Jumat, 22 Mei 2015

Menjadi Guru, Sebuah Keberkahan


Sebuah kebanggaan dengan rendah hati jelas terlihat dari wajahnya ketika menceritakan perjalanan riwayat hidupnya. Mulai dari kecil hingga membesarkan anak-anaknya. Guratan dahinya jelas menggambarkan beratnya beban hidup yang harus diembannya.
Rambutnya yang sudah hampir memutih semua menampilkan kedewasaan berpikirnya. Ada keikhlasan dari tiap kata yang dilontarkannya. Ada ketulusan dan idealisme dari sorot tajam matanya. Walau terkadang ada kekecewaan yang terlintas dari ungkapan seseorang yang sudah tahu banyak arti sebuah kehidupan, tapi do’anya tetap tulus untuk kebaikan.
Langkah kaki yang tidak lagi seimbang masih menuntunnya melangkah ke mesjid di ujung jalan untuk Shalat Subuh berjamah. Hanya buku-buku dan Al Quran yang tiap hari menemaninya menjalani sisa-sisa hayatnya.
Rekan-rekan selevel semasanya telah banyak berpulang, sahabat-sahabatnya telah banyak yang mendahuluinya. Teman-teman sesama pensiunan guru tidak ada lagi yang datang menyapa, mungkin mereka tidak mampu lagi dengan kondisi fisik yang serupa.

Minggu lalu satu lagi rekannya, seorang pensiunan guru berpulang ke rahmatullah. Hanya desah napas panjang yang terdengar di ujung telpon dirangkai dengan kalimat “Innalillahi wa inna ilaihi Raajiuun”. Dengan tenang dia melangkah ke ruang tengah, terduduk di sofa dengan tatapan yang dalam.
Seperti ada beban berat yang diembannya. Cukupkah bekal itu, adakah anak-anaknya kelak mendoakannya. Sanggupkah dia mempertanggungjawabkan amanah yang diembankan kepadanya. Beberapa butir air mata mengalir tanpa disadari. Tertunduk. Pendamping hidupnya yang setia menemani hari-harinya dalam suka dan duka telah mendahuluinya beberapa tahun yang silam. Yang telah membesarkan anak-anaknya, yang sabar mendampinginya, yang tegar dalam duka, yang tersenyum bahagia, yang menangis terharu bangga. Sama sekali tidak ada kata letih, tidak ada kata kecewa, tidak ada kata menyerah, yang keluar dari bibir seorang istri, seorang ibu. Adakah rezeki yang lebih indah dari itu selain seorang istri yang taat, setia dan sholehah? Sunyi, sepi, renung adalah temannya saat ini menghabiskan sisa waktu.
Dia hanyalah seorang guru dengan istri yang hanya ibu rumah tangga yang mencoba menjalani peran membesarkan anak-anaknya di antara himpitan kompleksitas masalah kehidupan. Dibutuhkan kombinasi sebuah kesabaran, kejujuran, ketulusan, keikhlasan, kedewasaan dan kesetiaan dalam sebuah pengorbanan yang terpadu menjadi sebuah harmoni syukur yang indah. Menjadi satu instrumen yang melantunkan sebuah irama syukur dimana para malaikat pun mengikuti irama itu. Menjadi sebuah perpaduan keindahan tawadhu yang membuat para malaikat tak bosan-bosan melihatnya. Sehingga menghasilkan niat, ikhtiar, dan do’a yang bersinergi menjadi satu bagian yang kokoh dihempas gelombang, yang teguh diterpa badai, yang tak lekang oleh jaman.
Adakah terpikir oleh Kita bagaimana dia membesarkan anak-anaknya hingga berhasil, hanya sebagai seorang guru di tengah kompleksitas masalah sosial.
Bahkan hitungan matematis dunia pun tak sanggup membayangkan, bagaimana seorang ayah dan seorang ibu membesarkan anak-anaknya hingga berhasil hanya dengan penghasilan seorang guru. Logika dan nalarpun tak mampu melirik untuk sekedar mengatakan sebuah ketakmungkinan. Adakah mereka yang telah bergelar professor sanggup memikirkannya, adakah mereka yang menjabat seorang CEO terkemuka mampu meramu strateginya, adakah mereka para motivator ulung mampu membangun mental seperti itu.

Marilah sedikit berpikir mendalam bahwa ada sentuhan-sentuhan tak terlihat dari tangan-tangan ajaib yang merupakan buah dari sebuah pengorbanan yang dirangkai sebuah kombinasi kesyukuran yang indah yang terangkai pada keberkahan.
Ya, keberkahan. Sederhananya, keberkahan adalah bertambahnya kebaikan dalam setiap kejadian yang kita alami waktu demi waktu. Keberkahan merangkum aneka harapan, yang sejatinya berujung kebaikan. Keberkahan, dalam bahasa Aa Gym adalah kepekaan untuk bersikap benar menghadapi masalah. Dalam kekata Ibnul Qayyim, keberkahan adalah semakin dekatnya kita kepada Tuhan, dan dalam umpama Umar bin Khattab, adalah dua kendaraan yang ia tak peduli harus menunggang yang mana: sabar dan syukur.
Keberkahan menghadirkan dunia yang tak tertembus oleh mata kasat kita. Keberkahan telah menghapus ukuran-ukuran dan standar-standar yang kita pakai untuk mendefinisikan apa itu “bahagia”.
Memang sungguh aneh bagi mereka yang berpikiran atheis dan berpaham materialis, yang menurut mereka semua bisa diukur dengan materi. Namun tidak bagi kita, sudah bosan telinga ini mendengar bahwa di ujung gang tempat kita tinggal, ada seorang penjual cendol yang dengan menjual cendol selama 20 tahun ternyata bisa naik haji. Sudah jenuh telinga ini mendengar bahwa seorang ibu mampu membesarkan kelima belas anaknya hingga sukses hanya dengan menjadi seorang pedagang makanan kecil yang dikelolanya selama 30 tahun. Dan banyak lagi yang lainnya, bahkan di hadapan mata Kita sendiri.
Tidakkah Kita melihat seorang tukang becak yang tidur nyenyak di atas becaknya tanpa beban. Dan tersenyum bahagia ketika ada yang menawarkan diri untuk diantar dengan becaknya. Tidakkah Kita melihat seorang lelaki yang tergopoh-gopoh berlari mengejar penjual mainan untuk membeli mobil mainan yang telah dia janjikan buat anaknya di rumah. Hanya untuk melihat anaknya tersenyum indah. Ya lelaki itu tukang becak yang tadi…. Tidakkah Kita melihat seorang ini dan seorang itu begitu bahagia…. Tidakkah Kita sedikit lebih baik dari mereka… Lalu apa parameter kebahagiaan itu?
Satu kalimat : Mereka yakin “all things is possible!!!” Tinggal bagaimana formulanya….
Tanyalah Guru itu, tanyalah penjual cendol itu, tanyalah pedagang makanan kecil itu dan tanyalah tukang becak itu….. Sejauh mana mereka bersabar dan bersyukur……..
Tidakkan sedikit cerita di atas membuat kita tertunduk, tafakkur, sujud, dan segera bersyukur terhadap kesempatan hidup yang diberikan, tiap desah napas, tiap detak jantung.

Batin yang kaya adalah bentuk lain dari nikmatnya sorga di dunia. Nikmat itu datang karena anugerah Allah yang terpatri dalam sanubari manusia. Itulah yang membuat mereka terus bersyukur dalam serba keterbasan ekonomi. Mereka tidak lagi mempermasalahkan ketidak adilan. Juga tidak pernah lagi mempertanyakan bilakah mereka akan ditingkatkan kesejahteraannya sebagai anak bangsa. Mereka hanya ingin menjalani kehidupan dan profesinya dengan ikhlas dan berharap agar ridho Tuhan selalu menyertainya.
Bisakah Kita seperti mereka?
sumber : history1978.wordpress.com

Tidak ada komentar: