Di Indonesia, jika kita bicara tentang pendidikan – ada 1001 masalah. Sistem, undang-undang dan beragam seminar telah membahasnya. Tapi sejatinya siapa yang memberikan efek signifikan bagi majunya pendidikan bangsa? Guru. Ia berdiri di depan kelas setiap hari, mencerdaskan para siswa (Anies Baswedan, TEDx Jakarta,)
Sedikit merenung tentang perjalanan belajar saya semasa SD sampai S3, membawa saya pada kenangan akan guru-guru yang telah berjasa membentuk diri saya seperti sekarang ini. Ada banyak kenangan & ingatan indah bersama mereka. Mereka sangat istimewa. Sembari menulis, saya juga berdoa akan kesehatan dan kesejahteraan mereka (jika masih hidup) dan kelapangan dan tempat terbaik di akhirat (apabila mereka telah tiada).
Pendidikan Yang PersonalKenangan akan para guru yang luar biasa tersebut bisa ditarik dari masa ketika saya belajar di kelas 4 SD. Guru wali kelas saya waktu itu, banyak memberikan makna tentang pendidikan yang personal – di mana guru sangat lekat mengamati perkembangan siswanya. Saya masih ingat, bagaimana dia membantu saya tumbuh berkembang. Di kala wali kelas lain begitu galak dan cenderung memberikan doktrin bahwa guru adalah sumber pengetahuan, ia memberikan ruang bagi saya untuk bercerita tentang apa yang saya dengar di Dunia Dalam Berita setiap pukul 9 malam di TVRI kala itu. Ia memberikan tempat yang luas bagi saya untuk menulis tentang perang Irak-Iran, kekuasaan absolut di Rumania sampai runtuhnya tembok Berlin di Jerman. Ia memilih bereda, tidak memaksakan tema yang seragam dan standar bagi anak didiknya.
Sang guru ini – ibu Ratnawati Suri namanya- memberikan semangat dan ruang buat saya berkembang. Di kelasnya-lah saya mulai tumbuh lebih baik, percaya diri dan menyadari potensi saya. Ia memberikan sebuah fondasi untuk masa depan saya: kreativitas, kebebasan berekspresi dan tidak pernah berhenti menelurkan ide. Bu Ratna mungkin tidak pernah tahu tentang Sir Ken Robinson sang aktivis dan inovator pendidikan. Tapi konsep bu Ratna yang dengan telaten memperhatikan muridnya satu persatu untuk kemudian memberikan dorongan kepada anak didiknya untuk berkembang, merupakan sebuah jargon dari transformasi pendidikan dewasa ini – menyentuh personal si anak didik bukan dengan men-standardisasinya.
Lebih lengkap Sir Ken Robinson dalam bukunya The Element: How Finding Your Passion Changes Everything ber-argumen bahwa “The fact is that given the challenges we face, education doesn’t need to be reformed — it needs to be transformed. The key to this transformation is not to standardize education, but to personalize it, to build achievement on discovering the individual talents of each child, to put students in an environment where they want to learn and where they can naturally discover their true passions.”
Memberi MotivasiSaya belajar pula bagaimana motivasi dan dorongan untuk sukses bisa menjadi bara asa yang tak kunjung padam. Guru tata buku saya semasa kelas 2 SMP selalu memberi motivasi dan percaya bahwa saya memiliki “bakat” dalam hitung menghitung transaksi keuangan. Bisa dibayangkan, bagaimana malasnya anak SMP belajar tata buku saat itu. Tapi pak Bambang – guru saya tersebut, selalu menemukan cara untuk dapat memotivasi kami. Bahwa pelajaran yang kami hadapi adalah mudah dan bukan momok yang harus dihindari.
Dalam pelajaran tata buku tersebut, saya juga menemukan “kegembiraan” tersendiri dalam mengerjakan soal-soal latihan, terlebih jika berhasil menyusun transaksi yang “seimbang” ketika menyusun Neraca Keuangan. Jika film kartun Bob the Builder memiliki jargon the fun is getting it done, maka mengerjakan tugas-tugas tata buku tersebut adalah the joy is getting it balanced! Pak Bambang Supranoto, mengajarkan saya tentang pentingnya memberikan motivasi bagi peserta didik kita, sekaligus betapa pentingnya menikmati sebuah proses belajar…tidak hanya sebagai sebuah interaksi pasif di kelas, tetapi sebuah proses yang menantang. Tak heran, profesi hitung-menghitung tersebut saya geluti sampai sekarang.
Keep it SimpleSaya belajar bagaimana guru bahasa Inggris saya di kelas 3 SMA, mampu mengubah rasa takut saya pada pelajaran tersebut dengan membuat Bahasa Inggris “terlihat” lebih mudah. Ia kerap memberikan contoh penerapan tenses dengan model yang terstruktur dan logis. Ia berbeda, jika dibandingkan dengan guru Bahasa Inggris lainnya yang cenderung mencekoki kami dengan soal latihan dari LKS dan pertanyaan-pertanyaan absurd dalam bahasa Inggris. Guru saya tersebut mungkin tanpa sadar telah menerapkan apa yang Einstein sebut dengan “if you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough”. Seorang guru yang baik harus dapat memberikan esensi dari pelajaran yang ia berikan sekaligus memberi contoh yang mudah dicerna anak didiknya.
Antusias & Kreatif Dalam Mengajar: Sumber Energi Tanpa BatasJika ada pertanyaan, siapa yang menginspirasi saya menjadi seorang dosen, tak lain dan tak bukan adalah (Alm) Prof. Mas’oed Mahfoedz, dosen saya semasa kuliah di UGM. Saya tidak pernah lupa betapa beliau sangat antusias, kreatif, disiplin dan inovatif dalam mengajar. Prof. Mas’oed tidak hanya menjelaskan konsep teori akuntansi dengan menarik dan interaktif, tapi juga mampu mendorong kami untuk terus belajar dengan baik di kelas.
Salah satu metode belajar yang beliau terapkan adalah dengan selalu memberikan kuis mingguan. Tak lupa, ia juga memberi insentif bagi kami berupa hadiah mingguan dan hadiah utama. Hadiah mingguan diberikan bagi mereka yang nilai kuisnya berada di urutan 3 teratas. Hadiahnya bisa berupa oleh-oleh beliau dari kunjungan ke berbagai negara (beliau waktu itu menjabat sebagai Wakil Rektor) seperti mata uang asing, kaos suvenir, sampai coklat dan gantungan kunci. Hadiah utama yang dijanjikan adalah mendapatkan nilai A tanpa ujian akhir, apabila kami berhasil masuk dalam urutan 3 besar selama 3 kali. Sebuah insentif yang memicu kami untuk belajar terus setiap minggunya.
Inspirasi lainnya dari beliau terkait dengan kedisiplinan dan penegakan etika belajar. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai pejabat teras Universitas, beliau tidak pernah absen dalam mengajar. Faktanya, jarang sekali ia terlambat masuk kelas. Terkait etika belajar, ia juga pernah “menguji” kejujuran kami dengan tidak berada di ruangan kelas ketika kami mengerjakan kuis mingguan. Di minggu berikutnya, beliau mengumumkan ada 5 mahasiswa yang mendapatkan nilai 0, karena ia yakini mereka semua mencontek. Kelima mahasiswa tersebut dipanggil ke depan kelas dan diminta untuk tidak mengulangi perbuatannya. Bagaimana Prof. Mas’oed mengungkap kecurangan kelima mahasiswa tadi, masih menjadi pertanyaan kami sampai saat ini. Tapi yang pasti kelima rekan saya tersebut memang mengakui bahwa mereka memang mencontek satu sama lain. Luar biasa. Pak Mas’oed mengingatkan saya akan ucapan William Arthur Ward: The medicore teacher tells. the good teacher explains. the superior teacher demonstrates. the great teacher inspires.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar