Survey kementerian kesehatan tentang perokok mencengangkan. Perokok di Indonesia cukup tinggi, dan 63 persennya adalah pemuda/remaja, termasuk di dalamnya para pelajar, dari mulai jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Survey tersebut memang menggunakan sampel, namun bila dilihat lebih jauh, kemungkinan angka tersebut jauh lebih kecil dibanding realitas sebenarnya.
Banyak faktor yang memberikan sumbangsih peningkatan jumlah perokok remaja. Iklan rokok yang "jor-joran" di berbagai media, cukup berpengaruh secara signifikan. Belum lagi sponsoring oleh perusahaan rokok terhadap event-event besar dalam dunia olahraga dan musik.
Namun, bila kita perhatikan lebih seksama, ada faktor dominan yang menyebabkan angka perokok aktif ini bertambah, terutama kalangan remaja, yaitu faktor " keteladanan".
Keteladanan siapa?
Pertama, keteladanan orang tua ( terutama ayah). Sang ayah merokok dengan nikmatnya di hadapan anak laki-lakinya. Lambat laun ini menjadi contoh yang akan ditiru anaknya. Anaknya akan berfikir, siapa yang akan melarangnya merokok, ayah juga melakukan hal yang sama.
Kedua, keteladanan atau contoh dari ustad/kiai/ atau al mukarom mubaligh. Mereka semua adalah guru dan panutan umatnya. Ketika mereka melakukan sesuatu, termasuk merokok, ini akan menjadi semacam "legalisasi" bagi umatnya atau santrinya untuk menirunya. "Wong" pak ustad juga merokok, berarti boleh bagi si santri untuk melakukan hal yang sama.
Ketiga, keteladanan guru. Dalam bahasa "kirata" atau dikira-kira tapi nyata, sebuah perbendaharaan bahasa Sunda, guru itu "digugu" dan "ditiru". Ingat, menurut salah seorang pakar pendidikan, anak itu peniru ulung. Ketika guru merokok di depan siswa atau muridnya, maka kemungkinan besar muridnya akan meniru perbuatan tersebut. Dan pada saat yang sama, sang guru tak punya hak sedikitpun untuk melarang muridnya merokok, bahkan di sekolah.
Ada kejadian lucu juga, ketika sekumpulan anak di sebuah sekolah dasar di Cianjur, rame-rame merokok di sekolah. Tentu ini diketahui oleh gurunya, yang sontak memanggil dan memarahi murid-muridnya yang merokok tersebut, bahkan memberikan sanksi.
Perbuatan guru tersebut, benar dalam koridor menegakan aturan bahwa sekolah itu bebas asap rokok. Namun, hal demikian menjadi sangat salah dilakukan sang guru, mengingat ia pun adalah perokok yang tidak sanggup menahan "syahwat" merokoknya, bahkan di hadapan murid-muridnya.
Sebuah ironi dalam dunia persekolahan kita. Sekolah yang harusnya menjadi pusat budaya, pusat pembentukan karakter, namun ternyata dikotori oknum guru ketika memperlihatkan contoh tak terpuji di hadapan muridnya.
Jadi, bila guru merokok, muridnya pun kemungkinan besar merokok pula. " Guru kencing berdiri, murid kencing berlari"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar