulum 2013 (K-13) yang akhirnya diberhentikan Mendikbud Anies, tidak menyurutkan Kemendikbud untuk menyusun langkah strategis mengatasi kegagalan teknis K-13. Masalah utama implementasi K-13 sebenarnya bukan pada tatatan teknis semata, melainkan kembali pada masalah urgensi penggantian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi K-13.
Akibat salah diagnosis, Mendikbud membuat rencana mengganti buku ajar dalam format Buku Sekolah Elektronik (BSE) menjadi BSE dalam format E-Sabak. Seolah Kemendikbud menempatkan masalah distribusi buku sebagai sumber masalah karut marut implementasi K-13.
Kegagalan Kedua
Mengganti kebiasaan menggunakan buku fisik dengan buku elektronik yang tidak bisa dicetak, memerlukan waktu sangat panjang. Lebih dari itu, rencana ini kemudian menjadi proyek besar melalui pengadaan tablet ke seluruh sekolah yang akan digunakan siswa untuk mengakses E-Sabak.
Kualitas pendidikan di Tanah Air sebenarnya masih berkutat pada dua masalah pokok: kualitas sarana dan prasarana pendidikan yang tidak memenuhi standar, serta masalah kualitas guru yang masih rendah. Dua hal inilah yang seharusnya menjadi fokus pemerintahan baru.
Mengganti BSE dengan E-Sabak, meskipun praktis secara teknis, akan menyulitkan siswa. Pertama, ini memerlukan pelatihan guru untuk dapat mengoperasikan E-Sabak melalui tablet. Ini memerlukan waktu lama hingga semua guru mendapatkan pelatihan.
Akan muncul juga masalah teknis lain, yaitu distribusi tablet ke sekolah-sekolah. Akankah Kemendikbud mengalami kegagalan kedua terkait masalah yang sama: distribusi materi ajar. Selain itu, tablet rawan rusak selama distribusi.
Kemendikbud mengklaim strategi ini mampu mengatasi masalah keterlambatan distribusi buku ajar yang telah dialami sebelumnya. Padahal secara teknis, mengirimkan buku fisik lebih mudah dan murah daripada mengirimkan tablet.
Kedua, selama implementasi di sekolah, penggunaan tablet rawan kerusakan. Tablet memiliki masa pakai lebih pendek daripada BSE dan buku fisik. Apalagi, ketika tablet dioperasikan setiap hari oleh siswa berbeda-beda. Bila ini kenyataannya, apakah Kemendikbud akan selalu mengalokasikan anggaran untuk pembaruan tablet ke setiap sekolah? Biaya perbaikan tablet akan dibebankan kepada siapa? Berapa biaya yang akan dialokasikan?
Ketiga, untuk alasan praktis, tablet hanya dipinjamkan kepada siswa. Ada dua pilihan, tablet dapat dibawa pulang, atau tablet hanya digunakan di dalam kelas. Pilihan pertama akan berisiko tablet cepat rusak, dan tentu saja, siapa yang akan mengganti rugi atas kerusakan tersebut? Kemungkinan lain adalah tablet dapat disalahgunakan siswa.
Pilihan kedua berisiko siswa tidak dapat belajar di rumah karena bahan ajar “harus ditinggal” di sekolah. Waktu belajar di sekolah sangat terbatas. Untuk itu, penggunaan BSE fisik tetap lebih efektif dan efisien.
Keempat, dalam jangka menengah, penggunaan E-Sabak dapat menurunkan kreativitas guru dalam menulis bahan ajar. Ada banyak hal yang dapat dilakukan hanya dengan menggunakan tablet. Ini dapat memanjakan guru. Dalam jangka panjang, potensi dan hasil karya para guru dan penulis buku ajar akan termarginalkan, sementara industri penerbitan buku juga menjadi sepi. Dari sisi siswa, budaya membaca buku lambat laun akan luntur.
Kelima, tablet adalah perangkat multifungsi yang mampu memenuhi segala kebutuhan penggunanya untuk berbagai tujuan. Melalui internet, difusi budaya akan terjadi sangat cepat. Dalam hal ini, sejauh mana Kemendikbud mampu mengantisipasi kemungkinan buruk akibat penyalahgunaan tablet oleh siswa maupun guru?
Terakhir, E-Sabak memerlukan waktu persiapan sangat panjang. Secara teknis, ini terkait fasilitas pendukung: jaringan internet dan listrik. Rata-rata baterai tablet hanya mampu bertahan satu hari. Artinya, setiap hari baterai tablet harus diisi ulang. Bagaimana dengan sekolah-sekolah yang belum tersentuh jaringan listrik?
Prioritas
Dalam tempo setahun pertama, pemerintah sebaiknya menyusun skala prioritas kebijakan. Langkah pertama adalah mendikbud mengevaluasi kinerja mendikbud sebelumnya (M Nuh). Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui faktor pemicu kegagalan beberapa program yang telah dicanangkan sebelumnya, termasuk kegagalan K-13.
Proses evaluasi memerlukan waktu panjang, sehingga solusi yang diambil bukan merupakan solusi sesaat yang mengejar tujuan jangka pendek semata, serta cenderung project oriented, yaitu kebijakan yang didasarkan pada kepentingan proyek para pemangku kebijakan. Kebijakan yang diambil seharusnya memperhatikan aspek keberlanjutan. Setelah sekolah memiliki satu tablet untuk satu siswa, lalu kemudian apa yang akan dilakukan? Akankah kebijakan ini akan selesai ketika proyek pengadaan tablet selesai? Lalu beberapa tahun kemudian, setiap sekolah akan penuh sampah-sampah tablet yang tidak terpakai atau rusak.
Pengadaan tablet, menurut penulis hanya mengejar tujuan jangka pendek. Mewujudkan masyarakat melek teknologi harus dilakukan secara bertahap. Pemberian tablet secara serentak dan sesaat akan menimbulkan culture shockatau guncangan budaya. Apalagi, Kemendikbud memprioritaskan sekolah di daerah tertinggal menjadi target pertama distribusi tablet.
Diakui atau tidak, banyak masyarakat di daerah tertinggal yang belum mengenal teknologi sekelas komputer yang sangat sederhana. Kemampuan guru-guru di daerah tersebut untuk menggunakan perangkat lunak komputer juga sangat terbatas.
Untuk itu, Kemendikbud harus kembali pada agenda awal, meningkatkan kualitas guru di setiap daerah untuk mendukung implementasi K-13, termasuk pemerataan jumlah guru di setiap daerah. Agenda berikutnya adalah membenahi fasilitas pendidikan sesuai standar mutu pendidikan agar setiap siswa dapat mengakses hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi.
Nanang Martono ; Pemerhati Pendidikan,
Dosen Sosiologi Pendidikan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
SINAR HARAPAN, 09 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar