Sabtu, 07 Maret 2015

ANAK-ANAK HEBAT DARI KALIMANTAN




Berkunjung di pedalaman Kalimantan bagi sebagian orang menjadi momok yang menakutkan. Mitos-mitos tentang mengayau “memenggal kepala”, ganasnya penyakit malaria, dan lebatnya hutan menjadi katalisator sebagian orang untuk menghindari Kalimantan sebagai tempat kerja. Namun bagi saya berkunjung di Kalimantan adalah sesuatu yang menyenangkan, ramahnya masyarakat suku dayak, dinamika dan budaya masyarakat yang unik, hutan rimba dengan aneka flora dan fauna, menjadi kenikmatan tersendiri untuk dinikmati.

Dalam beberapa kesempatan berkunjung di Kalimantan saya beberapa kali mengajar, baik secara formal di sekolah ataupun sekedar menemani anak-anak pedalaman untuk belajar bersama. Mengajar atau belajar bersama anak-anak di pedalaman merupakan pengalaman tersendiri yang menyenangkan bahkan bisa menjadi pengayaan atau pembelajaran langsung bagi saya.
Kondisi sekolah di pedalaman kalimantan hampir sebagian besar sangat jauh dari layak sebagai tempat belajar mengajar secara formal. Media pengajaran seperti buku adalah barang langka, apalagi listrik dan pendingin udara (AC). Hal ini diperparah juga dengan kondisi jalan yang rusak, jangankan motor, untuk jalan kaki saja masih terpeleset.
Di Kalimanta Barat saya menemui fakta bahwa perjalanan yang harus ditemput anak menuju sekolah adalah 4 km, jadi pulang pergi total jarak adalah 8 km melewati hutan.Secara fisik anak-anak di pedalaman jauh lebih kuat daripada anak di kota-kota seperti Jakarta, Surabaya atau Yogyakarta. Di kota tersedia fasilitas bus, mobil angkot, atau becak, sementara di pedalaman anak-anak harus berjalan kaki melintasi hutan yang terkadang terjebak dalam hujan lebat.
Anak-anak pedalaman mempunyai daya tahan untuk hidup (survival). Selain anak-anak yang berjalan kaki pulang pergi dari rumah ke sekolah setiap hari, ada anak-anak dari daerah hulu (pedalaman) yang hidup di pondok-pondok di sekitar sekolah, dan pulang ke rumah setiap 1 minggu sekali. Anak-anak yang mondok ini biasa membawa perbekalan untuk hidup selama seminggu seperti beras, ikan asin, dan mencari sayur di hutan-hutan sekitar gubuk atau tempat tinggal. Coba seandainya hal itu dilakukan oleh anak-anak di kota, tanpa uang saku anak-anak kota sudah merengek-rengek menangis dan mogok sekolah, bahkan kadang sampai mengancam orang tua jika tidak diberi uang saku, atau tidak dibelikan handphone, bahkan sepeda motor. Anak-anak di pedalaman lebih kreatif dan solutif jika menemukan masalah, bukan mengancam atau menintimidasi orang tua.
Soal kecerdasan anak-anak di pedalaman tidak kalah hebat, namun beberapa guru kadang tidak menggunakan metode yang tepat untuk mentransfer ilmunya. Hal ini pernah saya alami sendiri. Suatu saat saya mengajar anak kelas 1 SMP (kelas VII), saya menanyakan soal matematika berapa 12 x 4 =? Anak yang saya tanya hanya diam tidak menjawab kebingungan, ketika saya tanya berapa harga 1 kg karet, dijawab dengan cepat Rp. 12.000,- dan ketika saya tanya lagi kala 4 kg berapa harganya ? dengan cepat pula dijawab Rp. 48.000,- Anak-anak ini cerdas namun kadang kita tidak memahami bahasa atau metode yang tepat untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi-potensi mereka.

Pengalaman yang unik lain saya dapatkan di Kalimantan Tengah, suatu ketika ada seorang guru baru yang mengajar Biologi. Guru tersebut menggunakan media pengajaran berupa gambar seekor rusa untuk menjelaskan aneka satwa yang ada di Indonesia. Anak-anak hanya tertawa karena rusa bagi anak-anak di pedalaman adalah hal yang tidak asing sangat mudah dilihat langsung bahkan beberapa ada yang memelihara, paling tidak pernah memakannya sebagai sumber protein yang lezat, dan tentu beda dengan sang guru dari pulau seberang yang hanya pernah melihat dari poster atau dari siaran National Geographic. Dalam konteks ini justru sang guru melangkah mundur dengan membawa kehidupan nyata anak-anak yang dialami langsung ke dalam dunia imajinasi guru yang tidak nyata.
Soal fasilitas, seragam dan sepatu adalah hal yang langka, dan menjadi tidak penting bagi anak-anak yang bersekolah di pedalaman. Seragam bukanlah keharusan di tengah keterbatasan fasilitas pendidikan di pedalaman, apalagi sepatu. Jika di kota anak-anak memakai sepatu supaya rapi, dan kakinya tidak kotor, maka hal yang unik terjadi di pedalaman ketika saya tanya ke beberapa anak kenapa tidak memakai sepatu, jawabnya adalah sepatu disimpan di rumah, karena jalan becek dan takut sepatunya kotor.
Anak-anak di pedalaman adalah anak-anak hebat dengan daya survival yang hebat, mereka solutif tidak intimidatif, jika ada kesulitan atau tantangan anak-anak pedalaman akan menjawab dengan tindakan atau langkah nyata untuk bertahan hidup. Mereka adalah kader-kader yang unggul jika kita mampu mengembangkan dan menfasilitasi memperoleh bekal ilmu yang layak

Tidak ada komentar: