Selasa, 09 Juni 2015

Prof. Yohanes Surya PhD – Carikan Saya Anak Yang Paling Bodoh


     
       www.maxmanroe.com
Image dari YohanesSurya.com
Prof. Yohanes Surya. PhD, Sang Super Guru
Carikan saya anak yang paling bodoh dari Papua, akan saya latih
Anak kelas 2 SD dari Papua yang sudah tinggal kelas 4 kali, jadi Juara matematika tingkat nasional, dan juara membuat robot!
Prof. Yohanes Surya PhD. yang lahir di Jakarta 6 Nopember 1963 ini, tidak asing lagi bagi telinga kita karena telah melahirkan segudang prestasi ditingkat internasional. Profesor lulusan College of William and Mary, Jurusan Fisika dari USA, dibawah bimbingan beliau, pelajar dari Indonesia telah mmapu berbicara di tingkat dunia. 54 medali emas, 33 medali perak dan 43 medali perunggu telah diraih pelajar indonesia di dalam berbagai lomba olimpiade tingkat internasional. Bahkan pada tahun 2006, Pelajar Indonesia menjadi juara dunia, mengalahkan 86 negara.
Hari ini beliau banyak berbincang dengan anggota PPI Kyoto, di Universitas Kyoto, Jepang. Beliau bercerita rahasia resepnya untuk menjadi seorang pengajar yang luar biasa. Mengapa luar biasa? Tentu saja karena sudah membuat pelajar Indonesia menjadi Juara Dunia di bidang Fisika.
Tetapi yang menarik buat saya adalah, beliau mengatakan bahwa orang Indonesia itu cerdas, jika diberi kesempatan dan dilatih dengan baik. Beliau mengatakan, ”tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang tidak mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang benar.” Untuk membuktikan pendapatnya ini, maka beliau pergi ke Papua untuk mencari murid yang paling bodoh, yang paling sering tinggal kelas, yang tidak bisa menjumlahkan, pokoknya yang bodohnya tak ketulunganlah kata orang Jakarta.
Mereka dibawa ke Jakarta, dalam tempo 6 bulan anak anak itu sudah menguasai pelajaran kelas 1 sampai kelas 6 SD. Ada satu orang anak yang sudah 4 tahun tinggal kelas di kelas 2 SD, dilatih kemudian menjadi juara nasional untuk olimpiade matematika, dan juga menjadi juara lomba membuat robot tingkat nasional. Banyak dari antara anak-anak papua yang paling bodoh itu, yang kampungnya paling terpencil, dimana semua orang masih pakai koteka, setelah di latih oleh guru yang baik dan metode yang benar, setelah diberi kesempatan, maka pada tahun 2011, anak-anak itu menjadi juara Olimpiade Sains dan Matematika Asia. Mereka merebut medali emas, perak dan perunggu.
Masih sungguh banyak prestasi yang dicapai Sang Guru ini, yang tak mungkin saya ceritakan dalam tulisan singkat ini. Tetapi cukuplah mewakili bahwa dengan memberi kesempatan bagi anak-anak dari desa terpencil di Indonesia, mereka bisa menjadi Juara Dunia.
Prof. Yohanes Surya PhD, setelah menyelesaikan studinya di USA, beliau sempat kerja di sana dan ditawari berbagai hal menarik supaya tetap di Amerika. Tetapi beliau memilih untuk pulang ke Indonesia untuk berbuat sesuatu untuk negeri-nya. Beliau punya mimpi, 15 tahun ke depan untuk mendidik anak-anak Indonesia yang paling tertinggal di berbagai daerah, sehingga mereka menjadi Doktor (PhD), 30000 doktor, yang disebar di seluruh pelosok negeri. Jika ini terwujud, maka Indonesia akan bisa berbicara di Tingkat Internasional, bahkan kita akan bisa bertanding dengan negara maju seperti Amerika.
Jika anak-anak Papua bisa menjadi juara olimpeade fisika, juara olimpiade matematika, Juara membuat robot, maka semua anak-anak Indonesia yang dianggap paling bodoh sekalipun di seluruh nusantara, jika diberi kesempatan dan dibimbing dengan metode yang benar, maka sangat mungkin menciptakan 30000 doktor yang tersebar diseluruh Indonesia. Dan ketika itu terjadi maka kemajuan negeri kita akan sama dengan Amerika, bahkan seperti pelajar Indonesia yang juara Olipiade Fisika, maka kita bisa jadi juara dunia, semua mungkin jika kita berusaha. Mestakung, kata beliau, semesta akan mendukung jika kita berusaha.
Apa rahasianya menjadi guru yang baik? Guru yang baik adalah guru yang bisa menginspirasi para muridnya, guru yang baik adalah guru yang bisa mengajarkan muridnya dengan mudah, ceria, dan senang. Metode yang diyakininya ini ternyata telah berhasil dengan luar biasa. Selain menjadi Juara Dunia di bidang Fisika dan Matematika, sudah banyak anak didiknya menjadi ilmuwan dan PhD terkemuka di dunia. Satu lagi, kita sudah menjadi lawan yang tangguh di bidang matematika dan fisika. Seumpamanya ini adalah pertandingan sepak bola, maka kita adalah Brazil atau Jerman. Tim yang sudah diakui dan ditakuti lawan sedunia.
sumber : 

Senin, 08 Juni 2015

Pendidikan tanpa Jalan Pulang




KAWAN saya dulu seorang genius dan brilian. Masa kuliahnya singkat. Lulus dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) sangat memuaskan. Lahir dan besar di pesisir pantai utara Garut. Beruntung dia telah bekerja menjadi seorang guru di salah satu yayasan pendidikan yang cukup terkenal. Di kota hidupnya sejahtera. Kadang kala, untuk sekadar bernostalgia dan melepas kepenatan, ia pulang ke kampung halamannya. Selebihnya ia hidup dan beraktivitas di kota. Cap sebagai kaum urban telah melekat kuat.

Tentunya kisah kawan saya yang satu itu, hanyalah salah satu dari sekian ribu kisah lainnya yang serupa. Ke depan dipastikan, orang-orang semacam kawan saya itu akan terus bertambah. Kota akan kebanjiran kaum intelektual, dan di desa paceklik. Ketimpangan adalah sebuah kepastian. Sistem pendidikan bertanggung jawab atas hal ini.

Sejatinya, pendidikan adalah alat dan sistem yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan.

Oleh sebab itu, pendidikan akan bergantung kepada siapa yang menggunakan alat tersebut. Seperti apa dia memandang pendidikan menjadi faktor determinan mengenai peran dan fungsi pendidikan. Pendeknya, paradigma pendidikan seperti apa yang dianut akan berpengaruh terhadap hasil dari tujuan yang diinginkan.

Mengenai paradigma pendidikan, Roem Toepati Masang, tokoh pendidikan kritis membaginya dalam tiga bagian besar, pertama, paradigma pendidikan konservatif. Kedua, paradigma pendidikan liberal. Ketiga, paradigma pendidikan kritis.

Paradigma pendidikan konservatif memandang bahwa individu tidak mempunyai daya. Semua hal telah diatur oleh tuhan. Pendidikan dipandang sebagi sebuah usaha pelengkap saja. Kesejahteraan, kekayaan bisa dicapai secara bergiliran. Paradigma pendidikan seperti ini banyak digunakan oleh kalangan gereja dahulu. Kontradiksi menjadi hal yang paling tidak di inginkan. Harmoni menjadi tujun utama.

Paradigma pendidikan liberal mengakui bahwa masyarakat mempunyai banyak masalah. Tapi kesemua masalah yang muncul di masyarakat sama sekali tidak behubungan dengan pendidikan. Pendidikan mempunyai masalahnya sendiri. Bagi kaum liberal, masalah pendidikan bisa diselesaikan secara terpisah dengan masalah-masalah ekonomi, politik dan sosial.

Oleh sebab itu, memaksimalkan sistem yang ada untuk mencapai tujuan merupakan jalan yang ditempuh. Dengan kata lain, paradigma pendidikan ini cenderung sejalan dengan sistem yang ada. Perbaikan secara kosmetis serta reformatif menjadi ciri utamanya. Paradigma pendidikan kritis bertolak belakang dengan kedua paradigma yang disebutkan di awal. Masalah yang terjadi di sektor pendidikan tidak bisa lepas dari masalah di sektor ekonomi, politik dan sosial.

Oleh sebab itu, pendidikan bertugas memperbaiki sistem yang terbukti tidak menguntungkan masyarakat. Menciptakan ruang-ruang penyadaran secara kritis menjadi hal penting bagi penganut paradigma ini.

Jika paradigma pendidikan liberal cenderung sejalan dengan sistem yang sedang berlaku, paradigma pendidikan kritis bertolak belakang.

Dekonstrukionisme Menjadi Cirinya.

Menilik pada praktek, aroma pendidikan liberal melekat pada di lingkungan pendidikan dasar dan menengah. Perbaikan pendidikan dengan modernisasi fasilitas seperti penambahan unit komputer, unit sekolah, jaringan internet, memperbaiki rasio antara guru, murid dan fasilitas, serta yang terakhir adalah peningkatan profesionalisme pendidik merupakan contoh nyata. Perubahan kurikulum terjadi dengan cepat.

Di lingkungan pendidikan tinggi, aroma liberal tidak terlalu kentara. Praktek liberal di pendidikan tinggi lebih terlihat pada kebebasan perguruan tinggi untuk membuat desain kurikulum secara mandiri.

Selain itu, aroma liberal lainnya adalah pada acuan normatif serta referensi ilmiah perguruan tinggi kita yang mayoritas masih menginduk pada referensi kultur ilmiah negara-negara barat yang notabene memang merupakan induk paham liberal.

Referensi ilmiah yang dimaksud berupa standar-standar keberhasilan pendidikan, karya-karya ilmiah, buku-buku, serta penelitian-peneletian ilmiah. Referensi ilmiah dari negara-negara barat menjadi referensi utama dibandingkan referensi dari negeri sendiri.

Alhasil, pendidikan kita telah banyak menghasilkan sarjana-sarjana berwatak liberal. Tidak sedikit lulusan mempunyai prestasi gemilang yang dibuktikan dengan prestasi kuantitatif yang memukau. Setelah keluar dari lembaga pendidikan, bagi mereka yang mempunyai prestasi kuantitaif gemilang serta mempunyai nasib baik banyak mengisi lowongan-lowongan pekerjaan yang sudah disediakan oleh perusahaan-perusahaan asing yang ada di dalam negeri, atau bahkan yang berada di luar negeri.

Bagi yang tidak beruntung, menjadi pengangguran atau rela dibayar sedaanya merupakan nasib yang harus diterima. Dalam konteks seperti ini, kawan saya yang disebutkan di awal merupakan salah satu lulusan yang berhasil dan mempunyai nasib baik.

Bagi yang beruntung, mobilitas vertikal telah terjadi. Keberhasilan dan kesejahteraan tidak terbantahkan lagi. Ia akan terlena dengan limpahan materi yang telah didapatkan. Bagi yang gagal, frustrasi, dan kegelisahan sosial adalah hal yang selalu menghantui. Jikalau kawan saya merupakan bagian dari yang gagal ini, niscaya dia akan di hadapkan pada dua dilema.

Pertama, dia akan segan untuk kembali ke kampung halaman karena belum mendapatkan pekerjaan. Kedua, jika dia berada terus di kota, tentunya hal ini akan semakin menambah beban hidup orang tua yang sudah sabar membiayai pendidikannya. Hal ini akan bertambah dilematis ketika memang di kampung tidak tersedia lapangan kerja yang tidak sesuai dengan kompetensi yang dia miliki. Akhirnya ia terjebak pada kebingungan untuk melangkah.

Paradigma pendidikan liberal telah menghasilkan generasi pasif yang "lupa" pulang. Sementara di lain pihak negara kita telah berada dalam keterpurukan yang amat sangat. Kerusakan sumber daya alam yang sedemikian parah, banjir, longsor, pembalakan hutan, penambangan minyak, penambangan emas. Semua telah terjadi dalam jangka waktu lama. Berbarengan dengan itu semua, angka kemiskinan masih tinggi, desa-desa masih menjadi wilayah yang konsentrasi kemiskinannya tinggi. Dan parahnya lagi, angka pengangguran intelektual juga tinggi.

Jika paradigma pendidikan liberal masih dirasa relevan, niscaya kita tinggal menunggu meledaknya bom waktu yang dihasilkan oleh sistem pendidikan yang di jalani. Sejujurnya, saya tidak lagi merasa relevan dengan paradigma pendidikan liberal.

Aang Kusmawan, Staf Penelitian dan Pengembangan Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI Bandung.

Sumber: Lampung Post

keadaan-wilayah-dan-penduduk-di-perbatasan-kalimantan

btaaas        Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan (archipellagic state) dengan 17.508 pulau. Indonesia berbatasan dengan banyak negara tetangga, baik di darat maupun laut. Indonesia berbatasan langsung di daratan dengan tiga negara yaitu Malaysia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur dengan Serawak dan Sabah), propinsi Papua dengan Papua New Guinea dan Nusa Tenggara Timur dengan Timor Lorosae. Di wilayah laut, berbatasan dengan sepuluh negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Lorosae. Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan internasional. Dalam konstitusi suatu negara sering dicantumkan pula penentuan batas wilayah.
Di Kalimantan Barat yang langsung berbatasan dengan  Serawak Malaysia Timur membentang sepanjang 966 kilometer, mempunyai luas sekitar 2,1 juta hektar  atau hampir seluas Provinsi Nusa Tenggara Barat atau Provinsi Sulawesi Utara. Secara administratif meliputi 5 wilayah Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu dengan 15 Kecamatan dan 98 Desa. Kondisi geografis dan Topografi wilayah perbatasan Kalimantan Barat yang masih terisolir, karena keterbatasan prasarana jalan, transportasi darat, sungai serta fasilitas publik lainnya. Kondisi ini berdampak pada kondisi kesejahteraan sosial, ekonomi, pendidikan dan skill masyarakat daerah perbatasan yang masih tertinggal dibanding dengan masyarakat daerah Serawak.
Penduduk Kalimantan Barat dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi cenderung ke Serawak, karena akses yang mudah serta ketersediaannya fasilitas yang lebih baik. Kawasan perbatasan terdapat sekitar 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalimantan Barat dengan 32 kampung di Serawak,  lebih 60% penduduk masyarakat Puring Kencana juga memiliki KTP Malaysia dan termasuk Surat Peranak (Akte Kelahiran), hal ini dikarenakan mereka lebih senang mendapatkan akte kelahiran dari Pemerintah Malaysia. Di bidang pendidikan, usia anak-anak yang bersekolah, lebih memilih sekolah di Malaysia dengan perbandingan dalam tahun ajaran 2008 hanya 13 anak yang masuk SD di Puring Kencana, sedangkan 83 anak lainnya memilih sekolah di Malaysia. Alat ukur (mata uang) yang digunakan lebih dominan ringgit dari pada rupiah.
Realitas yang memprihatinkan ini disebabkan kondisi daerah yang pembangunannya terbelakang dan terisolir (indikator daerah tertinggal dan aksebilitas rendah). Penduduk dalam melakukan aktifitas sosial ekonomi cenderung ke Serawak, hal ini karena akses yang mudah serta ketersediaan fasilitas yang lebih baik (menjadi hinterland Serawak). Ketergantungan perekonomian masyarakat perbatasan hampir semua barang dan jasa, tempat menjual hasil bumi masyarakat di wilayah Malaysia.
Kesenjangan kehidupan yang tejadi di daerah perbatasan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh ketimpangan infrastruktur dan fasilitas umum yang disediakan oleh pemerintah RI, contohnya seperti harga kebutuhan pokok yang sangat mahal, masyarakat lebih memilih masuk ke wilayah Malaysia untuk memenuhi kebutuhannya, bisa kita bayangkan harga semen 1 juta rupiah per sak, bensin 25 ribu rupiah per liter, sementara di negara tetangga, lebih murah, di Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, warga bergantung pada pasokan listrik dari Malaysia. Jalan aspal di kawasan itu juga dibangun kontraktor Malaysia. Karena ketimpangan inilah masyarakat  di perbatasan Kalimantan rela menyerahkan wilayahnya masuk ke negara tetangga. Mereka telah memindahkan patok-patok perbatasan ke wilayah negara tetangga, dan ini juga yang menjadi motivasi bagi masyarakat di perbatasan untuk  berganti status kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia. Yang lebih ironis lagi masyarakat di perbatasan Kalimantan tidak mengenali presiden mereka sendiri, mereka lebih kenal dengan PM mentri Malaysia.
Sumber : www.mahasiswaub1ftp1.com

Realita Miris dari Dusun Terluar Indonesia


Orang-orang biasa dan jauh dari perkotann serta jarang terpikirkan oleh siapapun, terkadang memiliki cerita bermakna di balik kehidupannya. Sebuah kisah yang miris dari sebuah daerah yang terpencil akan mengungkap realita yang telah lama ada dan akan dijelaskan kembali lewat sebuah film dokumenter berdurasi 60 menit berjudul Cerita dari Tapal Batas.
Dusun Badat Baru, sebuah daerah yang sangat terpencil rapi masih masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tepatnya di pedalaman Entikong, Kalimantan Barat merupakan dusun terluar dan terjauh dari perbatasan Indonesia-Malaysia. Tinggalah seorang guru bernama Martini yang mengabdikan dirinya untuk memfasilitasi pendidikan bagi anak-anak dusun tersebut. Selain menjadi guru, ia juga merangkap sebagai staff administrasi, kepala sekolah, dan pesuruh sekaligus. Hari-harinya ia lalui dengan gaji yang tidak seberapa, bahkan 80% habis untuk biaya transportasi air karena daerah yang sangat sulit terjangkau.
“Saya ingin pendidikan di daerah ini juga maju seperti daerah lain. Sayang sekali, materi kadang tidak tercapai dan sampai ke anak dengan baik karena saya menangani 6 kelas langsung dan mengajar bergantian pada waktu yang sama,” tandasnya dalam film tersebut.
Nara sumber lain yang juga mengabdikan diri di wilayah tersebut adalah seorang mantri kesehatan bernama Kusnadi. Ia rela naikturun gunung dan keluar masuk desa demi melayani masyarakat di cakupan wilayah kecamatan Entikong. Seluruh penduduk di sana mempercayakan perawatan kesehatan kepada Kusnadi seorang.
Realita lain juga ditunjukkan oleh seorang perempuan muda bernama Ella. Karena permasalahan ekonomi keluarga dan demi kelangsungan hidup yang memadai, ia menjadi korban human trafficking di daerah Singkawang.
Melalui film dokumenter yang diputar di Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Pusat Komputer (Puskom) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rabu (8/6), penonton diajak untuk menyaksikan sebuah optimisme yang besar dari mereka akan negeri tercinta, Indonesia. Sebuah pertahanan yang kuat dari rakyat perbatasan pun tampak dari bendera merah putih yang terus berkibar selama 24 jam setiap hari di SDN 1 Badat Baru.
Produser, Ichwan Persada, bersama Jajang C. Noer, Piet Pagau, dan Marcell Domits yang juga memainkan tokoh dalam film serupa versi fiksi berjudul Batas, ingin menyampaikan berbagai pesan dari sebuah kenyataan yang terjadi di pinggiran Indonesia. “Orang-orang seperti mereka patut dihargai. Tidak banyak yang bisa bertahan di Indonesia seperti mereka dan memilih untuk numpang di Malaysia. Siapapun harus peduli untuk menjaga anak bangsa di perbatasan agar jangan sampai hilang satu persatu yang mengakibatkan wilayah Indonesia juga akan direbut,” seru Piet Pagau, aktor senior asli Dayak itu.
Meskipun daerah yag mereka tinggali masih termasuk NKRI, sangat banyak penduduknya yang tidak mengenal Indonesia sama sekali. Bahkan mata uang yang mereka gunakan adalah Ringgit, bukan Rupiah. Jangankan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia, berbahasa Indonesia saja mereka mengaku kesulitan. Sehari-hari, kebanyakan dari mereka hanya mengenal bahasa Dayak Bedayuh.
Jajang C. Noer juga mengungkapkan kekagumannya dengan kondisi di beberapa tempat di mana ia melakukan syuting untuk film Batas. “Kebanyakan anak pelosok hanya bersekolah hingga kelas 3 SD, selebihnya mereka hanya mengenal pekerjaan untuk membantu orang tuanya. Istimewanya, mereka tetap bisa bertahan dengan segala kekurangan dengan tidak tertarik iming-iming negara lain yang memang memberikan fasilitas lebih memadai daridapa Indonesia,” ujarnya.
Tergambar dalam film tersebut, banyak tempat yang menjual Ringgit. Hal inilah yang membuat penduduk Indonesia lebih memilih tawaran yang lebih menguntungkan dari negara lain. Piet Pagau menambahkan, selain mereka mendapatkan kehidupan yang lebih memadai, Indonesia pun tidak bisa membuat pembatas negara dengan jelas seperti misalnya sebuah tembok besar. “Namun apabila tembok sudah mampu dibuat dan batasan menjadi jelas, mampukan negara ini memfasilitasi mereka dengan kesejahteraan dan kehidupan yang layak?” tutupnya.

Serba Terbatas di Perbatasan


Ini bukan liputan, pun bukan perjalanan gw.
Tapi pas baca tulisan ini, gw langsung minta izin ke reporter liputan, Faizah Zuhdi, untuk memuat di blog gw. Dan ternyata boleh! Senang!! So, here is the story . . .

Sekilas Serba terbatas di perbatasan
Judul tayangan tersebut adalah representasi keseluruhan cerita berdurasi 8 menit. Kami awali cerita dengan kenyataan bagaimana susahnya menembus Dusun Badat Lama. Dari Entikong, kami menyusuri Sungai Kapuas selama hampir sepuluh jam dengan perahu motor. Meski air tenang, puluhan riam atau batuan tajam dan besar yang berada di tengah tengah sungai menjadi rintangan terbesar. Akibatnya, berulang kali awak perahu beserta barang harus diturunkan. Padahal biaya untuk mengarungi jalur maut ini sekitar 1.5 juta rupiah. Dan ini satu satunya moda transportasi yang diandalkan masyarakat perbatasan. Tak heran, banyak masyarakat justru tak mengenal ibukota provinsinya.

Sulitnya jangkauan transportasi ini kami padu dengan gambaran realita susahnya anak anak Dusun Badat untuk bersekolah. Di Dusun Badat Lama yang berpenduduk sekitar 300 jiwa itu tak ada sekolah untuk anak anak usia SD. Mereka rela berjalan menuju sekolah di Dusun Badat Baru selama 1,5 jam. Namun kami yang mencoba mengikuti perjalanan anak anak ini harus menempuh waktu lebih lama, hampir 4 jam. WOW!

Kondisi sekolahpun minim fasilitas, hanya ada tiga kelas. Alhasil, satu kelas dengan satu guru harus menampung siswa beda tingkatan. Seperti misalnya, kelas satu yang digabung dengan kelas 2. Bangku sekolah ala kadarnya, papan tulis berlubang, bendera usang, tali pengerek bendera rantas, anak anak berseragam kumuh dan tanpa alas kaki. Jujur kondisi ini membuat dada kami sesak dan butiran air mata hanya tertahan di pelupuk mata. 

Keterbatasan ini tak menyurutkan semangat belajar adik adik kami. Anak anak yang kami jumpai cerdas dan memiliki bakat luar biasa. Phroni jago matematika, Immanuel  jago gitar dan menyanyi, Meme siswi yang jago sepat takraw dan puluhan anak berbakat lainnya. Sayang, kondisi belum berpihak pada mereka sekarang. 

Kondisi ini berbanding terbalik dengan sekolah perbatasan di Desa Sapit, negara bagian Sarawak, Malaysia. Disana, baik sekolah SD, SMP terfasilitasi dengan baik. Gedung sekolah dan asrama bagi murid berdiri megah. Ruang kelas amat memadai, antena parabola dan dapur yang apik siap memenuhi kebutuhan siswa. 

Ironi inilah  yang kami angkat. Harapan kami, semua mata terutama pemerintah sadar dan segera bertindak dengan kondisi pahit masyarakat perbatasan. Iming iming enaknya tinggal di negeri sebrang datang setiap saat. Jika pemerintah tak pernah peduli untuk memberi konsekuensi pada rakyatnya, yang tetap berjiwa nasionalis, apalah arti kemerdekaan yang  tiap tahun dirayakan?

Cerita Seru di Perbatasan

"Cinta satu malam oh indahnya... Cinta satu malambuatku melayang... Cinta satu malam akan selalu kukenangm selama lamanya..."

Lirik lagu disco remix di atas menjadi lagu yang tak pernah kami lupakan. Semalam suntuk kamimenyanyikan lagu tersebut dalam pesta penyambutan sekaligus perpisahan kami dengan warga Badat Lama.
Pada malam terakhir, Kepala Dusun mengumpulkan warganya di balai. Malam itu sangat membekas, kami dijamu seperti ratu dan raja. Segala makanan khas Badat disajikan. Tua muda hingga bayipun rela merasakan dingin yang menembus tulang hingga dini hari. Malam itu, Badat yang berada di ketinggian 3000 kaki menjadi hangat dengan aksi joged dan nyanyian warga.

Saat pulang, ada tanggung jawab besar pada pundak kami. Tak sedikit warga menitipkan harapan niscaya hasil kerja kami bisa mengubah nasib mereka di perbatasan, seperti Phroni yang ingin menjadi dokter agar bisa mengobati ibunya yang seorang buruh kayu hutan jika sakit. 

Ingin sekali kami suatu saat kembali ke Badat. Kedekatan antara kami dan warga perbatasan hingga kini masih terjalin, mulai dari Kepala Desa, guru, dan adik adik siswa sekolah hingga warga yang kami lewati. Dari mereka inilah kami belajar semangat untuk bertahan hidup, tak pernah putus bermimpi, berjuang keras tanpa mengeluh dan mensyukuri segala nikmatNya.

Salam doa dan cinta kami untuk warga perbatasan.  

PS :
  • Desa Badat Lama berada di perbatasan Kalimantan - Malaysia. 
  • Liputan "Serba Terbatas di Perbatasan" memenangkan anugerah Adinegoro, penghargaan tertinggi karya jurnalistik di Indonesia yang diberikan tiap tahun oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Traveling & Teaching



Traveling an Teaching itu apa? Jalan ke tempat-tempat menarik dipelosok nusantara sambil mengajar dan berbagi dengan anak-anak pedalaman.
Traveling and Teaching, mengajak semua kalangan anak muda dari berbagai latar belakang profesi untuk mengunjungi tempat-tempat yang indah dan unik tentang negeri ini, budaya dan adat istiadat leluhur disertai dengan kegiatan sosial berbai dan mengajar di tempat-tempat yang di kunjungi, berbagi ilmu pengetahuan dengan anak-anak pedalaman dan perbatasan.
Dipedalaman dan perbatasan, pendidikan adalah kebutuhan yang sangat mahal, gedung sekolah memang baik, tapi kualitas pendidikan sangatlah berbeda dengan pendidikan kota besar lainnya di bangsa ini. Semua orang bisa menjadi Pendidik dimanapun berada, mari memulai perjalananmu, membantu dan mengajar mereka, anak-anak serta guru guru pedalaman di perbatasan bangsa ini. Sampai dengan Desember 2014, 1000_guru telah membantu perlatan dan kebutuhan sekolah untuk 2000 anak-anak pedalaman di 8 propinsi di Indonesia yaitu Lampung, Tangerang, Banten, Makassar, Semarang, Surabaya, Jogjakarta, Bandung dan Kupang. Target kami tahun 2015 adalah membantu 3000 anak-anak yang membutuhkan peralatan sekolah di pelosok Indonesia.
Persyaratan Peserta Traveling & Teaching:
1. Peduli Pendidikan dan cinta anak-anak
2. Fisik yang kuat, dan bisa tinggal beberapa hari dipedalaman
3. Biaya Akomodasi dan Transportasi di tanggung oleh peserta
4. Sehat Lahir Batin
5. Terbuka untuk Semua Kalangan dan Profesi
6. Umur 17 – 35 tahun
Untuk pendaftaran Traveling and Teaching yang akan datang silahkan Klik disini.

Bantuan untuk Guru Pedalaman Awad for Rural Teacher



Bantuan untuk Guru Pedalaman, 1000_guru berkomitmen untuk membantu kualitas pendidikan untuk anak-anak dipedalaman melalui beasiswa untuk guru-guru lokal yang berdedikasi tinggi namun hanya lulusan SMA dan Sederajat. Mereka adalah tombak perubahan yang akan mengentaskan kebodohan dan kemiskinan masyarakat pedalaman negeri melalui pendidikan. Rata-rata guru guru ini hanya bergaji rendah, akibatnya mereka tak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan keguruan. Dengan ijazah SMA dan Sederajat, maka kesejahteraan mereka pun tidak akan berubah, tetap menjadi guru honor.
Selain Besiswa berupa bantuan dana pendidikan Tinggi, 1000_guru juga terus konsisten mengangkat nasib para guru honor yang berdedikasi tinggi dan membantu mereka dengan alat transportasi dan tabungan masa depan. Dengan bantuan ini, akan menjawab kebutuhan guru tetap yang terus mengajar tanpa harus memikirkan kebutuhan hidup mereka yang sulit.

  1. Sefnat Tabun, Guru Pedalaman NTT, mengajar harus berjalan kaki lebih dari 28 km setiap hari. Melewati Jalanan yang buruk dan bertanah liat. 1000_guru membantu memberikan satu sepeda motor untuk Sefnat Tabun untuk mempermudah transportasi dalam mengajar. Beliau tak jalan kaki lagi.

  2. Asnat Bell, Guru Pedalaman NTT ini harus bekerja keras mengajar 7 jam Sehari, telah mengabdi 10 tahun di Sekolah Dasar Terpencil Pedalaman Nusa Tenggara Timur. Ia hanya di gaji Rp. 50,000 setiap bulan, gajinya ia terima setiap 3 bulan sekali. Lewat akun twitter @1000_guru, kisah Asnat Bell akhirnya di angkat oleh Kick Andy Show, dan beliau menerima bantuan Tabungan sebesar 50,000,000.

3. Pak Sukrani, Guru Honorer asal Serang Banten ini rela menghabiskan 2 jam perjalanan menuju tempat ia mengajar di Lebak Banten, dengan sepeda motor butut pinjaman, ia tetap setia dan semangat mengajar. Gajinya hanya Rp. 300,000, sedangkan ia harus menghabiskan bensinRp. 400,000 setiap bulan.  Jalan rusak dengan segala resiko bahaya di jalan tak membuat dia menyerah, kecintaaanya terhadap anak-anak membawanya dalam dedikasi mengajar denga hati. 1000_guru memberikan bantuan sepeda motor untuk pak Sukrani, kini beliau tak meminjam motor tetangganya lagi

sumber : http://www.seribuguru.org/

Minggu, 07 Juni 2015

Cerita Anak-Anak bangsa di Garda terdepan negeri bernama Indonesia




Anak bangsa di Garda terdepan negeri bernama Indonesia

Ini adalah cerita tentang mereka,
tentang matahari-matahari kecil yang akan terus menembus langit Tanah Borneo,

tentang realita kehidupan anak-anak penembus batas di Pulau Seribu Sungai.

Inilah tanah perbatasan dengan segala keterbatasannya dan dengan segala kesederhanaannya.
Seiring sinar mentari menghapus tetes embun pagi, 
mereka menantang arus Sungai demi masa depan yang lebih baik.

Kebersamaan dan keteguhan hati memberi keberanian dalam hati mereka,
 keberanian untuk menatap masa depan.

Mereka memahami hidup hanya sebatas warna abu-abu..
 karena mereka tak mengerti warna pelangi kehidupan.

Namun tanpa mereka sadari, 
semangat dan keriangan mereka menyambut hari esok 
adalah pelangi yang tak tampak oleh mata.

Keterbatasan tak menjadi alasan untuk menghentikan “MIMPI”.

Seorang anak berseragam merah-putih berjalan dengan teman-temannya
 menuju sekolah mereka yang sederhana.

Yang demikian itu telah menjadi keseharian mereka,
 menyeberangi Sungai tanpa pantauan dari orang tua.

Kehidupan masyarakat yang bergantung pada sungai 
telah menjadikan anak-anak terbiasa dengan perjalanan sungai.

Sungai seolah telah menjadi sahabat hidup mereka.
Sepatu sekolah di genggaman tangan mereka: 
berusaha dihindarkan dari tamparan riak air sungai yang terus melambai seiring perahu melaju.

Sampai di dermaga, barulah mereka meminggirkan dan mengikatkan tali perahu ke tiang dermaga, lalu mamakai sepatu sebelum akhirnya berjalan menuju sekolah.
Naik perahu ke sekolah dan air sungai telah menjadi saksi langkah-langkah kecil mereka.

Jumlah mereka tak banyak.
Fasilitas sekolah dan tenaga pengajar pun masih sangat terbatas.

Inilah gambaran realita pendidikan di tanah perbatasan Indonesia.




Hidup bagi mereka hanyalah sesederhana itu.
Di balik pandangan masyarakat luar yang melihat daerah perbatasan
 selalu memiliki keterbatasan dalam banyak hal, 
anak-anak itu tak pernah merasa hidup dalam keterbatasan.

Ya, sesederhana itulah hidup bagi mereka,
 menerima realita apa adanya:

bercengkerama dan tertawa riang di bawah terik matahari khatulistiwa.
Alam mengajari mereka untuk saling berbagi dan tolong-menolong.

Melalui berbagi, 
mereka memahami hidup dengan kesederhanaan hati.

Dengan tolong-menolong,
 mereka mampu mengatasi masalah yang timbul dalam perjalan
 berangkat maupun pulang sekolah.

Hanya dengan saling membantu, 
mereka dapat menyelesaikan masalah tersebut.

Mereka memang hidup di tanah perbatasan, 
namun bukan sebagai yang terbelakang.

Mereka hidup di perbatasan 
sebagai anak-anak “Garda Terdepan Bangsa”.
Merah-Putih masih berkibar kokoh menantang langit Kalimantan,
 melambai-lambai terkena angin,
 mengabarkan pada dunia bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia.

Kisah sedih dari perbatasan



Ini kisah nyata yang terjadi di daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia tepatnya di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. 

Entikong masih termasuk wilayah republik Indonesia tetapi kondisi disana sangat memprihatinkan jauh dari kehidupan masyarakat lain yang hidup dekat dengan pemerintahan, anak-anak harus bersekolah ditempat yang jauh dari kata layak sebagai tempat belajar tempat menuntut ilmu, tempat dimana menyiapkan generasi muda penerus bangsa. 

Untuk sampai ke sekolah mereka membutuhkan perjalanan yang jauh, mereka harus berjalan kaki tanpa sepatu ataupun alas kaki, ada yang harus menaiki sampan untuk sampai kesekolah. Sungguh sanggatlah miris dijaman yang kata orang sudah merdeka, masih ada anak bangsa yang sangtlah sulit untuk merasakan pendidikan yang sebenarnya hak setiap warganegara. 

Berbanding terbalik dengan negara sebelah Malaysia yang berbatasan dengan Indonesia. Anak-anak yang jauh dari pemerintahan masih dapat memperoleh pendidikan yang layak. Mereka diberi fasilitas pendidikan gratis. 

Ada apa dengan Indonesia, yang katanya negeri yang kaya dan subur tapi tidak bisa memenuhi kebutuhan pendidikan yang layak untuk anak-anak di daerah perbatasan. 

Apa para pejabat pemerintah pusat  tutup mata dengan realita ini, mereka hanya umbar janji saat kampanye tapi setelah berkuasa mereka lupa dengan janji-janji yang pernah mereka ucap, mereka terlena dengan jabatan dan cara gampangnya mendapatkan uang. mereka asik dengan korupsi, asik menyalagunakan uang negara yang harusnya untuk kesejahteraan rakyat. 

Bagaimana dengan nasib bangsa ini, kalau para pemimpin pemerintahan tidak peduli dengan rakyatnya, yang hidup dekat pemerintahan saja sangatlah memprihatinkan apa lagi yang jauh dari pemerintahan. 

Kalau seandainya para pemimpin Indonesia peduli dengan kehidupan seluruh rakyat baik yang hidup dekat dengan pemerintahan ataupun yang jauh diperbatasan sana mungkin nasib anak-anak generasi penerus bangsa berkwalitas. karena generasi penerus bangsa yang berkwalitas bisa memajukan bangsa Indonesia. 

Bangsa Indonesia akan bisa bersaing dengan negara-negara maju lainnya.

 Semoga kelak akan terwujud pemerintahan yang adil dan merata di penjuru Indonesia agar rakyat Indonesia merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya, agar rakyat Indonesia merasakan bahwa negara yang dicintai bisa memberikan penghidupan yang layak untuk kelangsungan para generasi penerus bangsa

REALITA GURU DI PERBATASAN TERPENCIL/PEDALAMAN


Janji kemerdekaan Indonesia dalam UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa,dan dijelaskan lagi dengan UUD 1945 pasal 31(1)”setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan .pasal 31(2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayayainya”. Kenyataanya janji tersebut belum dapat terpenuhi
Setiap orang belajar dari berbagai sumber baik melalui pengalaman,pendidikan informal atau pendidikan formal seperti sekolah.Orang membutuhkan pendidikan khususnya melalui jalur formal seperti sekolah.Salah satu komponen sekolah yang penting adalah guru,Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbanyak ke 4 di dunia membutuhkan banyak guru.
Guru adalah jabatan atau profesi yang membutuhkan keahlian khusus. Pekerjaan sebagai guru ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.Dibalik kerumitan kurikulum,soal ujian, dan sistem pendidikan berdirilah para guru.Mereka mendidik,menginspirasi anak-anak indonesia.Dalam himpitan tekanan ekonomi mereka hadir di hati anak-anak Indonesia.Pada pundak guru ini kita titipkan persiapan masa depan republik ini.Guru menginspirasi anak-anak di daerah terpencil mempunyai mimpi,dan membuat orang tua siswa di daerah terpencil ingin mempunyai anak yang terdidik seperti pengajar mereka
 Diungkapkan oleh rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan Saat ini Indonesia tidak kekurangan guru ada 580.000 guru honorer di Indonesia ,Faktanya rasio guru dengan murid di Indonesia adalah 1:15 hal ini membuktikan bahwa Indonesia tidak kekurangan guru, contoh negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan  rasio guru  banding murid 1:20.66 persen daerah terpencil di Indonesia kekurangan guru.Mengapa guru menjadi barang langka di perbatasan?
Contoh di keadaan SD Muhammadiyah Karangkajen di kota Yogyakarta,seorang guru paling tidak memiliki sepeda motor untuk berangkat ke sekolah,atau sepeda jika rumah mereka tak jauh.jalanan aspal yang halus,Kondisi sekolah yang lengkap mendukung Kegiatan Belajar Mengajar,Selain itu kebutuhan air di kota Yogyakarta mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.Bandingkan dengan Guru  di SDN Tembaga ,Kalimantan Barat yang mengajar di rimbunan hutan,dengan kesulitan mendapat air dan biaya hidup tinggi
Walaupun pemerintah menjanjikan imbalan yang cukup bagi guru yang mengajar di perbatasan,nyatanya guru lebih memilih mengajar di kota-kota besar.Selain itu pemerintah  lambat dalam memenuhi janji pada tenaga pengajar di perbatasan.Sehingga guru kurang memilih mengajar di perbatasan
Air sulit ditemui di Perbatasan misalnya di Kalimantan Barat di Dusun Tembaga.Air mengandalkan hujan yang ditampung di tong-tong lalu dialirkan dengan pipa,untuk keperluan MCK, tak jarang mereka tidak mandi 2 hari,namun bila hujan tiba guru sulit berangkat ke sekolah karena jalan di ladang sering banjir satu-satunya kendaraan yang lewat adalah truk pengangkut kelapa yang mereka tumpangi.
            Untuk mencapai sekolah tidak mudah,truk penganku kelapa yang mereka tumpangi bisa menunggu berjam-jam,jalan sepanjang 130KM yang terjal dan berbatu tidak memungkinkan untuk berjalan kaki,dalam perjalanan menggunakan mobil memakan waktu 3 jam,satu setengah jam lewat jalan raya,sisanya masuk hutan sawit yang terjal

Di lain pihak pembangungan di perbatasan yang tidak merata, ,kondisi sekolah diperbatasan tidak layak untuk belajar,tak seimbang dengan semangat anak yang relatif tinggi.Guru kesusahan mengajar mengingat buku sangat terbatas .Ironisnya beberapa siswa jika tidak naik kelas guru akan dituntut tidak bisa mengajar. 
Gaji yang dibayar untuk mengajar di perbatasan tak sebanding dengan pengorbanan seorang guru,dari pengakuan seorang guru,dirinya hanya menerima gaji 500 ribu untuk 3 bulan bahkan 6 bulan.                                                                                                        “Disini telah 5 kali ganti kepala sekolah namun gaji saya hanya 500 ribu untuk 3 bulan bahkan 6 bulan”dari narasumber yang tidak ingin disebutkan namanya.
Daerah perbatasan kekurangan guru.Sementara kita disini belum sepenuhnya menghargai guru yang sudah ada.Kita sebaiknya lebih menghargai dan menghormati setiap guru,dan belajar yang sungguh-sungguh,Sehingga kita dapat menjadi pemimpin yang akan membangun Indonesia dan juga daerah perbatasan!.Sekian selamat hari guru.
Kurnia Aji Y