Minggu, 07 Juni 2015

Cerita Anak-Anak bangsa di Garda terdepan negeri bernama Indonesia




Anak bangsa di Garda terdepan negeri bernama Indonesia

Ini adalah cerita tentang mereka,
tentang matahari-matahari kecil yang akan terus menembus langit Tanah Borneo,

tentang realita kehidupan anak-anak penembus batas di Pulau Seribu Sungai.

Inilah tanah perbatasan dengan segala keterbatasannya dan dengan segala kesederhanaannya.
Seiring sinar mentari menghapus tetes embun pagi, 
mereka menantang arus Sungai demi masa depan yang lebih baik.

Kebersamaan dan keteguhan hati memberi keberanian dalam hati mereka,
 keberanian untuk menatap masa depan.

Mereka memahami hidup hanya sebatas warna abu-abu..
 karena mereka tak mengerti warna pelangi kehidupan.

Namun tanpa mereka sadari, 
semangat dan keriangan mereka menyambut hari esok 
adalah pelangi yang tak tampak oleh mata.

Keterbatasan tak menjadi alasan untuk menghentikan “MIMPI”.

Seorang anak berseragam merah-putih berjalan dengan teman-temannya
 menuju sekolah mereka yang sederhana.

Yang demikian itu telah menjadi keseharian mereka,
 menyeberangi Sungai tanpa pantauan dari orang tua.

Kehidupan masyarakat yang bergantung pada sungai 
telah menjadikan anak-anak terbiasa dengan perjalanan sungai.

Sungai seolah telah menjadi sahabat hidup mereka.
Sepatu sekolah di genggaman tangan mereka: 
berusaha dihindarkan dari tamparan riak air sungai yang terus melambai seiring perahu melaju.

Sampai di dermaga, barulah mereka meminggirkan dan mengikatkan tali perahu ke tiang dermaga, lalu mamakai sepatu sebelum akhirnya berjalan menuju sekolah.
Naik perahu ke sekolah dan air sungai telah menjadi saksi langkah-langkah kecil mereka.

Jumlah mereka tak banyak.
Fasilitas sekolah dan tenaga pengajar pun masih sangat terbatas.

Inilah gambaran realita pendidikan di tanah perbatasan Indonesia.




Hidup bagi mereka hanyalah sesederhana itu.
Di balik pandangan masyarakat luar yang melihat daerah perbatasan
 selalu memiliki keterbatasan dalam banyak hal, 
anak-anak itu tak pernah merasa hidup dalam keterbatasan.

Ya, sesederhana itulah hidup bagi mereka,
 menerima realita apa adanya:

bercengkerama dan tertawa riang di bawah terik matahari khatulistiwa.
Alam mengajari mereka untuk saling berbagi dan tolong-menolong.

Melalui berbagi, 
mereka memahami hidup dengan kesederhanaan hati.

Dengan tolong-menolong,
 mereka mampu mengatasi masalah yang timbul dalam perjalan
 berangkat maupun pulang sekolah.

Hanya dengan saling membantu, 
mereka dapat menyelesaikan masalah tersebut.

Mereka memang hidup di tanah perbatasan, 
namun bukan sebagai yang terbelakang.

Mereka hidup di perbatasan 
sebagai anak-anak “Garda Terdepan Bangsa”.
Merah-Putih masih berkibar kokoh menantang langit Kalimantan,
 melambai-lambai terkena angin,
 mengabarkan pada dunia bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia.

Tidak ada komentar: