Kamis, 12 Februari 2015

Cerita Guru di Perbatasan

Cerita Guru di PerbatasanSiswa SD berjalan membawa bendera untuk mengikuti upacara di sekolah mereka yang berjarak sekitar 10-15 kilometer di Desa Looluna, Belu, NTT, Kamis (4/7) lalu. Pendidikan Dasar di perbatasan Indonesia-Timor Leste tersebut terkendala jarak dan minimnya fasilitas pendidikan, termasuk guru dan buku pelajaran sehingga masyarakat berharap pemerintah pusat dapat 

KBR68H - Gerakan Kembali ke Sekolah mengajak para relawan untuk mengajar di perbatasan Indonesia-Malaysia. Hingga kini pendaftaran bagi relawan masih terbuka. Kebutuhan guru untuk mengajar anak-anak TKI mendesak dilakukan. Tercatat sekitar enam puluh ribuan anak-anak TKI di negeri jiran yang masih buta huruf.  KBR68H berbincang dengan sejumlah relawan sempat dan siap mendidik anak-anak pahlawan devisa  di tapal batas.

Rendahnya akses pendidikan bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Sabah, Malaysia kerap menghiasi pemberitaan berbagai media. 

Puluhan ribu anak pahlawan migran itu tersebar di lahan perkebunan kelapa sawit negeri jiran. Terutama di Distrik Kilohar Jatu dan Distrik Kinabatangan. Dua daerah ini berada di wilayah perbatasan Malaysia-Indonesia yang banyak dihuni warga Indonesia asal Bugis Sulawesi Selatan.

Tidak semua perusahaan sawit di Sabah menyediakan fasilitas pendidikan buat anak-anak TKI. Akibatnya, mereka buta soal Indonesia dan keanekaragamannya. 

Aktivis pendidikan yang sempat mengajar di perbatasan Ahmad Rizali sedih melihat kondisi ini. Menurutnya banyak anak asal Indonesia yang tak kenal lagu kebangsaan “Indonesia Raya” sampai nama  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 

“Karena mereka berada di kebun sawit Malaysia maka menonton TV Malaysia, mereka tahu Mahatir Muhammad, tapi siapa Presiden Indonesia ? banyak yang tidak tahu.  Mereka tidak pernah tahu menyanyi Indonesia Raya dan mengenalkan Indonesia dan pulau-pulaunya, kemudian benera merah-putih,” katanya.

Mahatir Muhammad yang disebut Rizali tadi adalah bekas Perdana Menteri Malaysia. 

Rizali mengenang tempat mengajarnya di Sabah saat itu hanya bekas pos keamanan sederhana. Terkadang, proses belajar terhenti sementara karena  turun hujan. Selain membaca dan menulis, anak-anak ini juga diajarkan nilai-nilai ke-Indonesia-an. Caranya sederhana, mulai dari memperkenalkan lagu-lagu nasional, nama kepala negara sampai sejarah bangsa Indonesia.

“Saya mendapatkan informasi dari kolega saya KBRI Indonesia di Malaysia, ternyata masih banyak puluhan ribu di lahan sawit terutama di Sabah yang masih buta huruf.  Saya kontak langsung konjennya di sana, ternyata faktanya betul.  Ternyata mereka butuh buku, buku membaca, butuh guru dan juga butuh guru, kami lakukan secara bertahap,” tambahnya.

Ada kesan pendidikan anak-anak TKI seperti di Sabah sengaja diterlantarkan negara, kata Rizali. “Ada beberapa tempat di sana yang masih belum menyediakan fasilitas pendidikan itu, karena para pemilik sawit belum berniat untuk memberikan pendidikan kepada anak TKI. Seharusnya memang pemerintah kita dan Malaysia menyediakan betul dan paling tidak harus mampu membaca. Kalau sampai tidak membaca hingga jumlah puluhan ribu lebih itu  namanya menelantarkan dan melanggar hak anak.” 

Cerita lain disampaikan Rahayu. Ia sudah memasuki tahun ketiga mengajar anak-anak TKI di  Distrik Kilohar Jatu. Dia mengajar 90-an anak TKI yang orang tuanya bekerja di lahan sawit. “Saya sekarang di Sabah, tepatnya di Distrik Kilohar Jatu yang berbatasan dengan Distrik Kinabatangan yang berada didaerah Genting Senegan. Saya mengajar mulai pagi sampai sore. Kalau yangh pagi sampai siang itu sekitar 75 murid, dan murid SMP dari jam 2 sampai jam 5an itu ada 15 murid dan total itu ada 90 murid, dari TK sampai SMP,” katanya.

Tidak semua anak-anak TKI tersebut bisa mengenyam pendidikan dengan baik. “Banyak yang sudah bekerja jadi konsentrasinya terpecah, khususnya mereka yang sudah SMP. Ada yang 10-11 tahun masih belajar membaca dan menulis, karena dasar keluarga mereka tidak mementingkan pendidikan.  Mereka disuruh orang tuanya untk bekerja di lahan sawit, dan mereka dalam satu bulan bisa satu minggu tidak masuk atau hanya dua minggu masuk dan membantu orang tuanya kerja atau menjaga adiknya yang masih kecil.”

Menurut Rahayu dan Ahmad Rizali   negara perlu segera menangani persoalan mendasar tersebut. Ini mengingat tugas mereka mengajar di sana sifatnya hanya sementara. “Kamp-kamp TKI di sana anak-anaknya masih banyak yang buta huruf dan membutuhkan pendidikan, kemudian yang ke dua tawaran gajinya cukup dari pada di Indonesia. Kebutulan kalau di perusahaan saya ini fasilitas pendidikannya masih kurang dan seadanya,” kata Rahayu. 

Rizali menambahkan,” Kami berharap program ini akan rutin, tapi bukan tugas Pertamina Foundation tapi tugas pemerintah pada dasarnya. Kalau pemerintah sudah menjalankannya maka kita akan berhenti. Secara formal pemerintah Indonesia sulit mengeluarkan budgetnya dalam jumlah besar dan harus bertahap, kemudian Malaysia menggap ini ilegas tidak bisa diselesaikan secara biasa oleh dua pemerintahan.”

Selain kedua guru tersebut, sejumlah relawan lainnya siap mengabdikan ilmunya untuk mendidik anak-anak TKI di Malaysia.  

Tidak ada komentar: