Sabtu, 29 Agustus 2015

Ternyata Masih ada yang Peduli Kepada Kami di Pedalaman ini

Ucapan Terima Kasih kepada GAPKI PUSAT ,
(Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia)
yang telah sudi mengirimkan buku-bukunya ke sekolah kami di sini....
buku-bukunya telah kami terima tanggal 27 Agustus kemarin,
buku-bukunya sangat bermanfaat dan anak didik kami juga suka sekali membacanya...
terutama yang berupa buku komik tentang sawit...
anak-anak disini banyak yang hobi membaca,
cuma koleksi buku-buku bacaan kami masih sedikit...

sekali lagi ,terimakasih banyak kepada Sekretariat Gapki Pusat 
terutama Ibu Suzzy Cuang yg telah meluangkan waktunya 
untuk mengurusi pengiriman paket buku ini....
hingga sampai juga ke SDN 13 sentimok Kecamatan Jagoi Babang ini
Hanya Tuhan Yang Maha Esa yg bisa membalas semua kebaikan ini....
Amiin.....


Jumat, 28 Agustus 2015

Selamat Pagi Negeriku Indonesia

pagi merekah 
sebingkai jendela melukiskan pemandangan alam
sebaris embun sekilau warna secercah mentari 
semua tersimpul dalam senyummu 
menandai dimulainya kehidupan indah hari ini.

Kamu adalah lembaran hidupku 
dengan tetes-tetes rindu yang menghapus setiap sunyi setiap saat 
kata-kata ini bicara apa adanya mengenai sebuah isyarat yang dirahasiakan bunga-bunga ketika pagi melepaskan diri dari malam yang pekat.

Dan kita, 
adalah sebuah belahan hati yang tak bisa kutulisi sendiri 
tanpa kamu maknai tak bisa kugambar sendiri 
tanpa kamu warnai seperti hurup-hurup cinta 
yang berkilauan di setiap bunga 
di setiap embun yang meresap ke dalam kalbu.
.
Tetes embun 
Jernih berkilau 
Hangat mentari menyapa 
Pantulkan cahaya gemerlapan

Anak kecil berjalan Lintasi pematang menuju sekolah 
Ditendangnya ilalang ...
Percikan air berhamburan 
Udara sejuk menyertai Langkahnya 
bertelanjang kaki Merasakan sisa hujan semalam

Lumpur kecoklatan penuhi mata kakinya 
Sepatunya diatas pundak 
Jalanan terlalu kotor Untuk sepatu barunya

Tahun lalu Dua buah uang logam Tak pernah terpakai 
Minggu lalu diterimanya Masih utuh dalam kantong celananya

Anak petani desa terpencil itu 
Bertekad menjadi pintar 
Agar tidak seperti orang tuanya 
Karena mereka memintanya 
Pesan itu selalu terngiang dari Orang tuanya di ujung telinga

Nak, jangan kau menjadi bodoh dan miskin!
cukup kami saja yg merasakannya...
Karena kami sudah kenyang dgn kemiskinan ini........

wahai anak2ku...
jangan terpengaruh keterbatasan
jangan karena kita dipedalaman
jangan karena kita ngga punya apa2...

Ayo tetap semangat belajar.....anak2ku.......
diseluruh pelosok negeri Indonesia tercinta ini...

Kamis, 27 Agustus 2015

Aplikasi Kalender Pendidikan Abadi Terbaru



Aplikasi Kalender Pendidikan abadi ini pun bisa disesuaikan dengan keadaan daerah maupun sekolah, sejatinya memang tak ada yang abadi namun kalender pendidikan ini pun juga demikian adanya, tapi sebutan sebagai kalender pendidikan abadi ini sedikit hiperbola karena fungsinya yang bisa terus menyesuaikan keadaan pada tiap tahunnya.

Berikut kami sediakan kalender pendidikan abadi yang tak kalah bermanfaat untuk bisa dijadikan bahan referensi bapak/ibu dalam menentukan hari efektif belajar mengajar


Aplikasi Kalender Pendidikan Abadi Terbaru

Jika berminat silahkan unduh pada link dibawah ini, jika bingung cara downloadnya silahkan baca pada menu bagian atas blog ini

Rabu, 26 Agustus 2015

Menjadi Guru Panggilan Jiwaku


Oleh: Nenih Apriyani
(Guru Bahasa Inggris)

Tak kan ada habisnya jika kita bercerita mengenai profesi guru. Sederhana namun sulit digambarkan perjuangannya. Sulit bukan karena tak tahu cara mengajar, namun sulit me-manage diri sendiri untuk terus menjadi teladan bagi siswa-siswinya. Terlebih, pengajaran sekarang harus berbasis karakter bangsa dan negara. Nilai-nilai moralitas nampaknya makin jelas disorot publik. 

Coba saja, pada saat ada seorang siswa yang melakukan hal-hal negatif. Publik dengan mudah pasti akan bertanya, “siapa gurunya tuh?, sekolah di mana?” namun, ketika ada seorang anak yang berprestasi, hal pertama yang publik tanyakan adalah “hebat, anak siapa itu yah?”. 

Padahal, guru juga manusia biasa sama seperti orang-orang yang memiliki profesi lain dengan tingkat pendidikan yang sama. Ekspektasi publik terhadap guru sangatlah tinggi, hingga kadang, beberapa hal negatif yang terjadi di sekolah atau bahkan di luar sekolah akan dikaitkan dengan eksistensi guru. 
 
Teringat kalimat miris yang dituturkan oleh salah seorang pemilik sekolah Al-Falah  sekaligus guru besar bagi saya.  Ia berkata, “menjadi seorang guru itu adalah sesuatu hal yang nekat. Jadi, anda semua yang jadi guru ini memang nekat karena anda berniat untuk mengajar dan mendidik anak orang lain. Padahal mungkin anda saja menitipkan anak anda kepada orang lain untuk diasuh. Parahnya lagi, orang tua murid yang diamanahi langsung oleh Allah untuk membimbing anaknya malah juga bertindak paling nekat. Ia menitipkan anaknya kepada orang yang nekat juga (guru).” 

Dari ucapannya itu, sudah sangat jelas bahwa guru bukanlah seorang yang hebat yang lantas dapat mendidik anak-anak dalam waktu singkat menjadi lebih baik. Namun, semuanya membutuhkan waktu dan proses. Menurut saya, sukses menjadi guru itu tidak harus selalu mematok nilai yang tinggi bagi siswanya. Tidak juga dipuji sebagai guru teladan atas semua prestasinya. Sukses bagi saya, sebagai profesi seorang guru adalah ketika saya melihat seorang siswa berubah lebih positif seiring dengan proses perkembangannya.  

Menjadi seorang guru tidak lah mudah. Mungkin bisa dibilang, mengajar itu teramat mudah. Namun, mendidik itulah yang luar biasa membuthkan kesabaran. Hingga akhirnya, saya menyadari, bahwa menjadi guru adalah panggilan jiwa. Meski hanya dengan bekal ijazah sarjana yang tidak berdasarkan akta kependidikan, saya yakin saya bisa dan yakin bahwa anda juga bisa. Ilmu pedagogik akan tumbuh dengan sendiirinya dalam jiwa jika memang kita berniat menjadi seorang guru.

Saya lahir dan tumbuh di daerah perkampungan yang kadang saya sebut out of map, saking jauhnya dari peradaban kota. Cikotok, Bayah, sekitar 5-6 jam perjalan menggunakan bis kota dari kabupaten Lebak, Banten. Masa kecil saya habiskan di sana sebelum akhirnya saya berhasil kuliah di PTN di Bandung, dan kini menetap di Bekasi. Percaya atau tidak, sistem atau kegiatan belajar mengajar di kampung saya tak juga mengalami perubahan positif yang signifikan dari dulu hingga sekarang. 

Pengajaran konvensional masih saa mereka lakukan di sana, entah karena jauh dari jangkauan diknas atau karena kurangnya tenaga pengajar atau tidak adanya supervisi secara berkala, atau apapun itu, saya tak mengerti. Yang paling pasti, beberapa cara sama yang masih saya temukan adalah seperti guru akan masuk kelas dan meminta anak yang paling pintar mendiktekan bacaan, lalu meminta anak yang lainnya menulisnya di buku masing-masing.  

Lalu sang guru akan keluar kelas, mengobrol dengan rekan sejawatnya atau makan bersamanya. Ada lagi,  beberapa guru masih memakai kata kasar yang diujarkan untuk memarahi siswa atau bahkan melakukan kontak fisik seperti menampar atau mencubit siswanya pada saat siswa tersebut dianggap tidak mengerti atau tidak mengikuti aturan. Yang asaya ingat dari ucapan salah seorang teman yang juga menjadi guru di sana adalah, “gajian aja dirapel sampe 3 bulan sekali”. Jadi? Mungkin mereka masih anggap wajar jika mereka juga bekerja (mengajar) yang juga sewajarnya. 

Namun, percaya atau tidak, berbagai kisah menyedihkan justru berasal dari kisah kehidupan guru pedalaman. Sebut saja di daerahku. Berjalan jauh menuju sekolah, melewati sungai tanpa jembatan, bahkan berjalan terjal, masih saja bisa kita jumpai di sana. Terkadang, saya masih meihat anak-anak sekolah menenteng sepatunya agar tidak basah dan kotor karena mereka harus menggunakan sepatu itu selama mungkin. Perjalanan jauh dan penuh rintangan akan membuatnya cepat lusuh dan bahkan rusak. 

Alasan itulah yang akhirnya membuat mereka rela berjalan tanpa alas kaki. Ketika mendekati area sekolah, atas dasar penghormatan terhadap tata tertib sekolah, mereka akan mengenakannnya kembali. Dari semua cerita tersebut, gurunya pun bertindak sama. Mereka juga harus menempuh rintangan demikian. Ajaibnya lagi, guru-guru itu hanya digaji tak lebih dari tiga ratus ribu rupiah per bulan. Belum lagi, kadang gajinya tidak diberikan tepat waktu. Subhanallah, tak ada yang lebih mulia selain perjuangan guru tersebut.

Sebagai prolog, saya paparkan bahwa saya adalah seorang guru baru di sekolah yang baru saja menerima saya sebagai pegawai akademiknya. Sebelumnya, saya juga telah mengajar di sekolah lain yang berbasis montessori yang merupakan sekolah umum tidak berbasis agama  di luar kota. Kini, saya memilih bekerja yang sesuai dengan keyakinan dan panggilan jiwa saya sendiri, yaitu di sekolah islam terpadu. Sialnya, saya tidak seperti rekan-rekan kerja yang lain yang memang lulus dari program kependidikan (guru) atau sudah memiliki akta IV. 

Mengawali profesi saya di sekolah ini, saya ditempatkan sebagai assistant teacher di kelas 1 SD. Seringkali sang homeroom teacher atau si empunya kelas izin tidak masuk atau sakit atau yang lainnya sehingga menyebabkan saya harus menggantikannya hingga akhirnya beliau keluar dari sekolah ini  dan saya benar-benar menggantikannya sebagai wali kelas 1. 

Pernah suatu hari, teguran keras dari wali murid menghampiriku , “Ms, saya gak suka ya kalau anak itu ada di kelas ini. Dia tuh bener-benar nakal sama anak saya, Ms.” ucap seorang wali murid kepadaku siang hari itu. Nama saya Nenih Apriyani, umur 27 tahun. Kalimat di atas itu mengawali cerita saya kali ini.  Siang itu, seusai sekolah, salah satu wali murid menghampiri saya dan mengajak saya berbicara serius. 

Lalu diucapkanlah kalimat tersebut di atas olehnya. Saya pun sempat kaget mendengarnya. Kenapa harus demikian? Memang apa yang menjadi masalah besarnya dengan anak ini? Sebut saja namanya Dimas. Dengan tutur lembut penuh perhatian dan sikap tegas, saya akhirnya menutup obrolan singkat itu dan memastikan bahwa semua siswa di kelas dalam keadaan kondusif.

Tidak berhenti di situ, setelah saya bertanggung jawab penuh atas kelas tersebut, saya melakukan observasi lebih terhadap seluruh siswa, tidak hanya Dimas. Bahkan saya punya catatan sendiri mengenai masing-masing siswa setiap harinya. Selang sekitar 1 minggu, saya benar-benar mengerti kenapa ibu itu meminta Dimas dipindahkan dari kelas. Perilakunya memang sangat berbeda dengan yang lainnya. Hampir di setiap adanya kehilangan barang, Ia yang jadi pelakunya. 

Hampir di setiap adanya keributan bahkan sampai kenakalan kecil seperti saling ejek atau berkelahi, Ia juga pemicunya. Hingga yang paling besar adalah ketika ia melawan ocehan seorang anak dan berujung pada perkelahian yang menyebabkan patahnya kacamata temannya. 

Subhanallah, beberapa komen hingga sering kali wali murid komplain atas perilakunya. Dimas adalah tolak ukur sabarku saat itu. Nah, itu sebabnya, kenapa tadi saya bilang, sialnya saya bukan lulusan dari kependidikan yang tentu saja belajar mengenai pendidikan psikologi anak (pedagogik). Namun  dengan bekal hati dan pikiran, saya pun harus menyelesaikan masalah yang terjadi karena Dimas. Observasi mendalam mulai dijalankan. Saya berbicara dengan orang tua  

Dimas dan.... sekali lagi, Subhanallah... Dimas memang hidup dengan lingkungan yang memprihatinkan. Pada saat itu, ayahnya sedang sakit keras diluar kota, ibunya hanya seorang pedagang makanan di pasar tradisional, dan hidup dengan seorang kakak yang cacat namun memiliki catatan kasus kriminal anak. Kasihan, Ia bersekolah di tempat yang sepertinya diperuntukan bagi orang-orang kalangan menengah ke atas. 

Sekelumit tentang Dimas itulah yang membuat saya berani akhirnya menjadi guru sekaligus teman curhatnya. Entahlah, ketika ia ditanya oleh guru lain, ia tak pernah mengakui kesalahannya. Namun, ketika saya tanya, dengan gaya pertemanan kami, dengan gamblang Ia bercerita semua kejadian yang ia sebabkan. Dari mulutnya yang polos, Ia ceritakan bahwa memang dia yang mencuri barang siswa lain namun Ia katakan bahwa itu meminjam. Lalu Ia kembalikan semuanya setelah kami berbicara. 

Dimas termasuk anak yang keras, Ia lebih mementingkan otot dari pada otak dan hati. Menurutnya, jika lawan bicaranya tak lagi menghiraukan atau menghargainya lagi, maka kepalan tangan mungilnya itu berhak meluncur ke tubuh siswa lain yang ia anggap tak baik kepadanya. Kasus ini juga seringkali kami bicarakan dan Ia dengan mudah menceritakannya kepada saya hingga pernah suatu hari, Ia menangis di pelukan saya. Dan kami pun sama-sama menangis. Mungkin Ia merasa sedih akan semua yang terjadi kepadanya. Tapi saya? Saya menangis terharu karena melihatnya menangis. Itulah pertama kalinya saya melihat siswa sekeras Dimas menangis karena menyesali semua sikap negatifnya.

Selama 1 semseter saya di kelas itu, banyak hal yang mendewasakan saya. Profesi ini memang ajaib. Bekerja dengan hati, melayani semua keluh kesah hati, dan berhati-hati dengan semua tindak dan perilaku, dan menitikberatkan pada proses perubahan siswa yang lebih positif. Berbeda dengan pekerjaan di kantor yang bekerja hanya dengan otak dan tumpukkan kertas yang hanya bertanggung jawab pada atasannya saja dan mementingkan hasil atau pendapatan maksimal.

Dalam bukunya, Zainal Umuri menuliskan ada 4 kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yakni:  kompetensi  pedagogik,kompetensi kepribadian,  kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Nah, dalam waktu yang bersamaan, seorang guru harus memiliki ke empat kompetensi tersebut. Bagaimana dengan saya yang melaksanakan profesi ini atas dasar panggilan jiwa? Sekali lagi, semuanya butuh waktu dan proses. Yang lebih saya utamakan dalam kegiatan belajar mengajar adalah bagaimana menciptakan suasana kondusif. Disamping itu, tugas administrasi guru juga menumpuk. Dan saya seringkali mencicilnya. Seperti sekarang ini, di saat-saat tertentu, saya akan menyelesaikan beberapa RPP, Promes, Prota, dan istilah-istilah administrasi kelengkapan guru lainnya sebagai seorang profesional. 

Hebat bukan? Jika saja bukan panggilan jiwa, mungkin profesi sebagai guru sudah banyak ditinggalkan orang. Dengan gaji yang jauh dari takaran cukup atau bahkan berlebih, profesi guru harus mengemban tugas yang tidak hanya cukup berat bahkan lebih berat dari yang dibayangkan. Memang tidak semua guru yang bekerja dengan sepenuh hati dan tidak semua guru juga yang mungkin terbelakang dari segi fasilitas dan ekonomi. Beberapa guru yang mengajar di sekolah-sekolah besar tertentu dengan latar internasional atau baccalaurate mungkin berhasil mendapatkan kehidupan yang amat layak. Namun masih banyak guru yang kehidupannya masih terbelakang. Apapun alasannya, perlu dipercaya bahwa tingkat pendapatan berbanding lurus dengan kinerja. 

Kembali lagi ke masa kini, pengalaman saya menjadi konsultan Dimas, telah mengawai karir saya menjadi seorang pengajar dan pendidik. Kesabaran dan pemahaman tentang anak mulai saya dapatkan. Beberapa kali masalah terjadi tidak hanya dengan Dimas, Alhamdulilah, dapat saya lalui. Namun, itu tadi, guru juga manusia. Terkadang, saya juga moody. Adakalanya, saya tak bisa compromise dengan keadaan yang tidak kondusif di kelas. Saran saya, jika anda juga mengalami hal yang sama, berpikirlah sejenak, sekitar 2 menit. Pikirkan bahwa apa yang akan anda lalukan selanjutnya tidak akan menjadi negatif atau bahkan mengacaukan suasana kelas. Lalu menghirup nafas dalam, kemudian sampaikan apa yang hendak anda sampaikan. 

Atau anda boleh keluar kelas sejenak untuk sekedar menenangkan diri dengan meminta izin mereka terlebih dahulu. Atau opsi terakhir, anda dapat menuliskan apa yang anda ingin sampaikan di papan tulis agar siswa membaca dan memahaminya, tanpa anda harus marah. Seikhlas apapun kita mengajar, jika memang sedang moody, mungkin saja sesuatu hal negatif terjadi di kelas. 

Hal ini juga pernah saya alami sebagai guru biasa. Dengan jam mengajar yang selalu full hingga jam pelajaran usai, mungkin aya pernah melontarkan kata-kata dengan suara yang cukup lantang terhadap seorang siswa. Namun, sekeras apapun itu, saya ingat bahwa mereka adalah kertas-kertas putih yang kosong dan polos dan hanya akan menirukan apa yang gurunya lakukan di depan mereka. Lalu saya pun dapat mengendalikan emosi ketika sedang dalam situasi kelas yang gaduh. 

Tentu saja dengan meminta maaf kepada siswa secara langsung jika ada yang tersinggung dengan ucapan saya. Sebagai seorang guru, saya punya prinsip harus menjadi sumber yang baik di kelas bagi siswa saya. Namun, tak ada salahnya, jika saya berkata, “ I feel so sorry, i don’t know about that. let’s find it out together ya. We may look at the dictionary or let’s ask Mr. Google about that.” Ms, belum tahu tuh yang itu maksudnya apa. 

Kita buat PR bersama ya. Kita cari tahu itu dari kamus atau dari internet ya.” Dan anak-anak pun mengerti dengan kondisi saya yang- sekali lagi- hanya seorang guru biasa. Lain halnya dengan guru yang sangat memegang teguh gengsi atu egonya sendiri. Guru yang seperti itu akan sulit beradaptasi dengan cara mengajar modern di jaman sekarang.

Suatu hari, karena ada kepentingan mendadak, saya pulang ke kampung tanpa ditemani suami. Hasinya saya wajib naik tansprtasi umum. Dari Bekasi hingga Bayah, Banten, saya harus naik bis tiga kali. Selama perjalanan, seperti halayak lainnya. Sering kali terjadi percakapan antar sesama penumpang bis. 

Lucunya, setiap saya naik masing-masing bis itu, saya mendapatkan teman bicara yang selalu menanyakan dimana tempat saya bekerja. Lebih lucu lagi, pada saat saya melihat ekspresi muka mereka yang semuanya terlihat aneh, ketika saya saya menjawab bahwa sya adalah seorang guru SD yang tadinya guru TK. Bahkan ada satu orang diantara mereka yang bilang, “gak sayang ya, jauh-jauh kuliah di universitas yang lumayan ternama, eh... ujung-ujungnya jadi guru. Guru SD pula!” jujur, pertama kali mendengar itu, saya juga shock! 

Lalu secara otomatis, ku ambil nafas dalam-dalam dan menjawabnya dengan santai,”memang kenapa? Toh saya juga menikmatinya” kemudian dia kembali menjawabku, “gaji guru SD tuh kasian,gak seberapa terus  dibayar Cuma 3 bulan sekali.” Ingin sekali rasanya waktu itu saya menjawab, “sorry ya... Lu salah, orang gue beda ma yang di kampung! Gue ngajar serius, tulus, dan profesioanal, dan gue ga dibayar minim kayak temen-temen lu karena cara ngajar gue gak kampungan!” Oops... tapi semuanya hanya dipendam di hati, satu kata pun tak ada yang keluar dari mulutku setelah itu. Saya hanya tersenyum dan manjawab, “gak apa-apa koq, alhamdulilah, insyaAllah berkah buat saya pribadi.” Masih sempat jadi pikiran, kenapa dia biasa berkomentar seperti itu? 

Apa karena dia sudah menjadi dokter? Tapi, dia bisa menjadi dokter juga mulanya dari TK lalu SD dan seterusnya. Tak pernahkah dia berpikir apa yang akan terjadi jika semua orang menjauhkan profesi guru karena gengsi? Lantas, siapa yang akan mengajar generasi baru lainnya.

Sepertinya, profesi guru khususnya guru SD atau TK masih saja di lihat dengan sebelah mata oleh publik. Tanpa mereka sadari bahwa tanggung jawab guru baik guru apapun itu sangatlah berat. Justru mulai dari yang terrendah ini lah yang berat. Bagaimana tidak? Seorang guru TK atau SD dituntut menanamkan karakter-karakter bangsa positif kepada anak mulai dari usia dini. Segala nilai moralitas terpuji harus dikenalkan dan bahkan dijadikan karakter siswa. 

Mengajarkan hal yang sudah pasti itu mudah, namun mencontohkan hal-hal baik itu yang tidak mudah, namun dituntut harus bisa. 

Beberapa hari yang lalu, saya tulis status di BB, “A+ is useless, belum tentu yang berprestasi di sekolah kelak muncul dan sukses”. Kelap-kelip cahaya di BB saya langsung menandakan adanya peasn masuk. Sudah sangat wajar jika  banyak komentar yang masuk ke BB saya. Pertama, komentar yang masuk dari orang tua murid kelas 1 SD. Setahu saya, beliau memang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan dari kalangan mampu atau boleh dibilang masyarakat kelas atas. 

Beliau tulis komentarnya kurang lebih seperti ini, “betul ms, saya setuju tuh. Percuma rasanya punya anak yang pinter di semua subject tapi nihil kreatifnya da gak berani nunjukin kemampuannyayang lain. Apalagi kalo anak itu ga punya attitude yang bagus.yang penting, dia punya life skill yang jelas, minimal bisa berbahasa inggris lah” Lalu, saya jawab, “ iya bun, tapi yang paling bagus ya prestasi di sekolah dan kelak akan sukses.” 

Saya senang membaca komentarnya dengan senyum kecil tapi penuh makna, saya mengerti bahwa bunda tersebut mengerti maksud saya. Tak lama kemudian, satu pesan masuk lagi. Kali ini datang dari orang tua kelas 4 SD dengan latar belakang ibu rumah tangga namun memiliki jiwa entrepreneur, setahu saya beliau suka mengisi acara-acara bazzar nasional. 

Komentarnya kurang lebih seperti ini, “maaf, ibu guru koq statusnya kayak gitu ya. Bukannya guru itu harus memotivasi anak-anaknya biar berprestasi di sekolah?. Ni malah jadi pesimis dan bikin yang baca jadi pesimis juga!.” 

Nah, untuk menjawab komentar yang ini, perlu dipikirkan.....

Jawaban saya pun terkirim seperti ini, “bunda, saya tidak bermaksud demikian. Tapi, pernahkah bunda dengar atau ingat bahwa mungkin ada teman-teman bunda yang dulu jauh lebih pintar dari pada bunda, lalu sekarang nasibnya berubah drastis dan malah bunda jauh lebih baik darinya?. Ini hanya contoh sederhana yang bisa saya jelaskan. Maksud saya, noted for all parents: it’s impossible to be excellent in every subjects. 

Biarkan anak bunda memilih apa yang ia kuasai dan asahlah kemampuan itu. karena tidak semua guru pun bisa mengajarkan semua pelajaran. Namun, lihatnya kemampuan psikologi dan bakatnya. insyaAllah bunda mengerti maksud saya. Mohon maaf jika kurang berkenan.” Sederhana saja beliau menjawab, “iya ms, saya mengerti dan setuju.”

Komunikasi seperti itu sering saya lakukan dengan orang tua siswa. Dengan demikian, tak akan terjadi friksi-friksi antara guru dan orang tua yang akan memecah konsentrasi kami. Sejatinya, visi dan misi sekolah dipahami oleh guru dan orang tua secara bersamaan. Bagaimana tidak, dua lingkungan ini lah yang menjadi media bagi seorang anak untuk tumbuh kembang. Jika salah satunya berbeda pendapatnya dan tak juga menemukan jalan tengannya, maka perkembangan prestasi dan sosial anak tersebut akan terpengaruh. 

Dengan demikian, menjadi seorang guru juga harus mampu menjadi konsultan bagi para orang tua siswa. Sekali lagi –subhanallah- bagitu banyak yang harus diemban. Namun tak sebegitu banyaknya yang didapat oleh guru kecuali pembelajaran. 

Beberapa kali kita lihat di televisi, sekelompok guru berdemonstrasi di mana-mana. Menuntut kenaikan gaji, tunjangan atau apapun itu yang menyangkut kesejahteraan hidup. Entahlah, mana yang menjadi prioritas kini. Menjadi guru profesional dan mengajar ikhlas, atau menjadi guru karena himpitan ekonomi keluarga. Namun, perlu kita ketahui bahwa semua itu saling berkaitan. Menjadi guru memang suatu profesi dengan penuh tanggung jawab terhadap siswa, orang tua, masyarakat, dan negara. 

Seiring perkembangan zaman, kebutuhan secara finansial juga bertambah. Saya pribadi, sebagai guru di sekolah swasta, tak pernah melakukan demo semacam itu karena saya pikir –itu tadi- pendapatan itu berbanding lurus dengan kinerja. Mungkin lain halnya dengan guru berlabel PNS yang bisa menuntut lebih terhadap negara. Saya hanya dapat berusaha untuk meningkatkan mutu kerja, belajar lebih dengan mengikuti beberapa seminar yang kebanyakan diselenggarakan oleh pihak luar (luar negeri) juga menambah pengetahuan dengan membaca dan memperhatikan pengelolaan sekolah-sekolah swasta yang berkembang dan maju. Semua perspektif masyarakat baik itu positif maupun negatif menjadi lumrah terhadap pribadi seorang guru. 

Dengan iming-iming menjadi Pegawai Negeri, banyak orang beralih cita-cita menjadi guru. Ada banyak pilihan setelah itu. ada yang menjadi guru asal-asalan, datang terlambat  lalu pegang alat komunikasi dan sibuk dengan itu. ada yang menjadi guru konvensional, datang pagi lalu masuk kelas dengan gaya kuno. 

Senang membuat anak stres dengan omelannya. Ada yang menjadi guru gaya-gayaan, datang pagi dengan menenteng atau memakai barang-barang branded lalu megajar sekenanya. Ada yang menjadi guru serius tapi santai. Juga yang menjadi guru profesional. Kesemuanya itu mungkin saja ada di sekolah-sekolah lainnya. Satu hal yang sangat pasti: menjadi guru harus dengan penuh kesadaran dan sesuai dengan panggilan jiwa.

Semoga tulisan ini mampu memotivasi anda yang menyempatkan membaca, khususnya bagi saya pribadi. Salam semangat untuk semua jenis guru Indonesia. Semoga kita semua mampu menjadi panutan yang baik bagi siswa-siswi kita. Every child is an immitator, so be a good person to be immitated!

sumber : http://www.mentariindonesia.sch.id/

Berguru kepada Guru di Pedalaman


Guru di kota mestinya bersyukur dengan kondisinya. Meskipun kadang mengeluhkan sarana-prasarana, mereka harusnya mau berpikir bahwa kondisi itu masih jauh lebih baik dibandingkan daerah lainnya. Setidak-tidaknya guru di kota masih “dimanja” oleh ketersediaan sarana transportasi, jalanan beraspal, listrik selalu menyala, gedung sekolah berdiri kokoh, serta kemampuan anak yang di atas rata-rata. Dengan kondisi itu, mestinya mereka, guru-guru di kota itu, mampu menciptakan generasi yang tanggap, tangguh, dan berprestasi. Jika masih juga mengeluhkan kondisi, ada baiknya mereka berguru kepada guru-guru di pedalaman Kalimantan Timur.
Minggu (2 Desember 2012), saya memenuhi undangan dari Komunitas Pencinta Buku dan Perpustakaan ”BUKU ETAM” Kalimantan Timur. Terhitung mulai tanggal 1 – 4 Desember 2012, lembaga itu dan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur mengadakan Workshop Penyusunan Lembar Kerja Siswa (LKS) bagi Guru Bahasa Indonesia SMA se-Kalimantan Timur. Saya diminta untuk memberikan materi tentangLangkah dan Strategi Penyusunan LKS Bahasa Indonesia untuk SMA.
Sabtu malam (1 Desember 2012), saya berangkat menuju Bandara Sepinggan Balikpapan Kalimantan Timur dari Bandara Internasional Adi Sucipto Yogyakarta. Setelah menempuh perjalanan udara sekitar 1,5 jam, akhirnya pesawat mendarat sekitar jam 19.00 WITA. Perjalanan ke Kota Samarinda dilanjutkan dengan menyewa taksi. Perlu waktu sekitar 2 jam untuk tiba di Ibukota Provinsi Kalimantan Timur. Sekitar jam 21.00 WITA, saya tiba di Hotel Grand Zamrud 1 Samarinda. Karena kelelahan setelah menempuh perjalanan udara dan darat, saya ingin langsung beristirahat. Namun, justru saya dikejutkan oleh beragam aktivitas di ruang lobi hotel.
Meskipun sudah larut malam, tiga orang panitia sedang memberikan pelayanan kepada bapak dan ibu yang baru datang. Saya dapat berpendapat demikian karena bapak dan ibu itu membawa koper dan atau tas-tas besar. Karena lobi hotel terletak agak tinggi dari tempat parkir, bapak dan ibu itu terlihat kerepotan menaikkan tas kopernya yang tentu saja berat. Sangat tampak wajah mereka yang kelelahan dan mengantuk. Namun, mereka tetap bersemangat meskipun jam dinding sudah menunjukkan angka 21.30 WITA.
Menyaksikan kondisi itu, tiba-tiba rasa ngantukku hilang. Naluriku sebagai guru dan penulis langsung menangkap sesuatu yang menarik untuk diketahui. Oleh karena itu, saya bergegas menemui mereka sambil ikut duduk di kursi tamu hotel. Satu demi satu, saya mengajaknya bersalaman. Melihat saya mengulurkan tangan, akhirnya para peserta pun mulai berani mengenalkan diri. Dari situlah, akhirnya keluar beragam cerita masing-masing guru.
Seorang peserta bercerita jika dirinya berasal dari salah satu pulau di Kalimantan Timur. Untuk menuju Kota Samarinda, ia harus naik kapal selama dua hari. Karena kegiatan dilaksanakan mulai Sabtu (1 Desember 2012), ia berangkat sejak hari Kamis-nya. Di tengah perjalanan, tiba-tiba terjadi badai laut. Kapalnya sempat terombang-ambing karena diterpa angin yang teramat kencang. Demi keselamatan penumpang, nakhoda kapal menghentikan perjalanan dan mengistirahatkan kapalnya di pelabuhan terdekat sekitar setengah hari. Akibat peristiwa itu, ia baru tiba di Kota Samarinda Sabtu malam, hampir bersamaan dengan kedatanganku.
Seorang peserta lain bercerita jika dirinya berasal dan mengajar di SMA pedalaman. Transportasi menggunakan jalur udara. Secara otomatis, perjalanan ditempuh dengan naik pesawat perintis. Ia berangkat Jumat siang dengan harapan bisa tiba di lokasi kegiatan Sabtu pagi. Untung tak bisa diraih, nasib tak bisa ditolak. Tiba-tiba cuaca di bandara perintis hujan deras. Dengan kondisi alam demikian, pengelola bandara tak berani mengambil risiko. Seluruh penerbangan hari itu pun ditunda hingga esok hari. Akhirnya, ia mencari penginapan di sekitar bandara agar dapat melanjutkan perjalanan esok harinya. Praktis ia baru bisa berangkat Sabtu pagi dan tiba di hotel hampir bersamaan dengan kedatanganku.
Kisah lain disampaikan oleh seorang bapak guru. Dia berasal dari wilayah pedalaman Kalimantan Timur. Untuk menuju Kota Samarinda, dia menggunakan motor roda dua. Sungguh cerita tersebut teramat mencengangkan karena dia mulai berangkat dari rumah menuju Samarinda sejak Kamis-nya. Dia menerabas perjalanan darat dengan melewati beragam kondisi alam Kalimantan Timur. Karena waktu itu musim hujan, dia pun beberapa kali kehujanan. Dengan kondisi basah kuyup tersebut, dia kadang nekad menerabas hujan dan kadang beristirahat dengan mencari lokasi yang aman. Harap dimaklumi karena banyak kondisi alam dan hutan Kalimantan Timur masih terbilang lebat dan konon angker. Menjelang tengah malam, dia pun beristirahat di masjid. Setelah menempuh perjalanan dua malam tiga hari, tibalah ia di Kota Samarinda.
Kisah-kisah di atas benar-benar menusuk kalbuku. Maka, saya langsung memberikan apresiasi yang tinggi kepada 80 peserta Workshop Penulisan LKS Bahasa Indonesia SMA ketika mulai menyampaikan materi di hadapan mereka. Jika guru di kota bisa membimbing anak didiknya sehingga lulus dengan prestasi bagus, itu bukanlah berita bagus. Sangat wajar jika prestasi bagus itu berhasil diraih guru-guru kota karena mereka didukung oleh segala ketersediaan sarana-prasarana. Namun, sungguh seorang guru akan disebut guru hebat jika mampu memberikan prestasi bagus meskipun didera oleh beragam keterbatasan. Di akhir pertemuan itu, saya sempat berujar, “Keterbatasan tidak boleh dikeluhkan. Keterbatasan justru seharusnya disyukuri karena berguna untuk menempa kedewasaan berpikir. Dan saya menemukan semangat itu di wajah-wajah guru Kalimantan Timur.”
sumber : http://www.kompasiana.com/johanmenulisbuku

Evin Zulfa, Mencoba Tantangan di Pedalaman Kalimantan

Evin HL
Remaja.suaramerdeka.com – Pernah nggak sih terlintas dibenak kalian untuk hidup di pelosok Kalimantan dengan segala macam kesederhanaannya? Lokasi terpencil, jalan berlumpur yang sulit ditempuh, serta belum ada listrik tentunya membuat orang ogah untuk tinggal disana ya. Namun sahabat kita yang satu ini, justru tertarik dan ingin mengabdikan dirinya untuk mengajar anak-anak di pelosok. Yup, seperti apa cerita dan pengalaman Evin Zulfa Nur Syekha menjadi seorang guru SM3T di sebuah SMP di Kecamatan Air Besar, Kaliamantan Barat? Langsung saja kita simak hasil wawancaraEkspresi dengan alumni UNNES dibawah ini :
Halo apakabar Evin, lagi sibuk apa?
Halo juga, ini sedang menikmati liburan di kota Ngabang kumpul bersama teman seperjuangan dan sedang mempersiapkan program tahunan seperti ekspo pendidikan.
Kabarnya kamu jadi guru di pelosok Kalimantan, itu bagaimana ceritanya?
Awalnya aku tahu info ini dari kakak tingkat yang sudah terjun terlebih dahulu ikut program SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Karena penasaran, aku sering banyak tanya dengannya. Mendengar ceritanya tentang penempatannya yang di pedalaman, segala akses yang sulit, nggak ada sinyal, listrik dan begitu kurangnya tenaga pendidik di pedalaman membuatku tertantang untuk ikut program ini.
Berarti sekarang ini kamu sedang mengabdikan diri disekolah mana?
Sekarang aku ditugasi mengajar Fisika di SMP N 3 Satu Atap Air Besar, tapi aku tinggalnya di Dusun BatuBaru Desa Nyari Kecamatan Air Besar Kabupaten Landak Kalimantan Barat.
Apa motovasi kamu ikut program ini?
Motivasi ikut program SM3T yang pertama karena ingin mendapatkan beasiswa PPG 1 tahun. Kedua ingin merasakan bagaimana hidup di pedalaman, mengajar anak-anak di pedalaman daaan sedikit membantu mengatasi kekurangan guru di daerah 3T.
So far bagaimana keadaan disana?
Sejauh ini aku nyaman-nyaman saja, dan semakin betah. Karena orang Dayak itu ramah-ramah. Setiap ada pendatang baru apalagi itu guru dari beda pulau mereka langsung menyambut dengan tangan terbuka. Awalnya warga datang bergantian membawakan buah-buahan dan sayuran serta beras untuk saya. Di desa Nyari ini banyak sekali buah-buahan seperti durian, duku, rambutan, coklat, dan ada juga buah-buahan yang nggak ada di Jawa seperti cempedak, benyalitn. Sayuran pun macam-macam yang ada di hutan maupun kebun, yang paling banyak daun singkong, pakis haji, terong, kangkung dan cangkuk.
Kegiatan sehari-harinya ngapain saja?
Kegiatan sehari-hari mengajar, sepulang mengajar mencari sayur di hutan. Kalau hari Senin, Rabu, dan Jumat mengajar mengaji di kampung muslim berjalan sekitar 25 menit jika jalan bagus. Jika hari hujan, jalan jadi becek, berlumpur dan licin perjalanan bisa samapi satu jam.
Tantangannya apa saja mengajar di pelosok gitu?
Tantangannya banyak, yang utama ketidakmudahan akses jalan. Jalan menuju desa Nyari, masih berupa tanah kuning. Saat hujan jadi licin dan berlumpur. Jika naik ojek, harus sering turun dan ikut ngangkat motor yang terjebak dalam lubang. Bahkan jalan menuju ke Kecamatan saja belum tembus, belum bisa dilalui motor, baru bisa dengan jalan kaki sekitar tujuh jam dari kampung. Bisa juga dengan jalur air dengan naik pepet atau perahu motor.
Jadi untuk ke Kabupaten Landak saat ada rapat dengan kawan-kawan, harus melewati dulu Kabupaten lain yaitu kabupaten Sanggau. Sehingga untuk menuju kabupaten saja kita harus menempuh satu hari perjalanan dan sekali berangkat menghabiskan ongkos Rp. 170.000,00. Untuk ojek ke kecamatan Entikong (perbatasan Indo-Malay) 120.000,00 dan naik bus sampai kota Rp. 50.000,00.
Selain akses jalan, ada kendala lain nggak selama mengabdi di sana?
Kendala lainnya, mungkin karena kebiasaan mereka sih. Kebanyakan orang sana memelihara anjing dan babi yang dibiarkan liar. Ular, tupai, kodok, babi yang jadi lauk mereka, sedangkan saya sendiri seorang muslim. Belum lagi kendala listrik dan sinyal, menjadikan kita ketinggalan berita-berita terkini dan susah berkomunikasi dengan keluarga dan teman-teman. Jika ingin bisa telepon kita harus naik ke bukit yang kita namakan bukit sinyal selama kurang lebih 15 menit.
Keadaan Sekolah yang kamu tempati sendiri bagaimana Vin?
Saya mengajar di SMP 3 Satu Atap, dimana hanya ada tiga kelas (kelas 7, 8, dan 9) dan gurunya hanya ada dua orang PNS termasuk kepala sekolah, sedangkan tujuh lainnya adalah guru honorer yang jarang masuk. Jadi sebelum ada guru SM3T siswa-siswi masuk pukul 08.00 dan ketika ada guru mereka pulang jam 11.00. Ketika nggak ada guru yang datang, mereka datang hanya main-main dan setelah jam 10.00 mereka pulang. Belum lagi nggak ada buku paket untuk siswa. Hanya ada beberapa untuk guru dan itupun nggak lengkap. Perpustakaan pun nggak ada, jadi sumber belajar mereka hanya dari catatan guru saja.
Mengalami berbagai kendala tersebut, kamu merasa betah nggak disana?
Hehehe. Awalnya belum betah sih. Tapi lama-lama sudah terbiasa dan alhamdulillah makin betah. Merasa bersyukur berada di tengah anak-anak di pedalaman. Terharu dengan semangat berjalan mereka ke sekolah. Jam 05.30 mereka berangkat dengan jalan kaki melewati hutan-hutan dan jalan naik turun serta tanah yang licin dan berlumpur. Mereka menempuh waktu kurang lebih satu setengah jam untuk sampai ke sekolah. Tapi yang saya herankan, mereka nggak menyerah tuh.
local heroes
Ada cerita lucu nggak selama ngajar disana?
Cerita yang paling lucu ya saat awal datang. Saya dan guru SM3T lainnya disambut anak-anak dan langsung diajak mandi. Anak-anak sudah memberi tahu bahwa mandinya di sungai. Mereka membawakan ember untuk isi air buat kami. Pertama kali mau mandi di sungai rasanya malu, alhasil nggak mandi-mandi. Akhirnya anak-anak kecil itu langsung menarik kami ke sungai dan basah deh akhirnya. Lalu anak-anak kecil tu mengguyur kami. Aduhai rasanya! Malamnya kami tidur bergelap-gelapan karena nggak ada listrik dan ditemani anak-anak kecil. Di tengah malam pun ada yang ngompol. Sungguh pengalaman yang nggak terlupakan.
Sebenarnya apa sih bedanya anak di Kalimantan sama anak di pulau Jawa yang notabene lebih maju?
Dalam hal belajar saya akui semangat belajarnya masih tinggi anak-anak di palau Jawa. Anak di pulau Jawa sangat peduli dengan pendidikan dan sekolah, ditambah lagi segala akses mudah, buku-buku banyak tersedia, tanpa ditawari les pun mereka sudah meminta. Tapi untuk anak-anak di Kalimantan semangat belajarnya mereka rendah. Mereka lebih tertarik dengan uang. Mereka lebih mementingkan ikut nugal atau panen padi orang tua maupun warga di ladang dan mengorbankan sekolahnya demi uang. Bahkan ada anak yang sudah kelas IX nekat berhenti sekolah demi kerja jadi buruh demi bisa beli handphone.
Suka dukanya ikut program ini apa?
Sukanya kita ikut program ini kita bisa mersakan bagiamana keadaan anak-anak di pedalaman, yang berujung pada rasa syukur dengan segala nikmat yang Allah berikan padaku dulu dan jangan mengeluh. Mengerti daerah lain di luar pulau Jawa, bertemu dan berkenalan dengan banyak orang, jadi mengerti banyak hal, menambah wawasan, melihat keindahan alam tempat-tempat wisata di Kalimantan barat. Mengerti dan bisa makan berbagai macam buah-buahan dan sayur-sayuran yang nggak ada di pulau Jawa secara gratis, bisa belajar bahasa bena’de, banana’.
Dukanya, jalannya begitu buruk dan lamanya perjalanan ke kota Kabupaten dan menyadari begitu luasnya Kalimantan ini. Nggak ada sinyal dan listrik terkadang membuat kita kesepian jika nggak ada anak-anak yang main. Malam jadi terasa begitu laama.
Awalnya pas masuk itu masyarakatnya menerima apa nggak? Ceritakan sedikit dong?
Masyarakatnya sangat-sangat menerima sekali menyambut kami. Mereka suka main-main ke tempat kami, mengajari kami masak nasi dengan priuk, mengajari masak sayur-sayuran seperti pakis haji, daun metimun, cangkuk, dll.
Yang bikin saya terenyuh, saat ada acara pernikahan warga datang mengundang kami. Kebiasaan mereka saat ada acara masak daging babi. Mereka juga tahu kalau saya nggak makan babi. Ternyata mereka sudah menyiapkan ayam yang diserahkan pada saya untuk disembelih. Karena saya nggak bisa menyembelih, mereka akhirnya mencari orang Islam dari daerah lain untuk menyembelih. Dan mereka menghidangkan masakan ayam matang yang sudah disendirikan dengan daging babi. Akhirnya kami makan bersama di acara pernikahan itu.
Apa tantangan terbesar kamu sewaktu mengajar mereka?
Tantangan terbesarnya adalah bagiaman menumbuhkan kesadaran mereka akan pentingnya sekolah, pentingnya belajar. Karena sekolah jadi ditinggalkan ketika mereka sudah tergoda degan uang. Mereka juga lebih suka bermain, pergi ke ladang atau berburu di hutan mencari tupai atau rusa segala binatang yang ada di hutan, ataupun mancing di sungai.
Apa komentar mu tentang pendidikan di indonesia khususnya untuk daerah terpencil seperti di Kalimantan, apakah mereka sudah mendapatkan pendidikan yang layak?
Ternyata, Indonesia ini masih banyak kekurangan guru. Di pulau Jawa banyak sarjana pendidikan yang menganggur. Tapi di Kalimantan lulusan SMA/SMK saja sudah bisa jadi guru honorer. Dan mereka mengampu banyak mata pelajaran yang nggak sesuai dengan ahlinya. Kalau seperti itu, bagaimana mereka bisa mengajar dengan maksimal? Bagaimana anak-anak bisa tertarik? Bagaimana anak-anak bisa mendapatkan pendidikan yang layak jika gurunya saja kurang kompeten? Yang ada mereka kecewa karena sampai di sekolah kadang guru mereka nggak hadir.
Tapi, saya juga nggak serta merta menyalahkan guru honorer, semua ini juga bukan sepenuhnya salah mereka. Gaji guru honorer nggak seberapa, bahkan kecil. Oleh karena itu mereka butuh bekerja diladang supaya asap dapur tetap mengepul. Harusnya pemerintah juga harus memperhatikan masalah ini.
Ada saran nggak untuk pemerintah supaya lebih memeperhatikan pendidikan di pelosok?
Yang utama perbaikan jalan di pedalaman harus dibenahi terlebih dahulu, sehingga akses jalan lancar. Transportasi jadi mudah, pengiriman buku-buku dan peralatan KBM di sekolah pedalaman pun lancar. Distribusi guru juga harus merata. Mendata berapa banyak kekurangan guru di sekolah pedalaman dan membuka lowongan CPNS guru yang banyak untuk daerah daerah yang kekuangan tenaga pendidik.
Sungguh pengalaman Evin ini luar biasa, kawan. Mengabdikan diri sebagai seorang tenaga pendidik di pelosok Kalimantan itu nggak mudah. Tapi memang, harus ada yang dikorbankan demi meningkatkan kuliatas diri kita. Meninggalkan segala macam fasilitas untuk berada di pedalaman tentunya menorehkan pengalaman yang sangat berharga untuk kita. Well, tertarik mengabdikan diri kepada ibu pertiwi seperti Evin? Indonesia masih membutuhkan banyak Evin Evin yang lain, kawan.
 Foto: Dokumentasi pribadi Evin

Kemampuan Matematika Anak Bisa Diasah

Salah satunya dengan menyisipkan unsur matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Kemampuan Matematika Anak Bisa DiasahVince Petaccio/stock.xchng
Coba layangkan pikiran Anda pada masa-masa bersekolah dulu, mata pelajaran apa yang membuat Anda kesal dan bosan? Pasti tak sedikit dari Anda yang menjawab matematika.
Hal ini sangatlah dimaklumi mengingat pelajaran berhitung tersebut memang seperti momok pada sejumlah siswa.
Namun, seorang direktur eksekutif di Vertex Academic Service bernama Jeff Sharpe mengatakan bahwa pelajaran matematika dapat mengasah kemampuan anak dalam berpikir menggunakan logika.
Maka dari itu, untuk membuat anak menggemari pelajaran ini, para orangtua mesti cerdik dalam membuat strategi belajar matematika tanpa anak merasa sedang belajar. Berikut beberapa kiat yang disarankan oleh Sharpe.
Katakan matematika itu mudah
Banyak orangtua yang tak menyadari bahwa sikap mereka yang kritis dan keras saat mengajari anak berhitung, membuat mereka tertekan sehingga sedari dini menyimpulkan matematika merupakan pelajaran sulit serta menyebalkan.

Ilustrasi anak mudah belajar ...Ilustrasi anak mudah belajar matematika (Thinstockphoto)
Maka dari itu, kala mengajari anak pelajaran matematika, bersikaplah lebih santai dan komunikatif. Buatlah waktu belajar jadi lebih menarik dengan memberikan contoh soal yang dekat dengan lingkungan dah kehidupan anak. Ingat, matematika bukan sekadar membuat anak piawai dalam berhitung, tapi juga untuk mengasah kemampuan penalaran.
Dekatkan matematika pada kehidupan sehari-hari anak
Janganlah memaksa anak untuk menyukai matematika. Lebih dari itu, jangan pernah menanamkan dalam pikiran si kecil bahwa anak pintar adalah anak yang cerdas menghitung. Sebaliknya, ciptakan proses belajar mengajar yang menyenangkan di rumah. Salah satunya dengan menyisipkan unsur matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Jika anak Anda masih duduk di bangku kelas dua atau tiga SD, maka batasi belajar matematika hanya sampai 30 menit. Sebab, lebih dari itu, otak anak yang telah seharian sekolah akan merasa penat dan bisa menyebabkan stres di usia dini.
Motivasi anak dengan meningkatkan rasa percaya diri
Pada lingkungan sosial kita, telah terlanjur paradigma yang mengatakan bahwa mereka yang menguasai matematika berarti cerdas dan tangkas. Alhasil, anak yang merasa lemah berhitung menjadi tak percaya diri dan merasa tak pintar.

Sebagai orangtua, sudah menjadi tugas Anda untuk memompa rasa percaya diri. Salah satu cara adalah dengan mencatat dan membuat grafik mengenai perkembangan kemampuan belajar anak, baik dalam pengurangan, penambahan, perkalian, dan pembagian. Melihat proses dalam sebuah grafik menarik akan merangsang keinginan belajar anak secara lebih baik.
Matematika buat anak lebih solutif
Sebuah penelitian di University of North Carolina’s School of Education menemukan bahwa siswa yang cepat dan mudah berhitung, memiliki intuisi yang lebih tajam dalam memecahkan persoalaan dan tantangan. Selain itu, mereka cenderung lebih cepat dalam mengenali kesalahan.

(Sumber: Kompas.com)

Perdebatan soal Angka 4 dalam Operasi Perkalian

Karena sebuah posting, muncullah perdebatan seru di media sosial. Mana yang benar, 4x6 atau 6x4?

Inilah Perdebatan soal Angka 4 dalam Operasi PerkalianIlustrasi (komodomath.com)
Media sosial Twitter dan Facebook sejak Minggu (21/9) diramaikan oleh sebuah perdebatan Matematika, tepatnya tentang operasi perkalian.
Persoalan dimulai dari posting Muhammad Erfas Maulana, mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro. Erfas yang membantu adiknya mengerjakan tugas Matematika mempertanyakan alasan guru menyalahkan jawaban sebuah soal.
Dalam soal tugas itu, guru meminta adik Erfas untuk menyatakan 4+4+4+4+4+4 dalam operasi perkalian.
Adik Erfas menuliskan jawaban bahwa 4+4+4+4+4+4=4x6. Jawaban itu, menurut Erfas, seharusnya benar. Namun, ternyata sang guru menyalahkan. Menurut guru, jawaban yang seharusnya adalah 6x4.
Karena posting Erfas, muncullah perdebatan seru di media sosial. Mana yang benar, 4x6 atau 6x4?
Saking serunya perdebatan, profesor Matematika dari Institut Teknologi Bandung, Iwan Pranoto, pun turut berkomentar. Ia memberi sedikit kultwit untuk menjelaskan permasalahan itu.
Menurut Iwan, 4x6 ataupun 6x4 sebenarnya sama. Namun, bisa saja salah bila dilihat dalam konteks tertentu.
Iwan memberi ilustrasi. Ia mencontohkan, bila pertanyaan guru adalah "Jika 2x3=3+3, tentukan 3x4", maka jawaban yang seharusnya adalah 4+4+4. "Jika dengan pertanyaan ini anak jawabnya 3+3+3+3, barulah salahkan," katanya lewat akun Twitter-nya.
Namun, Iwan mengungkapkan, bila pertanyaannya hanya 3x4, maka anak bisa menjawab 3+3+3+3 atau 4+4+4. Semuanya benar.
Dengan demikian, didasarkan pada pendapat Iwan, 4+4+4+4+4+4 bisa saja dinyatakan 4x6 atau 6x4 dalam operasi perkalian. Jawaban adik Erfas dalam tugas Matematika-nya seharusnya tidak disalahkan.
"Cara bertanya guru Matematika di Indonesia mungkin salah. Juga cara mengoreksinya salah," katanya.
Iwan mengatakan, saat ini dibutuhkan pembenahan sikap, budaya, dan cara berpikir guru Matematika. "Mengubah sikap guru Matematika yang luwes bernalar merupakan tantangan bagi institusi penyiapan guru kita, LPTK," ungkapnya.
Dalam Matematika, kata Iwan, tidak ada kebenaran, yang ada kesahihan. Jika penalaran sahih, maka bisa diterima walaupun kesimpulannya aneh.
Akar perdebatan Matematika ini bisa jadi adalah kebiasaan untuk hanya menerima pengertian tunggal, ditetapkan oleh penguasa. "Kita tak berdaya menentukan sendiri," kata Iwan.
Iwan menerangkan, tak cuma dalam perkalian. Dalam pembagian pun dikenal dua pengertian berbeda, misalnya, 125 ÷ 5 tentunya lebih cocok diartikan sebagai partisi. Sedangkan 125 ÷ 25 tentunya lebih cocok dinyatakan pengurangan berulang.

(Yunanto Wiji Utomo/Kompas.com

Sebaiknya Jam Masuk Sekolah Jangan Terlalu Pagi

Mengapa sebaiknya jam masuk sekolah jangan terlalu pagi? Seperti apakah jam masuk yang ideal untuk anak sekolah?

Sebaiknya Jam Masuk Sekolah Jangan Terlalu PagiSetiap pagi, dengan mengenakan seragam sekolah, anak-anak di Kampung Gelinggang, Kasongan, Kalimantan Tengah, berkeliling kampung menjual wadai (kue) untuk membantu orang tua mencari nafkah. Mereka selesai berjualan menjelang waktu sekolah. (Warsono/National Geographic Indonesia)
Kebijakan jam masuk sekolah lebih awal atau terlalu pagi dikhawatirkan akan membuat waktu tidur anak berkurang. Padahal, kurang tidur berdampak negatif bagi kesehatan.
Para dokter anak yang tergabung dalam American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemerintah AS untuk menerapkan aturan dimulainya jam sekolah pada pukul 8 pagi. Idealnya adalah 8.30 pagi. Perdebatan mengenai jam masuk sekolah anak yang ideal juga sejak lama terjadi di Amerika. 
Di Indonesia sendiri, sebagian besar sekolah menerapkan jam masuk sekolah pada jam 7 pagi. Bahkan Pemprov DKI sejak awal tahun 2009 ini memajukan jam masuk sekolah menjadi jam 6.30 pagi untuk mengurangi kemacetan.
Dr Marcel Deray, dokter spesialis tidur dari Florida mengatakan, kurang tidur akan berdampak pada kesehatan dan kemampuan belajar anak di sekolah. 
"Saya melihat banyak remaja yang kelelahan dan bermasalah di sekolah karena mereka bangun terlalu pagi. Sebagian anak sudah bersia-siap ke sekolah pada jam 5 atau 6 pagi," kata pimpinan Sleep Disorders Center di Miami Children's Hospital ini.
Kebanyakan orangtua memang akan menyuruh anak mereka untuk tidur lebih awal sehingga jam tidur anak tidak berkurang. Tetapi, hal itu tak selalu mudah pada anak yang mulai remaja. Menurut Dr Judith Owends, biologi memiliki jadwalnya sendiri.
Owens yang merupakan anggota AAP mengatakan, di masa pubertas, siklus tidur dan bangun anak berubah dan biasanya mereka sulit untuk tidur sebelum jam 11 malam. 

"Tubuh remaja melepaskan melatonin lebih lama dibanding orang dewasa. Selain itu, remaja juga butuh waktu tidur lebih lama, yakni sekitar 9,5 jam," katanya. Kegiatan ekstrakulikuler atau aktivitas lain yang dilakukan anak sepulang sekolah juga dinilai Owen membuat jam istirahat anak semakin berkurang. 


Salah satu masalah yang dihadapi anak sekarang adalah jadwal yang padat

Deray menyebutkan, penelitian menunjukkan anak yang kurang tidur bisa membuat performa anak di sekolah buruk. Selain itu, mereka juga berpotensi mengalami kegemukan, depresi, bahkan kecelakaan lalu lintas.

"Jam masuk sekolah yang digeser agak siang merupakan salah satu cara untuk membantu anak-anak yang kurang tidur," katanya.

Ia juga menyarankan pada orangtua agar mematikan semua perangkat elektronik ataugadget setidaknya 2 jam sebelum waktu tidur. "Cahaya biru dari perangkat tersebut mengurangi produksi melatonin," katanya.
Kegiatan fisik atau olahraga juga sebaiknya tidak dilakukan berdekatan dengan waktu tidur. Mengerjakan tugas sekolah bisa dilakukan lebih awal atau di sore hari sehingga kualitas tidur anak lebih baik.
"Salah satu masalah yang dihadapi anak sekarang adalah jadwal yang padat," katanya.

(Lusia Kus Anna, Sumber: Kompas Health)/http://nationalgeographic.co.id/