|
Mengapa kita harus terus bersedu sedan dan mengharu biru memenjarakan diri dalam duka, sedih, perih, dan pilu? Bukankah masih ada hari esok yang lebih cerah?
Kita adalah bangsa yang lahir, menggeliat dan meronta dalam api perjuangan yang berkobar. Kita juga lahir dalam gelimang darah para pahlawan yang demi kejayaan negeri ini rela meninggalkan segala kenikmatan hidup di dunia, melepas milik satu-satunya yang paling berharga, yakni jiwa dari raga. Bagi mereka, raga boleh hancur tertelan bumi, tetapi tidak untuk semangat, cita-cita, harapan, dan mimpi merdeka. Sungguh kemerdekaan bagi bangsa ini semula hanyalah sebuah harapan atau bahkan mimpi. Mimpi indah yang terlalu jauh membumbung tinggi di awan. Hanya patriot-patriot yang tulus dengan rasa nasionlisme yang tinggi, yang selalu optimistis dan pantang menyerah, dan yang berjuang tanpa pamrih, mereka itulah yang berhasil mewujudkan mimpi itu. Gugur satu tumbuh seribu, patah tumbuh hilang berganti, demikian semboyan para patriot pendahulu kita.
|
Berkat jerih payah yang tak mengenal lelah, asa yang tak pernah luruh, serta kasih Tuhan Yang Maha Rahmah, sampailah kita pada suatu titik kulminasi. Satu mimpi bangsa yang selama 350 tahun lebih tertindas, menjadi budak hamba sahaya bangsa-bangsa Eropa, akhirnya terwujud nyata. Jumat pagi itu, dalam lapar dan haus bulan puasa yang mulai terasa, di jalan Pegangsaan Timur nomor 56 Jakarta, untuk pertama kalinya dengan diikuti kumandang lagu Idonesia Raya, sang Saka Merah Putih berkibar dengan gagahnya. Merdeka! Ya, kita telah merdeka pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, tepat jam 10 pagi WIB, detik-detik ketika sang proklamator Bung Karno berdampingan dengan Bung Hatta, membacakan naskah proklamasi, memperdengarkan berita kebebasan kita ke seantero dunia.
Namun, setelah setengah abad lebih kita merdeka, sebuah ironi yang menyayat hati terjadi. Bangsa-bangsa lain pernah merasai kekaguman yang mendalam dan mengidolakan kita sebagai bangsa yang bermartabat, karena hasil jerih payah perjuangan yang sungguh sangat berat. Mereka yang tertindas pernah terilhami atas apa yang kita raih lalu mereka memperjuangkan sendiri kemerdekaan dan kejayaan mereka walau harus melalui liku-liku pengorbanan yang pedih dan perih. Para pemimpin kita pernah diakui sebagai pemimpin-pemimpin dunia dengan kebesaran nama Indonesia. Tetapi tiba-tiba, kita seperti menjadi bukan apa-apa lagi bagi mereka, bahkan hampir bagi diri kita sendiri. Langit seperti runtuh, bumi seperti terbalik, seolah-olah sudah tidak ada lagi yang patut dicontoh, ditiru apalagi diilhamkan dan diidolakan dari bangsa ini
Taufik Ismail, sang pujangga kawakan yang piawai mengukir kata, mengungkapkan kekecewaannya tentang negeri yang pernah menjadi kebanggaannya:
….
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku /berserak-serak /Hukum tak tegak, doyong
berderak-derak/Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road,Lebuh Tun Razak,
…
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata/Dan kubenamkan topi baret di kepala/Malu aku jadi orang Indonesia.
…
( dikutip dari buku Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Seratus Puisi Taufiq Ismail, 1966 – 1998 )
Gus Mus, pujangga yang pemuka agama juga menorehkan ujung pena keprihatinannya dalam untaian kata penuh makna yang bertajuk Selama Ini di Negerimu :
…
inilah negeri paling aneh/dimana keserakahan dimapankan/kekuasaan dikerucutkan/kemunafikan dibudayakan/telinga-telinga disumbat harta dan martabat/mulut-mulut dibungkam iming-iming dan ancaman
…
inilah negeri paling aneh/negeri adiluhung yang mengimpor/majikan asing dan sampah/negeri berbudaya yang mengekspor/babu-babu dan asap/negeri yang sangat sukses
menernakkan kambing hitam dan tikus-tikus/negeri yang angkuh dengan utang-utang yang tak terbayar/negeri teka-teki penuh misteri
Serasa Armageddon tengah terjadi. Kiamat melanda. Krisis multi dimensi menerjang seluruh negeri! Bagaikan sebuah meteor raksasa berkecepatan sangat tinggi yang meluncur dengan tiba-tiba dari luar angkasa, dengan massa berlipat ganda, dengan temperatur tinggi yang panasnya membara luarbiasa, ia membuat kita nyaris hancur lebur, luluh lantak berkeping-keping di dalam lobang hitam pekat tiada berdasar dan bertepi. Sungguh sedemikian perkasanya makhluk yang bernama krisis multi dimensi itu. Seolah-olah ia memiliki jaring-jaring labirin yang sangat kuat dan liat, menjulur, membelit seperti sulur-sulur gurita raksasa, masing-masing membelengu setiap sendi kehidupan bangsa tanpa memberi sedikitpun ampun. Kita menjadi lemas tiada berdaya. Mulai dari krisis moneter, krisis moral, krisis sosial, krisis kepribadian, krisis kebudayaan sampai krisis kepercayaan diri, semuanya tumpah ruah, bercampur aduk jadi satu. Korupsi, kolusi dan nepotisme mengakar, menjalar ke mana-mana, mencerabut seluruh daya upaya kita untuk hidup sebagai bangsa.
Sudah jatuh masih tertimpa tangga, sesudah lepas dari mulut harimau lalu masuk ke mulut singa. Belum lagi kita merangkak bangkit dari krisis, bencana alam datang menghantam bagai palu godam. Bom meledak di mana-mana melenyapkan percuma nyawa orang–orang tak berdosa. Perang saudara berkecamuk sia-sia, kecelakaan terjadi dimana-mana, virus mematikan merajalela. Semua turut memberi warna buram kelamnya perjalanan sejarah negeri ini. Seluruhnya datang bertubi-tubi, silih berganti, menghantam dari sisi kanan dan kiri, susul-menyusul menghimpit dari segala arah, seolah mau mencekik dan menenggelamkan negeri yang sudah payah dan parah. Hal-hal yang paling buruk dan mengenaskan harus kita terima sebagai menu sehari-hari. Mau pilih gempa saja, atau gempa dengan Tsunami? Mau pilih banjir air saja atau lengkap dengan lumpurnya yang tanpa henti? Mau pilih badai puting beliung saja atau spesial dengan tanah longsor? Mau pilih perang saudara saja atau yang ada embel-embel bom terorisnya? Mau pilih pesawat hancur ketika terbang, atau terbakar di landasan? Mau pilih kapal yang langsung tenggelam atau yang terbakar dulu baru tenggelam? Mau pilih demam karena nyamuk atau flu karena burung? Demikian terus berulang dan berulang lagi. Apakah kita akan mati karena telah menggali kubur sendiri? Kapan semua ini akan berhenti?
Tetapi tunggu! Masih ada secercah harapan bersinar diujung sana. Ya, harapan! Jangan pernah kita kehilangan harapan. Bukankah seorang guru dunia pernah berujar, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tahu kita tak kan sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun kemudian. Sekali kau kehilangan harapan, kau kehilangan seluruh kekuatanmu untuk menghadapi dunia. Je pence donc je suis , ”Karena saya berpikir, maka saya ada”, demikian ungkapan Rene’ Descartes. Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Kalau kita mau terus optimis berjuang melepaskan diri dari krisis dan bangkit dari bencana yang melanda, bukan mustahil sesuatu yang sepertinya tidak mungkin menjadi mungkin terjadi. ”Tidaklah berubah suatu kaum kecuali atas usahanya sendiri.” demikian salah satu intisari pesan yang dibawa Nabi.
Sabar, sabar, sabar… Kita semua harus bersabar. Ingat roda pasti berputar. Tidak selamanya yang di bawah harus terus berada di bawah. Demikian juga yang kini sedang berada di atas, tidak selamanya mereka akan terus berjaya. Bukankah sejarah telah membuktikan bahwa banyak bangsa-bangsa kecil yang terjajah, terbelengu, dan tertindas, kemudian oleh perputaran waktu mereka bangkit dan menjadi penguasa? Benar kini kita sedang dalam gontai, setelah jatuh terjerembab dalam jurang kenistaan krisis multi dimensi. Benar kita ini masih lemah tidak berdaya, terbaring dalam gering, karena bencana-bencana besar, perang saudara, terorisme, kecelakaan dan pageblug yang datang beriring. Tetapi bukankah kita masih memiliki sisa waktu untuk merenung, berintrospeksi dan kembali belajar tentang sejarah? Lalu kita berbenah, menata yang terbaik untuk mewujudkan harapan dan mimpi-mimpi di masa depan.
Apa yang dipesankan oleh Bapak bangsa kita sungguh tepat sekali. ”Ingat, Jas Merah! Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah! Asal kita setia pada hukum sejarah, dan asal kita bersatu padu dan memiliki tekad baja, kita bisa memindahkan gunung Semeru atau gunung Kinibalu sekalipun.” Kalau kita bisa merdeka dari penjajahan bangsa lain, mengapa kita tidak bisa memerdekakan diri dari segala carut marut kehidupan bangsa saat ini? Walaupun bukan perkara mudah, tetapi kita bisa mencobanya bukan? Seperti yang telah dilakukan Bapak-Ibu pendiri bangsa ini, kita harus sanggup dan rela berkorban nyawa menjadi tumbal untuk negeri ini. Kita jangan menunggu sampai ada bangsa lain yang datang kembali menjajah bangsa ini.
Kita bisa belajar dari sejarah, tidak hanya dari bangsa kita, tetapi juga bangsa-bangsa lain di dunia. Kita bisa melihat bagaimana segerombolan orang yang dulunya petani miskin, gembala kumal, dan orang-orang terbuang yang liar, kini anak cucunya adalah penguasa dunia yang jumawa. Ya, Amerika serikat yang perkasa, yang memiliki tokoh-tokoh, penemu-penemu, dan ilmuwan-ilmuwan cerdas kelas dunia. Amerika yang kadang mendua, yang disegani kawan maupun lawan, dan yang menjadi polisi dunia. Kalau anak gembala saja bisa, mengapa kita tidak? Bayangkan seandainya kita menjadi negara adidaya, dengan pengaruh kekuasaan mencapai seluruh pelosok benua. Budaya dan bahasa kita tentu menjadi idola. Tentu dalam olimpiade orang tidak lagi memberi abab-aba dengan ”One, two, three!”, tetapi dengan ”Satu, dua, tiga!”
Kita juga bisa menengok lagi bagaimana ketika pasukan sekutu berhasil membuat Jepang luluh lantak dengan kedahsyatan bom nuklir yang mereka jatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima tahun 1942. Apakah lantas rakyat Jepang dan para pemimpinnya ikut menjadi lemah tak berdaya? Tampaknya tidak. Boleh jadi mereka sesaat tenggelam dalam pahit dan getirnya sebuah kekalahan telak. Tetapi Hirohito, sang kaisar yang bijak, di dalam kegundahan hatinya, dengan suara dalam penuh keprihatinan berkata, ”Berapa jumlah sinsee (sebutan untuk guru dan dosen, tanpa dibedakan, di dalam bahasa Jepang ) yang selamat dari petaka?”
Peristiwa monumental ini kalau kita kaji lebih mendalam pada dasarnya membawa pesan universal: betapa pentingnya guru bagi suatu bangsa, sehingga ketika berada dalam keadaan katastropis, perhatian pertama dari seorang pemimpin bangsa adalah nasib para guru bangsa tersebut. Karena guru adalah ujung tombak pendidikan sebuah bangsa. Maju atau mundurnya pendidikan sangat menentukan kejayaan dan peradaban bangsa tersebut. Bagaimana bangsa yang tertindas selama 350 tahun bisa bebas? Bagaimana anak-anak gembala bisa menjadi polisi dunia? Bagaimana bangsa yang hancur rata bisa kembali menjulang ke angkasa? Tanyakan kepada sang empunya bangsa, pastilah guru dan pendidikan ada di dalam menu olahan mereka. Bung karno, Bung Hatta, Sutan syahrir, Panglima Besar Jenderal Sudirman, dan banyak lagi pendiri negeri ini adalah guru pada awal mulanya. Mereka menjadi orang-orang cerdas yang berhasil meyakinkan dunia bahwa Indonesia layak merdeka. Mereka menjadi ahli strategi perang gerilya dan taktik jitu berdiplomasi karena pendidikan matang yang pernah mereka enyam.
Pendidikan! Itulah kata kuncinya. Sebagai cermin, kita bisa mengambil yang baik dari cara pandang bangsa-bangsa yang sudah maju terhadap pendidikan. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi kita untuk berbuat yang terbaik, atau setidaknya menyadarkan bahwa ada sesuatu yang kurang pada diri kita. Sebagaimana kita ketahui, cara pandang terhadap urgensi pendidikan dimata sebagian besar bangsa-bangsa Eropa, Australia, Amerika, Afrika,dan Asia tampaknya agak berbeda dengan yang kita miliki. Di dua benua yang disebut pertama, kita tidak perlu bertanya lagi. Hampir semua negara di dalamnya adalah negara-negara yang maju dalam segala hal. Yang namanya pendidikan dengan subsidi sangat besar adalah wajar, sehingga misalnya seorang rektor perguruan tinggi kecil digaji setara 25 juta rupiah sebulan, hal itu dianggap tidak wajar, bukan karena terlalu besar, justeru sebaliknya karena dianggap terlalu jauh dari nilai besar. Bukan seperti yang terjadi di sebuah universitas besar di negeri kita baru-baru ini, mahasiswa protes karena rektor akan digaji sebesar nilai tersebut di atas. Ironis memang, karena di negeri yang para pendirinya notabene adalah guru, ada anggapan bahwa seorang guru besarpun tidak pantas hidup pantas. Lain halnya jika yang bergaji besar adalah pegawai Telkom atau Pertamina, orang tidak akan pernah protes walaupun bosnya bisa bergaji 50 sampai 100 kali lipat gaji seorang profesor doktor. Kadang-kadang kita yang bermaksud baik ingin mengaplikasikan apa yang sudah berlaku di negara-negara tersebut ternyata justeru menghasilkan kebijakan-kebijakan yang dianGgap kurang membumi. Alih-alih didukung, justeru protes yang kita tuai.
Jika di Australia dan Eropa pendidikan sudah sedemikian maju, bagaimana dengan keadaan pendidikan di Amerika, Afrika, dan Asia yang notabene merupakan benua-benua yang memiliki heterogenitas kemajuan yang cukup signifikan? Lebih maju atau kurang majukah pendidikan di benua-benua yang di dalamnya juga terdapat negara-negara dunia ketiga seperti kita?
Benua Amerika membentang dari pulau Elsemere di sebelah utara Kanada sampai ke ujung selatan di suatu tempat yang bernama Cape Horn di pulau Hornos yang diapit oleh dua samudera maha luas, Pasifik yang anggun dan Atlantik yang agung. Tidak ada satu negarapun di benua yang rakyatnya beruntung itu yang tidak menganut paham yang susah kita anut, yaitu, pendidikan dasar itu wajib, tetapi egalitarian dan bebas biaya. Tidak peduli mereka itu besar, kaya dan kuat, seperti Kanada dan Amerika Serikat, atau yang kecil, tidak begitu kuat, dan juga tidak kaya, seperti El Salvador atau Panama. Semua menganggap bahwa pendidikan adalah pilar masa depan bangsa. Jadi mereka sangat peduli terhadapnya.
Membentang jauh Afrika, dari utara ke selatan, dari Rabat di Maroko sampai Cape Town di Afrika Selatan. Meski orangnya hitam legam dan kadang bikin seram, mereka tetap menganggap afdol pendidikan. Kalau di Afrika, kita itu ibarat Zimbabwe, Nigeria, atau Bostwana. Mereka seakan menganggap pendidikan bagi bangsa itu adalah kepentingan nomor sekian. Kita tidak seperti sebagian besar negara-negara lain di Afrika. Kita tidak seperti Mesir, Somalia, atau Sudan. Meski kadang terhimpit masalah ekonomi dan politik atau bahkan rakyat susah makan, tetapi pendidikan dasar wajib dan gratis yang egalitarian tetap berjalan.
Lain di Afrika, lain lagi di Asia, tepatnya Asia Tenggara. Meskipun pada mulanya kita bersama-sama berangkat dari kesepadanan, agaknya kini terlalu berat jika kita menyandingkan diri sejajar dengan Malaysia, Tailand, atau bahkan Vietnam dalam urusan pendidikan. Mengapa? Karena mereka tidak takut kehilangan uang untuk menanam benih berkualitas masa depan, sedangkan kita tampak sebaliknya. Kita ogah mencontoh mereka, mungkin karena gengsi atau kita ingin jalan pintas. Kita cenderung memilih pendidikan dengan kurikulum ala Amerika Serikat atau Australia yang sebetulnya kadang kurang membumi. Pendeknya kita mengacu kepada yang serba barat karena barat adalah cermin kemajuan dan gengsi. Tetapi kita lupa atau sengaja melupakan fakta bahwa pendidikan itu membutuhkan dana.
Kita pernah bertekad menganggarkan 20% dari total APBN untuk kemajuan pendidikan. Bahkan semuanya sudah dituangkan di dalam konstitusi. Kita juga sudah mensyahkan UU Guru dan Dosen yang akan sangat membantu kesejahteraan mereka. Tetapi tampaknya di tengah jalan, kalau kita tidak memiliki keinginan yang kuat untuk mempertahankan niat, semuanya akan kandas. Tekad itu tidak akan pernah terwujud. Kita tidak akan pernah berani sedikit berkorban dengan dalih anggaran itu tidak masuk akal, angka yang mustahil, mengada-ada atau tidak relevan. Jadi aplikasinya diundur dan terus diundur.
Sebenarnya semua tahu bahwa perhatian yang baik terhadap pendidikan adalah seperti menanam, merawat dan menjaga apa yang kita tanam. Buahnya, boleh jadi kita yang memetik ketika usia kita telah senja, atau mungkin hanya anak cucu kita yang merasakan. Tetapi percayalah dengan penuh harapan, bahwa kita akan bahagia menyaksikannya, dari alam ”sana”.
Singkatnya, walau bagaimanapun kita harus tetap optimis bahwa mimpi dan harapan akan kejayaan bangsa ini bisa kita gapai melalui pendidikan. Kita harus kembali kepada konsitusi UUD 1945 dengan mulai mengupayakan pendidikan yang terjangkau bahkan gratis tetapi berkualitas. Pendidikan itu adalah Pendidikan Indonesia Baru yang Nasionalis dan Egalitarian, yaitu yang menekankan penanaman rasa cinta tanah air Indonesia sekaligus memberikan kesempatan yang sama tanpa membedakan kaum borju ataupun kaum marginal untuk bersama-sama mengenyamnya. Pendidikan itu juga menanamkan pentingnya kecerdasan yang disertai budi pekerti luhur untuk menghasilkan insan Indonesia berkualitas yang siap memperbaiki secara total tatanan generasi sebelumnya. Pendidikan selama ini telah terbukti memproduksi manusia-manusia yang cerdas, tetapi terkadang jarang diikuti dengan moral value yang tinggi. Banyak mereka cerdik seperti si Kancil, tetapi egosentris, picik, licik dan bahkan culas, sehingga hukumpun bisa disiasati dan dikalahkan.
Menyambut Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei 2007 mendatang, mari kita renungkan kembali pesan Bapak Pendidikan Nasioanal, Ki Hajar Dewantoro, ” Ing ngarso sung tulodho, ing madio mangun karso, tutwuri handayani.” Jadilah pemimpin model, motivator tangguh, dan pengikut setia.
Akhirnya, mari kita jemput harapan dengan mendukung terwujudnya Pendidikan Indonesia Baru yang Nasionalis dan Egalitarian. Dengan begitu, tidak mustahil akan lahir generasi-generasi bangsa yang lebih siap menanggulangi krisis multi dimensi, bencana alam, terorisme, wabah mematikan, dan berbagai macam kecelakaan di masa datang. Tunggulah saatnya ketika kita raih kejayaan bangsa ini. Tidak lama lagi!
Sumber : http://mampuono.multiply.com/journal/item/3