Kamis, 05 Maret 2015

Sebuah Catatan dari Tanah yang Terlupakan


Melawan Takluk
Enam puluh delapan tahun lebih sudah negeri ini merdeka, setelah mencicipi pahit dan perihnya penjajahan yang tak terkira. Negeri ini pernah merasakan bagaimana sulitnya 350 tahun hidup dibawah telunjuk kompeni Belanda, kemudian kurang lebih tiga setengah tahun terpaksa mengikuti Jepang dengan program kerja paksanya. Maka, euphoria menyambut kemerdekaan kala itu, sungguh adalah kebahagiaan tak terkira. Sebuah kado indah, buah perjuang yang tak kenal lelah sebab kita ingin mengatur sendiri urusan rumah tangga Indonesia.
Enam puluh delapan tahun, kurun masa itu kita menata Indonesia. Berganti pemimpin dan nahkoda mengarahkan laju Indonesia. Seantero Nusantara telah menjadi saksi sejarah, tentang pemimpin yang setia dan berdusta, tentang orang-orang yang telah melakukan kerja nyata dan yang pandai beretorika, tentang pemimpin yang menunaikan janji dan yang hanya pandai mengumbar janji, tentang yang bekerja apa adanya, dan yang berbuat kala ada maunya.
Enam puluh delapan tahun kita gerah dengan segala tipu daya penguasa. Mengakunya peduli, tapi tak pernah memberi bukti. Seaolah ada tembok pemisah antara pemimpin dan warga. Nyaris, rakyat jelata terlupa dari diskusi para politisi yang dulu pernah memberi harap kala musim kampanye tiba.
Ah…saya memang sedang marah, ketika melihat realita yang mengundang iba. Bagaimana tidak, enam puluh delapan tahun sudah kita merdeka, tapi masih saja ada masyarakat yang tak sempurna menikmati pendidikan. Bahkan konon, masih banyak tempat di tanah negeri ini yang merasakan nasib serupa. Nama mereka terlupa dari kepala pemimpin-pemimpin kita.
Di sini, di Dusun Sisere, di tanah yang terlupakan ini, bersama Gerakan iqra’ Mengajar, saya diperlihatkan pada sebuah kondisi nyata tentang sisi lain tanah Indonesia. Jangan pernah membayangkan jalanan beraspal mulus kesana, sebab memang kau tak akan menemukannya. Memasuki dusun terpencil ini, kami disambut terjalnya medan pegunungan, beberapa kali kendaraan kami berhenti, tak kuat melaju, saat memasuki jalanan berlumpur, teman kami bahkan ada yang sempat terjatuh.
Tiba di perkampungan dusun Sisere, beberapa anak-anak telah setia menanti, mereka telah hafal betul hari kedatangan kami. Sebagian teman-temannya sedang asik bermain dirumah masing-masing. Tak mudah mengajak mereka untuk ikut sama-sama belajar di pagi hari ini. Kami mengajak beberapa anak untuk memanggil teman-temannya, menyusuri rumah demi rumah. “De, belajar di masjid ayo…ada banyak hadiah disana…” bujuk kami pada anak-anak polos itu.
Sebagian anak-anak tinggal di sebuah perkampungan seberang sungai. Hari itu, kami bertekad untuk juga memanggil mereka. Enam orang kami berangkat kesana, mengajak satu persatu anak-anak untuk dipanggil belajar. Hari itu, awan sedang mendung, beberapa orang tua khawatir mengijinkan anak-anaknya ikut bersama kami. “Kalau hujan deras biasanya arus sungai kencang, biar jo, minggu depan baru ikut…” ujar salah satu warga yang kami datangi. Pada warga yang menijinkan anak-anaknya ikut belajar, kami memberikan garansi bahwa akan mengantar mereka kembali kerumah. Jadilah kami pengajar sekaligus tukang antar jemput murid sekolah.
Melawan Takluk IIJam menunjukan tepat pukul 09:00, anak-anak telah berkumpul di halaman masjid. Kami membagi mereka menjadi tiga kelas. Semuanya belajar dialam terbuka, hanya ketika hujan mengguyur, kami pindah di teras dan kolong rumah penduduk. Tawa ceria mereka, menjadi pelepas segala lelah menempuh beratnya perjalanan ke tempat ini.
“Devan, satu tambah enam berapa?”
“Tiga…” jawabnya bersemangat, jawaban yang disambut tawa semua kami yang melihatnya. Anak itu juga ikut tertawa lepas, ia tak peduli, yang ia tahu, ia tetap belajar, dan besar nanti, ia ingin menjadi guru.
Tepat pukul 12:00 pelajaran kami akhiri. Sebelum pulang, kami memenuhi janji untuk mengantar kembali anak-anak sebrang sungai. Hujan perlahan semakin asik mengguyur, membasahi tubuh anak-anak yang sebagian sudah bertelanjang dada. Girang bukan kepalang mereka menyambut hujan, sementara kami, justru semakin khawatir, sebab jalanan pasti akan becek dan licin.
Diperjalanan pulang, bayangku terbang ketempat dimana saya dulu pernah mengajar anak-anak. Balaesang tanjung, anak-anak itu selalu membuat saya rindu, rindu yang bercampur gundah pada kondisi pendidikan di negeriku. Sudahlah… nasi telah menjadi bubur, tugas kita hari ini adalah memperbaiki keadaan, menunaikan janji kemerdekaan. (Fahry

Tidak ada komentar: