Minggu lalu saya menerima sebuah buku yang dikirim oleh mahasiswa saya di Informatika ITB dulu, Bayu Adi Persada (IF’2005). Bayu mengirimi saya sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan pengalamannya menjadi Pengajar Muda (PM) dari gerakan Indonesia Mengajar (IM). Bayu ditempatkan mengajar di Desa Bibinoi, sebuah desa yang sangat jauh nun di Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, selama satu tahun.
Dulu saya sudah pernah menulis Bayu sebagai salah satu pengajar angkatan pertama Indonesia Mengajar, silakan baca lagi tulisan yang ini: Salut Buat 15 Alumni ITB yang Menjadi Guru Muda (“Indonesia Mengajar”). Selama mengajar di Halmahera, Bayu aktif menulis pengalamannya di sana dalam blog pribadinya. Catatan pengalaman mengajar di desa Bibinoi itu dibukukan oleh sebuah penerbit dengan judul Anak-Anak Angin, Keping Perjalanan Seorang Pengajar Muda. Ini kisah pendidikan di daerah terpencil yang tidak pernah masuk berita. Nah, satu eksemplar buku tersebut dikirimkannya kepada saya. Buku yang berisi kumpulan tulisan para pengajar IM memang sudah pernah diterbitkan, tetapi buku yang berisi pengalaman utuh seorang pengaar IM memang baru pertama kali yang ini.
Saya sangat antusias membacanya. Saya sempatkan membacanya dari malam hingga pagi hari sampai tuntas. Saya tidak menyangka Bayu begitu piawai menulis pengalamannya di Halmahera dalam kalimat-kalimat yang impresif. Tulisannnya mengalir dengan runtun dan enak dibaca. Padahal ketika membimbing Tugas Akhirnya dulu saya harus sering mengoreksi laporan TA nya dan mencoret-coret banyak bagian di dalam tulisannya, hi..hi..hi (sori ya Bayu :-)).
Bagian awal buku ini menceritakan keberatan (kalau tidak bisa disebut penolakan) dari ayah Bayu terhadap pilihannya menjadi guru dalam gerakan Indonesia Mengajar. Wajar saja memang, harapan orangtua tentu tidak sama dengan pilihan anak. Bayu adalah lulusan perguruan tinggi ternama (ITB) dan jurusan ternama pula (Informatika), orangtua mana yang tidak menginginkan anaknya bekerja di perusahaan besar.
Selanjutnya keping demi keping cerita mengalir dengan begitu menarik dan mengharukan. Bayu ditugaskan di SD Bibinoi dan mengajar di kelas III. Dia tinggal di rumah Kepala Sekolah SD Bibinoi yang bernama Pak Adin. Keluarga Pak Adin ternyata punya masalah keluarga yang cukup rumit. Anak Pak Adin ada yang putus kuliah, ada yang malas sekolah, dan ada yang hamil di luar nikah. Mau tak mau Bayu masuk ke dalam masalah tersebut dan mencoba membantu sebisa dia untuk mengatasinya meskipun bukan tugasnya untuk menyelesaikan masalah di luar perannya sebagai guru Indonesia Mengajar.
Bagian berikutnya menceritakan kisah-kisahnya mendidik murid-murid Maluku yang ternyata susah diatur. Anak-anak Maluku terbiasa dididik dengan keras sejak masih bayi. Mereka terbiasa dipukul dengan rotan oleh guru atau orangtua mereka sendiri jika melakukan kesalahan. Namun Bayu tidak melakukan hal yang sama, dia mendidik dengan kasih sayang, dia menahan diri untuk tidak memukul murid (meskipun di dalam buku itu diceritakan Bayu sempat dua kali memukul pipi muridnya yang berperilaku sangat keterlaluan, namun sesudahnya Bayu menyesali yang dilakukannya itu).
Pendekatan mendidik dengan kasih sayang yang dilakukan Bayu ternyata diterima oleh murid-murid di sana, karena baru kali ini ada guru yang tidak menggunakan rotan dalam mendidik. Singkat kata Bayu dicintai murid-muridnya, semangat belajar mereka bertambah luar biasa dengan kehadiran Bayu. Anak yang pemalas menjadi rajin, yang biasa terlambat datang sekolah menjadi disiplin. Bahkan, seperti jamak pendidikan di tempat terpencil, anak-anak yang sudah kelas III masih banyak yang belum bisa membaca, tetapi sejak kehadiran Bayu anak-anak itu menjadi pintar membaca dan antusias belajar. Sampai di sini saya mengakui gerakan Indonesia mengajar memang luar biasa memberikan pencerahan bagi pendidikan di sekolah dan lingkungan yang dimasuki oleh guru muda IM. Tidak salah memang gerakan yang digagas oleh Anies Baswedan itu.
Dalam buku ini Bayu juga menceritakan mutiara terpendam, yaitu murid-murid Maluku yang mempunyai talenta tidak kalah dengan murid-murid di Jawa. Misalnya tentang Olan yang jago matematika dan Munarsi yang jago sains. Anak-anak yang unggul dalam pelajaran tersebut diikutkan dalam berbagai lomba tingkat kabupaten, termasuk Olimpiade Sains Kuark Nasional.
Meskipun tugas yang diemban adalah mengajar, tetapi peran guru IM lebih dari itu. Banyak masalah baru yang harus dihadapinya di sana. Dia harus berhadapan dengan sistem pendidikan yang tidak jujur dan korup. Bayu menceritakan kisah pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang bak sandiwara, yaitu tentang murid-murid yang sudah mendapatkan bocoran jawaban ujian dari guru sebelum UN berlangsung. Karena itu, dia mencoba menegakkan kejujuran di SD Bibinoi dengan melakukan berbagai pendekatan kepada guru dan kepala sekolah. Selain masalah ketidakjujuran, Bayu juga menceritakan kisahnya menyelesaikan kasus korupsi dana BOS yang dilakukan oleh kepala sekolah. Itulah sebagian dari banyak masalah yang harus dihadapinya, yang sebenarnya masalah-masalah tersebut juga merupakan potret sistem pendidikan di negara kita.
Peran sebagai guru muda ternyata tidak sebatas mengajar. Di dalam buku ini diceritakan pengalamannya berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Pada satu keping cerita dikisahkan peran Bayu dalam membina Karang Taruna desa Bibinoi. Tidak itu saja, bahkan dia juga dimintai masukan oleh para pemuda gereja yang tergabung dalam panitia Natal. Seperti kita ketahui, masyarakat Maluku terbagi dalam dua agama, yaitu Islam dan Kristen. Meskipun berbeda agama, namun mereka hidup rukun. Mereka yang berbeda agama itu terikat dalam adat persaudaraan turun temurun yang bernama Pela Gandong. Di Halmahera ada kampung muslim dan ada kampung kristen. Murid-murid Bayu bercampur dari kedua agama itu. Bayu yang muslim tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim, di dalam buku ini dia menceritakan pengalamannya puasa Ramadhan dan Idul Fitri di desa Bibinoi, termasuk menggagas pesantren kilat selama tiga hari pada bulan Ramadhan yang selama ini belum pernah diadakan di daerah itu.
Bagian yang mengharukan adalah kepingan cerita yang berjudul Lompatan Hebat. Pada bagian ini Bayu menceritakan keputusannya tidak menaikkan lima orang murid ke kelas IV. Sungguh berat bagi seorang guru untuk tidak menaikkan muridnya ke kelas yang lebih tinggi, sebab ada banyak aspek yang harus diperhitungkan, misalnya aspek sosial, aspek pertemanan, dan efeknya pada orangtua. Salah seorang anak yang tidak naik kelas itu bernama Diki. Berikut petikan percakapan Bayu dengan Diki:
Malam hari setelah penerimaan rapor, Diki datang ke rumah untuk belajar.
Aku bertanya kepadanya, “So lihat raporkah?”
“Sudah, Pak Guru.”
“Bagaimana, naikkah tarada?”
“Tarada.”
“Mama bilang apa pa ngoni? Papa marah?”
“Dorang marah.”
“Pukul ngonikah tarada?”
“Tarada, Pak Guru. Dorang cuma bilang kita bodoh.”
Aku terdiam. Aku terpukul mendengarnya.
Aku pikir lebih baik memukul anak ini daripada merendahkannya dengan kata bodoh. Kata yang amat terlarang bagi seorang guru, apalagi orangtua.
Aku memintanya melihat mataku. Kemudian aku menimpali, “Diki tara bodoh. Diki kurang kerja keras. Diki mengerti to?”. Dia mengangggukkan kepala.
“Diki percaya Pak Guru?”
Dengan lirih dia menjawab, “Percaya.”
Aku membawanya masuk ke rumah untuk belajar membaca.
(keterangan: so = sudah, tarada = tidak, ngoni = kamu, dorang = dia, kita = saya)
Itulah bagian yang mengharukan menurut saya.
Secara keseluruhan buku ini saya nilai sangat bagus untuk dibaca, sungguh inspiratif. Saya sebut buku ini sebagai kisah Laskar Pelangi II. Bahkan, kalau buku Bayu ini difilmkan saya yakin kisahnya tidak kalah dengan film Laskar Pelangi. Semoga saja ada produser film yang tertarik.
sumber : rinaldimunir.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar