Pagiku terusik kedatangan awan. Ia membangunkanku yang asik bercengkrama dengan sisa malam, sengaja membuat mentari menyerangku dengan kehangatan sinarnya. Awan bercerita, indahnya pagi akan lebih bermakna dengan tawa riang anak-anak yang pergi ke sekolah. ya, Awan menyukai anak-anak, mereka tidak pernah mengeluh ketika ia tidak memayungi dari terpaan sinar matahari, pun mereka tidak akan mengutuk karena ia mengeluarkan hujan berhari-hari. Awan senang menjadi dirinya sendiri.
Hari ini awan mengajakku berlari, menyambut anak-anak menyongsong cita-citanya. Kami pun menari, menari suka cita. Berlenggak lenggok ke sana kemari, bergurau bercanda, tanpa ada habisnya. Awan menyukai anak-anak, sesekali ia melindungi mereka dari sengatan mentari. Hari ini menjadi hari terindah bagi kami.
Tiba-tiba kami terkejut mendengar suara keras yang menyesakkan telinga. Anak-anak itu ekspresi mukanya berubah, tidak ada senyum lagi. Suara itu berasal dari seorang monster bernama guru. Monster itu memaksa anak-anak melakukan hal yang tidak mereka sukai, meneriakinya, memaksanya. Anak-anak menjerit ketakutan, berusaha berlari, namun terpenjara dalam sekolah. Monster itu melabeli mereka dengan kata-kata “bodoh”, “tidak bisa diatur”, “autis”, dan “nakal”. Anak-anak menangis, mereka ingin mendapatkan keceriaannya kembali.
Awan sedih, ia tidak ingin mendengar anak-anak merasakan takut. Namun, ia pun tak berdaya karena berada jauh di atas langit. Awan meneteskan air mata, menangis. Aku tak kuasa melihat sahabatku sedih. Aku ingin membuat anak-anak tersenyum lagi dengan merasakan kasih sayang malaikat yang (juga) bernama guru. Aku mendatangi mereka, mengajak bermain, belajar, tanpa harus melabeli dengan kata-kata jahat. Aku ingin menjadi pelindung mereka. Awan menemani kami bermain setiap hari sambil belajar. Anak – anak berhasil mendapatkan senyuman mereka. Mereka pun datang ke sekolah lagi. Anak-anak tidak takut bermimpi, karena mereka tahu, ada awan yang selalu menemani.
Aku tersenyum pada sahabatku, dan ia membalasku dengan kedipan matanya. Awan mengajakku berlari lagi, menemui anak-anak yang kehilangan keceriaannya, dan membuat mereka mau bermimpi lagi. Awan akan terus begitu, dan akan selamanya seperti itu. Awan mengajarkan bagaimana mengajari manusia, ia mengajarkan bagaimana menjadi manusia. Awan akan tetap ada dan selalu dicintai anak-anak.
Ket Foto : Mulyadi, S.Sos Guru Berdedikasi Tingkat Nasional Tahun 2013
Batang Gansal (kabarinhu) - Mengabdi sebagai guru di tengah rimba Taman Nasional Bukit Tiga Puluh telah dilakoni Mulyadi selama hampir 9 tahun. Mimpi agar anak-anak Suku Talang Mamak bisa memperoleh pendidikan telah menguatkan hatinya untuk tetap bertahan diantara berbagai keterbatasan.
Matahari belum menampakkan wujudnya, namun Mulyadi telah lebih dulu terjaga dari tidur. Ditemani lampu pelita yang sudah mulai redup, Mulyadi bergegas mengambil wudhu dibelakang pondok kayu yang menjadi tempat tinggalnya selama mengabdi di Dusun Sadan, Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Inhu.
Dua rakaat dijalani diantara subuh yang masih terlihat gelap. Diakhiri tadahan kedua tangan, guru honorer ini berdoa meminta kepada sang pencipta. Ia pun kemudian bersiap memulai aktivitas di tengah hutan belantara bernama Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT), awal September 2014 lalu.
Ketika matahari telah bersinar dan kicau burung sahut menyahut menyambut pagi yang cerah, Mulyadi pun berdiri dengan gagah menunggu kedatangan anak-anak Suku Talang Mamak di depan sebuah plang kayu bertuliskan “Sanggar Belajar Sadan”.
Tak lama berselang, satu per satu bocah tanpa alas kaki muncul dari balik hutan menuju arah Mulyadi berdiri. "Selamat pagi pak guru," ujar bocah-bocah itu mendekati Mulyadi. "Selamat pagi anak-anakku. Hari ini kita belajar Agama, mari masuk," balas Mulyadi sambil menggiring anak-anak tersebut masuk ke dalam ruang kelas berukuran 4 x 6 meter yang hanya berdinding papan dan berlantai tanah.
Mulyadi merupakan Sarjana Ilmu Sosial dan Politik lulusan Universitas Riau tahun 2001. Sejak tahun 2007, pria yang lahir di Indramayu, Jawa Barat, 42 tahun lalu ini diangkat menjadi guru bantu daerah (GBD) Provinsi Riau dengan jabatan guru huni di SD Marginal Datai yang menginduk ke SDN 004 Rantau Langsat.
Sejak itulah Mulyadi mengabdikan diri sebagai seorang guru di Sanggar Belajar Sadan, sekolah yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat dan Yayasan Penyelamat dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS) di tengah komunitas adat Suku Talang Mamak, di TNBT.
Tak mudah bagi ayah tiga anak ini mengabdikan diri di Sanggar Belajar Sadan. Mulyadi yang tinggal di Desa Sibabat, Kecamatan Seberida ini harus menempuh dua hari perjalanan dengan medan yang berat dan penuh tantangan. Ia bahkan harus melewati “sarang” Harimau untuk menuju sekolah di daerah terpecil tersebut.
Dari Desa Sibabat, Mulyadi harus menuju Desa Rantau Langsat menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Usai menitipkan motornya di rumah kepala desa, Mulyadi kemudian harus melanjutkan perjalanan menyebrangi sungai dan menelusuri hutan TNBT berjalan kaki selama dua hari.
“Ada memang sampan mesin yang bisa mengantarkan sampai ke Dusun Sadan dan hanya membutuhkan waktu sekitar 5 jam. Tapi ongkosnya Rp 800 ribu, sama dengan gaji saya selama satu bulan saat awal mengabdi sebagai guru bantu provinsi,” ungkapnya.
Sepanjang perjalanan di dalam hutan TNBT, ia harus membawa bekal makanan yang disiapkan istrinya Nursetiawati (36) yang setia menunggu Mulyadi kembali ke rumah setiap 15 hari sekali. Bahkan, untuk menghindari binatang buas, Mulyadi terpaksa tidur di atas pohon. Ketika pagi datang, Mulyadi pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Sadan.
Perjuangan berat dan gaji yang tak mencukupi kebutuhan keluarga sempat membuat Mulyadi menyerah. Ia memutuskan berhenti dan beralih profesi menjadi petani di Desa Sibabat hingga bisa berkumpul dengan istri dan anaknya.
Lama ia meninggalkan Sadan, tapi selama itu pula bayangan anak-anak Suku Talang Mamak tak bisa lepas dari ingatannya. Ia pun sempat merasa gundah karena kondisi tersebut. Akhirnya, setelah meminta pendapat sang istri, semangat Mulyadi kembali muncul. Dengan niat dan tekad yang bulat, Mulyadi kembali ke Dusun Sadan.
“Saat perjalanan melewati hutan menuju Dusun Sadan, saya sudah tidak memikirkan gaji lagi. Yang ada dibenak saya bagaimana anak–anak itu bisa tulis baca. Mereka akan kehilangan kesempatan belajar jika tak ada guru yang mau mengajar,” tutur Mulyadi.
Sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, setiap 15 hari sekali Mulyadi pulang ke Desa Sibabat. Di sana, ia bekerja menderes (menakik) kebun karet milik warga. Setelah tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga terlunasi, dia kembali ke Sadan memenuhi tanggungjawabnya memberikan pencerahan untuk anak-anak Suku Talang Mamak.
Selain memberikan ilmu pengetahuan formal di Sanggar Belajar Sadan, pada sore harinya Mulyadi juga mengajarkan anak-anak Suku Talang Mamak mengaji. “Dengan bekal pengetahuan dan ilmu agama tersebut, saya berharap anak-anak Talang Mamak memiliki bekal yang cukup menatap hidupnya kedepan,” ujarnya. Mulyadi, sang pencerah di tengah rimba. Guru berbakti dan berdedikasi. Semua dilaluinya dengan keikhlasan mengabdi untuk anak-anak negeri. ***
Melintasi "Sarang" Harimau
Mengabdi sebagai guru honorer di Dusun Sadan, Desa Rantau langsat, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, bukan hal yang mudah bagi Mulyadi, S.Sos. Selain gaji yang minim, jauh dari keluarga, dia juga harus berhadapan dengan maut.
Pernah suatu hari Mulyadi diikuti harimau saat melintas di dalam hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Saat itu, Mulyadi baru saja pulang menemui istri dan anaknya di Desa Sibabat, Kecamatan Seberida dan akan kembali mengabdi ke Sanggar Belajar Sadan.
Beruntung, harimau yang berada di dalam hutan itu kalah dengan semangat Mulyadi. Ia terus berjalan dengan keyakinan. Hingga akhirnya harimau itu menghindar dan tak ingin memangsa sang guru.
Kejadian ini dibenarkan oleh Rahmad Wahyudi, Manajer Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS) Area Sumatera Bagian Tengah.
"Kami melihat Mulyadi diikuti harimau sumatera saat berjalan kaki melintasi hutan. Jaraknya begitu dekat. Ini terpantau oleh kamera pengintai yang kami pasang di dalam hutan TNBT. Untungnya harimau itu hidup di dalam hutan dan tidak kurang makanan, sehingga pak guru Mulyadi selamat," ungkapnya.
Dikatakan Rahmad, dari data PKHS sejak tahun 2008, ada sekitar 25 ekor harimau sumatera yang hidup di hutan TNBT. Harimau-harimau itu juga melintasi jalan yang dilintasi Mulyadi ketika menuju tempatnya mengajar di Dusun Sadan.
Meski mengetahui daerah yang saban kali dilintasinya itu adalah "sarang" harimau, namun tak menyurutkan tekadnya untuk datang ke sekolah memberikan ilmu kepada anak-anak Suku Talang Mamak.
"Awalnya saya takut ketika mengetahui di hutan itu banyak harimau. Tapi apa boleh buat, itu jalan satu-satunya selain naik speed boat menuju Sadan. Hanya saja, saya diajari orang-orangtua Talang Mamak agar melekatkan lumut di dahi saya. Itu katanya untuk tanda kepada harimau bahwa saya orang Talang Mamak, dan Alhamdulillah saya selamat setiap melintasi hutan itu," tutur Mulyadi.
Barangkali, harimau itu turut merasa prihatin melihat perjuangan Mulyadi yang begitu tulus, hingga akhirnya Mulyadi pun mendapat perhatian dari yayasan PKHS. Sejak melihat hasil rekaman kamera pengintai ada harimau mengikuti Mulyadi. Yayasan PKHS memberikan bantuan operasional dan transportasi agar Mulyadi bisa naik speed boat menuju Dusun Sadan.
"Ongkos speed boat itu Rp 800 ribu pulang pergi. Jadi saya tidak jalan melewati hutan lagi selama dua hari. Naik speed boat hanya memakan waktu 5 jam dari Rantau langsat menelusuri sungai Gansal menuju Dusun Sadan," sebut Mulyadi.***
Warga Hormati Mulyadi Seperti Bupati
Selama sembilan tahun mengabdi sebagai guru honorer di Sanggar Belajar Sadan, membuat Mulyadi kesulitan mendapat informasi dan jarang bisa berkomunikasi dengan anak istri. Maklum, di tengah hutan rimba Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) belum terjangkau sinyal handphone apalagi jaringan internet.
Saking sulitnya, Mulyadi tidak mengatahui jika ada seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kategori Dua (K2) beberapa waktu lalu. Namun demikian, Mulyadi tidak merasa berkecil hati. Baginya mengabdi sebagai guru di tengah Suku Talang Mamak sudah menjadikannya seperti seorang Bupati.
"Ya, siapa sih yang gak ingin jadi PNS. Tapi mungkin belum rezeki, mungkin saya harus lebih giat lagi. Apalagi di sini sulit untuk berkomunikasi. Jangankan informasi pengangkatan pegawai negeri, kabar anak istri pun saya tak tau. Tapi semuanya saya jalani dengan ikhlas, saya berusaha dan berdoa, semuanya saya serahkan kepada Allah SWT," ujar Mulyadi.
Meski awalnya sempat putus asa dan sempat memutuskan berhenti menjadi guru di Sanggar Belajar Sadan, tetapi saat ini Mulyadi sudah betah, bahkan merasa berarti bisa menjadi guru bagi anak-anak suku Talang Mamak.
Sebab menjadi seorang guru di Dusun Sadan, Mulyadi dianggap bagaikan seorang Bupati oleh warga setempat. Dia menjadi panutan dan tempat menyelesaikan berbagai macam persoalan masyarakat suku Talang Mamak.
"Ya, mereka menganggap kalau guru itu bisa segalanya. Jadi kalau ada apa-apa warga melapornya kepada saya. Seperti kalau ada acara adat, atau pesta adat, sebelumnya mereka minta pendapat saya. Bahkan tempat duduk saya di depan. Ya, layaknya tempat duduk untuk seorang Bupati," cerita Mulyadi diiringi senyum dan tawa bersama SULUH.
Jadi, sambung Mulyadi, dia sudah tak terpikirkan untuk "ngotot" jadi pegawai negeri, meskipun itu adalah impiannya. Namun, dia ingin lebih fokus mengajar anak-anak muridnya hingga bisa tulis baca dan tamat sekolah.
"Target saya akan mengkader anak-anak ini agar bisa menjadi guru. Setelah itu, saya mungkin akan pergi dari sini dan kembali berkumpul dengan anak dan istri. Karena kalau sekarang berhenti, kasian anak-anak ini, mereka akan kehilangan gurunya, karena belum tentu ada yang mau mengabdi di daerah sulit seperti ini," sebutnya. *** (Sumber: Majalah Suluh)
Motivasi Motivasi- Apa yang terlihat sekilas dari pikiran anda sejenak ketika anda melihat foto-foto di atas ? Banyak sekali anak-anak yang mungkin malas untuk belajar. Banyak juga anak-anak yang mengeluh karena ingin tambah uang saku. Baik itu anak sekolah atau kuliah. Tapi tidakkah malu ketika melihat di sisi lain bahwa ada anak sekolah yang mempertaruhkan keselamatannya hanya untuk sampai ke sekolah tempat mereka belajar untuk menuntuk ilmu. Bagi sebagian orang mungkin hujan bisa menjadi penghalang untuk beralasan terlambat atau bahkan tidak datang ke kampus karena hujan. Sedangkan di tempat lain anak-anak melintasi jembatan yang sudah hampir putus agar sampai ke sekolah dan menuntut ilmu agar mungkin kelak mereka berharap bisa membangun jembatannya. Mereka tidak mengeluh kepada pemerintah. Tapi mereka berusaha dengan segala daya dan upaya. Mereka tidak menunggu segalanya menjadi lebih mudah dulu baru mereka berusaha. Namun mereka berusaha dulu dan membuat perubahan agar segalanya menjadi lebih mudah.
Menyebrangi Sungai Menuju Kesekolah. Foto : http://nasional.news.viva.co.id
VIVAnews - Potret buram perlindungan anak-anak muncul kembali dari Sumatera Barat, tepatnya di desa Nagari Koto Nan Tigo. Sejumlah anak-anak sekolah di desa ini harus menantang maut jika ingin bersekolah.
Alih-alih malas dan membolos, anak-anak sekolah dasar dari Nagari Koto Nan Tigo harus melewati sungai berarus deras, setiap hari dalam perjalanan menuju sekolah. Tapi, tak ada jembatan yang menggantung. Pilihannya hanya satu, mereka menceburkan diri ke sungai dan melawan arus deras air.
Anak-anak ini tak habis akal agar seragam mereka yang bersih tidak basah. Sebelum masuk ke sungai, pakaian dari pinggang ke bawah terpaksa dilucuti. Bagi anak yang masih kecil, seragam atas harus digulung hingga dada.
Mereka pun kemudian menerjang arus sungai yang ketinggiannya sampai perut atas agar bisa sampai ke seberang. Sepatu, tas, dan seragam bawah diangkat tinggi-tinggi agar tak terkena air.
Anak-anak dengan tubuh mungil ini harus menjaga keseimbang. Oleng sedikit saja, bisa fatal. Terseret arus. Beberapa siswa bahkan saling berpegangan agar bisa menjaga keseimbangan.
Lihat foto-foto perjuangan Mereka di bawah ini.
Sampai di seberang, anak-anak ini mengenakan kembali perlengkapan sekolah. Dan tiba di sekolah untuk menuntut ilmu. (Sumber).
Sebelumnya, sejumlah anak dari Desa Batu Busuk, Sumatera Barat pun harus bertaruh nyawa agar bisa sampai di sekolah. Perjuangan mereka kemudian diberitakan media asing,Dailymail.
Di beberapa tempat di belahan dunia termasuk Indonesia, sekolah bisa menjadi hal yang mewah dan susah untuk dijangkau. Banyak anak di seluruh dunia harus melalui rute yang berbahaya dan tak terbayangkan oleh kita.
Menurut UNESCO, kemajuan dalam menghubungkan anak-anak untuk sekolah berjalan lambat selama lima tahun terakhir. Daerah yang tidak memiliki rute sekolah yang sesuai sering terjadi banjir, sehingga lebih sulit bagi anak-anak untuk bepergian. Jalur berbahaya adalah salah satu alasan utama mengapa banyak anak-anak memutuskan untuk berhenti sekolah.
Solusinya memang terdengar mudah yaitu membangun jalan dan jembatan, membeli bus dan menyewa seorang sopir. Namun, kurangnya dana dan bencana alam ditambah kurangnya perhatian dari pemerintah membuat banyak negara sulit untuk memberikan anak-anak solusi yang sangat mereka butuhkan.
Boredpanda telah merangkum 15 perjalanan menuju ke sekolah yang paling berbahaya di dunia dan beberapa di antaranya adalah di Indonesia.
5 Jam perjalanan ke pegunungan dengan jalan setapak, Gulu, Tiongkok
Anak-anak sekolah mendaki tangga kayu tidak aman, Desa Zhang Jiawan, Tiongkok Selatan
Anak-anak melakukan perjalanan untuk sebuah sekolah asrama melalui Himalaya, Zanskar, Himalaya India
Anak-anak sekolah melintasi Jembatan Gantung, Lebak, Indonesia
Anak terbang sejauh 800m pada kabel baja, 400m di atas Sungai Rio Negro, Kolombia
Murid gunakan perahu kano untuk pergi ke sekolah, Riau, Indonesia
Anak-anak sekolah melakukan perjalanan melalui jembatan akar di hutan, India
Menunggang kerbau menuju sekolah, Myanmar
Mengendarai Tuktuk (Bajaj) ke sekolah di Beldanga, India
Melintasi jembatan rusak dalam Salju untuk pergi ke sekolah di Dujiangyan, Provinsi Sichuan, Tiongkok
Anak-anak menaiaki atap kapal kayu di Pangururan, Indonesia
Gadis sekolah berjalan di atas papan di dinding dari abad ke-16,Galle Fort, Sri Lanka
Murid lakukan perjalanan dengan perahu di Kerala, India
Anak-anak sekolah naik delman Di Delhi, India
Siswa menyeberang sungai Ciherang dengan rakit di desa Cilangkap, Indonesia
Perjalanan 125 mil melalui pegunungan untuk sekolah asrama di Pili, Tiongkok
Murid sekolah seberangi sungai dengan bergelayut di tali, Padang, Sumatra, Indonesia
Siswa SD seberangi sungai dengan Ban di Provinsi Rizal, Filipina
Satgas Pamtas RI-Malaysia Pos Jagoi Babang, Kalbar mengaktifkan kembali perpustakaan yang sudah lama tidak digunakan.
Perpustakaan merupakan salah satu sarana belajar, khususnya bagi generasi muda. Sadar akan hal ini, Satgas Pamtas RI-Malaysia di Jagoi Babang (Satgas Yonif Linud 501/BY) menghidupkan kembali perpustakaan yang selama ini sudah tidak berfungsi. Mereka memperbaiki bangunan dan mengisi kembali perpustakaan itu dengan buku-buku bacaan yang bermanfaat bagi anak-anak usia sekolah.
Selain itu, mereka juga menemani anak-anak membaca sambil memberikan pengetahuan tambahan. Kegiatan ini tentu sangat bermanfaat, apalagi kalau perpustakaan itu diisi dengan buku-buku bacaan yang memberikan pengetahuan praktis kepada generasi muda, serta mengajak para generasi muda untuk menumbuhkan kembali akan cinta tanah air dan wawasan nusantara. Kegiatan ini rutin dilaksanakan setiap sore hari.
Tidak hanya kreatif dan produktif, konsep sekolah hijau di sekolah dasar perbatasan membuat masyarakat sekitar menjadi ikut bergerak. TIDAK mudah untuk menjangkau Sekolah Dasar Negeri (SDN) 07 Sasak, Desa Santaban, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, ini. Dari dermaga Kantor Kepala Desa Santaban, hanya ada satu sampan bermotor untuk menyeberangi sungai.
Jika memilih jalan darat, harus siap dengan rute lebih jauh dan jalan tanah setapak.
Maka untuk masuk sekolah tepat waktu, banyak murid memilih mendayung sampan sendiri. Tentunya, anak-anak itu tidak lepas dari risiko terseret jika arus sedang deras.
Namun, kondisi itu mulai berubah sejak 2011. Kepedulian masyarakat di desa yang dekat perbatasan Indonesia-Malaysia (Sarawak) itu soal pendidikan dan akses tumbuh.
Tidak hanya fasilitas sekolah, warga ikut bergotong royong soal transportasi.
“Kini desa telah menyiapkan sebuah sampan besar dengan mesin bermotor untuk anak sekolah dan tidak dipungut bayaran, kecuali dari imbalan sekolah setiap bulan,” jelas Kasianus Subuh, Sekretaris Desa Santaban, ketika ditemui di desa itu, Kamis (4/9).
Perubahan warga bukan tanpa sebab.
Namun, faktor pencetusnya bukanlah karena aturan atau kebijakan pejabat desa, melainkan dari ‘virus hijau’ yang dimulai di sekolah.
Pada 2011, SDN 07 Sasak termasuk dari tiga sekolah di kecamatan itu yang menerima penerapan konsep sekolah hijau. Dua sekolah lainnya ialah SDN 01 Aruk dan SDN 03 Sajingan.
Kasianus mengatakan, dengan perubahan di sekolah, para orangtua lebih antusias dengan pendidikan anaknya. Mereka pun tidak ingin anak-anak telat mengikuti pelajaran. Jelas saja para orangtua dan murid lebih bersemangat soal sekolah. Seperti Media Indonesia lihat, meski sederhana, sekolah unik dan tampak menyenangkan.
Di halaman sekolah, ada tiruan Menara Eiffel yang dikelilingi taman bunga kecil. Menara itu disusun dari bekas botol kemasan air mineral yang kemudian dicat warna-warni.
Di sudut lainnya ada kolam dengan rangkaian botol plastik berbentuk setengah lingkaran di atasnya. Kali ini, rangkaian botol yang kemudian menyambung dengan pagar dari potongan bambu dan bekas itu baru selesai dibuat malam sebelumnya.
Bahan-bahan yang berasal dari sampah anorganik ataupun organik mereka kumpulkan dari sekitar sekolah dan desa. Bila tidak ada, para orangtua ikut mencari, bahkan hingga ke pengepul barang bekas.
Kreasi dengan barang bekas tersebut merupakan salah satu wujud pembelajaran sekolah hijau. Tidak hanya untuk menum buhkan kepedulian soal sampah, karya daur ulang itu lalu menjadi sarana belajar.
Menara, misalnya, menjadi alat untuk mengenal bangunan, sedangkan kolam menjadi tempat anak-anak mengenal jenis-jenis ikan dan ekosistem sekitarnya. Dengan begitu, proses belajar pun tidak terbatas di dalam kelas. Seperti terlihat hari itu, kegiatan belajar jadi menyenangkan karena murid dapat sekaligus bermain.
“Tujuan bermain ini untuk membuat anak senang dan suasana belajar jadi lebih baik,” jelas salah satu guru SDN 07 Sasak, Yostina.
Di dalam kelas, suasana alami dan penuh kreasi juga terbawa. Di salah satu kelas, area tengahnya dihiasi dengan beberapa tanaman dalam pot yang kemudian dipagari dengan kaleng-kaleng bekas minuman.
Tiap kelas tampak punya kreasi masingmasing. Ada pula yang memiliki sudut yang dinamakan Museum Mini dan ada yang memiliki kolam untuk belajar ekosistem air.
Para murid berkontribusi untuk mengisi kolam dengan ikan, katak, bebatuan, tumbuhan air, dan ekosistem air lainnya.
Beragam sarana belajar itu terbukti manjur membuat sekolah jadi tempat favorit anak. “Dulu sekolahnya tidak ada hiasan dan banyak sampah jadi tidak semangat, suasana belajar juga kurang nyaman. Sekarang selalu semangat untuk datang lebih pagi karena belajarnya tidak hanya di dalam kelas. Kami menanti kejutan dari guru-guru,” ungkap Zesica Putera, siswa kelas 5.
Namun, kesuksesan itu bukan tujuan akhir dari sekolah hijau. Beragam pendidikan lingkungan, termasuk kreasi daur ulang, sesungguhnya dibuat untuk membentuk karakter unggul yang lebih luas.
Dari pintar berkreasi dan mengenal alam, anak-anak diharapkan menjadi manusia yang peduli lingkungan dan sesama. Soal kepedulian lingkungan itu memang sudah menjadi pekerjaan rumah bagi kabupaten yang mengalami tantangan degradasi lingkungan tersebut.
Kegiatan perkebunan dan pertambangan yang cukup luas telah mengancam kelangsungan hidup warga. Contohnya, sumber air penting Kabupaten Sambas, Danau Sebedang, dalam kondisi cukup memprihatinkan.
Di sisi lain, karakter peduli lingkungan juga dipercaya tidak akan lengkap tanpa kesantunan, kejujuran, dan kepedulian kepada sesama. Di sekolah, konsep itu diwujudkan dalam kedisiplinan berbaris sebelum masuk kelas, susunan kursi dan meja yang membuat murid bisa berdiskusi, hingga kejujuran saat mengisi sendiri daftar hadir.
Daftar hadir dibuat dari karton itu dilengkapi gambar jam sebagai penunjuk waktu kedatangan. Di sinilah anak-anak diuji untuk jujur soal waktu.
Di kesempatan lainnya, mereka juga diajak bertanggung jawab dengan komitmen yang sudah dibuat. Komitmen tersebut dihasilkan dengan kesepakatan tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh siswa lakukan di sekolah.
Maka, dengan cara sederhana dan menyenangkan, sekolah itu pun menjadi lentera perubahan warga. Tidak sekadar dekat dengan alam, mereka menjadi warga yang peduli pada lingkungan dan sesama.
Ini adalah cerita pada saat pertama kalinya aku ke SD Buyut, cerita antara aku dan salah satu muridku pada saat pertama aku masuk di SD. Akhirnya hari yang telah lama aku tunggu tiba. Tepatnya hari Rabu tanggal satu Pebruari 2006, pertama kalinya aku ikut menularkan sedikit ilmuku ntuk anak-anak SD 4 Ngadirojo. Dengan harapan bisa menjadi ilmu yang bermanfaat. Sejak hari pertama masuk di SD 4 Ngadirojo, banyak hal-hal yang menarik dan tidak akan pernah aku lupakan. Salah satu hal yang menarik dan sampai sekarang masih saya ingat adalah ketika secara tidak sengaja aku banyak belajar dari muridku. Bukan belajar ilmu umum tetapi aku belajar kesabaran dan ketabahan yang dimiliki muridku. Pagi itu, aku bangun pagi-pagi sekali karena hari itu hari pertama aku masuk di SD Buyut (karena letaknya di dusun Buyut, SD 4 Ngadirojo sering disebut SD Buyut). Sesampainya di SD Buyut aku melihat wajah-wajah polos menyambut kedatanganku. Aku sempat kaget ketika sampai di halaman sekolah, aku melihat sekolah yang terkesan tidak dirawat. Terlihat ruang kelas yang tidak tertata dengan rapi, banyak siswa yang tidak bersepatu dan masih banyak hal lainnya yang perlu dibenahi. Sempat terpikir olehku, bagaimana proses pembelajaran dapat berjalan efektif jika sekolahnya seperti ini. “Masuuk, masuuk” teriak anak-anak mengagetkanku. Ternyata teriakan murid-murid tersebut adalah bel tanda pelajaran akan dimulai. Maklumlah SD Buyut sangat kurang akan sarana dan prasarana sekolah, selain itu SD Buyut terletak di atas perbukitan. Untuk sampai di Buyut perlu usaha yang sangat keras karena jalan menuju kesana sangat sulit di lalui kendaraan. Hal itu membuat guru negeri yang ditempatkan disana tidak betah, sehingga disana masih sangat kekurangan tenaga pengajarnya. Saat itu hanya ada dua guru negeri yang bertugas disana, satu kepala sekolah dan satunya lagi guru olahraga. Hari pertama aku masuk kelas, ku gunakan untuk lebih mendekatkan diriku dengan anak-anak kelas tiga, karena saat itu aku ditugasi kepala sekolah untuk mengajar di kelas tiga. Satu persatu murid kelas tiga maju memperkenalkan dirinya dan keluarganya. Sampai akhirnya tiba giliran yang terakhir. Namanya Oky Adinda, dengan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa, dia mulai menyebutkan nama, hobi, serta cita-citanya. Ketika akan menyebutkan keluarganya dia diam, seperti ada sesuatu yang di pikirkan. “Kenapa diam, Ky?”tanyaku, “Ada apa, ayo sebutkan keluargamu,” tambahku. Tetapi dia tetap diam, hal ini membuatku kebingungan. “Pak, saya tidak tau bapak saya,” tiba-tiba dia mulai berbicara. “Kita semua pasti mempunyai bapak dan ibu, mereka yang telah merawat dan membesarkan kita, tapi kenapa kamu kok tidak tahu bapak kamu?” tanyaku. “Saya belum pernah melihat bapak saya”dia mulai mau bercerita. “Maaf ya, bapak kamu sudah meninggal ya?” aku terus mengajukan pertanyaan. “Belum, Pak! Tapi saya tidak tau dimana bapak saya sekarang” aku semakin bingung akan jawabannya. “Saya mempunyai empat saudara, saya anak ketiga. Dari keempat saudaraku bapaknya tidak ada yang sama. Ibu saya jarang pulang, sekarang aku ikut nenek saya. Kakak pertamaku ikut ibu dan kakakku yang kedua sekarang ikut orang di Jetis sedangkan adikku ikut pakdhe” cerita Oky membuatku terharu dan ingin rasanya aku menarik pertanyaanku tadi. “Nenek saya orang miskin, rumahnya gedhek dan setiap hari hanya makan nasi thiwul” lanjutnya. “Saya ingin bertemu bapak dan ibuku, saya ingin seperti teman-teman yang lain” tambahnya. “Oky, semua orang tua pasti sayang terhadap anaknya, hanya saja bapak dan ibumu belum sempat memberikanya padamu” hiburku. “Pak, Mbahku sering berkata ‘walaupun bapak dan ibumu tidak ada, kamu yang kuat dan sabar ya’, kata-kata mabahku itu yang membuat aku tidak sedih lagi, Pak” Memang ku akui, walaupun Oky anak yang tidak terlalu pandai tetapi dia anaknya sabar dan tabah. Ternyata di balik keluguan dan kepolosannya ada sesuatu hal yang orang lain atau bahkan diriku tidak memilikinya. Dari Oky Adinda aku banyak belajar, bahwa semua yang terjadi di bumi ini adalah kehendak-Nya, dan semua yang terjadi harus kita hadapi dengan ketabahan dan kesabaran. Itulah pengalaman yang tidak akan pernah aku lupakan. Sumber : elzhito.wordpress.com
Sasaran suatu pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan adalah potensi yang memungkinkan menjadi benih manusia. Ibarat biji mangga, bagaimanapun wujudnya jika di tanam dengan baik, pasti menjadi pohon mangga dan bukannya menjadi pohon jambu.
Hal diatas, merupakan pengantar yang saya berikan sebelum menuliskan artikel malam ini. pengantar diatas saya ambil dari buku “Pengantar Pendidikan” edisi revisi yang ditulis oleh prof.Dr. Umar Tirtarahardja dan Drs. S. L. La Sulo. Saya akan mulai artikel ini dengan sebuah cerita; (disimak sambil minum kopi akan tambah mantap).
Fauzan Ramon, biasa disapa dengan Fauz. Ia merupakan pria kecil asal salah satu kabupaten yang cukukp besar. Ia sekarang menduduki kelas 4 SD. Setiap harinya, Fauz membantu orang tuanya sebagai penjual sayur keliling di pagi hari hingga sore harinya. Ia melakukan aktivitas tersebut pada pukul tujuh hingga sepuluh pagi dan pukul setengah empat hingga setengah enam sore. Kegiatan tersebut sangat menyita waktunya hingga akhirnya sekolahnya terbengkalai begitu saja. “saya mau membantu mama” jawaban fauz ketika ditanya kenapa tidak sekolah. Dan ternyata orang tua fauz juga bersikeras agar ia menjual sayur dibandingkan pergi sekolah.
Lain lagi dengan dua orang bersaudara Abi dan Andra. Mereka layaknya dua orang yang kembar dimana ia selalu memakai baju yang setiap harinya hampir sama. Kedua orang ini telah duduk di bangku sekolah menengah pertama tepatnya kelas 1. Berawal dari profesi ayahnya yaitu tukang batu, mereka akhirnya lebih memilih ikut bersama ayahnya untuk membantunya agar bisa menghasilkan uang. Alhasil pendidikannyapun terbengkalai begitu saja. “ga’ papa, lebih baik jika mereka pergi agar bisa mendapatkan uang” kata ibunya ketika ditanya kenapa membiarkan anaknya pergi kerja.
Dari kedua cerita diatas, dapat dilihat jika hal inilah yang menjadi pemicu lahirnya pandangan jika mencari uang lebih baik dibandingkan duduk untuk mendapat pengetahuan disekolah yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pandangan orang tua inilah yang perlu mendapatkan gubris dari pemerintah karena percuma diadakan sekolah gratis jika pandangan seperti ini masih terus dipertahankan oleh para orang tua murid yang belum sadar akan pentingnya suatu pendidikan.
Sungguh sangat mulia dengan apa yang dilakukan para anak di kedua cerita diatas yang masih sejak dini sudah ingin membantu ekonomi keluarganya. Tapi, perlu juga diingat jika pendidikan sangat berpengaruh dengan masa depan yang akan ditempuh anak-anak ini kelak. Jadi, tinggal bagaimana peran pemerintah agar masalah ini bisa kelar dan yang lebih penting bagaimana peran orang tua dalam memandang pendidikan usia dini bagi anaknya sendiri, baik itu memberikan dorongan hingga motivasi agar anaknya bisa hidup sejahtera dimasa yang akan datang.