Minggu, 22 Februari 2015

Kebijakan Pemerataan Guru



Anies Baswedan dikenal sebagai salah satu tokoh penggagas gerakan Indonesia Mengajar. Gerakan ini dinilai berhasil mengirimkan anak muda berdedikasi mengajar di sekolah terpencil di sejumlah pelosok Indonesia. Sekarang, setelah ia dipilih menjadi Mendikbud, akankah Anies dapat mengulang keberhasilan membangkitkan semangat belajar murid terpencil dengan menyediakan guru PNS bagi mereka?
Saat ini diperkirakan ada 2,2 juta guru di seluruh Indonesia, terdiri dari 1,6 juta guru di tingkat SD dan 609 ribu guru di tingkat SMP (P2TK Kemdikbud, 2013). Dari 2,2 juta tersebut, 1,5 juta adalah guru PNS, 180.000 guru tetap yayasan, dan 677.000 guru tidak tetap alias guru honorer.
Salah satu permasalahan ketersediaan guru bagi sekolah yang kekurangan guru adalah menumpuknya guru PNS di perkotaan. Ditaksir terdapat 11 persen guru di SD dan 27 persen SMP perkotaan perlu diredistribusi ke sekolah pedesaan dan terpencil (Bank Dunia, 2013). Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Bersama (Perber) 5 Menteri (Mendikbud, Menag, Mendagri, Menpan RB, dan Menkeu) tahun 2011 tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS, yang salah satunya menjadi acuan untuk pemindahan guru antarsekolah dalam kabupaten/kota yang sama, antarkabupaten kota, dan antarprovinsi. Namun, setelah perber ini diberlakukan, distribusi guru tetap tidak merata. Masih banyak sekolah yang kelebihan dan kekurangan guru PNS. Mengapa?
Kebijakan pemerataan guru
Salah satu faktor utama penyebab kegagalan kebijakan ini adalah karena desain kebijakan tak memperhatikan secara saksama dinamika hubungan politik-ekonomi antara pemerintah pusat dan daerah.
Di satu sisi, pemerintah pusat berkepentingan terhadap keberhasilan pemerataan dan penataan guru (PPG) karena akan menekan kebutuhan guru PNS. Jika PPG berhasil, di mana guru tidak lagi terkonsentrasi pada sekolah tertentu dan distribusi merata di semua sekolah, hal ini akan mengurangi angka kebutuhan guru nasional. Penurunan angka kebutuhan guru nasional pada gilirannya akan menekan alokasi APBN untuk membiayai belanja guru berupa gaji, tunjangan, dan sebagainya.
Kebutuhan guru PNS saat ini ditaksir mencapai 600.000 orang. Jika kebutuhan ini dipenuhi melalui rekrutmen calon PNS, dibutuhkan anggaran paling sedikit Rp 21,6 triliun setiap tahun. Angka ini juga akan meningkat dua kali lipat jika guru tersebut diberi tunjangan sertifikasi sehingga total jadi Rp 43,2 triliun. Pemerintah pusat, terutama Kementerian Keuangan, hampir pasti berkeberatan atas hal ini karena mempersempit ruang gerak dalam pengelolaan APBN. Inilah kepentingan pemerintah pusat atas PPG.
Sementara pemerintah daerah justru memperbanyak kebutuhan guru untuk meningkatkan jumlah pegawai. Jumlah pegawai yang besar akan memperbesar alokasi dana alokasi umum yang diterima pemda. Selain itu, memperbesar kebutuhan guru juga meningkatkan kebutuhan kuota CPNS guru. Sementara rekrutmen CPNS selalu menjadi ajang korupsi bagi elite politik dan birokrat daerah untuk mendapatkan keuntungan (ICW, 2013).
Perbedaan kepentingan dalam pemerataan guru ini sebenarnya telah diantisipasi oleh Perber 5 Menteri 2011. Antisipasi tersebut berupa penjatuhan sanksi berupa penundaan transfer dana perimbangan daerah, penolakan kuota CPNS, dan penilaian buruk atas kinerja pemda. Namun, sayangnya, sampai akhir masa berlaku perber ini, tak ada satu pun daerah yang mendapatkan sanksi dari pemerintah pusat. Tampaknya pemerintah pusat masih ragu menjatuhkan sanksi bagi daerah yang tidak serius memeratakan guru.
Selain itu, pemerintah pusat kurang optimal mendorong pemda mengimplementasikan kebijakan pemerataan guru. Hal ini terbukti dari minimnya program dan anggaran untuk mendukung dan mendampingi daerah melaksanakan PPG. Kalaupun ada program untuk mendukung PPG, itu pun sebatas sosialisasi kebijakan ini pada pemerintah daerah.
Tidak hanya kurangnya program dan pendampingan bagi daerah, koordinasi dan monitoring implementasi kebijakan ini juga tak berjalan baik. Berdasarkan hasil penelitian ICW, ditemukan bahwa pertemuan koordinasi dan supervisi di antara lima kementerian jarang dilakukan.
Aspek penting lain yang tak diantisipasi pemerintah dalam kebijakan adalah tidak adanya ruang partisipasi publik, terutama orangtua murid dan warga di sekitar sekolah. Kebijakan PPG sangat berorientasi pada bagaimana pemerintah menata birokrasi guru untuk mengatasi kesenjangan guru antarsekolah. Desain kebijakan tidak membuka ruang publik yang sebenarnya membutuhkan guru di setiap sekolah anaknya.
Banyak orangtua murid dan warga yang sudah menyampaikan keluhan kepada sekolah dan pemerintah daerah bahwa sekolah anaknya hanya memiliki satu atau dua guru yang mengajar di beberapa kelas. Sayangnya, keluhan mereka tidak ditanggapi secara serius oleh sekolah dan pemerintah daerah. Mereka beralasan daerah kekurangan guru dan rekrutmennya kewenangan pemerintah pusat. Padahal, mereka memiliki kewenangan memindahkan guru dari sekolah perkotaan yang kelebihan guru ke sekolah pedesaan dan terpencil yang kekurangan guru.
Partisipasi masyarakat dalam PPG dapat berupa perhitungan bersama kebutuhan guru di sekolah, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Perhitungan kebutuhan guru dapat dijadikan dasar melihat kebutuhan pemerataan guru. Perhitungan kebutuhan guru akan memunculkan gambaran detail sekolah mana saja yang kelebihan dan kekurangan guru. Masyarakat juga dapat mengawal dan menekan pemerintah daerah agar melakukan pemindahan guru dari sekolah kelebihan ke sekolah kekurangan guru.
Misalnya, masyarakat juga dapat mengawal apakah ada mark up dalam perhitungan kebutuhan guru serta korupsi dan seleksi CPNS guru. Lebih dari itu, masyarakat juga dapat berpartisipasi memberikan fasilitas, kenyamanan, dan dukungan sosial bagi guru yang mengajar di sekolah terpencil. Dengan partisipasi seperti itu, masyarakat akan belajar dan memahami tentang kesungguhan dan komitmen kepala daerah serta birokrasi pendidikan atas kewajiban mereka memenuhi kebutuhan guru di sekolah-sekolah yang kekurangan guru.
Masalah lain yang juga tak kalah pelik adalah kesediaan guru PNS dipindahkan ke sekolah terpencil. Banyak guru tidak bersedia dipindahkan karena tidak ingin berpisah dari keluarga serta daerah tersebut minim sarana dan prasarana. Mereka ingin agar anak-anak mereka tumbuh di daerah yang memiliki fasilitas memadai untuk berkembang dan belajar.
Beberapa pemda memang cukup berhasil memindahkan guru dari sekolah yang kelebihan guru ke sekolah yang kekurangan guru. Namun, yang dipindahkan umumnya adalah guru muda yang belum berkeluarga dan disertai adanya tunjangan daerah bagi guru tersebut. Sayangnya, hanya sedikit daerah yang melakukan hal ini karena lemahnya komitmen untuk memeratakan guru.
Penutup
Pada akhirnya pemenuhan guru, terutama di daerah terpencil, bergantung pada pemerintah pusat. Apakah pemerintah cukup jeli melihat permasalahan dan merumuskannya dalam kebijakan yang tepat sehingga dapat mendorong semua pemangku kepentingan pendidikan melakukan pemerataan guru. Kebijakan di pusat itu ada di tangan Mendikbud baru.
Apakah dia bisa bekerja sama antarkementerian/lembaga, pemerintah daerah, serta masyarakat untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pemerataan guru dengan baik? Hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaan ini.
Febri Hendri AA  ;  Peneliti Divisi MPP ICWKOMPAS, 21 Februari 2015

Tidak ada komentar: