Minggu, 23 Agustus 2015

Sang Guru Honorer hebat ,..Upar Suparman,....



Lelaki itu terlihat berkeliling di tengah sekolah dasar (SD) Negeri Ciptagelar, memperhatikan siswa-siswa nan sibuk menyepak bola dan berlarian. Adalah Upar Suparman yang sudah sebelas tahun mengajar di sekolah itu dengan status pengajar honorer.

Pada 2003, SD itu berdiri di desa yang ada di bagian selatan lereng Gunung Halimun. Pimpinan Kasepuhan Adat Banten Kidul bekerja sama dengan salah satu bank swasta Jawa Barat untuk mendirikan sekolah tersebut. Setahun berselang, sekolah itu dijadikan sekolah negeri oleh pemerintah.

Sejak pertama berdiri, Upar Suparman menjadi guru di sekolah yang memiliki 5 ruangan itu. Upar melanjutkan cita-cita orang tua yang dulu seorang guru. Pekerjaan ini pun dia nikmati meski tak kunjung diangkat menjadi pegawai negeri sipil hingga saat ini.

"Saya enggak kepikiran jadi guru, karena di adat sistemnya turun temurun, Bapak saya dulu guru, makanya saya jadi putuskan jadi guru juga. Dari pertama sekolah ini berdiri saya udah ngajar, dulu itu ngajar banyak kelas, tapi sekarang saya mengajar kelas rendah (kelas satu)," kata Upar di SDN Ciptagelar, Sukabumi, Senin (27/4/2015).

Upar terus mengawasi lapangan yang ramai dengan kegiatan dan tawa siswa. Apalagi, sekolah itu mendadak ramai hari itu. Greenpeace Indonesia dan Asean Soccer Association (ASA) bekerja sama untuk membuat kegiatan di sana. 

Hari itu menjadi hari yang berbeda bagi Upar. Pasalnya, ia sudah mendedikasikan dirinya untuk mengajar di tanah kelahiran nan jauh dari riuh perkotaan ini. 

"Aktivitas saya banyak fokus ke sekolah, habis mengajar, saya berkeliling kampung bujuk anak-anak untuk masuk SMP (Sekolah Menengah Pertama) bertemua orang tuanya mengajak anaknya untuk sekolah, kadang itu dari siang sampai malam," tutur Upar sembari tertawa dan menyapu butiran keringat di dahi.

Tak mudah untuk menjadi guru di pedalaman. Desa nan makmur dan jauh dari riuh perkotaan ini cukup nyaman untuk ditinggali. Kenyamanan ini memberikan tantangan tersendiri untuk Upar. 

Tak jarang, pendidikan dianggap sebagai hal yang sepele. Banyak orang tua berpikir anak-anak mereka tak perlu sekolah hingga tinggi. Cukup belajar membaca, tulis, dan menghitung saja. 

Desa Ciptagelar memiliki satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri. Baru berdiri dua tahun lalu, satu kelas berisi sepuluh orang siswa. Namun, tak banyak murid Upar yang telah lulus dari SD melanjutkan ke SMP. Mereka lebih memilih untuk bekerja membantu orang tua.

Upar tak ingin generasi muda di Ciptagelar berhenti belajar. Bertani memang hal yang penting namun pendidikan harus diutamakan. Seiring kemajuan zaman, tantangan untuk generasi muda kian berat. Apalagi, kualitas generasi muda di desa kelahirannya akan menjadi cermin generasi muda berikutnya.

Tak jarang upaya Upar ini diolok warga. Sebelas tahun berjuang sebagai pengajar Upar tak kunjung diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Bayaran yang didapat bapak tiga orang anak ini pun tak seberapa, cuma Rp650 ribu rupiah per bulan.

"Orang tua kadang bilang, untuk apa anaknya sekolah tinggi, putera daerah di sini saja yang sudah lama mengajar di sekolah belum diangkat sampai sekarang oleh pemerintah," kata dia tersenyum masam.

Upar tak mempermasalahkan hal itu. Niatnya sedari awal sudah bulat untuk memajukan pendidikan di Desa Ciptagelar. Setidaknya, dia bisa menjadi contoh untuk anak-anak agar terus membangun tanah kelahiran tanpa lelah.

"Kalau enggak kita siapa lagi. Ini setidaknya saya kasih contoh ke yang lain, walau pun saya (tenaga pengajar) honor tetap harus bangun daerah ini," tandas Upar.

Tidak ada komentar: