Senin, 08 Juni 2015

Serba Terbatas di Perbatasan


Ini bukan liputan, pun bukan perjalanan gw.
Tapi pas baca tulisan ini, gw langsung minta izin ke reporter liputan, Faizah Zuhdi, untuk memuat di blog gw. Dan ternyata boleh! Senang!! So, here is the story . . .

Sekilas Serba terbatas di perbatasan
Judul tayangan tersebut adalah representasi keseluruhan cerita berdurasi 8 menit. Kami awali cerita dengan kenyataan bagaimana susahnya menembus Dusun Badat Lama. Dari Entikong, kami menyusuri Sungai Kapuas selama hampir sepuluh jam dengan perahu motor. Meski air tenang, puluhan riam atau batuan tajam dan besar yang berada di tengah tengah sungai menjadi rintangan terbesar. Akibatnya, berulang kali awak perahu beserta barang harus diturunkan. Padahal biaya untuk mengarungi jalur maut ini sekitar 1.5 juta rupiah. Dan ini satu satunya moda transportasi yang diandalkan masyarakat perbatasan. Tak heran, banyak masyarakat justru tak mengenal ibukota provinsinya.

Sulitnya jangkauan transportasi ini kami padu dengan gambaran realita susahnya anak anak Dusun Badat untuk bersekolah. Di Dusun Badat Lama yang berpenduduk sekitar 300 jiwa itu tak ada sekolah untuk anak anak usia SD. Mereka rela berjalan menuju sekolah di Dusun Badat Baru selama 1,5 jam. Namun kami yang mencoba mengikuti perjalanan anak anak ini harus menempuh waktu lebih lama, hampir 4 jam. WOW!

Kondisi sekolahpun minim fasilitas, hanya ada tiga kelas. Alhasil, satu kelas dengan satu guru harus menampung siswa beda tingkatan. Seperti misalnya, kelas satu yang digabung dengan kelas 2. Bangku sekolah ala kadarnya, papan tulis berlubang, bendera usang, tali pengerek bendera rantas, anak anak berseragam kumuh dan tanpa alas kaki. Jujur kondisi ini membuat dada kami sesak dan butiran air mata hanya tertahan di pelupuk mata. 

Keterbatasan ini tak menyurutkan semangat belajar adik adik kami. Anak anak yang kami jumpai cerdas dan memiliki bakat luar biasa. Phroni jago matematika, Immanuel  jago gitar dan menyanyi, Meme siswi yang jago sepat takraw dan puluhan anak berbakat lainnya. Sayang, kondisi belum berpihak pada mereka sekarang. 

Kondisi ini berbanding terbalik dengan sekolah perbatasan di Desa Sapit, negara bagian Sarawak, Malaysia. Disana, baik sekolah SD, SMP terfasilitasi dengan baik. Gedung sekolah dan asrama bagi murid berdiri megah. Ruang kelas amat memadai, antena parabola dan dapur yang apik siap memenuhi kebutuhan siswa. 

Ironi inilah  yang kami angkat. Harapan kami, semua mata terutama pemerintah sadar dan segera bertindak dengan kondisi pahit masyarakat perbatasan. Iming iming enaknya tinggal di negeri sebrang datang setiap saat. Jika pemerintah tak pernah peduli untuk memberi konsekuensi pada rakyatnya, yang tetap berjiwa nasionalis, apalah arti kemerdekaan yang  tiap tahun dirayakan?

Cerita Seru di Perbatasan

"Cinta satu malam oh indahnya... Cinta satu malambuatku melayang... Cinta satu malam akan selalu kukenangm selama lamanya..."

Lirik lagu disco remix di atas menjadi lagu yang tak pernah kami lupakan. Semalam suntuk kamimenyanyikan lagu tersebut dalam pesta penyambutan sekaligus perpisahan kami dengan warga Badat Lama.
Pada malam terakhir, Kepala Dusun mengumpulkan warganya di balai. Malam itu sangat membekas, kami dijamu seperti ratu dan raja. Segala makanan khas Badat disajikan. Tua muda hingga bayipun rela merasakan dingin yang menembus tulang hingga dini hari. Malam itu, Badat yang berada di ketinggian 3000 kaki menjadi hangat dengan aksi joged dan nyanyian warga.

Saat pulang, ada tanggung jawab besar pada pundak kami. Tak sedikit warga menitipkan harapan niscaya hasil kerja kami bisa mengubah nasib mereka di perbatasan, seperti Phroni yang ingin menjadi dokter agar bisa mengobati ibunya yang seorang buruh kayu hutan jika sakit. 

Ingin sekali kami suatu saat kembali ke Badat. Kedekatan antara kami dan warga perbatasan hingga kini masih terjalin, mulai dari Kepala Desa, guru, dan adik adik siswa sekolah hingga warga yang kami lewati. Dari mereka inilah kami belajar semangat untuk bertahan hidup, tak pernah putus bermimpi, berjuang keras tanpa mengeluh dan mensyukuri segala nikmatNya.

Salam doa dan cinta kami untuk warga perbatasan.  

PS :
  • Desa Badat Lama berada di perbatasan Kalimantan - Malaysia. 
  • Liputan "Serba Terbatas di Perbatasan" memenangkan anugerah Adinegoro, penghargaan tertinggi karya jurnalistik di Indonesia yang diberikan tiap tahun oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Tidak ada komentar: