Senin, 08 Juni 2015

Realita Miris dari Dusun Terluar Indonesia


Orang-orang biasa dan jauh dari perkotann serta jarang terpikirkan oleh siapapun, terkadang memiliki cerita bermakna di balik kehidupannya. Sebuah kisah yang miris dari sebuah daerah yang terpencil akan mengungkap realita yang telah lama ada dan akan dijelaskan kembali lewat sebuah film dokumenter berdurasi 60 menit berjudul Cerita dari Tapal Batas.
Dusun Badat Baru, sebuah daerah yang sangat terpencil rapi masih masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tepatnya di pedalaman Entikong, Kalimantan Barat merupakan dusun terluar dan terjauh dari perbatasan Indonesia-Malaysia. Tinggalah seorang guru bernama Martini yang mengabdikan dirinya untuk memfasilitasi pendidikan bagi anak-anak dusun tersebut. Selain menjadi guru, ia juga merangkap sebagai staff administrasi, kepala sekolah, dan pesuruh sekaligus. Hari-harinya ia lalui dengan gaji yang tidak seberapa, bahkan 80% habis untuk biaya transportasi air karena daerah yang sangat sulit terjangkau.
“Saya ingin pendidikan di daerah ini juga maju seperti daerah lain. Sayang sekali, materi kadang tidak tercapai dan sampai ke anak dengan baik karena saya menangani 6 kelas langsung dan mengajar bergantian pada waktu yang sama,” tandasnya dalam film tersebut.
Nara sumber lain yang juga mengabdikan diri di wilayah tersebut adalah seorang mantri kesehatan bernama Kusnadi. Ia rela naikturun gunung dan keluar masuk desa demi melayani masyarakat di cakupan wilayah kecamatan Entikong. Seluruh penduduk di sana mempercayakan perawatan kesehatan kepada Kusnadi seorang.
Realita lain juga ditunjukkan oleh seorang perempuan muda bernama Ella. Karena permasalahan ekonomi keluarga dan demi kelangsungan hidup yang memadai, ia menjadi korban human trafficking di daerah Singkawang.
Melalui film dokumenter yang diputar di Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Pusat Komputer (Puskom) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rabu (8/6), penonton diajak untuk menyaksikan sebuah optimisme yang besar dari mereka akan negeri tercinta, Indonesia. Sebuah pertahanan yang kuat dari rakyat perbatasan pun tampak dari bendera merah putih yang terus berkibar selama 24 jam setiap hari di SDN 1 Badat Baru.
Produser, Ichwan Persada, bersama Jajang C. Noer, Piet Pagau, dan Marcell Domits yang juga memainkan tokoh dalam film serupa versi fiksi berjudul Batas, ingin menyampaikan berbagai pesan dari sebuah kenyataan yang terjadi di pinggiran Indonesia. “Orang-orang seperti mereka patut dihargai. Tidak banyak yang bisa bertahan di Indonesia seperti mereka dan memilih untuk numpang di Malaysia. Siapapun harus peduli untuk menjaga anak bangsa di perbatasan agar jangan sampai hilang satu persatu yang mengakibatkan wilayah Indonesia juga akan direbut,” seru Piet Pagau, aktor senior asli Dayak itu.
Meskipun daerah yag mereka tinggali masih termasuk NKRI, sangat banyak penduduknya yang tidak mengenal Indonesia sama sekali. Bahkan mata uang yang mereka gunakan adalah Ringgit, bukan Rupiah. Jangankan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia, berbahasa Indonesia saja mereka mengaku kesulitan. Sehari-hari, kebanyakan dari mereka hanya mengenal bahasa Dayak Bedayuh.
Jajang C. Noer juga mengungkapkan kekagumannya dengan kondisi di beberapa tempat di mana ia melakukan syuting untuk film Batas. “Kebanyakan anak pelosok hanya bersekolah hingga kelas 3 SD, selebihnya mereka hanya mengenal pekerjaan untuk membantu orang tuanya. Istimewanya, mereka tetap bisa bertahan dengan segala kekurangan dengan tidak tertarik iming-iming negara lain yang memang memberikan fasilitas lebih memadai daridapa Indonesia,” ujarnya.
Tergambar dalam film tersebut, banyak tempat yang menjual Ringgit. Hal inilah yang membuat penduduk Indonesia lebih memilih tawaran yang lebih menguntungkan dari negara lain. Piet Pagau menambahkan, selain mereka mendapatkan kehidupan yang lebih memadai, Indonesia pun tidak bisa membuat pembatas negara dengan jelas seperti misalnya sebuah tembok besar. “Namun apabila tembok sudah mampu dibuat dan batasan menjadi jelas, mampukan negara ini memfasilitasi mereka dengan kesejahteraan dan kehidupan yang layak?” tutupnya.

Tidak ada komentar: