Oleh: Nenih Apriyani
(Guru Bahasa Inggris)
Tak kan ada habisnya jika kita bercerita mengenai profesi guru. Sederhana namun sulit digambarkan perjuangannya. Sulit bukan karena tak tahu cara mengajar, namun sulit me-manage diri sendiri untuk terus menjadi teladan bagi siswa-siswinya. Terlebih, pengajaran sekarang harus berbasis karakter bangsa dan negara. Nilai-nilai moralitas nampaknya makin jelas disorot publik.
Coba saja, pada saat ada seorang siswa yang melakukan hal-hal negatif. Publik dengan mudah pasti akan bertanya, “siapa gurunya tuh?, sekolah di mana?” namun, ketika ada seorang anak yang berprestasi, hal pertama yang publik tanyakan adalah “hebat, anak siapa itu yah?”.
Padahal, guru juga manusia biasa sama seperti orang-orang yang memiliki profesi lain dengan tingkat pendidikan yang sama. Ekspektasi publik terhadap guru sangatlah tinggi, hingga kadang, beberapa hal negatif yang terjadi di sekolah atau bahkan di luar sekolah akan dikaitkan dengan eksistensi guru.
Teringat kalimat miris yang dituturkan oleh salah seorang pemilik sekolah Al-Falah sekaligus guru besar bagi saya. Ia berkata, “menjadi seorang guru itu adalah sesuatu hal yang nekat. Jadi, anda semua yang jadi guru ini memang nekat karena anda berniat untuk mengajar dan mendidik anak orang lain. Padahal mungkin anda saja menitipkan anak anda kepada orang lain untuk diasuh. Parahnya lagi, orang tua murid yang diamanahi langsung oleh Allah untuk membimbing anaknya malah juga bertindak paling nekat. Ia menitipkan anaknya kepada orang yang nekat juga (guru).”
Dari ucapannya itu, sudah sangat jelas bahwa guru bukanlah seorang yang hebat yang lantas dapat mendidik anak-anak dalam waktu singkat menjadi lebih baik. Namun, semuanya membutuhkan waktu dan proses. Menurut saya, sukses menjadi guru itu tidak harus selalu mematok nilai yang tinggi bagi siswanya. Tidak juga dipuji sebagai guru teladan atas semua prestasinya. Sukses bagi saya, sebagai profesi seorang guru adalah ketika saya melihat seorang siswa berubah lebih positif seiring dengan proses perkembangannya.
Menjadi seorang guru tidak lah mudah. Mungkin bisa dibilang, mengajar itu teramat mudah. Namun, mendidik itulah yang luar biasa membuthkan kesabaran. Hingga akhirnya, saya menyadari, bahwa menjadi guru adalah panggilan jiwa. Meski hanya dengan bekal ijazah sarjana yang tidak berdasarkan akta kependidikan, saya yakin saya bisa dan yakin bahwa anda juga bisa. Ilmu pedagogik akan tumbuh dengan sendiirinya dalam jiwa jika memang kita berniat menjadi seorang guru.
Saya lahir dan tumbuh di daerah perkampungan yang kadang saya sebut out of map, saking jauhnya dari peradaban kota. Cikotok, Bayah, sekitar 5-6 jam perjalan menggunakan bis kota dari kabupaten Lebak, Banten. Masa kecil saya habiskan di sana sebelum akhirnya saya berhasil kuliah di PTN di Bandung, dan kini menetap di Bekasi. Percaya atau tidak, sistem atau kegiatan belajar mengajar di kampung saya tak juga mengalami perubahan positif yang signifikan dari dulu hingga sekarang.
Pengajaran konvensional masih saa mereka lakukan di sana, entah karena jauh dari jangkauan diknas atau karena kurangnya tenaga pengajar atau tidak adanya supervisi secara berkala, atau apapun itu, saya tak mengerti. Yang paling pasti, beberapa cara sama yang masih saya temukan adalah seperti guru akan masuk kelas dan meminta anak yang paling pintar mendiktekan bacaan, lalu meminta anak yang lainnya menulisnya di buku masing-masing.
Lalu sang guru akan keluar kelas, mengobrol dengan rekan sejawatnya atau makan bersamanya. Ada lagi, beberapa guru masih memakai kata kasar yang diujarkan untuk memarahi siswa atau bahkan melakukan kontak fisik seperti menampar atau mencubit siswanya pada saat siswa tersebut dianggap tidak mengerti atau tidak mengikuti aturan. Yang asaya ingat dari ucapan salah seorang teman yang juga menjadi guru di sana adalah, “gajian aja dirapel sampe 3 bulan sekali”. Jadi? Mungkin mereka masih anggap wajar jika mereka juga bekerja (mengajar) yang juga sewajarnya.
Namun, percaya atau tidak, berbagai kisah menyedihkan justru berasal dari kisah kehidupan guru pedalaman. Sebut saja di daerahku. Berjalan jauh menuju sekolah, melewati sungai tanpa jembatan, bahkan berjalan terjal, masih saja bisa kita jumpai di sana. Terkadang, saya masih meihat anak-anak sekolah menenteng sepatunya agar tidak basah dan kotor karena mereka harus menggunakan sepatu itu selama mungkin. Perjalanan jauh dan penuh rintangan akan membuatnya cepat lusuh dan bahkan rusak.
Alasan itulah yang akhirnya membuat mereka rela berjalan tanpa alas kaki. Ketika mendekati area sekolah, atas dasar penghormatan terhadap tata tertib sekolah, mereka akan mengenakannnya kembali. Dari semua cerita tersebut, gurunya pun bertindak sama. Mereka juga harus menempuh rintangan demikian. Ajaibnya lagi, guru-guru itu hanya digaji tak lebih dari tiga ratus ribu rupiah per bulan. Belum lagi, kadang gajinya tidak diberikan tepat waktu. Subhanallah, tak ada yang lebih mulia selain perjuangan guru tersebut.
Sebagai prolog, saya paparkan bahwa saya adalah seorang guru baru di sekolah yang baru saja menerima saya sebagai pegawai akademiknya. Sebelumnya, saya juga telah mengajar di sekolah lain yang berbasis montessori yang merupakan sekolah umum tidak berbasis agama di luar kota. Kini, saya memilih bekerja yang sesuai dengan keyakinan dan panggilan jiwa saya sendiri, yaitu di sekolah islam terpadu. Sialnya, saya tidak seperti rekan-rekan kerja yang lain yang memang lulus dari program kependidikan (guru) atau sudah memiliki akta IV.
Mengawali profesi saya di sekolah ini, saya ditempatkan sebagai assistant teacher di kelas 1 SD. Seringkali sang homeroom teacher atau si empunya kelas izin tidak masuk atau sakit atau yang lainnya sehingga menyebabkan saya harus menggantikannya hingga akhirnya beliau keluar dari sekolah ini dan saya benar-benar menggantikannya sebagai wali kelas 1.
Pernah suatu hari, teguran keras dari wali murid menghampiriku , “Ms, saya gak suka ya kalau anak itu ada di kelas ini. Dia tuh bener-benar nakal sama anak saya, Ms.” ucap seorang wali murid kepadaku siang hari itu. Nama saya Nenih Apriyani, umur 27 tahun. Kalimat di atas itu mengawali cerita saya kali ini. Siang itu, seusai sekolah, salah satu wali murid menghampiri saya dan mengajak saya berbicara serius.
Lalu diucapkanlah kalimat tersebut di atas olehnya. Saya pun sempat kaget mendengarnya. Kenapa harus demikian? Memang apa yang menjadi masalah besarnya dengan anak ini? Sebut saja namanya Dimas. Dengan tutur lembut penuh perhatian dan sikap tegas, saya akhirnya menutup obrolan singkat itu dan memastikan bahwa semua siswa di kelas dalam keadaan kondusif.
Tidak berhenti di situ, setelah saya bertanggung jawab penuh atas kelas tersebut, saya melakukan observasi lebih terhadap seluruh siswa, tidak hanya Dimas. Bahkan saya punya catatan sendiri mengenai masing-masing siswa setiap harinya. Selang sekitar 1 minggu, saya benar-benar mengerti kenapa ibu itu meminta Dimas dipindahkan dari kelas. Perilakunya memang sangat berbeda dengan yang lainnya. Hampir di setiap adanya kehilangan barang, Ia yang jadi pelakunya.
Hampir di setiap adanya keributan bahkan sampai kenakalan kecil seperti saling ejek atau berkelahi, Ia juga pemicunya. Hingga yang paling besar adalah ketika ia melawan ocehan seorang anak dan berujung pada perkelahian yang menyebabkan patahnya kacamata temannya.
Subhanallah, beberapa komen hingga sering kali wali murid komplain atas perilakunya. Dimas adalah tolak ukur sabarku saat itu. Nah, itu sebabnya, kenapa tadi saya bilang, sialnya saya bukan lulusan dari kependidikan yang tentu saja belajar mengenai pendidikan psikologi anak (pedagogik). Namun dengan bekal hati dan pikiran, saya pun harus menyelesaikan masalah yang terjadi karena Dimas. Observasi mendalam mulai dijalankan. Saya berbicara dengan orang tua
Dimas dan.... sekali lagi, Subhanallah... Dimas memang hidup dengan lingkungan yang memprihatinkan. Pada saat itu, ayahnya sedang sakit keras diluar kota, ibunya hanya seorang pedagang makanan di pasar tradisional, dan hidup dengan seorang kakak yang cacat namun memiliki catatan kasus kriminal anak. Kasihan, Ia bersekolah di tempat yang sepertinya diperuntukan bagi orang-orang kalangan menengah ke atas.
Sekelumit tentang Dimas itulah yang membuat saya berani akhirnya menjadi guru sekaligus teman curhatnya. Entahlah, ketika ia ditanya oleh guru lain, ia tak pernah mengakui kesalahannya. Namun, ketika saya tanya, dengan gaya pertemanan kami, dengan gamblang Ia bercerita semua kejadian yang ia sebabkan. Dari mulutnya yang polos, Ia ceritakan bahwa memang dia yang mencuri barang siswa lain namun Ia katakan bahwa itu meminjam. Lalu Ia kembalikan semuanya setelah kami berbicara.
Dimas termasuk anak yang keras, Ia lebih mementingkan otot dari pada otak dan hati. Menurutnya, jika lawan bicaranya tak lagi menghiraukan atau menghargainya lagi, maka kepalan tangan mungilnya itu berhak meluncur ke tubuh siswa lain yang ia anggap tak baik kepadanya. Kasus ini juga seringkali kami bicarakan dan Ia dengan mudah menceritakannya kepada saya hingga pernah suatu hari, Ia menangis di pelukan saya. Dan kami pun sama-sama menangis. Mungkin Ia merasa sedih akan semua yang terjadi kepadanya. Tapi saya? Saya menangis terharu karena melihatnya menangis. Itulah pertama kalinya saya melihat siswa sekeras Dimas menangis karena menyesali semua sikap negatifnya.
Selama 1 semseter saya di kelas itu, banyak hal yang mendewasakan saya. Profesi ini memang ajaib. Bekerja dengan hati, melayani semua keluh kesah hati, dan berhati-hati dengan semua tindak dan perilaku, dan menitikberatkan pada proses perubahan siswa yang lebih positif. Berbeda dengan pekerjaan di kantor yang bekerja hanya dengan otak dan tumpukkan kertas yang hanya bertanggung jawab pada atasannya saja dan mementingkan hasil atau pendapatan maksimal.
Dalam bukunya, Zainal Umuri menuliskan ada 4 kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yakni: kompetensi pedagogik,kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Nah, dalam waktu yang bersamaan, seorang guru harus memiliki ke empat kompetensi tersebut. Bagaimana dengan saya yang melaksanakan profesi ini atas dasar panggilan jiwa? Sekali lagi, semuanya butuh waktu dan proses. Yang lebih saya utamakan dalam kegiatan belajar mengajar adalah bagaimana menciptakan suasana kondusif. Disamping itu, tugas administrasi guru juga menumpuk. Dan saya seringkali mencicilnya. Seperti sekarang ini, di saat-saat tertentu, saya akan menyelesaikan beberapa RPP, Promes, Prota, dan istilah-istilah administrasi kelengkapan guru lainnya sebagai seorang profesional.
Hebat bukan? Jika saja bukan panggilan jiwa, mungkin profesi sebagai guru sudah banyak ditinggalkan orang. Dengan gaji yang jauh dari takaran cukup atau bahkan berlebih, profesi guru harus mengemban tugas yang tidak hanya cukup berat bahkan lebih berat dari yang dibayangkan. Memang tidak semua guru yang bekerja dengan sepenuh hati dan tidak semua guru juga yang mungkin terbelakang dari segi fasilitas dan ekonomi. Beberapa guru yang mengajar di sekolah-sekolah besar tertentu dengan latar internasional atau baccalaurate mungkin berhasil mendapatkan kehidupan yang amat layak. Namun masih banyak guru yang kehidupannya masih terbelakang. Apapun alasannya, perlu dipercaya bahwa tingkat pendapatan berbanding lurus dengan kinerja.
Kembali lagi ke masa kini, pengalaman saya menjadi konsultan Dimas, telah mengawai karir saya menjadi seorang pengajar dan pendidik. Kesabaran dan pemahaman tentang anak mulai saya dapatkan. Beberapa kali masalah terjadi tidak hanya dengan Dimas, Alhamdulilah, dapat saya lalui. Namun, itu tadi, guru juga manusia. Terkadang, saya juga moody. Adakalanya, saya tak bisa compromise dengan keadaan yang tidak kondusif di kelas. Saran saya, jika anda juga mengalami hal yang sama, berpikirlah sejenak, sekitar 2 menit. Pikirkan bahwa apa yang akan anda lalukan selanjutnya tidak akan menjadi negatif atau bahkan mengacaukan suasana kelas. Lalu menghirup nafas dalam, kemudian sampaikan apa yang hendak anda sampaikan.
Atau anda boleh keluar kelas sejenak untuk sekedar menenangkan diri dengan meminta izin mereka terlebih dahulu. Atau opsi terakhir, anda dapat menuliskan apa yang anda ingin sampaikan di papan tulis agar siswa membaca dan memahaminya, tanpa anda harus marah. Seikhlas apapun kita mengajar, jika memang sedang moody, mungkin saja sesuatu hal negatif terjadi di kelas.
Hal ini juga pernah saya alami sebagai guru biasa. Dengan jam mengajar yang selalu full hingga jam pelajaran usai, mungkin aya pernah melontarkan kata-kata dengan suara yang cukup lantang terhadap seorang siswa. Namun, sekeras apapun itu, saya ingat bahwa mereka adalah kertas-kertas putih yang kosong dan polos dan hanya akan menirukan apa yang gurunya lakukan di depan mereka. Lalu saya pun dapat mengendalikan emosi ketika sedang dalam situasi kelas yang gaduh.
Tentu saja dengan meminta maaf kepada siswa secara langsung jika ada yang tersinggung dengan ucapan saya. Sebagai seorang guru, saya punya prinsip harus menjadi sumber yang baik di kelas bagi siswa saya. Namun, tak ada salahnya, jika saya berkata, “ I feel so sorry, i don’t know about that. let’s find it out together ya. We may look at the dictionary or let’s ask Mr. Google about that.” Ms, belum tahu tuh yang itu maksudnya apa.
Kita buat PR bersama ya. Kita cari tahu itu dari kamus atau dari internet ya.” Dan anak-anak pun mengerti dengan kondisi saya yang- sekali lagi- hanya seorang guru biasa. Lain halnya dengan guru yang sangat memegang teguh gengsi atu egonya sendiri. Guru yang seperti itu akan sulit beradaptasi dengan cara mengajar modern di jaman sekarang.
Suatu hari, karena ada kepentingan mendadak, saya pulang ke kampung tanpa ditemani suami. Hasinya saya wajib naik tansprtasi umum. Dari Bekasi hingga Bayah, Banten, saya harus naik bis tiga kali. Selama perjalanan, seperti halayak lainnya. Sering kali terjadi percakapan antar sesama penumpang bis.
Lucunya, setiap saya naik masing-masing bis itu, saya mendapatkan teman bicara yang selalu menanyakan dimana tempat saya bekerja. Lebih lucu lagi, pada saat saya melihat ekspresi muka mereka yang semuanya terlihat aneh, ketika saya saya menjawab bahwa sya adalah seorang guru SD yang tadinya guru TK. Bahkan ada satu orang diantara mereka yang bilang, “gak sayang ya, jauh-jauh kuliah di universitas yang lumayan ternama, eh... ujung-ujungnya jadi guru. Guru SD pula!” jujur, pertama kali mendengar itu, saya juga shock!
Lalu secara otomatis, ku ambil nafas dalam-dalam dan menjawabnya dengan santai,”memang kenapa? Toh saya juga menikmatinya” kemudian dia kembali menjawabku, “gaji guru SD tuh kasian,gak seberapa terus dibayar Cuma 3 bulan sekali.” Ingin sekali rasanya waktu itu saya menjawab, “sorry ya... Lu salah, orang gue beda ma yang di kampung! Gue ngajar serius, tulus, dan profesioanal, dan gue ga dibayar minim kayak temen-temen lu karena cara ngajar gue gak kampungan!” Oops... tapi semuanya hanya dipendam di hati, satu kata pun tak ada yang keluar dari mulutku setelah itu. Saya hanya tersenyum dan manjawab, “gak apa-apa koq, alhamdulilah, insyaAllah berkah buat saya pribadi.” Masih sempat jadi pikiran, kenapa dia biasa berkomentar seperti itu?
Apa karena dia sudah menjadi dokter? Tapi, dia bisa menjadi dokter juga mulanya dari TK lalu SD dan seterusnya. Tak pernahkah dia berpikir apa yang akan terjadi jika semua orang menjauhkan profesi guru karena gengsi? Lantas, siapa yang akan mengajar generasi baru lainnya.
Sepertinya, profesi guru khususnya guru SD atau TK masih saja di lihat dengan sebelah mata oleh publik. Tanpa mereka sadari bahwa tanggung jawab guru baik guru apapun itu sangatlah berat. Justru mulai dari yang terrendah ini lah yang berat. Bagaimana tidak? Seorang guru TK atau SD dituntut menanamkan karakter-karakter bangsa positif kepada anak mulai dari usia dini. Segala nilai moralitas terpuji harus dikenalkan dan bahkan dijadikan karakter siswa.
Mengajarkan hal yang sudah pasti itu mudah, namun mencontohkan hal-hal baik itu yang tidak mudah, namun dituntut harus bisa.
Beberapa hari yang lalu, saya tulis status di BB, “A+ is useless, belum tentu yang berprestasi di sekolah kelak muncul dan sukses”. Kelap-kelip cahaya di BB saya langsung menandakan adanya peasn masuk. Sudah sangat wajar jika banyak komentar yang masuk ke BB saya. Pertama, komentar yang masuk dari orang tua murid kelas 1 SD. Setahu saya, beliau memang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan dari kalangan mampu atau boleh dibilang masyarakat kelas atas.
Beliau tulis komentarnya kurang lebih seperti ini, “betul ms, saya setuju tuh. Percuma rasanya punya anak yang pinter di semua subject tapi nihil kreatifnya da gak berani nunjukin kemampuannyayang lain. Apalagi kalo anak itu ga punya attitude yang bagus.yang penting, dia punya life skill yang jelas, minimal bisa berbahasa inggris lah” Lalu, saya jawab, “ iya bun, tapi yang paling bagus ya prestasi di sekolah dan kelak akan sukses.”
Saya senang membaca komentarnya dengan senyum kecil tapi penuh makna, saya mengerti bahwa bunda tersebut mengerti maksud saya. Tak lama kemudian, satu pesan masuk lagi. Kali ini datang dari orang tua kelas 4 SD dengan latar belakang ibu rumah tangga namun memiliki jiwa entrepreneur, setahu saya beliau suka mengisi acara-acara bazzar nasional.
Komentarnya kurang lebih seperti ini, “maaf, ibu guru koq statusnya kayak gitu ya. Bukannya guru itu harus memotivasi anak-anaknya biar berprestasi di sekolah?. Ni malah jadi pesimis dan bikin yang baca jadi pesimis juga!.”
Nah, untuk menjawab komentar yang ini, perlu dipikirkan.....
Jawaban saya pun terkirim seperti ini, “bunda, saya tidak bermaksud demikian. Tapi, pernahkah bunda dengar atau ingat bahwa mungkin ada teman-teman bunda yang dulu jauh lebih pintar dari pada bunda, lalu sekarang nasibnya berubah drastis dan malah bunda jauh lebih baik darinya?. Ini hanya contoh sederhana yang bisa saya jelaskan. Maksud saya, noted for all parents: it’s impossible to be excellent in every subjects.
Biarkan anak bunda memilih apa yang ia kuasai dan asahlah kemampuan itu. karena tidak semua guru pun bisa mengajarkan semua pelajaran. Namun, lihatnya kemampuan psikologi dan bakatnya. insyaAllah bunda mengerti maksud saya. Mohon maaf jika kurang berkenan.” Sederhana saja beliau menjawab, “iya ms, saya mengerti dan setuju.”
Komunikasi seperti itu sering saya lakukan dengan orang tua siswa. Dengan demikian, tak akan terjadi friksi-friksi antara guru dan orang tua yang akan memecah konsentrasi kami. Sejatinya, visi dan misi sekolah dipahami oleh guru dan orang tua secara bersamaan. Bagaimana tidak, dua lingkungan ini lah yang menjadi media bagi seorang anak untuk tumbuh kembang. Jika salah satunya berbeda pendapatnya dan tak juga menemukan jalan tengannya, maka perkembangan prestasi dan sosial anak tersebut akan terpengaruh.
Dengan demikian, menjadi seorang guru juga harus mampu menjadi konsultan bagi para orang tua siswa. Sekali lagi –subhanallah- bagitu banyak yang harus diemban. Namun tak sebegitu banyaknya yang didapat oleh guru kecuali pembelajaran.
Beberapa kali kita lihat di televisi, sekelompok guru berdemonstrasi di mana-mana. Menuntut kenaikan gaji, tunjangan atau apapun itu yang menyangkut kesejahteraan hidup. Entahlah, mana yang menjadi prioritas kini. Menjadi guru profesional dan mengajar ikhlas, atau menjadi guru karena himpitan ekonomi keluarga. Namun, perlu kita ketahui bahwa semua itu saling berkaitan. Menjadi guru memang suatu profesi dengan penuh tanggung jawab terhadap siswa, orang tua, masyarakat, dan negara.
Seiring perkembangan zaman, kebutuhan secara finansial juga bertambah. Saya pribadi, sebagai guru di sekolah swasta, tak pernah melakukan demo semacam itu karena saya pikir –itu tadi- pendapatan itu berbanding lurus dengan kinerja. Mungkin lain halnya dengan guru berlabel PNS yang bisa menuntut lebih terhadap negara. Saya hanya dapat berusaha untuk meningkatkan mutu kerja, belajar lebih dengan mengikuti beberapa seminar yang kebanyakan diselenggarakan oleh pihak luar (luar negeri) juga menambah pengetahuan dengan membaca dan memperhatikan pengelolaan sekolah-sekolah swasta yang berkembang dan maju. Semua perspektif masyarakat baik itu positif maupun negatif menjadi lumrah terhadap pribadi seorang guru.
Dengan iming-iming menjadi Pegawai Negeri, banyak orang beralih cita-cita menjadi guru. Ada banyak pilihan setelah itu. ada yang menjadi guru asal-asalan, datang terlambat lalu pegang alat komunikasi dan sibuk dengan itu. ada yang menjadi guru konvensional, datang pagi lalu masuk kelas dengan gaya kuno.
Senang membuat anak stres dengan omelannya. Ada yang menjadi guru gaya-gayaan, datang pagi dengan menenteng atau memakai barang-barang branded lalu megajar sekenanya. Ada yang menjadi guru serius tapi santai. Juga yang menjadi guru profesional. Kesemuanya itu mungkin saja ada di sekolah-sekolah lainnya. Satu hal yang sangat pasti: menjadi guru harus dengan penuh kesadaran dan sesuai dengan panggilan jiwa.
Semoga tulisan ini mampu memotivasi anda yang menyempatkan membaca, khususnya bagi saya pribadi. Salam semangat untuk semua jenis guru Indonesia. Semoga kita semua mampu menjadi panutan yang baik bagi siswa-siswi kita. Every child is an immitator, so be a good person to be immitated!
sumber : http://www.mentariindonesia.sch.id/