Kita mungkin sering mendengar frasa, " Guru kencing berdiri, murid
kencing berlari". Sebuah frasa yang memberikan gambaran, bahwa peserta
didik akan meniru apa yang dilakukan gurunya. Tak heran, bila
dikatakan bahwa anak itu peniru ulung.
kencing berlari". Sebuah frasa yang memberikan gambaran, bahwa peserta
didik akan meniru apa yang dilakukan gurunya. Tak heran, bila
dikatakan bahwa anak itu peniru ulung.
Dalam literatur Sunda dikatakan
bahwa GURU itu " digugu jeung ditiru" ( dipatuhi dan diteladani).
Artinya sama, guru adalah teladan bagi muridnya.
IDEALITAS dan REALITAS
IDEALITAS #1
Bahwa guru adalah sosok yang amat berjasa dalam perjalanan hidup
seseorang, adalah benar tak terbantahkan. Ia menjadi semacam lentera
ilmu bagi anak didiknya. Dalam posisi ini, guru dituntut untuk selalu
"mengupdate" keilmuan dan wawasannya. Ia menjadi sosok haus belajar
dan haus ilmu.
REALITASNYA : banyak guru yang terlena dalam status quo. Merasa diri
bisa karena bertahun-tahun mengajar kelas yang sama dengan materi yang
sama. Ia tidak memperbaharui cara mengajarnya, cara pendekatan dengan
murid, dan tidak menjadi agen perubahan. Padahal pemerintah sudah
mensyaratkan, guru itu harus SARJANA, dalam bahasa India, SRI JANHA
yang artinya Mujadid, atau pembaharu.
IDEALITAS #2
Bahwa guru adalah sosok yang bisa digugu dan ditiru. Segala
perilakunya menjadi panutan dan rujukan murid dan masyarakat. Ia
menjadi teladan dalam kehidupan.
REALITASNYA : Na'udzubillah, banyak kasus asosial yang dilakukan guru
terhadap muridnya, dalam berbagai bentuk. Banyak pula kasus negatif
yang melibatkan guru, baik dengan anak didiknya maupun dengan
masyarakat.
IDEALITAS #3
Bahwa status guru itu melekat pada diri guru, baik ketika ia di
sekolah maupun di masyarakat. Masyarakat menganggap dan menyebut
seseorang "guru", kapanpun dan di manapun. Artinya, seorang guru
adalah tetap guru di mana saja dan kapan saja, walaupun di dunia maya.
REALITASNYA : saya melihat banyak guru, misalnya guru akhwat, yang
ketika di sekolah ia berjilbab, aurat tertutup, bahkan menyuruh
muridnya berbuat seperti itu. Namun ketika di luar jam sekolah,
kembali mempertontonkan auratnya.
Guru ikhwan, sangat marah ketika muridnya merokok di sekolah. Namun ia
dengan penuh kenikmatan, menghisap asap rokok, bahkan di depan
muridnya.
Di dunia media sosial, semacam Facebook, terkadang kita menemukan
"status" nyeleneh, kurang bermakna, dan kurang patut keluar dari
"mulut" atau "tulisan" seorang guru.
Yups, semua opini di atas mungkin ada yang membantah. Namun, biarlah
semua bergulir. Semua berjalan dengan satu tujuan, mempersembahkan
yang terbaik bagi anak bangsa.
Kurikulum yang berubah, atau kembali ke kurikulum sebelumnya, menurut
saya tidak masalah. Sehebat apapun kurikulum, bila gurunya tidak
berubah mindset, keilmuan, dan visi mendidiknya, menjadi sia-sia.
Ternyata, gampang-gampang susuah ya jadi guru itu. Gampangnya, seorang
yang akhlaknya kurang baikpun, bila kualifikasi akademisnya sesuai,
bisa saja jadi guru. Susahnya, jadi guru bukan prestise, namun
tanggungjawab berat bila dilakoni dengan ikhlas.
bahwa GURU itu " digugu jeung ditiru" ( dipatuhi dan diteladani).
Artinya sama, guru adalah teladan bagi muridnya.
IDEALITAS dan REALITAS
IDEALITAS #1
Bahwa guru adalah sosok yang amat berjasa dalam perjalanan hidup
seseorang, adalah benar tak terbantahkan. Ia menjadi semacam lentera
ilmu bagi anak didiknya. Dalam posisi ini, guru dituntut untuk selalu
"mengupdate" keilmuan dan wawasannya. Ia menjadi sosok haus belajar
dan haus ilmu.
REALITASNYA : banyak guru yang terlena dalam status quo. Merasa diri
bisa karena bertahun-tahun mengajar kelas yang sama dengan materi yang
sama. Ia tidak memperbaharui cara mengajarnya, cara pendekatan dengan
murid, dan tidak menjadi agen perubahan. Padahal pemerintah sudah
mensyaratkan, guru itu harus SARJANA, dalam bahasa India, SRI JANHA
yang artinya Mujadid, atau pembaharu.
IDEALITAS #2
Bahwa guru adalah sosok yang bisa digugu dan ditiru. Segala
perilakunya menjadi panutan dan rujukan murid dan masyarakat. Ia
menjadi teladan dalam kehidupan.
REALITASNYA : Na'udzubillah, banyak kasus asosial yang dilakukan guru
terhadap muridnya, dalam berbagai bentuk. Banyak pula kasus negatif
yang melibatkan guru, baik dengan anak didiknya maupun dengan
masyarakat.
IDEALITAS #3
Bahwa status guru itu melekat pada diri guru, baik ketika ia di
sekolah maupun di masyarakat. Masyarakat menganggap dan menyebut
seseorang "guru", kapanpun dan di manapun. Artinya, seorang guru
adalah tetap guru di mana saja dan kapan saja, walaupun di dunia maya.
REALITASNYA : saya melihat banyak guru, misalnya guru akhwat, yang
ketika di sekolah ia berjilbab, aurat tertutup, bahkan menyuruh
muridnya berbuat seperti itu. Namun ketika di luar jam sekolah,
kembali mempertontonkan auratnya.
Guru ikhwan, sangat marah ketika muridnya merokok di sekolah. Namun ia
dengan penuh kenikmatan, menghisap asap rokok, bahkan di depan
muridnya.
Di dunia media sosial, semacam Facebook, terkadang kita menemukan
"status" nyeleneh, kurang bermakna, dan kurang patut keluar dari
"mulut" atau "tulisan" seorang guru.
Yups, semua opini di atas mungkin ada yang membantah. Namun, biarlah
semua bergulir. Semua berjalan dengan satu tujuan, mempersembahkan
yang terbaik bagi anak bangsa.
Kurikulum yang berubah, atau kembali ke kurikulum sebelumnya, menurut
saya tidak masalah. Sehebat apapun kurikulum, bila gurunya tidak
berubah mindset, keilmuan, dan visi mendidiknya, menjadi sia-sia.
Ternyata, gampang-gampang susuah ya jadi guru itu. Gampangnya, seorang
yang akhlaknya kurang baikpun, bila kualifikasi akademisnya sesuai,
bisa saja jadi guru. Susahnya, jadi guru bukan prestise, namun
tanggungjawab berat bila dilakoni dengan ikhlas.
courtesy : http://www.diaf.web.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar