Tidak hanya kreatif dan produktif, konsep sekolah hijau di sekolah dasar perbatasan membuat masyarakat sekitar menjadi ikut bergerak. TIDAK mudah untuk menjangkau Sekolah Dasar Negeri (SDN) 07 Sasak, Desa Santaban, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, ini. Dari dermaga Kantor Kepala Desa Santaban, hanya ada satu sampan bermotor untuk menyeberangi sungai.
Jika memilih jalan darat, harus siap dengan rute lebih jauh dan jalan tanah setapak.
Maka untuk masuk sekolah tepat waktu, banyak murid memilih mendayung sampan sendiri. Tentunya, anak-anak itu tidak lepas dari risiko terseret jika arus sedang deras.
Namun, kondisi itu mulai berubah sejak 2011. Kepedulian masyarakat di desa yang dekat perbatasan Indonesia-Malaysia (Sarawak) itu soal pendidikan dan akses tumbuh.
Tidak hanya fasilitas sekolah, warga ikut bergotong royong soal transportasi.
“Kini desa telah menyiapkan sebuah sampan besar dengan mesin bermotor untuk anak sekolah dan tidak dipungut bayaran, kecuali dari imbalan sekolah setiap bulan,” jelas Kasianus Subuh, Sekretaris Desa Santaban, ketika ditemui di desa itu, Kamis (4/9).
Perubahan warga bukan tanpa sebab.
Namun, faktor pencetusnya bukanlah karena aturan atau kebijakan pejabat desa, melainkan dari ‘virus hijau’ yang dimulai di sekolah.
Pada 2011, SDN 07 Sasak termasuk dari tiga sekolah di kecamatan itu yang menerima penerapan konsep sekolah hijau. Dua sekolah lainnya ialah SDN 01 Aruk dan SDN 03 Sajingan.
Kasianus mengatakan, dengan perubahan di sekolah, para orangtua lebih antusias dengan pendidikan anaknya. Mereka pun tidak ingin anak-anak telat mengikuti pelajaran. Jelas saja para orangtua dan murid lebih bersemangat soal sekolah. Seperti Media Indonesia lihat, meski sederhana, sekolah unik dan tampak menyenangkan.
Di halaman sekolah, ada tiruan Menara Eiffel yang dikelilingi taman bunga kecil. Menara itu disusun dari bekas botol kemasan air mineral yang kemudian dicat warna-warni.
Di sudut lainnya ada kolam dengan rangkaian botol plastik berbentuk setengah lingkaran di atasnya. Kali ini, rangkaian botol yang kemudian menyambung dengan pagar dari potongan bambu dan bekas itu baru selesai dibuat malam sebelumnya.
Bahan-bahan yang berasal dari sampah anorganik ataupun organik mereka kumpulkan dari sekitar sekolah dan desa. Bila tidak ada, para orangtua ikut mencari, bahkan hingga ke pengepul barang bekas.
Kreasi dengan barang bekas tersebut merupakan salah satu wujud pembelajaran sekolah hijau. Tidak hanya untuk menum buhkan kepedulian soal sampah, karya daur ulang itu lalu menjadi sarana belajar.
Menara, misalnya, menjadi alat untuk mengenal bangunan, sedangkan kolam menjadi tempat anak-anak mengenal jenis-jenis ikan dan ekosistem sekitarnya. Dengan begitu, proses belajar pun tidak terbatas di dalam kelas. Seperti terlihat hari itu, kegiatan belajar jadi menyenangkan karena murid dapat sekaligus bermain.
“Tujuan bermain ini untuk membuat anak senang dan suasana belajar jadi lebih baik,” jelas salah satu guru SDN 07 Sasak, Yostina.
Di dalam kelas, suasana alami dan penuh kreasi juga terbawa. Di salah satu kelas, area tengahnya dihiasi dengan beberapa tanaman dalam pot yang kemudian dipagari dengan kaleng-kaleng bekas minuman.
Tiap kelas tampak punya kreasi masingmasing. Ada pula yang memiliki sudut yang dinamakan Museum Mini dan ada yang memiliki kolam untuk belajar ekosistem air.
Para murid berkontribusi untuk mengisi kolam dengan ikan, katak, bebatuan, tumbuhan air, dan ekosistem air lainnya.
Beragam sarana belajar itu terbukti manjur membuat sekolah jadi tempat favorit anak. “Dulu sekolahnya tidak ada hiasan dan banyak sampah jadi tidak semangat, suasana belajar juga kurang nyaman. Sekarang selalu semangat untuk datang lebih pagi karena belajarnya tidak hanya di dalam kelas. Kami menanti kejutan dari guru-guru,” ungkap Zesica Putera, siswa kelas 5.
Namun, kesuksesan itu bukan tujuan akhir dari sekolah hijau. Beragam pendidikan lingkungan, termasuk kreasi daur ulang, sesungguhnya dibuat untuk membentuk karakter unggul yang lebih luas.
Dari pintar berkreasi dan mengenal alam, anak-anak diharapkan menjadi manusia yang peduli lingkungan dan sesama. Soal kepedulian lingkungan itu memang sudah menjadi pekerjaan rumah bagi kabupaten yang mengalami tantangan degradasi lingkungan tersebut.
Kegiatan perkebunan dan pertambangan yang cukup luas telah mengancam kelangsungan hidup warga. Contohnya, sumber air penting Kabupaten Sambas, Danau Sebedang, dalam kondisi cukup memprihatinkan.
Di sisi lain, karakter peduli lingkungan juga dipercaya tidak akan lengkap tanpa kesantunan, kejujuran, dan kepedulian kepada sesama. Di sekolah, konsep itu diwujudkan dalam kedisiplinan berbaris sebelum masuk kelas, susunan kursi dan meja yang membuat murid bisa berdiskusi, hingga kejujuran saat mengisi sendiri daftar hadir.
Daftar hadir dibuat dari karton itu dilengkapi gambar jam sebagai penunjuk waktu kedatangan. Di sinilah anak-anak diuji untuk jujur soal waktu.
Di kesempatan lainnya, mereka juga diajak bertanggung jawab dengan komitmen yang sudah dibuat. Komitmen tersebut dihasilkan dengan kesepakatan tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh siswa lakukan di sekolah.
Maka, dengan cara sederhana dan menyenangkan, sekolah itu pun menjadi lentera perubahan warga. Tidak sekadar dekat dengan alam, mereka menjadi warga yang peduli pada lingkungan dan sesama.
Sumber : media indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar