Selasa, 31 Maret 2015

Bukan Guru Biasa


SH / Agung Natanael
Retno
Melihat sosoknya sekilas, ia tidak ada bedanya dengan perempuan guru pada umumnya; santun, ramah, dan suka bercerita. Namun, setelah berbicara beberapa lama, terlihat ada sesuatu yang berbeda dari perempuan berkacamata ini.
Sebagai guru, Retno Listyarti memiliki berbagai kelebihan. Selain dikenal dekat dengan murid, wajahnya juga akrab dengan pemerhati pendidikan karena sering berbicara kritis di televisi.
Sejak lama, berbagai persoalan, terutama masalah pendidikan, membuatnya gerah. Alih-alih hanya diam, Retno yang bercita-cita jadi guru sejak SMA memilih terus bersuara, menyampaikan pandangannya yang sering berseberangan dengan pembuat kebijakan di negeri ini.

Salah satu contoh adalah sikapnya terhadap Ujian Nasional (UN). Ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh, terus menggalang duku­ngan agar UN tetap dipertahankan, Retno bersama sejumlah kecil kalangan bersikeras agar UN tidak digunakan sebagai penentu kelulusan. Saat mendikbud menggelar konvensi nasional yang dihadiri perwakilan guru dari seluruh Indonesia pada September 2013, Retno memilih hadir untuk menunjukkan sikap berbeda.
Di tengah para peserta konvensi nasional yang sepertinya sudah diarahkan untuk menyetujui UN, Retno mengangkat tangannya meminta waktu berbicara. Dengan suara lantang, ia memprotes proses konvensi, yang menurutnya tidak membuka telinga bagi para guru yang memiliki pandangan berbeda. Setelah meneriakkan protesnya, Retno dan kawan-kawannya secara tegas menyatakan memilih keluar dari ruang konvensi di gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). 

Berbekal Data
Aksinya tersebut tentu saja menarik perhatian media. Konvensi UN yang diarahkan pada keputusan UN sebagai penentu kelulusan pun, tidak begitu saja diterima masyarakat. Berkat aksi Retno cs, konvensi nasional yang sepertinya diarahkan untuk bulat menyetujui UN, mulai terganjal pandangan yang berbeda.
UN bukan satu-satunya masalah yang menunjukkan keberanian Retno memilih bersikap berbeda dari pemerintah. Selain pernah menggugat pelaksanaan Uji Kompetensi Guru (UKG) hingga ke Mahkamah Agung, ibu tiga anak ini juga pernah melaporkan pemimpin pemerintahan tertinggi di Provinsi DKI Jakarta, Fauzi Bowo, kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Ia melaporkan Gubernur DKI Jakarta tersebut karena dugaan kecurangan sistemik dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2012.
Juara Lomba Karya Ilmiah Remaja (KIR) 1989 ini tidak sekadar berteriak lantang. Sebelum memprotes UN misalnya, Retno bersama organisasinya, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) telah menghimpun data kecurangan UN yang menurutnya bersifat sistemik dan masif, plus berbagai akibat yang ditimbulkannya.
Begitu juga saat mengadukan Gubernur DKI Jakarta ke Panwaslu. Ia bersama muridnya menyerahkan bukti kecurangan Foke, berupa selebaran dan pamflet-pamflet berisi kampanye ke sekolah-sekolah. Kekuatan argumen dan datanya membuat gugatan Retno tak terbantahkan. Akibatnya, ada sebagian yang merasa terganggu oleh sikap Retno, memilih menggunakan cara-cara teror untuk menumpahkan kekesalan mereka.

Inspiratif
Selain kritis, perempuan kelahiran Jakarta, 24 Mei 1970 ini terkenal sebagai guru pemberani. Berbagai teror dan ancaman sudah biasa dihadapi. Mulai dari serangan wartawan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) gadungan, hingga teror berupa ancaman pembunuhan. 
“Dia tidak takut diancam nyawanya karena percaya hidup-mati di tangan Tuhan. Itulah capaian komitmen yang mendekati sempurna,” kata Doni Koesoema Albertus, pengamat pendidikan, salah satu kolega Retno.
Menurut Doni, kelebihan Retno adalah kekuatan sikap kritisnya diimbangi keberanian. Menurutnya, Retno tidak sekadar menghayati makna panggilan profesinya sebagai guru, yaitu menyampaikan kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Ia juga siap menanggung akibat dari komitmen panggilannya tersebut tanpa takut. “Sikap inilah yang sangat inspiratif,” ujar Doni.
Dewan Pertimbangan FSGI, Henny Supolo mengatakan, Retno tampil sebagai sosok berani karena yakin sudah melakukan yang terbaik bagi pendidikan di negeri ini. Menurutnya, bila tidak memahami Retno dengan baik, orang akan salah mengira Retno hanya mencari sensasi karena suka tampil di media. Henny menyayangkan hal ini. Menurutnya, guru yang membongkar berbagai tindak korupsi memang harus terus diberitakan.
“Kita sekarang justru butuh lebih banyak ‘Retno’ lain, yang berani berbicara dan punya bahan kuat untuk landasan pembicaraannnya,” kata Henny.

Trengginas
Kesan kuat tentang Retno juga disampaikan Fachrudin, sahabat Retno yang juga bergabung dalam FSGI. Kepala Sekolah SMA Islam Al Ma’ruf Cibubur, Jakarta, ini menilai Retno trengginas dalam arti cepat, tepat sasaran, tidak kompromi, berani, dan pantang menyerah di satu sisi, namun juga egaliter, jujur, transparan, kreatif, dan inovatif di sisi lain.
“Dia guru yang trengginas, tidak kenal lelah dan tidak kenal kompromi untuk perubahan pendidikan agar menjadi lebih baik. Namun, dia juga selalu menempuh jalan musyawarah untuk suatu keputusan,” tutur Fachrudin. 

Sumber : SH

Tidak ada komentar: