Sabtu, 14 Maret 2015

Kisah Guru-guru Magang di Pedalaman



 - Jumlah guru di Indonesia diklaim melimpah, bahkan disebut rasio nasional kita berkisar 1 guru berbanding dengan 17 murid. Namun, penyebaran guru masih tidak merata, apalagi kualitas sebagian dari mereka masih di bawah standar. Inilah salah satu biang masalah yang menghambat kemajuan pendidikan di negeri ini.
Namanya Marthen Windi R (28). Sejak 2012, pemuda ini diajak menjadi guru magang di Sekolah Dasar Padengi Iwi, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Ini sekolah yang baru dibuka bagi anak-anak di daerah terpencil.
Setelah sekolah menengah program pertanian, sebenarnya Marthen merantau ke Kalimantan untuk bekerja di perkebunan. Namun, dia kemudian balik ke kampung halamannya dan kemudian diajak menjadi guru. Kebetulan, dia juga sedang kuliah tahun pertama program studi Pendidikan Guru SD di Universitas Terbuka di Kota Waingapu.
SD Padengi Iwi, tempat pemuda tersebut mengajar, hanya punya satu guru PNS. Itu pun dia harus merangkap sebagai pelaksana tugas kepala sekolah. Namanya Martinus Umbu Tali.
Tanpa bekal ilmu menjadi guru dan tanpa pengalaman, Marthen tentu saja kalang kabut saat harus berdiri di depan para murid. Apalagi, dia secara bergantian harus mengajar siswa kelas I, II, dan III di satu ruangan berdinding bambu, berukuran 8 meter x 4 meter. Tahun 2015 ini, sekolah baru mendapat bantuan untuk membangun ruang kelas.
"Dengan kebingungan, saya datang ke sekolah. Yang penting ada guru. Saat saya bicara di depan kelas, ada anak yang naik di atas meja. Saya tidak bisa mengendalikan ruang kelas. Sempat putus asa," katanya pada akhir tahun 2014.
Namun, Marthen yang digaji Rp 750.000 per tiga bulan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) itu memilih bertahan. Anak-anak kecil tersebut harus bersekolah di kampungnya meskipun wujud bangunan sekolah itu ala kadarnya. Para orangtua tak rela jika anak-anak harus menembus hutan dengan jarak sekitar 7 kilometer demi bersekolah di SD yang lebih
baik.
Kesabaran pemuda tersebut berbuah manis. Anak-anak mulai merindukan sosok guru untuk mengajari mereka. Justru kini guru magang itu yang kebingungan. Soalnya para siswa di SD tersebut lebih fasih berbahasa daerah dibandingkan dengan bahasa Indonesia.
Kesulitan Marthen teratasi ketika akhirnya tahun 2014 dia diajak ikut latihan kepemimpinan transformasional guru. Dia bertemu dengan pelatih dan guru-guru lain yang memperkenalkannya pada cara mengajar kreatif di tengah keterbatasan sarana dan prasarana sekolah.
Kisah lain datang dari SDN Bidi Praing, Kecamatan Kambera, masih di Nusa Tenggara Timur. Sekolah ini sangat terbantu dengan kehadiran guru magang. Guru magang yang mengabdi dengan baik bisa diajukan menjadi guru honor dengan gaji dari komite sekolah atau tambahan gaji dari dinas pendidikan setempat.
"Saya delapan tahun menjadi guru honorer. Setelah lulus kuliah Universitas Terbuka, baru diangkat menjadi guru honorer tetap. Saya tidak masalah jadi guru honorer karena di pemerintah di sini biasanya ada pengangkatan untuk jadi guru PNS nantinya," kata Herlince Rambu Hamu (25), guru honorer di SDN Bidi Praing.
Pemudi itu digaji Rp 250.000 per bulan dari dana BOS yang dibayarkan per tiga bulan. Padahal, untuk menuju sekolah saja dia menghabiskan Rp 20.000 per hari untuk biaya ojek karena tidak ada angkutan umum. "Saya mengajar untuk kumpul pengalaman dulu," kata Herlince. Dia punya nomor unik pendidik tenaga kependidikan (NUPTK) sehingga dapat tambahan Rp 350.000 per bulan dari pemerintah daerah.
Masih bermasalah
Kisah Marthen dan Herlince tadi menggambarkan bahwa proses belajar-mengajar di kelas tidaklah semanis data rasio guru di atas kertas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, jumlah guru di Indonesia cukup melimpah. Namun, di lapangan, penyebaran para guru ke daerah-daerah belum merata. Kualitas sebagian guru juga masih memprihatinkan.
Kebijakan pemerintah daerah untuk mengatasi masalah kekurangan guru justru kadang memperparah keadaan. Kewenangan pemerintah kota atau kabupaten untuk mengangkat guru TK, SD, SMP, dan SMA sederajat sering mengendurkan standar kualitas guru. Sebagian pemerintah daerah tidak mematuhi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Masalah kian runyam karena sekolah ikut mengangkat guru saat tak kunjung mendapat bantuan guru. Standar kompetensi guru pun tidak terkendali. Fakta ini tidak menafikan adanya banyak guru tak tetap yang memiliki pengabdian tulus untuk melayani anak-anak di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal.
Guru-guru berstatus tidak tetap di sekolah negeri ataupun swasta berseliweran. Ada yang direstui dinas pendidikan setempat guna mengatasi kekurangan guru sambil menanti formasi pengangkatan sebagai guru pegawai negeri sipil (PNS). Ada juga guru yang direkrut atas inisiatif sekolah, dengan gaji dari bantuan operasional sekolah atau iuran komite sekolah.
Guru-guru tak tetap yang dikenal dengan guru honorer ini bersedia digaji rendah dengan harapan berkesempatan jadi guru PNS saat pemerintah membuka formasi pengangkatan guru. Namun, guru-guru honorer, yang berfungsi sama dengan guru tetap, sering kurang mendapat kesempatan mengikuti pelatihan dan pendidikan guru.
Guru magang dan kontrak
Di Kabupaten Sumba Timur, guru-guru magang hampir  ditemui di banyak SD negeri ataupun swasta. Bagi sebagian sekolah yang kekurangan guru, keberadaan guru magang kerap menjadi andalan.
Mereka adalah lulusan SMA/SMK yang hendak melanjutkan kuliah ke program studi pendidikan di Universitas Terbuka. Agar bisa terdaftar, mereka mesti mendapat surat pengantar dari dinas pendidikan setempat yang menyatakan mereka punya pengalaman mengajar. Seorang guru magang setidaknya butuh pengalaman mengajar satu tahun untuk bisa mendapatkan surat pengantar yang "sakti" itu.
Di pedalaman Papua Barat, seperti di Kampung Tanah Merah, Kabupaten Teluk Bintuni, kekurangan guru juga diisi oleh guru tidak tetap alias guru kontrak. Mereka bisa disediakan pemerintah daerah, pemerintah pusat, atau sekolah.
Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Teluk Bintuni merekrut lulusan SMA/SMK terbaik untuk dikirim kuliah strata satu (S-1) pendidikan guru di sejumlah lembaga pendidik tenaga kependidikan (LPTK). Setelah lulus, mereka dijadikan guru kontrak di daerah-daerah terpencil yang kekurangan guru. Cara lain, guru kontrak direkrut dari lulusan S-1. Gaji guru kontrak dari pemerintah daerah mencapai Rp 3 juta per bulan.
Janji perbaikan
Saat bersamaan, pemerintah pusat (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi) mengirim bantuan guru lewat program Sarjana Mengajar di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal. Sekolah yang tidak kebagian guru kontrak dari pemerintah daerah terpaksa memenuhi kebutuhan guru secara mandiri. Guru kontrak sekolah ini digaji dari BOS, yaitu sekitar Rp 1 juta per bulan.
Bagaimana persisnya kebijakan pemerintah? Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, pemerintah fokus memperbaiki perekrutan guru dan peningkatan mutu dalam 5 tahun ke depan. Janji serupa disampaikan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, yang bakal memperkuat kualitas pendidikan calon guru di perguruan tinggi, termasuk merekrut calon mahasiswa guru.
Sebagai komponen paling peting di sekolah, perekrutan dan kualitas guru perlu penanganan serius. Ketika kualitas sebagian guru dibiarkan ala kadarnya, sulit mengharapkan pendidikan bangsa ini maju, apalagi mengungguli negara-negara lain.
Oleh: Ester Lince Napitupulu


Editor: Laksono Hari Wiwoho
Sumber: HARIAN KOMPAS

Tidak ada komentar: