Selasa, 05 Maret 2013

Serahkanlah Semuanya Pada Guru


Pendidikan II
Pagi itu kami berbincang lepas. Berkisah tentang pengalaman dan pahit manis dunia pengabdian. Semua sahabtku ini mengambil mengajar sebagai pilihan mereka. Tidak, saya tak menggap ini sekedar pilihan mencari nafkah. Tapi jalan ini diambil sebab mereka ingin turut ambil bagian, menyumbang tenaga dan pikir untuk perbaikan negeri ini. Negeri yang Allah titipkan pada kita anak-anak Indonesia.
Adalah kesyukuran bagi saya diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan mereka selama di kampus. Kawan-kawan yang memiliki integritas dan resah hatinya pada carut marutnya negeri ini. Maka, paska kampus tenaga mereka telah dinanti banyak orang untuk perbaikan. Mereka bergerak dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Berbekal sedikit modal pengalaman dan pengetahuan, mereka pun segera bergerak melakukan pengabdian bukti cintanya pada Ibu Pertiwi.
Ada yang mendidik murid-muridnya di Sekolah Aliyah (Sederajat SMA). Berkisahlah ia tentang kenakalan remaja zaman sekarang. Remaja kampung, yang hari ini telah minim pelajaran pekerti. Hasil didikan Sinetron dan Infotaiment. Menjadi pengajar butuh kesabaran ekstra memang, walau kadang segala teori tentang pendidikan karakter kerap mentah bila dihadapkan pada realita yang tengah di hadapi. “Banyak orang hanya pandai berteori tentang pendidikan berkarakter, tentang anak-anak yang tak boleh dimarahi dan dikasari. Kalau ada yang berbicara begini dihadapanku ingin saya mengajak mereka untuk mengajar langsung di tempat saya mengajar. Saya akan lihat metode seperti apa yang akan mereka gunakan.”
Ada gurat prihatin serta keluh seorang guru yang kutangkap dari sahabatku ini. Benarlah kata Ibuku yang juga seorang guru. “Mendidik anak-anak di zaman ini bukanlah pekerjaan mudah. Semua ada seninya, bahkan dalam keadaan marah pun kita mesti pandai mengelola emosi. Harus kita marah pada anak yang telah kelewatan perilakunya, marah kita bukan pada individunya tapi pada perilakunya, marah pada keadaan yang membuatnya berperilaku tak pantas.” Yah begitulah, saya yakin ada banyak kisah pilu yang dihadapinya dalam mengajar dan mendidik siswanya.
Ada kisah lain, dituturkan sahabat saya yang memilih untuk membina pondok pesantren di daerahnya. Tentang sekumpulan warga yang tak terima pada perilaku guru. Pondok didatangi oleh sejumlah orang di bawah pengaruh minuman keras. Ancaman dan intimidasi di terima. Menuntut untuk memberikan hukuman pada guru. Alhasih teman gurunya di masukan ke dalam sel selama tiga hari. “Si Guru memang salah, ia memukul siswa yang berbuat ulah di pondok. Namun demikian, apa yang dilakukannya masih dalam tahap wajar menurut saya. Tak ada yang berlebihan. Reaksi para warga saja yang berlebihan. Anak yang diberikan hukuman oleh teman saya juga adalah anak yang bandel. Dari pada menjadi “penyakit” lebih baik dikerasi agar menjadi contoh untuk teman-temannya.” Ungkap sahabat saya berkisah.
Ya…tak mudah memang. Mendidik anak-anak dikampung dengan segala keterbatasan dan permasalahannya, butuh hati yang ekstra. Harus lebih sabar menghadapi siswa, lebih sabar menghadapi masyarakat, bahkan juga mesti lebih sabar menerima honor yang tidak seberapa. Dari dahulu hingga sekarang begitulah pengabdian, selalu mensaratkan pengorbanan.
Adalah hal yang aneh tentu. Dengan kondisi pendidikan yang belum merata seperti ini, Ujian Nasional masih digunakan sebagai standar kelulusan. Mutu dan kwalitas pendidikannya jelas berbeda. Siswa-siswi yang hidup di desa, yang kesehariannya membantu orang tuanya di kebun, yang fasilitas belajarnya terbatas, yang pekerjaan bapak ibunya petani, yang kondisi ekonominya menengah kebawa, akan disamakan dengan anak-anak kota dengan segala fasilitas penunjang dan lingkungan yang mendukung. Yang orang tuanya mayoritas adalah dosen atau pekerja kantor. Jelas tak sama, maka standarnya pun mestinya berbeda. Tidak boleh ada penyemarataan standar dengan kondisi pendidikan yang belum merata.
Ah…pendidikan negeri ini terlalu pelik untuk dibincangkan. Mulai dari kurikulum yang berganti-ganti, kebijakan menteri yang selalu berubah di setiap perganitan kabinet, adalah cerita lama yang belum usai sampai hari ini. Maka tak salah kalau ada yang berujar, bahwa guru, siswa, sekolah, dan pendidikan negeri ini, telah menjadi labortorium coba-coba yang kita tahu mana bagaimana hasilnya. Terkahir, wacana pendidikan mengarah pada pendidikan karakter.
Sudahlah…kita sudah lelah dengan semua coba-coba ini. Mendidik sajalah, mengajar sajalah, serahkan semuanya pada guru. Mereka yang lebih tau dan mengerti, seperti apa baiknya mereka mendidik siswa-siswinya. Tinggal mekanisme kontrol yang perlu diperbaiki. (Fahry)
sumber : catatanfahry.wordpress.com

Tidak ada komentar: