Minggu, 23 Agustus 2015

Kinerja Guru Tua di Pedalaman Papua


Oleh: Moses Douw
         
Guru merupakan tenaga yang ditetapkan untuk mengajar disuatu sekolah. Kemudian guru juga merupakan orang tua kedua bagi muridnya ketika itu berada dalam kelas atau di sekolah. Tetapi secara umum guru atau pendidik merupakan tugas utama di kelas yakni: mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jejang pendidikan usia sekolah atau usia dini yang tidak diberikan atau diperhatikan oleh kedua orang tuanya dirumah. Sebab itu, guru juga merupakan posisi yang besar dalam mendidik muridnya sebagai orang ketiga dalam keluarga. Dalam prosesnya guru pun mempunyai tugas multifungsi yakni: sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, agent of Change, inovator, konselor, dan administrator. Hal ini kita bayangkan lagi di Papua. Misalkan: seorang guru hanya mengajar di sebuah sekolah. Contoh di Paniai khusus di SD YPPK Bodatadi Desa Yabomaida, Agadide yang tenaga pengajarnya seorang saja selama beberapa tahun, peranan beberapa orang guru semuanya di pegang oleh seorang guru.

Sebagaimana tugas seorang pengajar atau pendidik disekolah, namun betapa hebatnya guru seperti demikian tetapi sayangnya seorang guru tak ada jasa yang diperoleh. Sehingga guru disebut dengan “pahlawan tanpa Jasa”.

Kinerja guru sangat luar biasa. Tak ada orang yang sukses bila tak melewati guru di sekolah. Seorang pejabat pangkat berapapun pasti lewat guru dimanapun seorang siswa, pelajar atau murid disekolah.

Tak lupa mengingat kembali guru-guru tua di Papua yang selalu menghabisan waktu bermain dengan kapur tulis dengan tongkat kecil ditangan didepan kelas, dengan berbagai cara mengajar yang dilakukan oleh guru-guru tua di Papua, untuk kehidupan anak muridnya. Pengabdian seorang guru di Papua sangat disayangkan sebab seorang guru tua di Papua semuanya menetap ditempat pengabdianya hingga tak tahu pulang kekampung asalnya, sehingga pada akhirnya tumbuh rambut putih ditempat mengajar tersebut, sebab di Papua guru bertugas dengan secara campuran atau bersilangan.

Musibah selalu dihadapi oleh guru-guru tua di Papua. Apalagi medan di Papua sangat susah untuk jangkau hanya dengan jalan kaki. Sebab demikian guru-guru tua di Papua sangat mengorbankan apa yang dia miliki hanya untuk mengajar.  Berbagai hambatan dan tantangan selalu dilewati oleh guru-guru tua di Papua, Terrekam dalam benakku, ada beberapa hal menjadi hambatan dalam mengajar dan bertempat ditinggal didaerah pengabdiannya itu sendiri.

Intraksi Sosial

Pada umumnya guru-guru tua di Papua semuanya bersilangan atau tidak hanya mengajar dikampung halamannya. Namun peyebaran guru-guru tua di Papua secara bersilangan. Maksud bahwa guru-guru dari Sorong dan Fakfak mengajar di Wamena dan Merauke dan sebaliknya secara bersilangan. Apalagi guru-guru tua dari Paniai (Meeuwodide) mereka mengapdi dikampung lain, hingga saat ini yang terpopuler adalah Wamena, Pegunungan Bintang, Puncak Jaya dan lainya.

Namun demikian, secara langsung seorang guru yang turun mengajar disuatu tempat tertentu pasti melalui penyesuaian yang lama dengan peduduk asli disuatu tempat atau intraksi sosial meskipun itu satu ras (kulit coklat dan rambut keriting).  Sering penyesuaian seorang guru tak seiring dengan budaya dan tatanan hidup suatu suku sehingga kadang menimbulkan suatu persoalan dalam mengajar disekolah, hanya karena perbedaan identitas suku-suku di Papua itu sendiri.  Tetapi sebagian besar guru-guru tua berhasil untuk menempati pelosok-pelosok di Papua untuk memanusiakan manusia Papua. 

Dengan deskripsi diatas ini, menandakan bahwa interaksi sosial antara masyarakat setempat sangat berperan aktif dalam proses mendukung seorang  guru untuk mengajar murid-murid di tempat tertentu. Seorang guru gagal mengajar di Papua hanya karena tak bisa meyesuaikan dengan masyarakat daerah tersebut dan sangat berbeda dengan ideologi didaerah guru disebut. Misalkan: orang Jawa datang mengajar di Papua, dia harus menyesuaikan dengan sifat dan tatanan hidup daerah yang dia tugas sebagai pengajar (guru), tidak harus langsung mengajar tetapi seorang guru harus meyesuaikan diri dengan situasi sosial ditempat tersebut. Agar tidak terjadi aksi-aksi yang tak berkenan dihati saudara dan saudari dari bumi Papua. Namun, guru-guru tua dari Papua memang sangat licik dalam hal demikian sehingga  masyarakat asli Papua juga menerima seorang pengajar dengan baik hati. Antisipasi hanya guru yang berasal dari luar Papua karena sifat orang Papua tak sepenuhnya dipahami oleh guru non-Papua. Oleh karena itu, seluruh guru-guru tua di Papua sangat luar biasa karena selalu berkomitmen untuk mengajar dengan penyesuaian sosial yang cepat dan kelicikan dalam peyesuaian diri sangat tinggi sehingga tugas di suatu tempat atau pelosok-pelosok juga berjalan sesuai dengan harapanya.

Hubungan Antropogeografi dengan Guru tua di Papua

Antropogeografi merupakan hubungan manusia dengan lingkungan alam serta fenomena alamnya. Oleh sebab demikian, kita tahu bahwa lingkungan alam di Papua sangat kaya namun memiskinkan (sisi lain) orang asli yang berdomisili di Pulau dan dalam hal ini lingkungan alam di Papua sangat berpengaruh dengan sistem pengajaran dan proses belajar mengajar disekolah. Pengalaman sangat berbeda yang di alami oleh guru-guru tua tersebut, namun secara umum dikelompokan menjadi dua yakni pengalaman guru yang tinggal dirumah dinas dan tinggal dipelosok atau berjauhan dengan sekolah. Mengingat keadaan alam di Papua secara umum guru-guru tua yang tinggal berjauhan dengan sekolah sangat disayangkan karena musibah selalu di hadapi oleh guru-guru tersebut. Misalnya seorang guru pergi mengajar di suatu sekolah, ia harus melewati gunung dan lembah serta sungai selama satu jam. Kedengaran sangat enak namum banyak rintangan yang ia lalui seperti hujan, banjir, capek, serta sakit pun ia harus tempuh. Tapi, sering disekolah proses KBM pun tak tidak berjalan sehingga diliburkan. Pengalaman ini, terbukti ketika duduk berbincang-bincang dengan guru-guru tua di Papua. Ini merupakan gambaran umum bahwa guru-guru tua di Papua itu seperti demikian. Banyak lagi yang mereka alami.

Dalam hal ini, penulis hanya tahu keadaan seperti ini yang guru-guru tua alami sejak dahulu dan hingga sekarang masih dan tulisan ini berawal dari pengalaman banyak dialamai oleh bapak saya seketika itu ia mengajar di Namutadi, Komopa dan Bodatadi selama 25 lebih tahun. Sehingga penulis juga membayangkan keseluruh Papua pastinya merupakan pengalaman sama yang berkaitan dengan lingkungan alam dan faktor yang dialam oleh guru-guru di Papua.

Oleh karena itu, kinerja guru-guru  tua di Papua sangat berjasa bagi orang Papua yang pernah menjadi murid di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Umum. Hingga kini murid  yang dicetak oleh guru-guru tua tersebut sekarang banyak yang menjadi pejabat-pejabat besar di Papua. Terlupakan susah payah seorang guru di Papua  namun, dalam tulisan inilah mengangkat perilaku, kinerja dan situasi Papua yang dirasakan oleh seorang guru-guru tua tersebut sebagaimana kinerja guru yang kita tahu dan kita lihat di kampung serta di sekolah masing-masing.

Dengan itu, penulis menyarankan kepada semua aspek di Papua agar ikut serta untuk memperingati atau merasakan kinerja para guru tua di Papua sebab guru adalah manusia (individu guru) yang kemudian memanusiakan manusia lain. Sebab itu, saya berani berargumen bahwa seharusnya Pemerintah daerah Papua dan Pemerintah kabupaten menjaga dan melindungi kehidupan seorang guru tua; mengangkat harkat dan martabat guru, menaikan upah yang didapat, berhenti melaksanakan kenijakan kontrak guru sebab harga diri guru tua akan turun dan lengkapi sarana prasarana bagi guru tua di Papua.

Yogyakarta, 18 Mei  2015
Photo: Moses Douw / Penulis / Menongko


Penulis mahasiswa Ilmu Pemerintahan kuliah di Yogyakarta

Tidak ada komentar: