USAI menyelesaikan Sekolah Pendidikan Guru Taruna Bakti Jayapura pada 1968, Barnabas Kedeikoto mengabdikan diri untuk menjadi guru di pedalaman Papua, tepatnya di Kabupaten Paniai. Seluruh pedalaman Papua dijelajahinya demi mencerdaskan anak-anak Papua hingga Februari tahun ini Pak Guru harus istirahat setelah sekian lama menyiapkan generasi muda bangsa Papua.
Sepanjang hidupnya, pria ini tidak pernah keluar dari tempat tugasnya di pedalaman pulau kepala burung ini. Bahkan meski sekadar mengunjungi keluarga di kampung halamannya. Itu pun tidak dilakukannya.
Saat liburan, hampir semua guru pergi ke kota. Namun dia tidak pernah meninggalkan tempat tugasnya. Hingga masyarakat pun menyebut dia “tekoda ewanetai kudu” yang artinya guru penjaga sekolah.
Pria yang biasa disapa Pak Guru Kedeikoto ini biasanya tidak sampai setahun menjadi pengajar di satu kampung dan terus berpindah ke kampung lain, hingga seluruh pedalaman Papua betul-betul dijelajahi dan dikenalnya.
Walau harus jalan kaki melewati gunung terjal, lereng bukit dan lembah untuk berpindah dari kampung satu ke kampung lainnya, pak guru tetap jalani tugas dan tanggungjawabnya dengan setia demi mengabdi bangsa dan negara.
Di masa tuanya, pada 1989 Pak Guru Kedeikoto kembali ke kampung halamannya di Modio untuk menetap di sana. Kampung ini terletak di bagian selatan Kabupaten Paniai.
Padahal ada nota tugas dari dinas pendidikan agar Pak Guru kedeikoto bertugas di kampung lain. Namun Kedeikoto bersikeras ingin mengabdi dan menetap di kampung halaman sendiri.
Akibatnya, selama 5 bulan beliau mengajar di SD YPPK Modio tanpa gaji dan jatah beras. Pada bulan berikutnya setelah kepala sekolah di tempat beliau mengajar melaporkan ke dinas barulah gaji dan jatah berasnya dialihkan kembali untuk Pak Guru lewat Kepala Kampung kampung tempat beliau mengajar.
Saatnya pensiun
Selama mengabdi, ada banyak tantangan dialami Pak Guru, salah satunya selama enam bulan beliau mengajar kelas 1 sampai kelas 6 hanya seorang diri.
Selama mengabdi, ada banyak tantangan dialami Pak Guru, salah satunya selama enam bulan beliau mengajar kelas 1 sampai kelas 6 hanya seorang diri.
Itu terjadi pada masa transisi saat Papua diberikan OTSUS sehingga hampir semua guru ke kota. Akibatnya, sekolah sepi karena semua orang ingin mengejar uang dan jabatan.
Karena sendirian, Pak Guru mencoba membagi waktu supaya anak-anak bisa tertangani semua dan tidak ada yang dilalaikan. Kelas 1, 2 dan 3 beliau ajar di pagi hari sedangkan 4,5 dan 6 beliau ajar di sore hari.
Tahun ini adalah tahun terakhir karya dan pengabdiannya sebagai guru, karena pada Februari lalu beliau pensiun. Suasana terharu dan tangisan warga terlihat saat pembagian raport kepada murid di Aula SD YPPK Modio Kab. Dogiyai bulan Juni lalu setelah beliau menyampaikan pesan-pesan terakhir dalam karya pengabdiannya sebagai guru.
Masyarakat Modio merasa kehilangan seorang guru yang sanggup menghidupkan sekolah menjadi tempat yang nyaman untuk didiami dan bergaul bagi anak-anak.
Sekolah ini rupanya telah melahirkan tokoh seperti Lukas Karl Degei anggota DPR RI periode 2000-2004 dan Thadeus Kedeikoto anggota MPR RI periode 2000-2004.
Pada 2 Mei 2014 bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, Pak Guru merupakan salah satu yang diundang oleh pihak Dinas Pendidikan Kab. Dogiyai untuk memberikan penghargaan kepada guru-guru teladan. Sayang, undangan ini dibatalkan karena anggaran tidak cukup.
Belum tahu sampai kapan ada penghargaan buat guru-guru yang betul-betul mengabdi bagi bangsa dan negara d daerah pedalaman yang terisolir, dan hanya bisa dijangkau oleh pesawat kecil yang bergantung pada cuaca.
Pak Guru memiliki 7 anak dan saya adalah anak kedua dari 7 bersaudara.
Keterangan Foto: Pak Guru Barnabas Kedeikoto dan keponakannya. (Dokpri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar