Sabtu, 31 Januari 2015

Petunjuk Teknis BOS Tahun 2015

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 161 TAHUN 2014
TENTANG 
PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN
DANA BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH
TAHUN ANGGARAN 2015

Download

Mencermati Perbedaan RPP KTSP Dan RPP Kurtilas



Salah satu tugas seorang guru adalah mengadministrasikan apa yang akan dikerjakan dan apa yang sudah dikerjakan. Di antara administrasi yang mesti dipenuhi guru adalah membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Tapi apakah RPP mesti dibuat seragam, dan apakah RPP sebagaimana yang dibuat oleh guru itu memang benar-benar penting dibuat, atau hanya sekadar formalitas belaka? Jawabannya tentu akan beragam. Dan kali ini kita tidak akan membincang soal hal itu. Tapi Anda boleh membaca tulisan saya yang berkaitan dengan masalah tersebut: Hantu Administrasi Guru. Untuk posting kali ini, kita akan membicarakan seputar perbedaan RPP Kurikulum 2013 (Kurtilas) dan RPP Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Hem, ini bahasan yang sebenarnya sedang ramai, jika keramaian tidak hanya ditandai dengan suara yang terdengar oleh telinga dan pemberitaan media. Kalau kita bisa mendengar suara hati para guru, mungkin akan terbuktikan keramaian itu. Di media sosial, kadang saya temukan guru yang mengaku bingung bagaimana membuat RPP Kurtilas lalu meminta agar ada yang sudi membuatkannya. Sementara beberapa oknum justru memanfaatkan kesempatan konversi Kurikulum KTSP ke Kurtilas dengan berjualan CD bersisi kumpulan RPP. Satu keping CD berisi kumpulan RPP semua Mapel bisa dijual seperempat juta, sebuah harga yang bagi saya cukup besar. Tapi demi memenuhi tuntutan administrasi, demi senyum atasan, dan demi cairnya sertifikasi, tidak jarang guru yang enteng membelinya setelah—mungkin— patungan dengan teman-temannya. Ini mungkin agak sesuai dengan janji Sang Menteri, bahwa tidak akan ada guru yang dirugikan dengan pergantian kurikulum, melainkan akan banyak orang diuntungkan, salah satunya penjual CD RPP. Hehe…

Lhah kok saya malah nerocos kemana-mana. Mana perbedaan RPP KTSP dan RPP Kurtilasnya? Sebenarnya ada cara yang sangat mudah untuk mengetahui perbedaan RPP kedua kurikulum tersebut. Sandingkan saja RPP KTSP dan Kurtilas. Jika anda belum punya RPP Kurtilas saya sarankan untuk tidak membeli karena sekarang sudah banyak beredar RPP Kurtilas di internet, anda tinggal unduh saja, gratis. Setelah anda menyandingkan dua RPP yang berbeda kurikulum tinggal diamati untuk kemudian mencari perbedaannya.

Tapi kalau anda penasaran ingin cepat tahu, marilah saya tunjukkan beberapa.

Susunan RPP Kurikulum 2013


Susunan RPP KTSP



 Bahwa memang, RPP dua kurikulum tersebut nyaris sama dan hanya susunannya yang berbeda. Tetapi sebenarnya tidak. Kita bisa lihat, misalnya pada Kompetensi Dasar. Di KTSP, kompetensi dasar (KD) dan indikator berdiri sendiri, sementara RPP Kurtilas, KD digabung dengan indikator.

Tidak hanya itu, dalam pembuatan KD, indikator, dan tujuan pembelajaran RPP Kurtilas guru mesti memodifikasi sedemikian rupa sehingga ketiganya juga terkait dengan pencapaian peserta didik dalam hal karakter.

Perbedaan juga bisa kita temukan pada bagian langkah-langkah pembelajaran. Jika pada RPP KTSP kegiatan inti terdiri dari eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, maka pada RPP Kurtilas kegiatan inti terdiri dari mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan membentuk jejaring yang bermula dari pedekatan saintifik (ilmiah) dan kontekstual sebagai sarana untuk memeroleh kemampuan kreatifitas siswa.

Perbedaan yang mencolok juga terdapat pada lembar penilaian. Pada kurikulum yang baru mesti dicantumkan item lembar pengamatan sikap pada bentuk instrumen, sementara pada kurikulum lama tidak.



Terakhir saya ingin menyampaikan bahwa meskipun pembuatan RPP berbeda antara satu kurikulum dan kurikulum lainnya, tetapi hakikat dari RPP itu sendiri tidak berubah. Yaitu, sebagai rencana yang menggambarkan sebuah langkah dan pengorganisasian pembelajaran guna mencapai Kometensi Dasar yang ditetapkan di dalam Standar Isi dan telah dijabarkan dalam Silabus. Demikian. Semoga bermanfaat. sumber gambar: petikan slide di www.slideee.com/slide/karakteristik-rpp-ktsp-dan-kurikulum-2013

Ijinkan Siswa Memberi Nilai Gurunya


Pada dasarnya guru adalah manusia. Meski secara bahasa, konon guru berasal dari bahasa sansekerta, Gur-u yang artinya orang mulia. Apakah ada manusia benar-benar mulia, lepas dari salah dan dosa? Jika ada, mungkin ia adalah Sang Nabi.

Nabi Muhammad Saw sendiri memang maksum, terbebas dari dosa, tetapi bukan berarti beliau luput dari berbuat salah. Jika Nabi salah, maka Tuhan akan langsung menegurnya, dan secepatnya Nabi akan meminta ampun dan tidak mengulangi kesalahannya lagi.

Dalam dunia pendidikan, jika siswa salah, maka gurulah yang biasanya memberi tahu letak kesalahannya dan dari sanalah siswa bisa belajar. Lalu, bagaimana jika guru yang berbuat salah? Siapa akan menegur dan mengingatkannya?

Kepala sekolah tidak benar-benar tahu apa saja yang dilakukan guru, terutama ketika guru masuk kelas. Kepala sekolah memang berhak memberi nilai untuk anak buahnya, tetapi nilai yang diberikan Kepala Sekolah kerap hanya didasarkan dari administrasi, dan sikap si guru di depannya. Bahkan, bukan rahasia lagi, blangko penilaian yang semestinya diisi oleh Kepala Sekolah, sering dibagikan ke masing-masing guru untuk diisi sendiri—guru disuruh menilai dirinya sendiri.

Menilai diri sendiri bukanlah perkara gampang. Maka lahirlah pepatah: Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak. Meski ajaran agama sangat menyarankan agar kita giat mencari kesalahan sendiri sampai tidak punya waktu lagi untuk mengoreksi kesalahan orang lain, tapi toh kita kerap lalai.

Demikianlah, selama ini kita lebih gampang menilai orang lain ketimbang menilai diri kita sendiri. Meski memang belum tentu penilaian kita atas orang lain itu benar. Bisa jadi penilaian kita hanyalah sekadar prasangka saja, sekadar melihat tampilan luarnya saja. Tapi begitulah kita, tak bosan-bosan mengulang-ngulang prasangka.

Siswa, sebenarnya juga punya prasangka terhadap gurunya. Siswa dapat menilai bahwa guru Anu itu baik, bertanggung jawab, disiplin, galak, murah nilai, dan lain sebagainya. Tapi prasangka dan penilaian siswa terhadap guru-gurunya hanya digunjingkan pada jam-jam pelajaran kosong, di kantin, di kamar kos, atau di warung-warung tempat mereka biasa nongkrong. Guru mungkin tahu bahwa dirinya digunjingkan di mana-mana, tapi mereka tidak mau tahu hal apa yang siswa gunjingkan tentang dirinya.

Oleh sebab itulah, mungkin sudah waktunya sekolah, atau masing-masing guru memberikan waktu bagi siswa untuk menilai guru-guru mereka. Sudah waktunya kita sebagai guru mendengar suara anak didik kita secara langsung.

Ya, mendengar suara mereka; kritik dan saran dari para siswa sangat dibutuhkan. Kita tahu, salah satu kunci sukses dari sebuah pembelajaran adalah adanya keterbukaan. Siswa tidak perlu takut mengkritik gurunya, dan guru mesti membuka dadanya untuk dimasuki cahaya. Siswa memang tidak paham tentang metode belajar, tugas-tugas guru, RPP, atau jumlah utang gurunya di bang dan koperasi. Tapi mereka punya mata, telinga, dan hati, yang dengan itu mereka bisa menilai sesuatu.

Saya sudah melakukannya, dan karenanya saya menulis yang demikian, sekadar berbagi cerita.

“Kalian sudah menerima Raport, dan kini giliran saya menerima raport dari kalian.” Mereka cukup kaget, beberapa tampak tersenyum. Tapi mereka terlihat senang. Lebih-lebih ketika saya meneruskan, “Tulis kritik, masukan atau apa saja tentang saya, lalu berilah saya nilai dalam bentuk angka. Terserah berapa nilai yang akan kalian beriktan. Di kertas, dan jangan diberi nama.”

Ketika mendengar itu, mungkin mereka membatin, “Kapan lagi bisa mengkritik dan memberi nilai Pak Yusuf.”

Dalam seminggu ini, saya mendapat banyak lembaran raport dari siswa. Puji Tuhan yang Maha Membuka hati siapa saja untuk dimasuki kritik dan saran

Oleh : Yusuf Nugroho

Surat Terbuka Untuk Kemdikbud, BPSDMPK-PMP, Dan LPMP Terkait NUPTK

surat terbuka NUPTK

Kepada

YTh. 
  • Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
  • Kepala Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan
  • Kepala LPMP Seluruh Indonesia

Assalamu’alaikum Wr.wb

Semoga kita selalu diberi kesehatan lahir bathin. Amin

Selanjutnya, dengan surat ini saya ingin menyampaikan beberapa hal, khususnya terkait NUPTK bagi guru Non-PNS yang bertugas di Sekolah/Madrasah Negeri.

Nomor Urut Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) seingat saya baru dimunculkan sekitar tahun 2007-2008, meski berdasar beberapa sumber NUPTK sudah mulai dibangun Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas tahun 2006. Waktu itu saya masih menjadi bendahara di sebuah Madrasah swasta. Saya, juga guru dan tenaga kependidikan lainnya, mengisi blanko pengajuan. Dan beberapa bulan kemudian NUPTK keluar. Semua tenaga kependidikan dan guru, baik yang PNS maupun guru tidak tetap mestinya berhak untuk mendapat NUPTK ini. Sebab NUPTK nantinya dijadikan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti berbagai program Kemendikbud seperti Sertifikasi, Tunjangatn Fungsional, dan lain sebagianya.

Guru Non-PNS (Wiyata Bhakti) Di Sekolah Negeri Tidak Bisa Punya NUPTK

Pada Hari Senin, 6 Oktober 2014 di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Wonosobo diadakan pertemuan (audiensi) guru-guru yang belum punya NUPTK dengan pihak LPMP Jawa Tengah. Saya tidak ikut pertemuan ini, karena saya sudah punya NUPTK. Saya hanya mendapat kabar (keluhan) dari teman-teman yang memutuskan untuk walk out dari pertemuan, bersama guru-guru dari sekolah negeri lainnya. Kenapa mereka walk out? Sebab mereka seolah sudah kehilangan harapan untuk bisa memiliki NUPTK. Anda tahu, syarat untuk mendapatkan NUPTK bagi guru dan tenaga kependidikan Non-PNS yang bertugas di sekolah negeri adalah harus memiliki SK Bupati, atau SK dari Kantor Wilayah (Kanwil) Kementeriana Agama, jika bekerja di bawah naungan Kementerian Agama. Padahal, sejak awal tahun 2006, Anda juga tahu, Bupati dan Kanwil Kementerian Agama tidak lagi mengeluarkan SK bagi guru dan tenaga kependidikan yang wiyata di sekolah negeri.

Ketika hal ini ditanyakan kepada pihak LPMP, mereka mengaku hanya menjalankan aturan yang sudah ditetapkan. Aturan itu mungkin dibuat oleh ini: BPSDMPK-PMP. Demi Tuhan, saya kasihan dengan teman-teman saya. Mereka yang sudah mengabdi menjadi guru wiyata lebih dari 5 tahun tapi tidak dapat memiliki NUPTK. Dengan tidak punya NUPTK mereka tidak bisa ikut sertifikasi dan terganjal tidak mendapat tunjangan fungsional yang akan sangat membantu dapur tetap ngebul. 

Di dalam Surat Edaran Ka. BPSDMPK-PMP Kemdikbud No. 14265/J/LL/2013 tanggal 24 Juli 2013 perihal Penerbitan NUPTK Baru, dinyatakan bahwa PTK yang masih terkendala ajuan NUPTK barunya karena aturan syarat SK Bupati/Walikota tersebut diakomodir oleh Layanan PADAMU NEGERI dengan memiliki PegID terlebih dahulu. Fungsi PegID untuk mengidentifikasi eksistensi seluruh PTK NON PNS termasuk Tenaga Honorer untuk kebutuhan pemetaan PTK sebagai bahan kebijakan selanjutnya.

Oke, saya paham, memang ada PP no. 48 tahun 2005 Pasal 8 terkait dengan Larangan pengangkatan pegawai/guru di lingkungan instansi Pemerintah. Tapi penting diketahui: “Saya dan juga guru-guru yang wiyata di sekolah negeri mengajukan lamaran kerja, kemudian Kepala Sekolah memberikan kami SK.” Apa salahnya dengan kami? Semua orang tahu dan dapat membayangkan semisal semua guru yang wiyata di sekolah negeri mengundurkan diri, dan sekolah negeri tidak mau menerima guru wiyata lagi? Tentu, biaya yang harus ditanggung oleh negera akan meningkat ratusan kali lipat karena harus mengangkat guru PNS baru. Inilah yang semestinya disadari oleh Pemerintah. Sadar sesadar-sadarnya, bahwa Negara belum mampu mengangkat Guru PNS baru dan sudah sangat terbantu oleh hadirnya guru Wiyata. Sekali lagi, ini harus diakui.

Lalu pertanyaannya, apa istimewanya Wiyata di sekolah negeri? Saya bertanya kepada diri saya sendiri. Dan saya jawab sendiri. Bahwa secara umum Guru Non PNS di sekolah negeri dan sekolah swasta sama saja. Terkait peluang diangkat PNS, tidak ada bedanya dengan guru yang wiyata di sekolah swasta. Justru, secara administratif, guru wiyata di sekolah negeri diganjal oleh aturan-aturan yang menyulitkan untuk bisa mengikuti program kesejahteraan bagi guru Non-PNS, semisal sertifikasi dan tunjangan fungsional. Sekali lagi, guru yang wiyata di sekolah negeri dan tidak punya SK Bupati/Kanwil Kementerian Agama dan atau masa kerja sebelum Desember 2005 tidak bisa mengikuti Sertifikasi Guru dan tidak bisa mendapatkan NUPTK. 

Saat ini syarat untuk mendapat tunjangan fungsional dan sertifikasi salah satunya harus punya NUPTK, tidak sekadar PegID. Maka, Jika PP no. 48 tahun 2005 Pasal 8 tidak segera diganti maka selamanya guru yang wiyata di sekolah negeri tidak mendapat kesempatan mendapat NUPTK, sertifikasi Guru dan tunjangan lainnya. Naif sekali bukan?

Oleh sebab itu, kami mohon agar PP tersebut, juga Surat Edaran Ka. BPSDMPK-PMP Kemdikbud No. 14265/J/LL/2013 untuk ditinjau ulang dan diperbaharui.

Kita tahu, guru dan pegawai wiyata secara umum memiliki tugas dan kewajiban yang sama. Namun, hak mereka pada kenyataannya selalu dibedakan. Kalau toh hanya soal gaji itu dapat dimaklumi, tapi dalam hal tunjangan profesi, dan pemilikian NUPTK mestinya tidak dibeda-bedakan.

Wahai Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala BPSDMPK-PMP, Kepala LPMP Se-Indonesia, atau instasi apa saja yang mengurusi soal ini, mohon untuk dibaca dengan kelembutan hati, bukan dengan pikiran yang kaku dan keras. Mohon maaf jika ada kata tidak berkenan. Terimakasih sudah berkenan mendengar aspirasi kami. Demikian. 

Wassalamu'alaikum Wr.wb
Wonosobo, 13 Oktober 2014

M. Yusuf Amin Nugroho

NB. Kepada pengunjung sekalian mohon untuk turut menyebarkan surat terbuka ini. Terimakasih kebaikannya

Jumat, 30 Januari 2015

Nasib Guru Wiyata / Guru Honorer

Anggaplah ini catatan ringan, yang semestinya anda baca dengan enteng saja. Tidak usah dianggap terlalu penting, meski sebenarnya tulisan ini ingin mengungkap sesuatu yang penting. Menyangkut hati. Adakah yang lebih penting dari soal hati? 

Dari pada membusuk di hati lebih baik saya keluarkan. Syukur-syukur dapat membuat anda nyengir, atau bahkan bisa menangkal hal-hal yang semestinya tidak perlu anda lakukan atau ucapkan. 

***


Suatu ketika, seorang guru wiyata* (lihat catatan kaki), mengeluhkan soal gajinya yang seiprit di depan atasannya. Lalu atasannya menanggapi begini: “Sudah syukur kamu bisa menjadi guru di sini. Jangan macam-macam minta kenaikan upah segala.”

Guru wiyata memegang dadanya. 

Di lain waktu, ada seorang guru wiyata mogok mengajar karena tidak digaji selama 3 bulan, lalu atasannya datang menegur: “Sudah banyak yang orang ngantri ingin wiyata di sekolah ini. Mbok disyukuri!”

Guru wiyata mengepalkan tangannya.

Pernah pula ada guru wiyata yang nulis surat terbuka untuk Pak Menteri Pendidikan, lalu muncul suara begini: “Ini orang maunya apa sih? Kalau memang tidak betah menjadi guru wiyata, kenapa tidak mengundurkan diri saja? Rampung! Tidak usah banyak bacot!” Suara itu memang hanya keluar dari hati, tapi angin mendengarnya dan mengabarkan kepada sang penulis surat. (aih, mirip dongeng aja)

Guru wiyata mengeluarkan jurusnya.

Belum puas menulis surat, ia datang kepada Pak Menteri (melalui sebuah mimpi yang ajaib). Pak Menteri sedang siap-siap mau chek out dari rumah dinasnya, menanggapi sok bijak: “Soal nasib anda dan kawan-kawan saya sudah ngerti, mas. Sabar saja. Rejeki itu datangnya dari Allah, bukan dari Pemerintah!”

Guru wiyata ndoplong mendoakan Pak Menteri semoga punya mantu guru Wiyata seperti dirinya. 

Kawan, itu hanya beberapa. Seolah fiksi memang, tapi begitulah gambaran yang terjadi selama ini. Betapa tanggapan-tanggapan itu terasa sangat menyakitkan!

Kalau saya jadi guru wiyata (eh!), maka saya tidak hanya akan mengelus dada, tidak pula cuma mengepalkan tangan, mengeluarkan jurus, apalagi mengutuk. Apa yang saya lakukan jika mendapat tanggapan-tanggapan seperti itu? Nantang kelahi? Bukan. Memecat atasan? Hum. Demonstrasi? Guru wiyata aja tidak solit. Lalu? Menulis. Ya. Dan saya pun mulai menulis:

Diary, hari ini gue disakiti orang lagi. Gue dibilang tidak bisa bersyukur, malah kadang-kadang disuruh mengundurkan diri jadi guru. Diary, gue sediiiiih banget. Tidak ada seorang pun yang perhatian sama gue. Menurut lo, apa yang mesti gue lakuin?

Diary yang sudah tahu semuanya merespon cepat:

Tenanglah, Teman! Biarkan anjing menggongong. Yang menjawab gonggongan anjing hanyalah anjing. Kau bekerja bukan untuk atasanmu, bukan? Lalui hari-harimu sebagaimana biasa. Tunjukkan kepada mereka, orang-orang yang mengejek dan mencibirmu itu, bahwa kau bisa menjadi guru yang lebih baik dari mereka, meski bayaranmu seuprit. Doakanlah kebaikan untuk mereka. Mereka tidak bermaksud mengejek dan menyakiti perasaanmu. Mereka hanya “orang yang tidak tahu”. Kau tentu tahu istilah apa yang tepat disandang untuk menyebut “orang yang tidak tahu”.

Maafin gue diary. Gue tidak cukup mampu untuk sebijak lo. Gue ingin menerangkan, menjelaskan dan memberi tahu, kepada mereka, tentang ucapan-ucapan yang mereka yang kurang ajar!

***

Jika saya adalah guru wiyata (eh, kan memang iya) kemudian saya disuruh bersyukur karena menjadi guru wiyata adalah sebuah keberkahan dan banyak orang yang menginginkan, maka saya akan menanggapinya begini:

Bersyukur adalah wajib, termasuk bagi tukang parkir dan pengemis. Memang ada banyak orang ingin menjadi guru wiyata, dengan berbagai alasan, sebagian karena mereka menabung harapan besar bisa diangkat menjadi pegawai pemerintah. Persoalannya, kata syukur jangan dimaknai secara sempit.

Bersyukur bukan berarti kita nrimo begitu saja nasib yang membelit, atau diam, terpaku, dan jalan di tempat. Anda tahu, mengeluh sering dikelompokkan pada sifat-sifat buruk. Dan anda juga tahu, mengeluhnya Guru Wiyata bukan karena ia cengeng, atau ingin dimanja. Mereka mengeluh dalam rangka menuntut hak-hak yang mestinya bisa mereka terima. Mereka mengeluh disebabkan oleh ketimpangan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan perlakukan kurang ajar. Maka, bagi guru wiyata mengeluh itu halal, bahkan dianjurkan, dalam rangka menjaga kehormatan dan hak-haknya.

Jika ada atasan atau rekan-rekan anda, wahai Guru Wiyata, yang mengatakan bahwa banyak yang antri ingin wiyata di sekolah anda, maka artinya anda sedang dibully, ditakut-takuti. Maka, jadilah macan! Tidak ada yang ditakuti kecuali Tuhan. Ck…ck..ck..

Penting disampaikan, bahwa kegemaran membully dan menggembor-gemborkan kata “syukur” adalah gaya orde baru dalam membungkam kaum tertindas. Kalau bisa dilawan, lawanlah! Kecuali jika anda ingin terus ditindas.

Ucapan-ucapan tidak senonoh yang dilontarkan kepada guru wiyata adalah bukti ketidakpedulian mereka dengan nasib yang mencekik saudaranya. Tanggapan orang-orang yang senada dengan apa yang diterima oleh teman guru wiyata kita pada cerita di atas, sama sekali tidak akan menyelesaikan persoalan. Sebaliknya, ia menjadi jarum yang menyerbu dada para guru wiyata. Maka, jika tidak punya niat atau keinginan membantu memperbaiki nasib mereka, lebih baik diam, tidak perlu juga bisik-bisik. Camkan!

Catatan:

*Guru Wiyata sering juga disebut guru tidak tetap, atau guru honorer di sebuah sekolah/madrasah, baik sekolah negeri atau swasta. Mereka punya banyak kesamaan dengan guru PNS: punya istri/suami, bisa lapar, bayar listrik, memelihara hape, mengajar dan mengurus administrasi pembelajaran, dan berkembang biak. Yang membedakan mereka dengan guru PNS, lebih pada status dan kesejahteraan (upah). Bagaimana jika statusnya biarlah berbeda, tapi upahnya sama, setujukan anda?


Blog Guru Dan Blog Bukan Guru

Kawan, perkenalkan, Ibu saya Guru TK di sebuah kampung terpencil di daerah Wonosobo. Sejak lima tahun terakhir, beliau memang sudah dibekali hand phone, dan beberapa kali pula beliau bersama rekan sekerja mengunjungi warnet untuk keperluan profesinya. Tetapi beliau tidak tahu makhluk bernama blog? Beliau tahunya internet. Makhluk bernama “internet” memang sudah dikenal semua orang. Tetapi blog? Jangankan ibu saya, Ibu Kita Kartini saja tidak tahu. Hehe… Maksud saya, banyak guru yang mengajar di kota juga tidak tahu, lebih-lebih tukang bakso.

Bakso memang enak, tetapi baiknya, kali ini kita ngomongin soal blog saja, yang semoga lebih enak, dan tentu tanpa bahan pengawet. Begini: selama ini kita sering mendengar istilah “Blog Guru.” Kenapa istilah “blog guru” ini (di)muncul(kan)? Apa saja ciri-ciri blog guru, dan apa saja hal-hal yang membedakan “blog guru” dengan “blog bukan guru”? Cuma dua tanda tanya, tapi pembahasan soal itu bisa sampai berderet-deret. 

Saya tidak tahu kapan persisnya istilah “blog guru” muncul. Tetapi saya menduga istilah tersebut pertama kali dilontarkan oleh seorang guru atau setidak-tidaknya oleh mereka (instansi maupun person) yang perhatian terhadap dunia pendidikan, khususnya menyangkut guru. Soal ini tidak begitu penting, kecuali ketika kita ingin membahas hal tersebut secara lengkap dan mendalam. Kapan dan siapa yang pertama kali melontarkan istilah “blog guru”, yang jelas istilah tersebut sudah demikian populer saat ini. 

Meski begitu, istilah “blog guru” belum bisa anda temukan di Wikipedia. Jika tidak percaya, silahkan cek di http://id.wikipedia.org/wiki/Blog. Dalam situs yang mendapat global rank 7 itu (ketika tulisan ini dibuat), diterangkan mengenai jenis-jenis blog, yang antara lain meliputi blog sastra, blog politik, blog perjalanan, blog media, blog bisnis dan lain-lain. Tidak ada jenis “blog guru” tercantum, meskipun di sana tercantum jenis blog yang mendekati, yakni blog pendidikan. 

Pengklasifikasian mengenai jenis blog saya kira akan terus berkembang, dan karenanya kita tidak terpatok pada ensiklomedia bebas Wikipedia. Bagi yang sering berkiprah di Wikipedia, mungkin bisa menyunting artikel tersebut untuk kemudian menambah “blog guru” sebagai salah satu jenis blog. Sebab Blog Guru bukan istilah yang muncul dari awang-awang. Dia benar-benar ada dan jumlahnya terus bertambah dari waktu ke waktu. 

Apa sebenarnya yang membedakan “blog guru” dengan “blog bukan guru”? Hem, sebenarnya tidak perlu berpikir panjang untuk menjawabnya. Menurut saya, blog guru adalah blog yang diasuh oleh seorang guru. Di situlah phoin penting yang membedakan blog guru dan blog bukan guru. 

“Jadi kalau ada blog bisnis yang diasuh seorang guru itu termasuk blog guru?” Ya, itu pertanyaan yang sudah saya duga akan Anda tanyakan. Penting kiranya dibedakan antara blog guru dan blog punya guru. Blog yang diasuh guru hanya salah satu ciri-ciri dari blog guru. Masih ada ciri-ciri lain yang tidak kalah penting. 

Blog Guru, selain merupakan blog pribadi yang diasuh oleh seorang guru, di dalamnya biasanya berisi konten-konten yang berkaitan dengan dunia guru (pendidikan), bisa berupa catatan harian, artikel, makalah, puisi, atau hanya Rencana Proses Pembelajaran (RPP) dan foto-foto narsis. 

“Tapi kan banyak juga blog yang berisi konten-konten pendidikan dan menyediakan jasa pembuatan ijazah, yang itu bukan diasuh seorang guru?” Memang benar, dan karenanya itu bukanlah tergolong blog guru. Biasanya, dalam sebuah blog guru, baik melalui profil penulisnya maupun dari artikel-artikelnya, terdapat keterangan bahwa pengasuhnya adalah seorang guru. 

Waduh, membahasakan ciri-ciri lumayan repot juga ya. Atau begini saja, mari kunjungi blog-blog guru, sehingga dengan itu kita bisa memberikan gambaran seperti apa wujud makhluk benama “blog guru” itu. Kunjungilah beberapa Blog Guru berikut: Guru Sawali (www.sawali.info), Omjay (www.wijayalabs.com), dan blognya Mas Yusuf di www.tintaguru.com. 

Blognya Guru Sawali (saya menduga beliau lahir di bulan Syawal), berisi konten-konten yang variatif, mulai dari kritik sastra, cerpen, esai budaya, dan hal-hal seputar dunia blogging. Tapi Sawali adalah seorang Guru dan dia tidak malu-malu untuk mengatakan identitasnya. Lalu, blognya Omjay (Wijaya Kusuma), juga berisi konten yang variatif, tetapi agaknya Omjay begitu konsen dengan bidangnya sehingga, konten-kontennya didominasi seputar masalah pendidikan dan kesehariannya sebagai seorang guru. Siapa pun tidak akan meragukan lagi bahwa blognya Omjay tergolong Blog Guru, karena begitu membukanya, di headernya terpampang jelas tulisan, “Guru Blogger Indonesia”. Luar biasa tho?

Terakhir, blog Tinta Guru. Blog ini diasuh oleh seorang guru muda yang anaknya hampir dua (semoga). Tidak jauh beda dengan blognya Guru Sawali, Blog Tinta Guru berisi banyak konten pendidikan dan sastra, selain juga dijadikan sebagai media pembelajaran online bagi siswa-siswa Madrasah Tsanawiyah. Ah, saya tidak tega untuk menerangkan tentang blog Tinta Guru lebih panjang. Yang jelas, dari namanya saja, kita sudah bisa menebak bahwa pengasuh blog itu pastilah seorang guru. 

Mengamati ketiga blog tersebut, barangkali kita sudah bisa mendapatkan gambaran yang cukup jelas mengenai apa itu blog guru dan ciri-ciri yang membedakan dengan blog bukan guru. Sekali lagi, istilah “blog guru” sudah kadung populer dan itu merupakan hal yang positif. Semakin banyak guru ngeblog, akan semakin baik. dan kita tidak perlu khawatir ketika nanti muncul istilah blog pelajar, blog petani, blog nelayan, blog tukang bakso. Ngeblog adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, sekolah dan rumah sakit sudah waktunya memberikan layanan internet gratis. Salam

sumber : http://www.tintaguru.com

TIK, Guru, Dan Masa Depan Pendidikan Indonesia

M. Yusuf Amin Nugroho *)

Entah berapa banyak orang yang kerap memperlakukan teknologi tanpa rasa syukur. Guru-guru yang belum lancar mengetik Rencana Proses Pembelajaran (RPP) dengan bantuan laptop misalnya, yang dilakukannya bukan kemudian berlatih mengetik, melainkan lebih memilih mendownload dan bahkan membeli RPP yang sudah jadi. Kekufuran berjamaah semacam itu bukannya coba diakhiri dengan upaya pendayagunaan teknologi secara maksimal, melainkan justru dirawat dan pelihara. Ya Tuhan, ampunilah kami. 

Sebenarnya, ketertinggalan kita dengan bangsa lain dalam bidang teknologi bukanlah semata pada segi kemampuan memproduksi, lebih-lebih daya masyarakat dalam membeli, melainkan lebih pada bagaimana kita memanfaatkan produk-produk teknologi yang sudah jadi. 
Kita tahu, masa depan pendidikan Indonesia sangat ditentukan oleh bagaimana Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan Guru menjalin ikatan yang kuat. Ibarat sekeping uang logam, guru dan TIK tidak bisa terpisahkan. Memang, teknologi pendidikan tidak sebatas pada TIK. Namun, jika guru abai pada TIK, niscaya langkahnya dalam mengemban amanat kemerdekaan akan terseok-seok di tengah jalan.
Pemanfaatan TIK dalam menunjang tugas profesi pendidik selama ini memang telah diupayakan oleh pemerintah. Namun, upaya tersebut lebih sering hanya berhenti pada proyek pengadaan sarana TIK, belum pada bagaimana pemanfaatan agar perangkat TIK yang tersedia dapat lebih berguna. 

Dengan adanya peningkatan kesejahteraan yang cukup besar yang diterima oleh guru (khususnya guru PNS dan yang sertifikasi) mestinya dapat disisihkan sebagian untuk meningkatkan kualitas pribadinya sebagai pendidik. Selama ini yang kerap terjadi justru bertolak belakang; alih-alih kursus komputer, membeli buku, atau mengundang para blogger untuk membimbing membuat blog, banyak guru justru lebih tergiur untuk mengikuti trend gaya hidup. Harapan meningkatkan kesejahteraan guru untuk kemajuan pendidikan pun pupus. Dan sayangnya pemerintah tidak segera membuat kebijakan khusus untuk mengakhiri fenomena ini; misal, dengan mewajibkan guru yang sudah sertifikasi untuk memiliki laptop dan blog. 

Tetapi kita cukup beruntung, karena di saat pemerintah cenderung abai pada guru-guru butaInformation Comunication and Technology (ICT), muncullah orang-orang dan komunitas-komunitas nirlaba yang peduli. Mereka bergerak, turun langsung ke sekolah-sekolah, menyebarkan virus ngeblog kepada guru-guru di berbagai pelosok, menulis dan sharing tentang pentingnya TIK bagi guru dan kemajuan pendidikan negeri ini. 
Kita patut angkat topi dan mengapresiasi mereka yang melakukangerakan mensyukuri teknologi, khususnya bagi guru-guru yang masih asing dengan dunia IT. Sebab menunggu pemerintah bergerak sama saja menunggu hujan di musim kemarau.
Ibarat air bagi orang kehausan, pengoptimalan pemanfaatan TIK untuk menunjang proses mengajar merupakan satu hal yang mendesak. Kita tahu, TIK sendiri sifatnya tidaklah ajeg, melainkan terus berkembang. Semakin lama mengabaikan pemanfaatan TIK, maka semakin sulit pula kita mengejar ketertinggalan. 

Saya pernah mengadakan survey tentang bagaimana para siswa memanfaatkan teknologi internet. Ajakan survey itu saya pasang di blog, dan di sanalah para siswa saya, yang menjadi sampel, mengisi kuisioner. Hasilnya bisa anda lihat di sini

survey pemanfaatan internetSebagaimana Anda tebak, hasil survey yang saya lakukan menunjukkan bahwa ungkapan syukur atas nikmat teknologi yang dilakukan oleh siswa tidak jauh beda dengan yang dilakukan oleh guru pada umumnya. Internet bagi anak-anak digital native memang tidak lagi menjadi makhluk asing. Tetapi sayangnya mereka menggunakan internet masih bolak-balik antara socmed, Youtube, dan game online. Sebagai guru kita mesti melek dan menyadari realitas ini, lalu berupaya bagaimana mengarahkan siswa didik untuk lebih mensyukuri teknologi. 

Ngeblog: Puncak Gunung TIK

Bagaimana orang dikatakan telah optimal dalam memanfaatkan teknologi? Orang boleh pintar membuat dan menjalankan slide pembelajaran, membuat software Exel, mendesain dengan Corel, bahkan membuat game. Tetapi ia belum bisa dikatakan sebagai orang yang optimal dalam memanfaatkan TIK ketika ia belum ngeblog

Apakah saya berlebihan? Tidak juga.  
Jika TIK kita ibaratkan sebagai gunung, maka para blogger adalah orang-orang yang berada di puncak gunung TIK. Meski memang, ngeblog tidaklah sesulit membuat software atau game. Tapi ingatlah, puncak keilmuwan bukanlah ketika kita bisa menguasai dan memahami sesuatu, tetapi ketika kita sudi membagikan sesuatu (ilmu) yang kita miliki (meskipun hanya setetes) kepada yang lain.
Dengan membagikan ilmu yang kita punya, misal tentang pembuatan media pembelajaran interaktif (MPI), maka memungkinkan ribuan orang untuk bisa melakukan hal yang sama. Berbeda jika kita diundang untuk seminar, atau pelatihan, dengan peserta dan waktu yang sangat terbatas. Padahal belum tentu juga ada yang mau mengundang kita. 

Kerelaan untuk berbagi melalui media blog menjadi cara sakti kita dalam mensyukuri teknologi. Lebih bagus lagi jika para guru juga mengajak siswa didik untuk ikut ngeblog, atau paling tidak mengenalkan kepada mereka tentang blog. Salah satu langkah strategis yang bisa dilakukan adalah dengan membuat blog dan menggunakannya sebagai media pembelajaran sekaligus sumber belajar bagi siswa didik kita. 
tintaguru
Apa yang saya sarankan tersebut sudah saya lakukan sejak kurang lebih 5 tahun belakang. Saya menciptakan ruang belajar virtual bernamaRuang Siswa: Belajar Fiqih Seru, Tanpa Dibatasi Ruang dan Waktu. Saya tantang mereka untuk ulangan harian online, dan tidak lupa pula saya memberikan materi-materi pengayaan melalui blog.
Kita paham, memberikan petuah saja tidak cukup. Anak-anak sudah paham jika korupsi itu haram, betul? Mereka juga bukan tidak tahu bahwa sebenarnya selain socmed dan game online juga banyak fasilitas lain yang tersedia di internet. Mereka sudah bisa membedakan baik dan buruk. Maka, tugas guru dan orang tua adalah bagaimana mengarahkan mereka untuk mendayagunakan teknologi dengan baik, salah satunya adalah memanfaatkan blog sebagai media dan sumber belajar bagi mereka.
Selain di gunakan sebagai media dan sumber belajar siswa, blog guru juga bisa dijadikan sebagai tempat untuk mendokumentasikan karya-karya siswa, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekolah. Karenanya, saya juga membuat saluran Youtube yang khusus menampung video pembelajaran dan hal-hal penting yang terjadi di sekolah, dan tidak lupa menautkannya di blog. 
image
Klik gambar untuk mengunjunginya!

Manfaat memiliki blog yang digunakan sebagai media pembelajaran akan berlipat ganda. Apa yang kita share di blog tidak hanya akan dimanfaatkan oleh siswa didik kita, tetapi juga oleh orang lain yang jumlahnya tak terkira. Jika ini dilakukan dengan ikhlas, tentu akan menjadi amal jariyah yang tak nilainya tak terbatas. 

Demikianlah, TIK ada untuk kita, untuk memudahkan kerja manusia. Tetapi tanpa usaha memanfaatkannya secara optimal, TIK tak lebih seperti mutiara di mulut kerang. Perubahan memang tidak bisa terjadi sekerdipan mata. Dan karenanya, kita perlu menjadi bagian dalam mengawal perubahan, salah satunya dengan bersetia mengampanyekan gerakan guru melek TIK. Mari kita mulai dari diri sendiri. 

Sebelumnya saya juga sudah menulis beberapa artikel terkait Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam menunjang proses mengajar, yang bisa dijadikan bacaan pendukung untuk artikel ini. Berikut adalah bacaan pendukung untuk artikel berikut

Guru Ilegal Dipelihara Pemerintah Tanpa Rasa Kasih Sayang



nasib malang guru ilegal


Pasal 8 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Silip (CPNS) menyebutkan bahwa Instansi Negeri dilarang mengangkat pegawai baru. Larangan ini bersifat tegas dan jelas. Tapi pada kenyatannya, kebutuhan akan tenaga baru di instansi negeri terus terjadi. Sementara pemerintah belum atau tidak mampu mengkat guru baru. Kondisi ini kemudian mengakibatkan banyak sekolah/madrasah negeri terpaksa harus mengangkat guru bantu untuk mengisi kekosongan jumlah guru.

Pemerintah jelas sangat tahu persoalan dan fenomena yang terjadi di bawah, hanya saja lebih suka menutup mata, membiarkan ribuan guru non-PNS sekolah negeri terus berambah. Dan parahnya, pembiaran ini tidak berlangsung satu atau dua tahun, tetapi sudah hampir 10 tahun. Padahal jelas, secara hukum guru non-PNS yang bekerja di instansi negeri tersebut tergolong ilegal. Lalu kenapa pemerintah membiarkan?

Kekurangan Guru

Permasalahan tenaga guru yang kurang, sebenarnya tidak hanya dialami di Indonesia. Menurut sebuah laporan yang dikeluarkan PBB, hampir setengah dari jumlah seluruh negara di dunia mengalami kekurangan tenaga guru. Kekurangan guru yang terjadi di Indonesia bukan disebabkan karena Indonesia miskin tenaga guru, melainkan karena persebaran guru yang tidak merata.

Pemerintah sendiri mengaku bahwa jumlah guru PNS masih jauh dari kondisi yang ideal. Ini terjadi hampir di setiap jenjang pendidikan. Di jenjang SMP saja misalnya, saaat ini ada kekurangan guru sejumlah 97.578 orang. Tapi kita beruntung, karena kekurangan tersebut ditutupi oleh hadirnya guru Non-PNS.

Dengan gaji yang rendah guru Non-PNS di sekolah negeri ikut mengambil peran yang besar dalam mencerdaskan generasi bangsa. Mereka memiliki beban kerja dan tanggung jawab yang sama dengan Guru PNS, tapi kesejahteraan mereka sangat tidak patut dibandingkan. Dan yang lebih ironis lagi, meski sudah mengabdi bertahun-tahun, status mereka tidak diakui menurut hukum yang berlaku.

PP Nomor 48 Tahun 2005 memang telah dua kali mengalami perubahan, yakni pada tahun 2007 dan pada 2012. Sayangnya perubahan tersebut sama sekali tidak menyentuh persoalan payung hukum bagi guru Non-PNS di sekolah negeri yang mengabdi setelah tahun 2005. Padahal, selama tidak ada perubahan pada pasal tersebut, maka selama itu pula ribuan guru yang bekerja di sekolah negeri akan terus mendapat sebutan “guru ilegal”.

Nasib Malang Guru Ilegal 

Guru non-PNS yang bekerja di instansi negeri tidak berdosa, sebab toh mereka telah mendapatkan surat tugas, meskipun hanya dari Kepala Sekolah. Bagaimana dengan Kepala Sekolah yang mengangkat mereka? Jika didasarkan pada PP. Nomor 48 tahun 2005, tentu Kepala Sekolah bersalah. Tapi kita bisa membayangkan jika semua Kepala Sekolah di negeri ini mematuhi pasal 8 PP tersebut. Betapa Indonesia akan kekurangan banyak sekali guru.

Negara berutang banyak dengan guru non PNS, dalam hal ini, mereka yang bekerja di sekolah/madrasah negeri. Sayangnya Pemerintah masih ogah mengakui keberadaan mereka. Ini menjadi bukti jika Pemerintah hanya setengah hati saja memberlakukan PP tersebut. Guru Non PNS dianggap anak jadah, tapi dipelihara. Sayangnya, ibarat orang tua, pemerintah telah durhaka pada anaknya, memelihara tanpa rasa kasih sayang, penuh rasa tak acuh, dan kadang-kadang arogan.

Sungguh malang nasib guru non PNS di sekolah negeri. Status ilegal yang melekat pada mereka membawa sekian konsekuensi yang merugikan dan melemahkan mereka mengemban tugas profesinya. Tidak seperti guru non-PNS di sekolah swasta, guru ilegal tidak bisa mengikuti program-program pemerintah, seperti sertifikasi dan mendapatkan Nomor Unik Tenaga Pendidik dan Kependidikan (NUPTK).

Melihat realita dan fenomena tersebut, kita semua berharap, Presiden dan Wakil Presiden, juga Menteri Pendidikan dan Kebudayan yang baru, dapat menyelesaikan problem yang sangat mendasar ini. Berikan legalitas, pengakuan dan kasih sayang bagi guru non-PNS di instansi negeri. Pengakuan ini tidak selalu berupa pengangkatan mereka menjadi Pegawai Negeri Sipil, bukan! Berikan kesempatan dan hak yang sama kepada mereka sebagaimana halnya yang diberikan kepada guru non-PNS di sekolah/madrasah swasta. Jika permasalahan ini tidak segera disikapi niscaya akan menjadi bom waktu, dan pendidikan di Indonesia selamanya tidak akan pernah maju.

Apa komentar anda??

rofesionalisme Guru (Analisis UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen)

P


Profesionalitas guru memang menjadi salah satu syarat utama mewujudkan pendidikan bermutu. Dan karenanya, pemerintah telah mengupayakan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan profesionalitas guru-guru di Tanah Air.

Menyadari begitu pentingnya peran guru, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004. Melalui pencanangan ini diharapkan status sosial guru akan meningkat secara signifikan dan tidak lagi hanya dilirik oleh mereka yang kepepet mencari kerja.[1] Eksistensi guru tersebut dikukuhkan dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang ditandatangani Presiden RI pada 30 Desember 2005.

UU guru dan dosen memang sangat dibutuhkan untuk melengkapi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.[2]

Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.


Meskipun tujuan dari lahirnya UU tersebut begitu mulai, tetapi tidaklah luput dari beberapa permasalahan dan kendala. Guru profesional adalah guru yang mendapatkan sertifikat dari pemerintah, dan berhak mendapatkan tunjangan profesi. Sementara guru-guru yang belum mendapatkan sertifikat, seolah-olah dianggap sebagai guru yang belum profesional. Padahal yang namanya guru, mendapat tunjangan profesi atau tidak, tetaplah harus bekerja secara profesional. Hal tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya iri antar guru yang sudah sertifikasi dan yang belum, sehingga bisa menjadi hambatan guru dalam melaksanakan tugasnya.

Profesionalitas guru yang sudah mendapatkan sertifikat profesi itu sendiri masih dipertanyakan banyak pihak. Sertifikat profesi seakan-akan hanya bersifat formalitas belaka, tidak menyentuh substansinya. Oleh sebab itu, kriteria atau ukuran yang digunakan pemerintah sebagai syarat guru mendapatkan sertifikat profesi perlu ditinjau lebih dalam.

Berdasarkan pemaparan di atas, tulisan ini bermaksud menganalisis seberapa jauh UU No. 14 Tahun 2003 tentang Guru dan Dosen mengatur tentang profesionalisme guru untuk kemudian dikaji kelemahan dan kelebihannya.



Latar Belakang Lahirnya UU Guru dan Dosen

Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) yang berbunyi: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," dan ayat (5) yang berbunyi: "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.", UU Guru dan Dosen juga lahir bertujuan untuk memperbaiki pendidikan nasional, baik secara kualitas maupun kuantitas, agar sumber daya manusia Indonesia bisa lebih beriman, kreatif, inovatif, produktif, serta berilmu pengetahuan luas demi meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa. Perbaikan mutu pendidikan nasional yang dimaksud meliputi, Sistem
Pendidikan Nasional, Kualifikasi serta Kompetensi Guru dan Dosen, Standar Kurikulum yang digunakan, serta hal lainnya.

Dalam kaitannya dengan Guru sebagai pendidik, maka pentingnya guru professional yang memenuhi standar kualifikasi diatur dalam pasal 8 Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen (UUGD) yang menyebutkan bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lebih dalam lagi pada pasal 10 ayat (1) UUGD dan Pasal 28 ayat 3 PP 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kompetensi guru yang dimaksud meliputi:

a. Kompetensi pedagogik;
b. Kompetensi kepribadian;
c. Kompetensi profesional; dan
d. Kompetensi sosial.

Selain mengatur hal-hal penting di atas, UUGD juga mengatur hal lain yang tak kalah pentingnya bagi kemajuan dan kesejahteraan para guru.

Isi Pokok UUGD

UU Guru dan Dosen terdiri dari 84 pasal. Secara garis besar, isi dari UU ini dapat dibagi dalam beberapa bagian.

Pertama, pasal-pasal yang membahas tentang penjelasan umum (7 pasal) yang terdiri dari:
(a) Ketentuan Umum,
(b) Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan, dan
(c) Prinsip Profesionalitas.

Kedua, pasal-pasal yang membahas tentang guru (37 pasal) yang terdiri dari
(a) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi,
(b) Hak dan Kewajiban,
(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
(e) Pembinaan dan Pengembangan,
(f) Penghargaan,
(g) Perlindungan,
(h) Cuti, dan
(h) Organisasi Profesi.

Ketiga, pasal-pasal yang membahas tentang dosen (32 pasal) yang terdiri dari
(a) Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik,
(b) Hak dan Kewajiban Dosen,
(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
(e) Pembinaan dan Pengembangan,
(f) Penghargaan,
(g) Perlindungan, dan
(h) Cuti.

Keempat, pasal-pasal yang membahas tentang sanksi (3 pasal).

Kelima, bagian akhir yang terdiri dari Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup (5 Pasal).
Dari seluruh pasal tersebut di atas pada umumnya mengacu pada penciptaan Guru dan Dosen Profesional dengan kesejahteraan yang lebih baik tanpa melupakan hak dan kewajibannya.

Guru Profesional

Dalam Pasal 1 UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (selanjutnya disingkat UUGD) disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[3]

Guru profesional sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.[4]
Menurut Oemar Hamalik, guru profesional, harus memiliki persyaratan yang meliputi: memiliki bakat sebagai guru, memiliki keahlian sebagai guru, memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi, memiliki mental yang sehat, berbadan sehat, memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, guru adalah manusia berjiwa pancasila, dan seorang warga negara yang baik.[5]

Apa yang disampaikan Oemar Hamalik tersebut, tidak jauh beda dengan pasal yang tercantum dalam UUGD, pasal 8, 9, dan 10, sebagai berikut:

Pasal 8: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 9: Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Pasal 10: (1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Kemudian dalam tugas keprofesionalannya, guru mempunyai tugas:
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.[6]

Type Guru Profesional sebagaimana digambarkan dalam UUGD di atas menurut penulis sudahlah baik, sehingga tidak perlu untuk dibahas lebih jauh.

Guru Profesional dalam Perspektif Islam

Guru sebagai tulang punggung pendidikan Islam memiliki eksistensi yang sangat kuat. Dalam pendidikan Islam menurut Syekh az-Zamuji dalam kitabnya Ta’lim Muta’lim di antara syarat seseorang untuk dapat belajar dengan sukses adalah menghormati guru sama seperti menghormati ilmu. Santri (siswa) tidak akan memperoleh ilmu dan mendapat manfaatnya tanpa menghormati ilmu dan gurunya. Demikian besar posisi dan fungsi guru se­hingga menghormatinya itu lebih baik dibandingkan seke­dar mentaatinya. Menurut kitab rujukan utama para santri ini, manusia tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tetapi manusia menjadi kufur karena tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah.
Dalam lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu miniatur pendidikan Islam, seorang guru tidak di­
syaratkan memiliki kualifikasi pendidikan tertentu. Tidak ada catatan sejarahnya seorang guru yang akan mengajar diminta keterangan ijazah pendidikan tertentu. Sekalipun puluhan tahun belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain, bukan ijazah yang dilihat oleh masyarakat tapi kemampuannya (kompetensi) dalam mengamalkan ilmu dan manfaatnya bagi masyarakat. Kompetensi amaliah ini kemudian melahirkan stratifikasi guru agama. Bila hanya lingkup kecil biasanya cukup disebut ustadz. Namun bila pengaruhnya sudah luas apalagi ditambah dengan ke­mampuannya memimpin pesantren dengan santri ban­yak, maka akan tersanding sertifikat gelar Kyai (di Sunda ajeungan). Tidak setiap orang bisa memperoleh sertifikat ini, karena masyarakat memberikan khusus kepada orang tertentu dengan kriteria tertentu. Bahkan bila ada guru agama yang telah mencapai gelar terhormat ini kemudian memiliki sifat dan sikap yang tidak sesuai dengan kualifi­kasinya, maka gelar tersebut akan dicabut kembali oleh masyarakat.[7]

Dalam perspektif Islam, seorang pendidik (guru) akan berhasil menjalankan tugasnya apabila memiliki pikiran kreatif dan terpadu serta mempunyai kompetensi profesional religius.[8]

Yang dimaksud kompetensi profesional religius sebagaimana di atas adalah kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara profesional. Artinya, mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkannya berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.[9]

Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentang hal itu, (karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan di tanya. (Q.S. Al-Isra’ [17]: 36)
Firman di atas sudah sangat tegas menjelaskan bahwa seorang guru mestilah memiliki kompetensi profesional sebagaimana diamanatkan dalam UUGD. Dalam kaitan ini, al-Ghazali pernah berkata, “ Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Perumpamaan guru yang membimbing murid, bagaikan ukiran dan tanah liat atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya dan bagaimana mungkin bayangan akan lurus kalau tongkatnya bengkok .”[10]

Memang, adakalanya seorang guru dalam mengajar menemui permasalahan. Keadaan yang demikian mengharuskan adanya suatu program yang disebut on-service training. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengadakan pertemuan berkala dan rutin di antara para guru yang mempunyai bagian sama, sehingga terjadi tukar pikiran di antara para guru itu dalam mencari alternatif pemecahannya.[11]

Mengukur Keprofisonalan Guru

Sebagaimana sudah disebutkan, guru profesional setidaknya harus memenuhi empat kompetensi, yakni kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.
Untuk mengukur keempat kompetensi tersebut, pemerintah menyelenggarakan program sertifikasi guru. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah, dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.

Bagi yang lulus sertifikasi, maka mereka mendapatkan sertifikat sebagai guru professional sesuai dengan mata pelajaran yang diampu.

Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi tidak disebutkan secara detail di UUGD dan telah dibuat peraturan pemerintah yang memuat secara khusus berkaitan dengan sertifikasi. Aturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Dalam ketentuan lanjutan itulah banyak persoalan muncul.

Kita tahu, sebelum tahun 2011, pola sertifikasi melalui portofolio, sementara bagi yang belum lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Pola tersebut berubah pada tahun 2011 ini, pemerintah mengubah kebijakannya dengan memperbanyak alokasi PLPG, dan portofolio hanya 1%.

Portofolio sendiri banyak mengalami kendala karena banyaknya guru-guru yang disinyalir memalsukan sertifikat-sertifikat atau penghargaan untuk mendapatkan nilai yang baik. Sedangkan dalam PLPG, yang diujikan adalah kompetensi pedagogik guru, sementara dua kompetensi yang lain, yakni kepribadian dan sosial tidak jelas bagaimana cara mengukurnya.

Selain itu, syarat untuk bisa mengikuti PLPG juga patut dikritisi. Dalam buku pedoman sertifikasi guru 2012, disebutkan bahwa syarat untuk mengikuti sertifikasi guru adalah minimal guru sudah mengajar sebelum UUGD ditetapkan, yakni sebelum tanggal 30 Desember 2005. Syarat ini tentu membuat guru-guru yang baru harus menunggu mengajukan sertifikasi.

Menyerahkan pendidikan guru pada sebuah lembaga khusus juga akan membawa akibat, pertama yang paling mungkin adalah pergeseran makna kualitas yang hanya ditetapkan melalui sertifikat. Kualitas guru yang paling mungkin tahu adalah peserta didik dan lingkungan tempat guru mengajar. Hal yang sama pula menyangkut kebutuhan guru seperti apa yang dibutuhkan hanya lingkungan sekolah itu yang tahu. Sebaiknya upaya untuk meningkatkan kualitas tidak saja bersandar pada lembaga pendidikan melainkan juga menggali kritik, saran, dan pertimbangan publik.[12]

Kebijakan pemerintah tentang ren­cana sertifikasi bagi guru-guru juga melahirkan fenomena baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi, guru-guru yang sampai saat ini belum menempuh pendidikan strata satu atau guru yang sudah lama mengajar tetapi bukan berlatar belakang pendidikan (baca: tidak memiliki akta mengajar). Para guru yang selama ini sudah mengajar anak didiknya dengan penuh tanggung jawab dan kecin­taannya untuk mengabdikan diri dalam lingkungan pen­didikan menjadi takut kehilangan kesempatannya untuk mengajar, hanya karena belum lulus S-1 atau tidak me­miliki akta mengajar. Mereka menjadi kalang kabut, se­hingga mereka menjadi latah, cepat-cepat mengikuti S-1 dan mendapatkan akta mengajar. Rasa takut yang berlebihan mengakibatkan mereka tidak berpikir panjang untuk mencari kejelasan tentang in­formasi tersebut dan bersabar menunggu kepastian akan kebijakan tersebut. Mereka sudah tidak memikirkan lagi tentang biaya pendidikan atau kewajiban mengajarnya, bahkan lembaga pendidikan yang akan mereka masuki. Yang penting bagi mereka adalah cepat-cepat menyele­saikan S-1 dan memiliki akta mengajar, karena mereka tidak mau diberhentikan dari pekerjaannya sebagai pengajar.[13]

Penghargaan terhadap Guru Profesional

Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, pemerintah memberikan reward (penghargaan) berupa:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya.[14]

Tujuan diberikan reward tersebut adalah untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru. Bentuk kesejahteraan yang sekarang dapat dinikmati guru besertifikasi adalah mendapatkan tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji sesuai dengan golongan dan masa kerja masing-masing. Tunjangan tersebut tidak hanya guru yang berstatus PNS, tetapi juga swasta. Sedangkan guru yang belum besertifikasi, pemerintah memberikan TPP (Tunjangan Perbaikan Penghasilan) sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah perbulan.

Tunjangan sertifikasi yang diberikan ternyata tidak berbanding lurus terhadap kinerja guru. Setelah diberlakukan sertifikasi sejak 2006 sampai sekarang ternyata belum memiliki pengaruh signifikan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata, sekadar formalitas dengan menunjukkan selembar portofolio yang mereka dapat dengan cara-cara instan.[15]

Penghargaan kepada guru yang sudah sertifikasi tersebut juga telah memicu adanya kecemburuan guru-guru yang lain. Kecemburuan ini mengakibatkan kinerja guru-guru non-sertifikasi tidak maksimal dalam bekerja.
Semestinya tidak ada pengotak-kotakan guru dengan cara memisah antara guru bersertifikat profesi dan guru biasa (non-sertifikasi). Bukankah semua guru haruslah bekerja secara profesional? Kebijakan pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan guru memang patut untuk dihargai, tetapi cara penanganannya masih setengah-setengah.

Ada sebuah ungkapan menarik dari Iwan Hermawan, Sekjen Forum Guru Independen Indonesia. Menurutnya, UUGD tidak mencerminkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Buktinya untuk sejahtera saja, guru harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pemerintah.[16]

Memang melalui UUGD kita berharap kesejahteraan guru menjadi meningkat. Akan tetapi, menurut Eko Prasetyo, UUGD ini telah terjebak dalam logika sesat tentang pembelajaran. UUGD ini tampaknya buta secara historis kalau guru memiliki peran signifikan dalam pembentukan kesadaran dan tradisi intelektual siswa. Fungsi politis guru ni dikalahkan oleh keinginan negara mengatur secara administrasi pengelolaan guru dan menumpahinya dengan peningkatan pendapatan.[17]

Selain hal di atas, pemberian tunjangan profesional ini juga tidak didukung oleh anggaran dana yang disediakan oleh pemerintah. Akibatnya, pelaksanaan sertifikasi menyebabkan proses sertifikasi sering mengalami masalah teknis, seperti terbatasnya dana bagi assessor atau penundaan pelaksanaan sertifikasi, dan lain sebagainya.

KESIMPULAN


Berbagai problem yang mendera bangsa ini bisa dibereskan melalui pendidikan, dan guru menjadi aktor yang penting yang mampu menjalankan peranannya ini. Sebagai sebuah profesi, guru memang sudah selayaknya memiliki payung hukum tersendiri sehingga mendapatkan perlakuan yang layak dari berbagai pihak. UU no. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang diberlakukan kini, memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri.
Misi dari UUGD ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, salah satunya adalah dengan meningkatkan keprofesionalan guru. Sayangnya, dalam teknis pelaksanaanya beberapa pasal yang mengatur keprofesionalan guru mengalami hambatan dan kendala baik teknis maupun teoritis.

Membaca UUGD ini kita seperti berhadapan dengan utopia negara tentang pekerjaan mendidik, yang sama halnya dengan karyawan. Seorang yang ingin dikatakan guru profesional maka harus memiliki sertifikat profesi, yang mana sertifikat tersebut mesti di up date melalui uji kompetensi. Hal ini membuat guru menjadi tertekan, dan akibatnya tugasnya menjadi terbengkelai.

Pemberian tunjangan profesi yang tidak merata dengan syarat-syarat yang berat juga telah menimbulkan kecemburuan di kalangan guru, yang berimbas pada kinerja.

SARAN KEBIJAKAN

Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah semestinya untuk ditinjau kembali untuk kemudian direvisi pada pasal-pasal yang kurang bijaksana. Guru memang sudah selayaknya mendapatkan tunjangan profesi, dan semestinya pemerintah tidak pilih kasih memberikan kesejahteraan kepada guru. Sebab, semua guru, baik yang sertifikasi atau belum mesti bekerja secara profesional, dan karenanya patut untuk mendapatkan kesejahteraan yang sama