Kamis, 23 April 2015

Kisah Mulyadi, Sang Pencerah di Tengah Rimba - Guru Berdedikasi Tingkat Nasional Tahun 2013

Kisah Mulyadi, Sang Pencerah di Tengah Rimba
Ket Foto : Mulyadi, S.Sos Guru Berdedikasi Tingkat Nasional Tahun 2013
Batang Gansal (kabarinhu) - Mengabdi sebagai guru di tengah rimba Taman Nasional Bukit Tiga Puluh telah dilakoni Mulyadi selama hampir 9 tahun. Mimpi agar anak-anak Suku Talang Mamak bisa memperoleh pendidikan telah menguatkan hatinya untuk tetap bertahan diantara berbagai keterbatasan.
 
Matahari belum menampakkan wujudnya, namun Mulyadi telah lebih dulu terjaga dari tidur. Ditemani lampu pelita yang sudah mulai redup, Mulyadi bergegas mengambil wudhu dibelakang pondok kayu yang menjadi tempat tinggalnya selama mengabdi di Dusun Sadan, Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Inhu.
 
Dua rakaat dijalani diantara subuh yang masih terlihat gelap. Diakhiri tadahan kedua tangan, guru honorer ini berdoa meminta kepada sang pencipta. Ia pun kemudian bersiap memulai aktivitas di tengah hutan belantara bernama Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT), awal September 2014 lalu.
 
Ketika matahari telah bersinar dan kicau burung sahut menyahut menyambut pagi yang cerah, Mulyadi pun berdiri dengan gagah menunggu kedatangan anak-anak Suku Talang Mamak di depan sebuah plang kayu bertuliskan “Sanggar Belajar Sadan”.
 
Tak lama berselang, satu per satu bocah tanpa alas kaki muncul dari balik hutan menuju arah Mulyadi berdiri.  "Selamat pagi pak guru," ujar bocah-bocah itu mendekati Mulyadi. "Selamat pagi anak-anakku. Hari ini kita belajar Agama, mari masuk," balas Mulyadi sambil menggiring anak-anak tersebut masuk ke dalam ruang kelas berukuran 4 x 6 meter yang hanya berdinding papan dan berlantai tanah.
 
Mulyadi merupakan Sarjana Ilmu Sosial dan Politik lulusan Universitas Riau tahun 2001. Sejak tahun 2007, pria yang lahir di Indramayu, Jawa Barat, 42 tahun lalu ini diangkat menjadi guru bantu daerah (GBD) Provinsi Riau dengan jabatan guru huni di SD Marginal Datai yang menginduk ke SDN 004 Rantau Langsat.
 
Sejak itulah Mulyadi mengabdikan diri sebagai seorang guru di Sanggar Belajar Sadan, sekolah yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat dan Yayasan Penyelamat dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS) di tengah komunitas adat Suku Talang Mamak, di TNBT. 
 
Tak mudah bagi ayah tiga anak ini mengabdikan diri di Sanggar Belajar Sadan. Mulyadi yang tinggal di Desa Sibabat, Kecamatan Seberida ini harus menempuh dua hari perjalanan dengan medan yang berat dan penuh tantangan. Ia bahkan harus melewati “sarang” Harimau untuk menuju sekolah di daerah terpecil tersebut.
 
Dari Desa Sibabat, Mulyadi harus menuju Desa Rantau Langsat menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh sekitar satu jam.  Usai menitipkan motornya di rumah kepala desa, Mulyadi kemudian harus melanjutkan perjalanan menyebrangi sungai dan menelusuri hutan TNBT berjalan kaki selama dua hari.
 
“Ada memang sampan mesin yang bisa mengantarkan sampai ke Dusun Sadan dan hanya membutuhkan waktu sekitar 5 jam. Tapi ongkosnya Rp 800 ribu, sama dengan gaji saya selama satu bulan saat awal mengabdi sebagai guru bantu provinsi,” ungkapnya. 
 
Sepanjang perjalanan di dalam hutan TNBT, ia harus membawa bekal makanan yang disiapkan istrinya Nursetiawati (36) yang setia menunggu Mulyadi kembali ke rumah setiap 15 hari sekali. Bahkan, untuk menghindari binatang buas, Mulyadi terpaksa tidur di atas pohon. Ketika pagi datang, Mulyadi pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Sadan.
 
Perjuangan berat dan gaji yang tak mencukupi kebutuhan keluarga sempat membuat Mulyadi menyerah. Ia memutuskan berhenti dan beralih profesi menjadi petani di Desa Sibabat hingga bisa berkumpul dengan istri dan anaknya.
 
Lama ia meninggalkan Sadan, tapi selama itu pula bayangan anak-anak Suku Talang Mamak tak bisa lepas dari ingatannya. Ia pun sempat merasa gundah karena kondisi tersebut. Akhirnya, setelah meminta pendapat sang istri, semangat Mulyadi kembali muncul. Dengan niat dan tekad yang bulat, Mulyadi kembali ke Dusun Sadan. 
 
“Saat perjalanan melewati hutan menuju Dusun Sadan, saya sudah tidak memikirkan gaji lagi. Yang ada dibenak saya bagaimana anak–anak itu bisa tulis baca. Mereka akan kehilangan kesempatan belajar jika tak ada guru yang mau mengajar,” tutur Mulyadi. 
 
Sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, setiap 15 hari sekali Mulyadi pulang ke Desa Sibabat. Di sana, ia bekerja menderes (menakik) kebun karet milik warga. Setelah tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga terlunasi, dia kembali ke Sadan memenuhi tanggungjawabnya memberikan pencerahan untuk anak-anak Suku Talang Mamak.
 
Selain memberikan ilmu pengetahuan formal di Sanggar Belajar Sadan, pada sore harinya Mulyadi juga mengajarkan anak-anak Suku Talang Mamak mengaji. “Dengan bekal pengetahuan dan ilmu agama tersebut, saya berharap anak-anak Talang Mamak memiliki bekal yang cukup menatap hidupnya kedepan,” ujarnya. Mulyadi, sang pencerah di tengah rimba. Guru berbakti dan berdedikasi. Semua dilaluinya dengan keikhlasan mengabdi untuk anak-anak negeri. ***
 
Melintasi "Sarang" Harimau
 
Mengabdi sebagai guru honorer di Dusun Sadan, Desa Rantau langsat, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, bukan hal yang mudah bagi Mulyadi, S.Sos. Selain gaji yang minim, jauh dari keluarga, dia juga harus berhadapan dengan maut. 
 
Pernah suatu hari Mulyadi diikuti harimau saat melintas di dalam hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Saat itu, Mulyadi baru saja pulang menemui istri dan anaknya di Desa Sibabat, Kecamatan Seberida dan akan kembali mengabdi ke Sanggar Belajar Sadan.
 
Beruntung, harimau yang berada di dalam hutan itu kalah dengan semangat Mulyadi. Ia terus berjalan dengan keyakinan. Hingga akhirnya harimau itu menghindar dan tak ingin memangsa sang guru.
 
Kejadian ini dibenarkan oleh Rahmad Wahyudi, Manajer Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS) Area Sumatera Bagian Tengah. 
 
"Kami melihat Mulyadi diikuti harimau sumatera saat berjalan kaki melintasi hutan. Jaraknya begitu dekat. Ini terpantau oleh kamera pengintai yang kami pasang di dalam hutan TNBT. Untungnya harimau itu hidup di dalam hutan dan tidak kurang makanan, sehingga pak guru Mulyadi selamat," ungkapnya.
 
Dikatakan Rahmad, dari data PKHS sejak tahun 2008, ada sekitar 25 ekor harimau sumatera yang hidup di hutan TNBT. Harimau-harimau itu juga melintasi jalan yang dilintasi Mulyadi ketika menuju tempatnya mengajar di Dusun Sadan.
 
Meski mengetahui daerah yang saban kali dilintasinya itu adalah "sarang" harimau, namun tak menyurutkan tekadnya untuk datang ke sekolah memberikan ilmu kepada anak-anak Suku Talang Mamak.
 
"Awalnya saya takut ketika mengetahui di hutan itu banyak harimau. Tapi apa boleh buat, itu jalan satu-satunya selain naik speed boat menuju Sadan. Hanya saja, saya diajari orang-orangtua Talang Mamak agar melekatkan lumut di dahi saya. Itu katanya untuk tanda kepada harimau bahwa saya orang Talang Mamak, dan Alhamdulillah saya selamat setiap melintasi hutan itu," tutur Mulyadi.
 
Barangkali, harimau itu turut merasa prihatin melihat perjuangan Mulyadi yang begitu tulus, hingga akhirnya Mulyadi pun mendapat perhatian dari yayasan PKHS. Sejak melihat hasil rekaman kamera pengintai ada harimau mengikuti Mulyadi. Yayasan PKHS memberikan bantuan operasional dan transportasi agar Mulyadi bisa naik speed boat menuju Dusun Sadan.
 
"Ongkos speed boat itu Rp 800 ribu pulang pergi. Jadi saya tidak jalan melewati hutan lagi selama dua hari. Naik speed boat hanya memakan waktu 5 jam dari Rantau langsat menelusuri sungai Gansal menuju Dusun Sadan," sebut Mulyadi.***
 
 
Warga Hormati Mulyadi Seperti Bupati
 
Selama sembilan tahun mengabdi sebagai guru honorer di Sanggar Belajar Sadan, membuat Mulyadi kesulitan mendapat informasi dan jarang bisa berkomunikasi dengan anak istri. Maklum, di tengah hutan rimba Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) belum terjangkau sinyal handphone apalagi jaringan internet.
 
Saking sulitnya, Mulyadi tidak mengatahui jika ada seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kategori Dua (K2) beberapa waktu lalu. Namun demikian, Mulyadi tidak merasa berkecil hati. Baginya mengabdi sebagai guru di tengah Suku Talang Mamak sudah menjadikannya seperti seorang Bupati.
 
"Ya, siapa sih yang gak ingin jadi PNS. Tapi mungkin belum rezeki, mungkin saya harus lebih giat lagi. Apalagi di sini sulit untuk berkomunikasi. Jangankan informasi pengangkatan pegawai negeri, kabar anak istri pun saya tak tau. Tapi semuanya saya jalani dengan ikhlas, saya berusaha dan berdoa, semuanya saya serahkan kepada Allah SWT," ujar Mulyadi.
 
Meski awalnya sempat putus asa dan sempat memutuskan berhenti menjadi guru di Sanggar Belajar Sadan, tetapi saat ini Mulyadi sudah betah, bahkan merasa berarti bisa menjadi guru bagi anak-anak suku Talang Mamak.
 
Sebab menjadi seorang guru di Dusun Sadan, Mulyadi dianggap bagaikan seorang Bupati oleh warga setempat. Dia menjadi panutan dan tempat menyelesaikan berbagai macam persoalan masyarakat suku Talang Mamak.
 
"Ya, mereka menganggap kalau guru itu bisa segalanya. Jadi kalau ada apa-apa warga melapornya kepada saya. Seperti kalau ada acara adat, atau pesta adat, sebelumnya mereka minta pendapat saya. Bahkan tempat duduk saya di depan. Ya, layaknya tempat duduk untuk seorang Bupati," cerita Mulyadi diiringi senyum dan tawa bersama SULUH.
 















Jadi, sambung Mulyadi, dia sudah tak terpikirkan untuk "ngotot" jadi pegawai negeri, meskipun itu adalah impiannya. Namun, dia ingin lebih fokus mengajar anak-anak muridnya hingga bisa tulis baca dan tamat sekolah.
 
"Target saya akan mengkader anak-anak ini agar bisa menjadi guru. Setelah itu, saya mungkin akan pergi dari sini dan kembali berkumpul dengan anak dan istri. Karena kalau sekarang berhenti, kasian anak-anak ini, mereka akan kehilangan gurunya, karena belum tentu ada yang mau mengabdi di daerah sulit seperti ini," sebutnya. *** (Sumber: Majalah Suluh)

Tidak ada komentar: