Pagi ini seperti pagi-pagi biasanya, langit cukup cerah yang dihiasi awan-gemawan berwarna biru laut. Begitu eksplisit di sana tentang betapa indahnya lukisan dari Sang Khalik. Di langit nan biru itu tergantung pula cita-cita anak kecil nun lugu. Tak dapat ku imajinasikan bagaimana bila langit runtuh. Maka runtuhlah cita-cita anak-anak kecil nun lugu itu. Kalian tentu bertanya-tanya. Apa hubungannya buah pikiran ku tadi. Tidak ada kawan. Itu hanya utopia nirmakna. Tapi coba kawan, ingatkah kalian pada saat masih kecil, saat kita duduk dengan manis di bangku sekolah, dengan segenap semangat dan ketulusan menuntut ilmu, guru kita selalu berpesan “Gantunglah cita-citamu setinggi langit di angkasa”. Inilah yang menjadi pijakan pertama pikiran ngawur tadi. Bahwa “Cita-cita yang digantung di langit akan jatuh ditelan bumi beriringan dengan langit yang runtuh”. Tidak logika dan terlalu mengada-ngada. Tentang “menuntut ilmu” tadi, rasa-rasanya pikiran ini tidak begitu siap untuk menerima dengan ikhlas kata-kata “menuntut” ilmu. Terkesan kapitalis, kawan. Bagaimana kalau kita menggantinya dengan kata “mengeruk”? Tapi, ini juga terlalu bersinggungan dengan kehidupan saudara kita yang termarjinalkan. “Menanam”? “Memungut”? Ah, sudahlah ini tidak begitu masalah pada hakikatnya. Tidak perlu kita membuang waktu kita untuk perdebatan istilah. Berharap saja, ketika bangun pagi esok, Sang Khalik berkenan memberikan satu kosa kata baru, yang padan dengan kata “menuntut”.
Sejurus waktu setelah itu, kemudian aku termenung, entah apa yang menghendaki kontemplasiku kali ini. Ini semua dampak pikiran liar dan tidak logis tentang “cita-cita” – “langit runtuh” dan “guru”. Nah kata yang terakhir ini sebenarnya yang menjadi pemantik sehingga seisi tubuhku bergejolak. Segenap alam pikiranku seakan bangkit dari segala masa tidurnya selama ini. Hatiku berdebar-debar, pipiku memerah bak seorang perawan tua yang akan dilamar bujang lapuk, atau sebaliknya. Mengapa seperti ini? Guru. Guru kawan. Ya mereka-lah yang berperan besar sedemikian rupa hingga aku bisa membaca-menulis-menggambar-berkomunikasi dengan siapapun. Aku menyadarinya. Tidakkah kalian juga mengingat kenangan-kenangan tentang guru kalian?
Jika otak kita diilustrasikan sebagai sebuah radio, mari kita putar balik rekaman kehidupan bersama guru kita dulu. Pasti diantara kamu ada yang menolaknya kawan. Ku duga engkau adalah anak yang nakal. Pasti telinga dan betismu sudah sering menjadi bulan-bulanan tangan gurumu pada saat itu. Atau, ku tebak betismu yang berukuran 2 kali lebih besar dari betis Roberto Carlos adalah hasil panen dari hukuman berdiri satu kaki yang dimandatkan gurumu padamu. Wahai engkau anak nakal. Attitudemu sungguh tak terpuji. Mungkin jika aku bisa memberikan ucapan padamu, kaulah anak kecil yang tak beradat kawan.
Kembali kita pada permenungan tentang guru. Kawan, masih ingatkah kau tembang “Oemar Bakrie” yang dilantunkan Bang Iwan Fals itu? Ini sungguh tembang yang melegenda kawan. Bukan maknanya yang melegenda. Tapi karena performa guru yang dideskripsikan pada lagu itu sungguh legenda kawan. Sepertinya guru yang dimaksud disitu hidup pada zaman bawang merah bawang putih. Berdiri jauh dari peradaban modernisme. Betapapun melegendanya Guru dalam lagu itu, aku yakin Dia begitu berjasa. Semangat juangnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa begitu besar. Tentu itu keadaannya. Maka dari itu janganlah kau mengumpat dalam hati tentang guru dalam lagu itu, seakan kau akan mengkritisi politisi di gedung DPR sana. Tentang ketulusan seorang Guru digambarkan dalam caranya sendiri oleh Andrea Hirata dalam Novelnya Laskar Pelangi. Bu Mus. Ya, Ibu Muslimah nama gurunya. Tentunya tidak perlu saya ulang kata per-kata tentang Bu Mus yang ada dalam novel itu. Satu hal yang pasti, ketika kita menaruh mata pada cerita itu hati kita akan tergugah pada sebuah nilai kemanusiaan yang berpendar dari guru itu. Dari segala keterbatasan fasilitas belajar mengajar, sekolah yang tidak aduhai – dengan kondisinya yang mengenaskan dan hampir gulung tikar, belum lagi tingkat kemampuan murid-muridnya dalam memahami ilmu yang diberikan jauh dari kata memuaskan. Ini semua tidak bisa mematahkan semangat dan ketulusan bu guru dalam cerita itu untuk mendidik si keriting Ikal dan kawan-kawannya yang lugu itu. Episode kehidupan yang semacam ini sudah sangat jarang kita temui di daerah perkotaan yang diselimuti kemewahan dan dominasi kaum kapitalis.
Lukisan-lukisan kehidupan tentang guru seperti itu sejujurnya pun hanya segelintir dari jutaan lukisan lainnya yang dapat menyampaikan makna betapa luar biasanya ketulusan seorang guru dalam mendidik kita. Pernahkah kita mendengar Indonesia Mengajar?Ya. Program yang sangat mulia ini, sedikit banyak dapat memberikan contoh pada kita betapa Guru dalam konteksnya menjadi seorang lakon yang sangat patriotik, mengajar hingga ke daerah antah berantah sekalipun. Tidak terjamah listrik dan air bersih sekalipun. Jangan tanyakan perkembangan dan hasil tugas mulia Guru ini pada mereka di DPR sana? Tidak sedikitpun mereka peduli akan hal ini kawan. Jika engkau menanyakan padaku, siapa penjajah hak dan uang kita saat ini? Merekalah jawabanku di urutan pertama. Urutan kedua-koruptor, dan ketiga-cukong kayu.
Sungguh mulia tugas seorang Guru. Benar saja, pernahkah kita menyadari apa jadinya nasib kita apabila kita tidak dapat membaca, menulis, berkomunikasi dengan orang disekitar kita? Ini hal yang sungguh sederhana namun tidak mudah untuk dikerjakan kawan. Dulu aku pernah melihat seorang anak kecil, di taman kanak-kanak, “Badung” mungkin namanya. Anaknya sungguh nakal, ciri-ciri fisiknya saja sudah seperti miniatur preman pasar. Sungguh badung dan usil. Kalau saja aku dapat berujar padanya saat itu, akan ku katakan padanya bahwa dia adalah anak tidak tahu diri. Kawan bisa saja menyebutku terlalu kasar. Namun poinnya adalah, betapa hati ini tergerus melihat kenakalan anak ini, Gurunya yang sudah bersusah payah mengajarnya, berulang kali diacuhkan olehnya, diajari baca tulis-tidak mau, diajari membuat puisi-apalagi, namun jika ada sesi makan bubur kacang hijau-dia akan berubah menjadi monster pemangsa bubur paling kejam di dunia. Betapa tidak, semua giginya sudah berwarna hitam dan tidak menarik lagi. Itupun yang tersisi tinggal 1, gigi susu. Sejatinya dia tak akan melewatkan setiap sesi makan bubur kacang hijau disekolahnya.
Dengarkanlah kawan, seorang yang menghormati jasa-jasa gurunya adalah seseorang yang nantinya akan mendapat nikmat yang tidak terkira dari Sang Khalik. Ingatlah kawan, tidak ada apa-apanya diri kita ini tanpa jasa-jasa guru kita, inilah pelajaran hidup. Boleh saja sesekali kita mengumpat karena kesal mengingat betapa kita dulu diperlakukan tidak adil dan semena-mena. Kita disuruh untuk menguasai seluruh mata pelajaran di sekolah, jika tidak bisa dan berujung nilai buruk, kiamatlah dunia ini. Kita akan jadi bulan-bulanan di depan kelas, betapa harga diri ini telah mendapat diskon besar-besaran. Namun percayalah kawan, di lubuk hati guru yang terdalam, Dia hanya ingin melihat muridnya menjadi pintar, cerdas, dan menjadi manusia yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, lingkungan, dan bangsanya. Tidaklah pernah mereka berharap lebih dari kita murid-muridnya ini, materi sekalipun itu. Sekali lagi kuyakinkan bahwa bukan itu kebanggan mereka. Percayalah, ketika ilmu yang pernah diberikannya kita terapkan dengan sangat baik dan mempunyai nilai guna bagi kemaslahatan orang-orang, saat itulah kebanggan mereka bera-api dalam hati mereka. Jasa dan ketulusan mereka bak BUNGA EDELWEISS. ABADI.
SEKIAN.
Tulisan ini ku dedikasikan untuk guru-guru yang pernah mengajarku sejak aku masih di taman kanak-kanak, hingga saat ini. Terkhusus kepada kedua orang tuaku yang juga adalah Pejuang Pendidikan (Guru). Tidak lepas pula terhadap orang-orang yang pernah menjadi “Guru” dalam Kehidupanku.
“Murid yang besar adalah murid yang mengingat dan menghargai jasa dan segenap ilmu yang telah diberikan Gurunya padanya.” (Prof. Barda Nawawi Arief,S.H.)
Hormatku
Putra PM Siregar
sumber :putrasiregar15.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar