Rabu, 26 Agustus 2015

Evin Zulfa, Mencoba Tantangan di Pedalaman Kalimantan

Evin HL
Remaja.suaramerdeka.com – Pernah nggak sih terlintas dibenak kalian untuk hidup di pelosok Kalimantan dengan segala macam kesederhanaannya? Lokasi terpencil, jalan berlumpur yang sulit ditempuh, serta belum ada listrik tentunya membuat orang ogah untuk tinggal disana ya. Namun sahabat kita yang satu ini, justru tertarik dan ingin mengabdikan dirinya untuk mengajar anak-anak di pelosok. Yup, seperti apa cerita dan pengalaman Evin Zulfa Nur Syekha menjadi seorang guru SM3T di sebuah SMP di Kecamatan Air Besar, Kaliamantan Barat? Langsung saja kita simak hasil wawancaraEkspresi dengan alumni UNNES dibawah ini :
Halo apakabar Evin, lagi sibuk apa?
Halo juga, ini sedang menikmati liburan di kota Ngabang kumpul bersama teman seperjuangan dan sedang mempersiapkan program tahunan seperti ekspo pendidikan.
Kabarnya kamu jadi guru di pelosok Kalimantan, itu bagaimana ceritanya?
Awalnya aku tahu info ini dari kakak tingkat yang sudah terjun terlebih dahulu ikut program SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Karena penasaran, aku sering banyak tanya dengannya. Mendengar ceritanya tentang penempatannya yang di pedalaman, segala akses yang sulit, nggak ada sinyal, listrik dan begitu kurangnya tenaga pendidik di pedalaman membuatku tertantang untuk ikut program ini.
Berarti sekarang ini kamu sedang mengabdikan diri disekolah mana?
Sekarang aku ditugasi mengajar Fisika di SMP N 3 Satu Atap Air Besar, tapi aku tinggalnya di Dusun BatuBaru Desa Nyari Kecamatan Air Besar Kabupaten Landak Kalimantan Barat.
Apa motovasi kamu ikut program ini?
Motivasi ikut program SM3T yang pertama karena ingin mendapatkan beasiswa PPG 1 tahun. Kedua ingin merasakan bagaimana hidup di pedalaman, mengajar anak-anak di pedalaman daaan sedikit membantu mengatasi kekurangan guru di daerah 3T.
So far bagaimana keadaan disana?
Sejauh ini aku nyaman-nyaman saja, dan semakin betah. Karena orang Dayak itu ramah-ramah. Setiap ada pendatang baru apalagi itu guru dari beda pulau mereka langsung menyambut dengan tangan terbuka. Awalnya warga datang bergantian membawakan buah-buahan dan sayuran serta beras untuk saya. Di desa Nyari ini banyak sekali buah-buahan seperti durian, duku, rambutan, coklat, dan ada juga buah-buahan yang nggak ada di Jawa seperti cempedak, benyalitn. Sayuran pun macam-macam yang ada di hutan maupun kebun, yang paling banyak daun singkong, pakis haji, terong, kangkung dan cangkuk.
Kegiatan sehari-harinya ngapain saja?
Kegiatan sehari-hari mengajar, sepulang mengajar mencari sayur di hutan. Kalau hari Senin, Rabu, dan Jumat mengajar mengaji di kampung muslim berjalan sekitar 25 menit jika jalan bagus. Jika hari hujan, jalan jadi becek, berlumpur dan licin perjalanan bisa samapi satu jam.
Tantangannya apa saja mengajar di pelosok gitu?
Tantangannya banyak, yang utama ketidakmudahan akses jalan. Jalan menuju desa Nyari, masih berupa tanah kuning. Saat hujan jadi licin dan berlumpur. Jika naik ojek, harus sering turun dan ikut ngangkat motor yang terjebak dalam lubang. Bahkan jalan menuju ke Kecamatan saja belum tembus, belum bisa dilalui motor, baru bisa dengan jalan kaki sekitar tujuh jam dari kampung. Bisa juga dengan jalur air dengan naik pepet atau perahu motor.
Jadi untuk ke Kabupaten Landak saat ada rapat dengan kawan-kawan, harus melewati dulu Kabupaten lain yaitu kabupaten Sanggau. Sehingga untuk menuju kabupaten saja kita harus menempuh satu hari perjalanan dan sekali berangkat menghabiskan ongkos Rp. 170.000,00. Untuk ojek ke kecamatan Entikong (perbatasan Indo-Malay) 120.000,00 dan naik bus sampai kota Rp. 50.000,00.
Selain akses jalan, ada kendala lain nggak selama mengabdi di sana?
Kendala lainnya, mungkin karena kebiasaan mereka sih. Kebanyakan orang sana memelihara anjing dan babi yang dibiarkan liar. Ular, tupai, kodok, babi yang jadi lauk mereka, sedangkan saya sendiri seorang muslim. Belum lagi kendala listrik dan sinyal, menjadikan kita ketinggalan berita-berita terkini dan susah berkomunikasi dengan keluarga dan teman-teman. Jika ingin bisa telepon kita harus naik ke bukit yang kita namakan bukit sinyal selama kurang lebih 15 menit.
Keadaan Sekolah yang kamu tempati sendiri bagaimana Vin?
Saya mengajar di SMP 3 Satu Atap, dimana hanya ada tiga kelas (kelas 7, 8, dan 9) dan gurunya hanya ada dua orang PNS termasuk kepala sekolah, sedangkan tujuh lainnya adalah guru honorer yang jarang masuk. Jadi sebelum ada guru SM3T siswa-siswi masuk pukul 08.00 dan ketika ada guru mereka pulang jam 11.00. Ketika nggak ada guru yang datang, mereka datang hanya main-main dan setelah jam 10.00 mereka pulang. Belum lagi nggak ada buku paket untuk siswa. Hanya ada beberapa untuk guru dan itupun nggak lengkap. Perpustakaan pun nggak ada, jadi sumber belajar mereka hanya dari catatan guru saja.
Mengalami berbagai kendala tersebut, kamu merasa betah nggak disana?
Hehehe. Awalnya belum betah sih. Tapi lama-lama sudah terbiasa dan alhamdulillah makin betah. Merasa bersyukur berada di tengah anak-anak di pedalaman. Terharu dengan semangat berjalan mereka ke sekolah. Jam 05.30 mereka berangkat dengan jalan kaki melewati hutan-hutan dan jalan naik turun serta tanah yang licin dan berlumpur. Mereka menempuh waktu kurang lebih satu setengah jam untuk sampai ke sekolah. Tapi yang saya herankan, mereka nggak menyerah tuh.
local heroes
Ada cerita lucu nggak selama ngajar disana?
Cerita yang paling lucu ya saat awal datang. Saya dan guru SM3T lainnya disambut anak-anak dan langsung diajak mandi. Anak-anak sudah memberi tahu bahwa mandinya di sungai. Mereka membawakan ember untuk isi air buat kami. Pertama kali mau mandi di sungai rasanya malu, alhasil nggak mandi-mandi. Akhirnya anak-anak kecil itu langsung menarik kami ke sungai dan basah deh akhirnya. Lalu anak-anak kecil tu mengguyur kami. Aduhai rasanya! Malamnya kami tidur bergelap-gelapan karena nggak ada listrik dan ditemani anak-anak kecil. Di tengah malam pun ada yang ngompol. Sungguh pengalaman yang nggak terlupakan.
Sebenarnya apa sih bedanya anak di Kalimantan sama anak di pulau Jawa yang notabene lebih maju?
Dalam hal belajar saya akui semangat belajarnya masih tinggi anak-anak di palau Jawa. Anak di pulau Jawa sangat peduli dengan pendidikan dan sekolah, ditambah lagi segala akses mudah, buku-buku banyak tersedia, tanpa ditawari les pun mereka sudah meminta. Tapi untuk anak-anak di Kalimantan semangat belajarnya mereka rendah. Mereka lebih tertarik dengan uang. Mereka lebih mementingkan ikut nugal atau panen padi orang tua maupun warga di ladang dan mengorbankan sekolahnya demi uang. Bahkan ada anak yang sudah kelas IX nekat berhenti sekolah demi kerja jadi buruh demi bisa beli handphone.
Suka dukanya ikut program ini apa?
Sukanya kita ikut program ini kita bisa mersakan bagiamana keadaan anak-anak di pedalaman, yang berujung pada rasa syukur dengan segala nikmat yang Allah berikan padaku dulu dan jangan mengeluh. Mengerti daerah lain di luar pulau Jawa, bertemu dan berkenalan dengan banyak orang, jadi mengerti banyak hal, menambah wawasan, melihat keindahan alam tempat-tempat wisata di Kalimantan barat. Mengerti dan bisa makan berbagai macam buah-buahan dan sayur-sayuran yang nggak ada di pulau Jawa secara gratis, bisa belajar bahasa bena’de, banana’.
Dukanya, jalannya begitu buruk dan lamanya perjalanan ke kota Kabupaten dan menyadari begitu luasnya Kalimantan ini. Nggak ada sinyal dan listrik terkadang membuat kita kesepian jika nggak ada anak-anak yang main. Malam jadi terasa begitu laama.
Awalnya pas masuk itu masyarakatnya menerima apa nggak? Ceritakan sedikit dong?
Masyarakatnya sangat-sangat menerima sekali menyambut kami. Mereka suka main-main ke tempat kami, mengajari kami masak nasi dengan priuk, mengajari masak sayur-sayuran seperti pakis haji, daun metimun, cangkuk, dll.
Yang bikin saya terenyuh, saat ada acara pernikahan warga datang mengundang kami. Kebiasaan mereka saat ada acara masak daging babi. Mereka juga tahu kalau saya nggak makan babi. Ternyata mereka sudah menyiapkan ayam yang diserahkan pada saya untuk disembelih. Karena saya nggak bisa menyembelih, mereka akhirnya mencari orang Islam dari daerah lain untuk menyembelih. Dan mereka menghidangkan masakan ayam matang yang sudah disendirikan dengan daging babi. Akhirnya kami makan bersama di acara pernikahan itu.
Apa tantangan terbesar kamu sewaktu mengajar mereka?
Tantangan terbesarnya adalah bagiaman menumbuhkan kesadaran mereka akan pentingnya sekolah, pentingnya belajar. Karena sekolah jadi ditinggalkan ketika mereka sudah tergoda degan uang. Mereka juga lebih suka bermain, pergi ke ladang atau berburu di hutan mencari tupai atau rusa segala binatang yang ada di hutan, ataupun mancing di sungai.
Apa komentar mu tentang pendidikan di indonesia khususnya untuk daerah terpencil seperti di Kalimantan, apakah mereka sudah mendapatkan pendidikan yang layak?
Ternyata, Indonesia ini masih banyak kekurangan guru. Di pulau Jawa banyak sarjana pendidikan yang menganggur. Tapi di Kalimantan lulusan SMA/SMK saja sudah bisa jadi guru honorer. Dan mereka mengampu banyak mata pelajaran yang nggak sesuai dengan ahlinya. Kalau seperti itu, bagaimana mereka bisa mengajar dengan maksimal? Bagaimana anak-anak bisa tertarik? Bagaimana anak-anak bisa mendapatkan pendidikan yang layak jika gurunya saja kurang kompeten? Yang ada mereka kecewa karena sampai di sekolah kadang guru mereka nggak hadir.
Tapi, saya juga nggak serta merta menyalahkan guru honorer, semua ini juga bukan sepenuhnya salah mereka. Gaji guru honorer nggak seberapa, bahkan kecil. Oleh karena itu mereka butuh bekerja diladang supaya asap dapur tetap mengepul. Harusnya pemerintah juga harus memperhatikan masalah ini.
Ada saran nggak untuk pemerintah supaya lebih memeperhatikan pendidikan di pelosok?
Yang utama perbaikan jalan di pedalaman harus dibenahi terlebih dahulu, sehingga akses jalan lancar. Transportasi jadi mudah, pengiriman buku-buku dan peralatan KBM di sekolah pedalaman pun lancar. Distribusi guru juga harus merata. Mendata berapa banyak kekurangan guru di sekolah pedalaman dan membuka lowongan CPNS guru yang banyak untuk daerah daerah yang kekuangan tenaga pendidik.
Sungguh pengalaman Evin ini luar biasa, kawan. Mengabdikan diri sebagai seorang tenaga pendidik di pelosok Kalimantan itu nggak mudah. Tapi memang, harus ada yang dikorbankan demi meningkatkan kuliatas diri kita. Meninggalkan segala macam fasilitas untuk berada di pedalaman tentunya menorehkan pengalaman yang sangat berharga untuk kita. Well, tertarik mengabdikan diri kepada ibu pertiwi seperti Evin? Indonesia masih membutuhkan banyak Evin Evin yang lain, kawan.
 Foto: Dokumentasi pribadi Evin

Tidak ada komentar: