Sabtu, 30 Maret 2013

Filosofi Pembelajaran Matematika



FILOSOFI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
DALAM PENGUATAN  NILAI-NILAI KARAKTER BANGSA
Oleh : Drs. H. Arifin, M.Pd
(Widyaiswara Madya LPMP NTB)

A.    Rasional
Guru adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas, fungsi, dan peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai pendidik profesional, guru diharapkan mampu berpartisipasi dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan insan Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan YME, unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki jiwa estetis, etis, berbudi pekerti luhur, dan berkepribadian. Dengan kata lain mampu mewujudkan insan Indonesia yang berkarakter. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa masa depan masyarakat, bangsa dan negara, sebagian besar ditentukan oleh guru. Oleh sebab itu, profesi guru perlu dikembangkan secara terus menerus dan proporsional untuk mampu memahami dan menerapkan pembelajaran yang dapat mewujudkan siswa yang kompeten dan berkarakter.
Kurikulum 2013 yang saat ini sedang gencarnya disosialisasikan dan akan diterapkan mulai Juli 2013 di setiap jenjang pendidikan, sebenarnya merupakan penyesuaian dan penyempurnaan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang saat ini sedang berjalan. KTSP adalah kurikulum yang berbasis kompetensi sementara kurikulum 2013 adalah kurikulum yang berbasis kompetensi dan karakter. Jadi muara dari kurikulum 2013 adalah penguatan kompetensi dan pembentukan karakter yang handal dari setiap siswa untuk menyongsong globalisasi yang saat ini bergentayangan di semua lini kehidupan bangsa Indonesia. Untuk itu pemahaman guru tentang teori-teori belajar dan pembelajaran yang menekankan pada penguatan kompetensi dan pembentukan karakter siswa mutlak diperlukan. Demikian juga halnya dengan guru matematika atau guru yang mengajar matematika baik pada jenjang pendidikan dasar maupun jenjang pendidikan menengah.
Pengamatan penulis terhadap pembelajaran matematika yang dilakukan guru pada umumnya sering disajikan berupa sederetan langkah-langkah atau prosedur. Siswa diminta menghafalkan prosedur tersebut kemudian dilatih menggunakannya untuk menyelesaikan soal. Dengan cara demikian siswa hanya dapat mengerjakan soal-soal  yang serupa dengan yang dilatihkan. Pembelajaran yang dilakukan hanya terbatas pada penguasaan konsep matematika tanpa mengaitkan dengan penguatan karakter yang perlu ditampilkan siswa.
Tobin dan Jokubowsky (dalam Etcberger dan Shaw,1992) menyatakan “ pengalaman di kelas mengindikasikan bahwa penalaran dan pemahaman yang mengandalkan penggunaan algoritma masih belum cukup dan masih menghawatirkan kemampuan siswa dalam menguasai pengerjaan hitung”.  Guru sering percaya bahwa siswa telah memahami suatu konsep tertentu apabila dapat mengerjakan soal rutin, padahal kenyataan mereka dapat mengerjakan hanya karena ingat prosedur pengerjaan yang dilatihkan di kelas. Dengan demikian, kemampuan mengerjakan soal bagi seorang siswa tidak menjamin bahwa mereka telah menguasai konsep dengan baik. Kedepan pembelajaran matematika tidak hanya ditekankan pada bagaimana siswa menguasai konsep matematika, tetapi harus berbarengan dengan pemilikan karakter. Untuk itu pembelajaran matematika hendaknya tidak dilakukan secara abstrak, tetapi sedapat mungkin guru menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran matematika yang dimulai dari konkret ke abstrak, dari hal-hal yang mudah ke sulit, dari contoh ke rumus atau dari sederhana  ke komplek dengan menggunakan multi strategi, pendekatan,dan metode. Disamping itu juga memperhatikan pola-pola, hubungan antara konsep yang satu dengan yang lainnya. Dengan cara demikian hasil yang diharapkan tidak hanya penguatan kompetensi tetapi juga pembentukan karakter.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mencoba menguraikan filosofi pembelajaran matematika dalam penguatan  nilai-nilai karakter bangsa sebagai acuan para guru dalam membangun karakter siswa.
B.     Rumusan Masalah
Agar pembahasan tulisan ini lebih terarah maka rumusan masalah yang dikemukakan sebagai berikut :
a.       Bagaimana filosofi pembelajaran pola matematika dapat membangun penguatan nilai-nilai karakter bangsa?
b.      Bagaimana penerapan prinsip pembelajaran matematika dapat membangun penguatan nilai-nilai karakter bangsa?
C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang diharapkan agar guru:
a.       Dapat membangun penguatan nilai-nilai karakter bangsa melalui filosofi pembelajaran pola matematika.
b.      Dapat membangun penguatan nilai-nilai karakter bangsa melalui penerapan prinsip pembelajaran matematika.
D.    Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam tulisan ini adalah sebagai acuan bagi guru dalam membangun nilai karakter bangsa  melalui pembelajaran yang menerapkan prinsip pembelajaran matematika dan pola pikir matematika.
E.     Kajian tentang Filosofi Pembelajaran Matematika dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
a.       Filosofi Pembelajaran Matematika.
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia. “Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini” (Standar isi, 2006 : ).
Matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar siswa dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya. Jadi tujuan utama mempelajari matematika agar mempunyai kemampuan memahami masalah, memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Agar hal itu terwujudkan, maka dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem) dengan menerapkan pembelajaran pola dan prinsip-prinsip pembelajaran matematika yang sesuai.
Matematika adalah ilmu deduktif namun dalam pembelajarannya menggunakan prinsip dari induktif ke deduktif, dari sederhana menuju komplek, dari contoh menuju rumus, dari yang mudah menuju ke yang sulit, dari yang dekat ke yang jauh, dari konkret ke abstrak (Hudoyo,1990:4-5). Dengan prinsip pembelajaran dan masalah kontekstual, siswa secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika dan pembentukan karakter.
b.      Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab” (Pasal 3 UU Sisdiknas).
Dalam (Kemendiknas,2009:2) menyatakan “budaya adalah nilai, moral, norma dan keyakinan (belief), fikiran yang dianut oleh suatu masyarakat/bangsa dan mendasari perilaku seseorang sebagai dirinya, anggota masyarakat, dan warganegara”. Budaya mengatur perilaku seseorang mengenai sesuatu yang dianggap benar, baik, dan indah. Selanjutnya, karakter adalah watak yang  terbentuk dari nilai, moral, dan norma yang mendasari cara pandang, berfikir, sikap, dan cara bertindak seseorang serta yang membedakan dirinya dari orang lain. Karakter bangsa terwujud dari karakter seseorang yang menjadi anggota masyarakat bangsa tersebut.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah pendidikan yang  mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri siswa sehingga menjadi dasar bagi mereka dalam berpikir, bersikap, bertindak dalam mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dimiliki siswa tersebut menjadikan mereka sebagai warganegara Indonesia yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
(Soedarsono,2006 : 19) menyatakan bahwa “profesionalisme tidak ditentukan oleh tingginya pendidikan yang diperoleh seseorang, melainkan oleh kompetensi dan karakter yang dimilikinya, yaitu usaha yang dilandasi dan dituntun oleh nilai-nilai keberanian, semangat, dan pengabdian sejati”. Pendapat tersebut mengindikasikan bahwa kompetensi menunjukkan tentang apa yang bisa dilakukan oleh seseorang,sedangkan karakter menunjukkan seperti apakah seseorang itu. Oleh karena itu karakter adalah berkaitan dengan watak, nilai, moral, budi pekerti yang tercermin dari penampilan seseorang. Selanjutnyan (Soedarsono, 2006 : 21) menyatakan bahwa “Penampilan seseorang secara utuh dapat digambarkan sebagai suatu lingkaran yang didalamnya terdapat tiga lapisan. Lapisan luar menunjukkan kepribadian yang berisi identitas dan tempramen, lapisan kedua adalah karakter dan lapisan yang paling dalam adalah jati diri”. Visualisasi dari penampilan tersebut dapat digambarkan seperti berikut :
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam (Kemendiknas, 2009 : 5-7) menguraikan bahwa nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari Agama, Pancasila, Budaya dan Tujuan Pendidikan Nasional yang melahirkan sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa,  yaitu:
1. Religius
2. Jujur
3. Toleransi
4. Disiplin
5. Kerja Keras
6. Kreatif
7. Mandiri
8. Demokratis
9. Rasa Ingin Tahu
10.Semangat  kebangsaan
11. Cinta Tanah  Air
12. Menghargai Prestasi
13. Bersahabat/Komunikatif
14. Cinta   Damai
15. Gemar    Membaca
16. Peduli   Lingkungan
17. Peduli   Sosial
18. Tanggung  Jawab
Dari kajian tersebut dapat dijelaskan bahwa matematika berkenaan dengan ide-ide/konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif. Karena kehirarkisan matematika maka membelajarkannya harus diawali dari pemahaman konsep barulah memanipulasi simbol-simbol. Tentu saja dalam memanipulasi simbol-simbol seseorang berusaha mencari hubungan-hubungan antara bagian informasi yang telah direkam dalam pikiran sebagai pengertian-pengertian. Sistem hubungan inilah yang disebut pola. (Hudoyo, 1990 : 3) mengatakan bahwa “ Pola adalah suatu sistem mengenai hubungan-hubungan di antara perwujudan alamiah”. Hubungan-hubungan tersebut di dalam matematika berbentuk rumus (teorema, dalil). Penemuan pola, rumus, teorema atau dalil bagi siswa sangat tergantung dari strategi atau metode yang diterapkan guru dalam pembelajaran. Strategi atau metode inilah yang menggambarkan nilai-nilai budaya atau karakter apa yang dapat ditampilkan siswa.
F.     Filosofi Pembelajaran Matematika dalam Membangun Penguatan Nilai-Nilai Karakter Bangsa.
Untuk mengungkap bagaimana penerapan prinsip dan pembelajaran pola matematika yang dapat membangun nilai-nilai karakter bangsa berikut ini disajikan beberapa contoh :
a.      Penggunaan pola matematika
1.      KD : Penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat
Contoh  1Penjumlahan 3 + (- 2) = ….
3 + (-2) artinnya menggabung tiga bilangan positif dengan dua bilangan negative.
Untuk menunjukkan nilai karakter yang terkandung pada filosofi penjumlahan, dua bilangan tersebut dilakukan dengan bantuan pola seperti berikut
Dimulai dari penjumlahan dua bilangan yang tandanya sama.
Contoh 2 :  Pengurangan 3 – (-2) = …
3 – (-2) = … artinya mengambil dua bilangan negative dari tiga bilangan positif.
Untuk menunjukkan nilai karakter yang terkandung pada filosofi pengurangan dua bilangan tersebut dilakukan dengan bantuan pola seperti berikut
Dimulai dari pengurangan dua bilangan yang tandanya sama.
2.      KD : Perkalian Bilangan Bulat
                  Contoh 3.(+3 x +3) = …,  (+3 x -3) = …, (-3 x +3) = …, dan (-3 x -3) = …
(+3 x +3) = …,  (+3 x -3) = …, (-3 x +3) = …, dan (-3 x -3) = … adalah perkalian dua bilangan dengan tanda bilangan positif dan negatif. Untuk menunjukkan nilai karakter yang terkandung pada filosofi perkalian dua bilangan tersebut dilakukan dengan bantuan pola seperti berikut
Perhatikan (+2 x +3) = 3 + 3  = +6. Dengan cara yang sama maka :
Secara logika dapat dikatakan, apabila tanda bilangan pertama dimisalkan dengan perbuatan dan tanda bilangan kedua dengankegiatan, maka berarti :
b.      Penggunaan prinsip matematika
         4.KD : Penjumlahan pecahan
                    
G.    Kesimpulan
(Hudoyo, 1990 : 3) mengatakan bahwa “ Pola adalah suatu sistem mengenai hubungan-hubungan di antara perwujudan alamiah”. Hubungan-hubungan tersebut di dalam matematika berbentuk rumus (teorema, dalil). Rumus (teorema, dalil) merupakan perwujudan dari keteraturan, kedisiplinan, dan kekonsistenan. Oleh karena itu filosofi pembelajaran yang menekankan pada prinsip pembelajaran matematika dari contoh ke rumus, dari sederhana ke kompleks yang dipadukan dengan pembelajaran pola  matematika membawa dampak pada peningkatan kompetensi dan penguatan karakter siswa.  Semoga bermanfaat.
H.    Kepustakaan
1.         Aqib Zainal. 2003. “ Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran” Insan Cendekia. Surabaya.
2.         Depdikbud. 2003. ”Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional” Jakarta.
3.         Depdikbud. 2006. ” Standar Isi/Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika” Jakarta.
4.         Etcberger dan Shaw,1992.  Teaching change as A progressing of Teacher. Journal For Research in Mathematics Education. 92(8).
5.         Hudoyo Herman. 1990. “Strategi Mengajar Belajar Matematika” IKIP. Malang
6.         Kemendiknas. 2009. “Pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa”.Kemendiknas Jakarta
7.         Soedarsono,S. 2006. “ Hasrat Untuk Berubah”. PT. Alex Media Komputindo. Jakarta.

Kamis, 14 Maret 2013

Guru Hebat Punya Cara AMPUH

Resensi Must Prast
editor Jawa Pos
Judul Buku: Cara A.M.P.U.H Merebut Hati Murid
Pengarang: Joko Wahyono
Penerbit: Esensi
Terbit: 2012
Tebal: 144 halaman
Sumber: bukuerlangga.com
Lupakan sejenak karut-marut dunia pendidikan Indonesia yang tengah diterpa isu kontroversi unas (ujian nasional) dan RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional).  Terlepas dari segala macam problematikanya, bangsa ini membutuhkan banyak guru-guru hebat. Hebat di sini tidak hanya bicara prestasi. Hebat yang dimaksud juga termasuk dedikasi, loyalitas, pengabdian, dan pengorbanan.
Di luar sana, para peserta program Indonesia Mengajar mulai menapakkan kaki di tempat paling pelosok, paling terpencil, dan begitu tertinggal. Tempat yang sebelumnya tak pernah ada dalam bayangan mereka, para sarjana itu.
Indonesia Mengajar yang didirikan Anies Baswedan sadar bahwa yang membutuhkan pembelajaran yang menyenangkan dan sukses bukan hanya siswa perkotaan dan daerah pinggiran. Para pelajar dari daerah amat pelosok dan terluar juga berhak mendapatkannya. Siapa pun  tanpa terkecuali.
Program hampir serupa kemudian muncul. Yakni, Sarjana Mengajar di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (SM-3T). Visi perjuangannya pun sama: mengentaskan para anak-anak bangsa di daerah 3T itu dari ketertinggalan dan keterpurukan karena kurangnya dukungan terhadap pendidikan di sana.
Tentu saja menjadi peserta Indonesia Mengajar ataupun SM-3T tidak mudah. Seleksinya sangat ketat. Tidak sembarang sarjana bisa mendaftar. Pintar dalam akademis saja tidak cukup. Dibutuhkan ketahanan mental yang luar biasa. Fisik juga mesti prima. Nyali mereka harus berlipat-lipat ganda.
Tak heran jika Ketua Program SM-3T Unesa Prof Dr Luthfiyah Nurlaela langsung melontarkan gertakannya kepada calon peserta angkatan kedua yang mendaftar SM-3T. ”Bagi yang tak punya cukup nyali, yang anak mama, lebih baik mundur saja sekarang,” tegasnya.
Ini bukan sekadar gertak sambal. Ibarat pasukan komando, para peserta SM-3T itu adalah anggota korps elite yang kemampuan mental dan fisiknya di atas rata-rata personel biasa.
Sebuah peringatan yang amat wajar. Pasalnya, medan yang akan dihadapi para peserta (baik Indonesia Mengajar maupun SM-3T) sangat berat, sangat menguras emosi, sangat menguras pikiran, waktu, dan tenaga. Tak terkira betapa besar pengorbanan para peserta tadi.
Sesungguhnya, inilah kawah candradimuka sebenarnya dalam mencetak guru-guru hebat. Ilmu mengajar selama di perguruan tinggi betul-betul diaplikasikan dan ditambah inovasi mereka. Di sinilah akan timbul kreativitas.
Berkenaan dengan guru hebat, Republik Indonesia saat ini dan tahun-tahun mendatang membutuhkan buanyak tenaga pengajar dan pendidik seperti itu. Guru hebat bukanlah guru yang takut dimutasi ke daerah pinggiran. Guru hebat bukanlah guru yang rajin menuntut pencairan TPP (tunjangan profesi pendidik), namun enggan men-upgrade kemampuan dan kompetensi mengajarnya. Guru hebat bukanlah guru yang mudah putus asa terhadap suatu kondisi sulit. Juga bukan seorang pengeluh.
Itu baru sisi nonteknis. Dari sisi teknis, seorang guru hebat juga mesti memiliki kiat khusus untuk meramu pembelajaran menjadi sebuah kegiatan yang positif dan menyenangkan di kelas. Dengan begitu, transfer ilmu dan pengetahuan bisa berjalan sesuai dengan harapan.
Terkait dengan hal tersebut, tip yang diberikan Joko Wahyono, praktisi yang telah malang melintang selama 28 tahun di dunia pendidikan, dalam buku ini patut dibaca.  Ia menawarkan kiat AMPUH yang bisa menunjang pembelajaran di kelas dan diterapkan oleh guru hebat. AMPUH sendiri merupakan kependekan dari lima aplikasi. Yakni:  (A)sertif dalam bertindak, (M)enghargai murid, (P)andai membina hubungan baik, (U)saha optimal, dan (H)indarkan murid dari ancaman kekerasan.
Sebagaimana dipaparkan Joko, seorang guru hebat mesti memahami bahwa mengajar dengan baik bukanlah soal teknik, tetapi lebih pada integritas guru itu sendiri. Maksudnya, guru hebat mampu menciptakan hubungan antara dirinya, mata pelajaran yang diajarkan, dan murid-murid sehingga mereka bisa menciptakan dunianya sendiri.
Mengutip pernyataan Munif Chatib, penulis buku Gurunya Manusiasekaligus trainer Pengajar Muda Indonesia Mengajar, hak mengajar bukan berada pada guru, namun di kantong masing-masing siswa. Nah, buku karya Joko ini dengan detail menjelaskan cara merebut atau mengambil hak mengajar dari siswa sehingga pembelajaran akan menyenangkan dan sukses.


 https://mustprast.wordpress.com

Jumat, 08 Maret 2013

Kisah Pak Guru Barnabas Kedeikoto di Pedalaman Papua

USAI menyelesaikan Sekolah Pendidikan Guru Taruna Bakti Jayapura pada 1968, Barnabas Kedeikoto mengabdikan diri untuk menjadi guru di pedalaman Papua, tepatnya di Kabupaten Paniai. Seluruh pedalaman Papua dijelajahinya demi mencerdaskan anak-anak Papua hingga Februari tahun ini Pak Guru harus istirahat setelah sekian lama menyiapkan generasi muda bangsa Papua.
Sepanjang hidupnya, pria ini tidak pernah keluar dari tempat tugasnya di pedalaman pulau kepala burung ini. Bahkan meski sekadar mengunjungi keluarga di kampung halamannya. Itu pun tidak dilakukannya.
Saat liburan, hampir semua guru pergi ke kota. Namun dia tidak pernah meninggalkan tempat tugasnya. Hingga masyarakat pun menyebut dia “tekoda ewanetai kudu” yang artinya guru penjaga sekolah.
Pak Guru Kedeikoto dan murid-murid/ Foto: dokpri
Pendidikan di pedalaman Papua: Pak Guru Kedeikoto dan murid-murid (Dok. Pribadi)
Pria yang biasa disapa Pak Guru Kedeikoto ini biasanya tidak sampai setahun menjadi pengajar di satu kampung dan terus berpindah ke kampung lain, hingga seluruh pedalaman Papua betul-betul dijelajahi dan dikenalnya.
Walau harus jalan kaki melewati gunung terjal, lereng bukit dan lembah untuk berpindah dari kampung satu ke kampung lainnya, pak guru tetap jalani tugas dan tanggungjawabnya dengan setia demi mengabdi bangsa dan negara.
Di masa tuanya, pada 1989 Pak Guru Kedeikoto kembali ke kampung halamannya di Modio untuk menetap di sana. Kampung ini terletak di bagian selatan Kabupaten Paniai.
Padahal ada nota tugas dari dinas pendidikan agar Pak Guru kedeikoto bertugas di kampung lain. Namun Kedeikoto bersikeras ingin mengabdi dan menetap di kampung halaman sendiri.
Akibatnya, selama 5 bulan beliau mengajar di SD YPPK Modio tanpa gaji dan jatah beras. Pada bulan berikutnya setelah kepala sekolah di tempat beliau mengajar melaporkan ke dinas barulah gaji dan jatah berasnya dialihkan kembali untuk Pak Guru lewat Kepala Kampung kampung tempat beliau mengajar.
Saatnya pensiun
Selama mengabdi, ada banyak tantangan dialami Pak Guru, salah satunya selama enam bulan beliau mengajar kelas 1 sampai kelas 6 hanya seorang diri.
Itu terjadi pada masa transisi saat Papua diberikan OTSUS sehingga hampir semua guru ke kota. Akibatnya, sekolah sepi karena semua orang ingin mengejar uang dan jabatan.
Karena sendirian, Pak Guru mencoba membagi waktu supaya anak-anak bisa tertangani semua dan tidak ada yang dilalaikan. Kelas 1, 2 dan 3 beliau ajar di pagi hari sedangkan 4,5 dan 6 beliau ajar di sore hari.
Tahun ini adalah tahun terakhir karya dan pengabdiannya sebagai guru, karena pada Februari lalu beliau pensiun. Suasana terharu dan tangisan warga terlihat saat pembagian raport kepada murid di Aula SD YPPK Modio Kab. Dogiyai bulan Juni lalu setelah beliau menyampaikan pesan-pesan terakhir dalam karya pengabdiannya sebagai guru.
Masyarakat Modio merasa kehilangan seorang guru yang sanggup menghidupkan sekolah menjadi tempat yang nyaman untuk didiami dan bergaul bagi anak-anak.
Sekolah ini rupanya telah melahirkan tokoh seperti Lukas Karl Degei anggota DPR RI periode 2000-2004 dan Thadeus Kedeikoto anggota MPR RI periode 2000-2004.
Pada 2 Mei 2014 bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, Pak Guru merupakan salah satu yang diundang oleh pihak Dinas Pendidikan Kab. Dogiyai untuk memberikan penghargaan kepada guru-guru teladan. Sayang, undangan ini dibatalkan karena anggaran tidak cukup.
Belum tahu sampai kapan ada penghargaan buat guru-guru yang betul-betul mengabdi bagi bangsa dan negara d daerah pedalaman yang terisolir, dan hanya bisa dijangkau oleh pesawat kecil yang bergantung pada cuaca.
Pak Guru memiliki 7 anak dan saya adalah anak kedua dari 7 bersaudara.
Keterangan Foto: Pak Guru Barnabas Kedeikoto dan keponakannya. (Dokpri)

Kisah para pahlawan tanpa tanda jasa di pedalaman


Merdeka.com - Guru sering kali disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Jasa mereka untuk mencerdaskan bangsa layak diacungi jepol. Berkat para guru banyak orang pintar yang akhirnya membuat negara semakin maju. Namun apakah semua guru berhak mendapat julukan tersebut?

Meski berstatus sebagai guru namun terkadang nasib bisa berbeda. Contohnya saja soal penghasilan, tunjangan, fasilitas dan sebagainya. Mereka yang menjadi guru di kota besar seperti Jakarta tentu lebih baik di banding para guru di pedalaman. 

Salah satu kisah guru di pedalaman adalah Ade Rahayu. Mahasiswa teknik Universitas Indonesia (UI) ini menunjukkan semangat kepahlawanannya dengan mengajar di wilayah perbatasan. 

Februari 2012, menjadi pembuktiannya sebagai pahlawan muda yang turun dari menara gading untuk mencerdaskan anak-anak di SDN 06 Sungai Tembaga, titik Dusun Sungai Tembaga, Desa Tinting Seligi, Kecamatan Badau, Kalimantan Barat.

"Berangkat dari keprihatinan mengenai kondisi pendidikan di Indonesia, kami ingin melakukan suatu tindakan nyata sebagai bentuk tanggungjawab moral dan intelektual sebagai seorang mahasiswa. Hal sederhana yang terpikirkan pada waktu itu saya ingin menjadi guru, di daerah perbatasan. Kami menamakan kegiatan ini sebagai 'Gerakan Mahasiswa UI Peduli Perbatasan," ujar Ade bersemangat pada merdeka.com, Jakarta, Minggu (10/11) lalu.

Bersama rekannya, Fitrianti dan Nike, Ade menemukan hal yang memilukan hati. Pendidikan belum merata di Indonesia. Ade mendapati SD yang diajarnya hanya didukung oleh tiga guru, padahal muridnya membludak. Tak hanya itu ketidakoptimalan tenaga pengajar dan kelas ini membuat anak kelas 3 SD rata-rata masih belum bisa membaca.

"Di SDN 06 Sungai Tembaga yang pada jumlah siswa sekitar 45 orang dengan jumlah guru sebanyak 3 orang. Siswa tersebut ada yang kelas 1-5 SD, sedangkan kelas 6 belum ada siswanya. Sekolah tersebut hanya ada 4 buah kelas di mana kelas 2 ,3 dan kelas 5 hanya dipisahkan dengan sekat kayu. Siswa kelas 1-3 SD yang belum pandai membaca dan berhitung sehingga kami menyempatkan untuk belajar tambahan bersama," ungkapnya.

Namun jangan salah, letupan semangat justru datang dari anak-anak buruh perkebunan sawit. Meski dalam kondisi yang amat terbatas, nyatanya semangat anak-anak ini melampaui batas.

"Saya bisa melihat semangat besar mereka untuk belajar dan bermimpi tentang cita-cita mereka kelak. Anak-anak di sana hebatnya berani berpendapat bahkan kerap kali berebut untuk menjawab soal ataupun maju ke depan kelas," ceritanya senang.

Bukan hal mudah bagi Ade dan kawan-kawan menjalani misi mulia ini, ketika banyak orang membelanjakan uangnya untuk liburan, Ade justru rela menabung dan merogoh jutaan rupiah untuk memberikan pelita ilmu bagi anak-anak perbatasan. Ditambah perjuangan baik sebelum maupun saat berada di sana, sangat menempa fisik dan mentalnya.

"Akses transportasi yang sulit, kondisi jalan yang rusak, gempuran produk dari negeri Malaysia, dualisme kewarganegaraan, harga-harga barang kebutuhan yang mahal, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, hingga akses pendidikan yang sangat terbatas menjadi potret kehidupan saudara kita di sana," lanjut mahasiswa angkatan 2008 ini.

Beda di Kalimantan, beda lagi dengan nasib guru para anak TKI di Sabah Malaysia. Sejak tahun 2006, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mengirim guru-guru ke tengah hutan sawit di Sabah, Malaysia untuk mendidik para anak pekerja sawit asal Indonesia. Kini tidak kurang 150 guru mengajar di estat atau perkebunan di tengah belantara hutan sawit.

"Saya sudah hampir dua tahun tinggal di sini. Saya mengajar di Pintasan 7, Lahad Datu," ujar Doddi Wibowo Irsan, salah seorang guru anak pekerja perkebunan kelapa sawit di Lahad Datu kepada merdeka.com, beberapa waktu lalu di Lahad Datu.

Lokasi Doddi mengajar dan tinggal berjarak lebih dari 130 Km dari kota Lahad Datu atau hampir tiga jam perjalanan menggunakan mobil. Satu setengah jam lewat jalan raya, sisanya masuk kawasan hutan sawit yang terjal.

"Kalau hujan kami sulit keluar masuk, karena di jalan di ladang sering banjir. Tak ada kendaraan umum masuk, yang ada hanya lori (truk pengangkut sawit) kami menumpang itu untuk keluar ladang," terangnya.

Untuk mendapatkan tumpangan lori, Doddi biasa harus menunggu berjam-jam. Jarak sekitar 50 Km dari jalan raya menuju estatnya dengan medan yang berbatu dan tanah tak mungkin dia tempuh dengan berjalan kaki.

"Air untuk keperluan mandi, cuci, kakus dan keperluan lainnya, kami mengandalkan air tadah hujan. Kalau hujan datang kami tampung di penampungan dari tong, lalu dialirkan dengan pipa. Tak jarang kami tak mandi selama dua hari karena tak ada air," terangnya.

Hal senada juga diungkapkan Suwandi, pria asal Surabaya yang mengajar di kawasan perkebunan sawit di Kinabatangan, Sabah. Lokasi estat atau pemukimannya juga sulit dijangkau dan juga harus mengandalkan lori untuk keluar masuk ladang.

"Di sini satu estat, satu guru. Satu sekolah satu guru dari Indonesia. Jadi kami terpaksa mengajar satu kelas di mana di situ ada siswa kelas 1 hingga kelas enam SD, ada siswa SMP nya juga," terang Wandi.

Pola mengajar seperti itu memang terjadi di semua sekolah anak para TKI. Para cikgu hanya memberi garis di papan tulis untuk membedakan pelajaran untuk jenjang pendidikan.

"Jadi kalau hari ini matematika, maka sekelas belajar itu semua. Kelas satu belajar perkalian dua, kelas dua perkalian tiga dan seterusnya," terang Wandi.

Kisah guru-guru di perbatasan atau pedalaman memang sangat memperihatinkan. Dengan kondisi seadanya mereka tetap berjuang untuk mencerdaskan anak bangsa demi masa depan mereka yang lebih baik. Selamat berjuang para Guru, sang pendidik bangsa

Selasa, 05 Maret 2013

Serahkanlah Semuanya Pada Guru


Pendidikan II
Pagi itu kami berbincang lepas. Berkisah tentang pengalaman dan pahit manis dunia pengabdian. Semua sahabtku ini mengambil mengajar sebagai pilihan mereka. Tidak, saya tak menggap ini sekedar pilihan mencari nafkah. Tapi jalan ini diambil sebab mereka ingin turut ambil bagian, menyumbang tenaga dan pikir untuk perbaikan negeri ini. Negeri yang Allah titipkan pada kita anak-anak Indonesia.
Adalah kesyukuran bagi saya diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan mereka selama di kampus. Kawan-kawan yang memiliki integritas dan resah hatinya pada carut marutnya negeri ini. Maka, paska kampus tenaga mereka telah dinanti banyak orang untuk perbaikan. Mereka bergerak dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Berbekal sedikit modal pengalaman dan pengetahuan, mereka pun segera bergerak melakukan pengabdian bukti cintanya pada Ibu Pertiwi.
Ada yang mendidik murid-muridnya di Sekolah Aliyah (Sederajat SMA). Berkisahlah ia tentang kenakalan remaja zaman sekarang. Remaja kampung, yang hari ini telah minim pelajaran pekerti. Hasil didikan Sinetron dan Infotaiment. Menjadi pengajar butuh kesabaran ekstra memang, walau kadang segala teori tentang pendidikan karakter kerap mentah bila dihadapkan pada realita yang tengah di hadapi. “Banyak orang hanya pandai berteori tentang pendidikan berkarakter, tentang anak-anak yang tak boleh dimarahi dan dikasari. Kalau ada yang berbicara begini dihadapanku ingin saya mengajak mereka untuk mengajar langsung di tempat saya mengajar. Saya akan lihat metode seperti apa yang akan mereka gunakan.”
Ada gurat prihatin serta keluh seorang guru yang kutangkap dari sahabatku ini. Benarlah kata Ibuku yang juga seorang guru. “Mendidik anak-anak di zaman ini bukanlah pekerjaan mudah. Semua ada seninya, bahkan dalam keadaan marah pun kita mesti pandai mengelola emosi. Harus kita marah pada anak yang telah kelewatan perilakunya, marah kita bukan pada individunya tapi pada perilakunya, marah pada keadaan yang membuatnya berperilaku tak pantas.” Yah begitulah, saya yakin ada banyak kisah pilu yang dihadapinya dalam mengajar dan mendidik siswanya.
Ada kisah lain, dituturkan sahabat saya yang memilih untuk membina pondok pesantren di daerahnya. Tentang sekumpulan warga yang tak terima pada perilaku guru. Pondok didatangi oleh sejumlah orang di bawah pengaruh minuman keras. Ancaman dan intimidasi di terima. Menuntut untuk memberikan hukuman pada guru. Alhasih teman gurunya di masukan ke dalam sel selama tiga hari. “Si Guru memang salah, ia memukul siswa yang berbuat ulah di pondok. Namun demikian, apa yang dilakukannya masih dalam tahap wajar menurut saya. Tak ada yang berlebihan. Reaksi para warga saja yang berlebihan. Anak yang diberikan hukuman oleh teman saya juga adalah anak yang bandel. Dari pada menjadi “penyakit” lebih baik dikerasi agar menjadi contoh untuk teman-temannya.” Ungkap sahabat saya berkisah.
Ya…tak mudah memang. Mendidik anak-anak dikampung dengan segala keterbatasan dan permasalahannya, butuh hati yang ekstra. Harus lebih sabar menghadapi siswa, lebih sabar menghadapi masyarakat, bahkan juga mesti lebih sabar menerima honor yang tidak seberapa. Dari dahulu hingga sekarang begitulah pengabdian, selalu mensaratkan pengorbanan.
Adalah hal yang aneh tentu. Dengan kondisi pendidikan yang belum merata seperti ini, Ujian Nasional masih digunakan sebagai standar kelulusan. Mutu dan kwalitas pendidikannya jelas berbeda. Siswa-siswi yang hidup di desa, yang kesehariannya membantu orang tuanya di kebun, yang fasilitas belajarnya terbatas, yang pekerjaan bapak ibunya petani, yang kondisi ekonominya menengah kebawa, akan disamakan dengan anak-anak kota dengan segala fasilitas penunjang dan lingkungan yang mendukung. Yang orang tuanya mayoritas adalah dosen atau pekerja kantor. Jelas tak sama, maka standarnya pun mestinya berbeda. Tidak boleh ada penyemarataan standar dengan kondisi pendidikan yang belum merata.
Ah…pendidikan negeri ini terlalu pelik untuk dibincangkan. Mulai dari kurikulum yang berganti-ganti, kebijakan menteri yang selalu berubah di setiap perganitan kabinet, adalah cerita lama yang belum usai sampai hari ini. Maka tak salah kalau ada yang berujar, bahwa guru, siswa, sekolah, dan pendidikan negeri ini, telah menjadi labortorium coba-coba yang kita tahu mana bagaimana hasilnya. Terkahir, wacana pendidikan mengarah pada pendidikan karakter.
Sudahlah…kita sudah lelah dengan semua coba-coba ini. Mendidik sajalah, mengajar sajalah, serahkan semuanya pada guru. Mereka yang lebih tau dan mengerti, seperti apa baiknya mereka mendidik siswa-siswinya. Tinggal mekanisme kontrol yang perlu diperbaiki. (Fahry)
sumber : catatanfahry.wordpress.com

GURU – EDELWEISS INDONESIAKU


Pagi ini seperti pagi-pagi biasanya, langit cukup cerah yang dihiasi awan-gemawan berwarna biru laut. Begitu eksplisit di sana tentang betapa indahnya lukisan dari Sang Khalik. Di langit nan biru itu tergantung pula cita-cita anak kecil nun lugu. Tak dapat ku imajinasikan bagaimana bila langit runtuh. Maka runtuhlah cita-cita anak-anak kecil nun lugu itu. Kalian tentu bertanya-tanya. Apa hubungannya buah pikiran ku tadi. Tidak ada kawan. Itu hanya utopia nirmakna. Tapi coba kawan, ingatkah kalian pada saat masih kecil, saat kita duduk dengan manis di bangku sekolah, dengan segenap semangat dan ketulusan menuntut ilmu, guru kita selalu berpesan “Gantunglah cita-citamu setinggi langit di angkasa”. Inilah yang menjadi pijakan pertama pikiran ngawur tadi. Bahwa “Cita-cita yang digantung di langit akan jatuh ditelan bumi beriringan dengan langit yang runtuh”. Tidak logika dan terlalu mengada-ngada. Tentang “menuntut ilmu” tadi, rasa-rasanya pikiran ini tidak begitu siap untuk menerima dengan ikhlas kata-kata “menuntut” ilmu. Terkesan kapitalis, kawan. Bagaimana kalau kita menggantinya dengan kata “mengeruk”? Tapi, ini juga terlalu bersinggungan dengan kehidupan saudara kita yang termarjinalkan. “Menanam”? “Memungut”? Ah, sudahlah ini tidak begitu masalah pada hakikatnya. Tidak perlu kita membuang waktu kita untuk perdebatan istilah. Berharap saja, ketika bangun pagi esok, Sang Khalik berkenan memberikan satu kosa kata baru, yang padan dengan kata “menuntut”.
Sejurus waktu setelah itu, kemudian aku termenung, entah apa yang menghendaki kontemplasiku kali ini. Ini semua dampak pikiran liar dan tidak logis tentang “cita-cita” – “langit runtuh” dan “guru”. Nah kata yang terakhir ini sebenarnya yang menjadi pemantik sehingga seisi tubuhku bergejolak. Segenap alam pikiranku seakan bangkit dari segala masa tidurnya selama ini. Hatiku berdebar-debar, pipiku memerah bak seorang perawan tua yang akan dilamar bujang lapuk, atau sebaliknya. Mengapa seperti ini? Guru. Guru kawan. Ya mereka-lah yang berperan besar sedemikian rupa hingga aku bisa membaca-menulis-menggambar-berkomunikasi dengan siapapun. Aku menyadarinya. Tidakkah kalian juga mengingat kenangan-kenangan tentang guru kalian?
Jika otak kita diilustrasikan sebagai sebuah radio, mari kita putar balik rekaman kehidupan bersama guru kita dulu. Pasti diantara kamu ada yang menolaknya kawan. Ku duga engkau adalah anak yang nakal. Pasti telinga dan betismu sudah sering menjadi bulan-bulanan tangan gurumu pada saat itu. Atau, ku tebak betismu yang berukuran 2 kali lebih besar dari betis Roberto Carlos adalah hasil panen dari hukuman berdiri satu kaki yang dimandatkan gurumu padamu. Wahai engkau anak nakal. Attitudemu sungguh tak terpuji. Mungkin jika aku bisa memberikan ucapan padamu, kaulah anak kecil yang tak beradat kawan.
Kembali kita pada permenungan tentang guru. Kawan, masih ingatkah kau tembang “Oemar Bakrie” yang dilantunkan Bang Iwan Fals itu? Ini sungguh tembang yang melegenda kawan. Bukan maknanya yang melegenda. Tapi karena performa guru yang dideskripsikan pada lagu itu sungguh legenda kawan. Sepertinya guru yang dimaksud disitu hidup pada zaman bawang merah bawang putih. Berdiri jauh dari peradaban modernisme. Betapapun melegendanya Guru dalam lagu itu, aku yakin Dia begitu berjasa. Semangat juangnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa begitu besar. Tentu itu keadaannya. Maka dari itu janganlah kau mengumpat dalam hati tentang guru dalam lagu itu, seakan kau akan mengkritisi politisi di gedung DPR sana. Tentang ketulusan seorang Guru digambarkan dalam caranya sendiri oleh Andrea Hirata dalam Novelnya Laskar Pelangi. Bu Mus. Ya, Ibu Muslimah nama gurunya. Tentunya tidak perlu saya ulang kata per-kata tentang Bu Mus yang ada dalam novel itu. Satu hal yang pasti, ketika kita menaruh mata pada cerita itu hati kita akan tergugah pada sebuah nilai kemanusiaan yang berpendar dari guru itu. Dari segala keterbatasan fasilitas belajar mengajar, sekolah yang tidak aduhai – dengan kondisinya yang mengenaskan dan hampir gulung tikar, belum lagi tingkat kemampuan murid-muridnya dalam memahami ilmu yang diberikan jauh dari kata memuaskan. Ini semua tidak bisa mematahkan semangat dan ketulusan bu guru dalam cerita itu untuk mendidik si keriting Ikal dan kawan-kawannya yang lugu itu. Episode kehidupan yang semacam ini sudah sangat jarang kita temui di daerah perkotaan yang diselimuti kemewahan dan dominasi kaum kapitalis.
Image
Lukisan-lukisan kehidupan tentang guru seperti itu sejujurnya pun hanya segelintir dari jutaan lukisan lainnya yang dapat menyampaikan makna betapa luar biasanya ketulusan seorang guru dalam mendidik kita. Pernahkah kita mendengar Indonesia Mengajar?Ya. Program yang sangat mulia ini, sedikit banyak dapat memberikan contoh pada kita betapa Guru dalam konteksnya menjadi seorang lakon yang sangat patriotik, mengajar hingga ke daerah antah berantah sekalipun. Tidak terjamah listrik dan air bersih sekalipun. Jangan tanyakan perkembangan dan hasil tugas mulia Guru ini pada mereka di DPR sana? Tidak sedikitpun mereka peduli akan hal ini kawan. Jika engkau menanyakan padaku, siapa penjajah hak dan uang kita saat ini? Merekalah jawabanku di urutan pertama. Urutan kedua-koruptor, dan ketiga-cukong kayu.
Sungguh mulia tugas seorang Guru. Benar saja, pernahkah kita menyadari apa jadinya nasib kita apabila kita tidak dapat membaca, menulis, berkomunikasi dengan orang disekitar kita? Ini hal yang sungguh sederhana namun tidak mudah untuk dikerjakan kawan. Dulu aku pernah melihat seorang anak kecil, di taman kanak-kanak, “Badung” mungkin namanya. Anaknya sungguh nakal, ciri-ciri fisiknya saja sudah seperti miniatur preman pasar. Sungguh badung dan usil. Kalau saja aku dapat berujar padanya saat itu, akan ku katakan padanya bahwa dia adalah anak tidak tahu diri. Kawan bisa saja menyebutku terlalu kasar. Namun poinnya adalah, betapa hati ini tergerus melihat kenakalan anak ini, Gurunya yang sudah bersusah payah mengajarnya, berulang kali diacuhkan olehnya, diajari baca tulis-tidak mau, diajari membuat puisi-apalagi, namun jika ada sesi makan bubur kacang hijau-dia akan berubah menjadi monster pemangsa bubur paling kejam di dunia. Betapa tidak, semua giginya sudah berwarna hitam dan tidak menarik lagi. Itupun yang tersisi tinggal 1, gigi susu. Sejatinya dia tak akan melewatkan setiap sesi makan bubur kacang hijau disekolahnya.
Dengarkanlah kawan, seorang yang menghormati jasa-jasa gurunya adalah seseorang yang nantinya akan mendapat nikmat yang tidak terkira dari Sang Khalik. Ingatlah kawan, tidak ada apa-apanya diri kita ini tanpa jasa-jasa guru kita, inilah pelajaran hidup. Boleh saja sesekali kita mengumpat karena kesal mengingat betapa kita dulu diperlakukan tidak adil dan semena-mena. Kita disuruh untuk menguasai seluruh mata pelajaran di sekolah, jika tidak bisa dan berujung nilai buruk, kiamatlah dunia ini. Kita akan jadi bulan-bulanan di depan kelas, betapa harga diri ini telah mendapat diskon besar-besaran. Namun percayalah kawan, di lubuk hati guru yang terdalam, Dia hanya ingin melihat muridnya menjadi pintar, cerdas, dan menjadi manusia yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, lingkungan, dan bangsanya. Tidaklah pernah mereka berharap lebih dari kita murid-muridnya ini, materi sekalipun itu. Sekali lagi kuyakinkan bahwa bukan itu kebanggan mereka. Percayalah, ketika ilmu yang pernah diberikannya kita terapkan dengan sangat baik dan mempunyai nilai guna bagi kemaslahatan orang-orang, saat itulah kebanggan mereka bera-api dalam hati mereka. Jasa dan ketulusan mereka bak BUNGA EDELWEISS. ABADI.
SEKIAN.

Tulisan ini ku dedikasikan untuk guru-guru yang pernah mengajarku sejak aku masih di taman kanak-kanak, hingga saat ini. Terkhusus kepada kedua orang tuaku yang juga adalah Pejuang Pendidikan (Guru). Tidak lepas pula terhadap orang-orang yang pernah menjadi “Guru” dalam Kehidupanku.

“Murid yang besar adalah murid yang mengingat dan menghargai jasa dan segenap ilmu yang telah diberikan Gurunya padanya.” (Prof. Barda Nawawi Arief,S.H.)

Hormatku
Putra PM Siregar
sumber :putrasiregar15.wordpress.com 

Indonesia Mengajar 2 : Kisah Para Penyala Harapan Bangsa Mengajar Di Pelosok Tanah Air




 RESENSI BUKU

DESKRIPSI BUKU
Judul                              : Indonesia Mengajar 2 : Kisah Para Penyala Harapan Bangsa Mengajar
                                        Di Pelosok Tanah Air
Penyunting                    : Ikhdah Henny dan Retno Widyastuti
Penerbit                        : Bentang Yogyakarta
Tahun Terbit                 : 2012
Fisik buku                      : xviii, 435 hlm.; bible.; ilus.; 20 cm
ISBN                              : 978-602-8811-82-8

RESENSI
Pada buku Indonesia Mengajar 2 ini menyajikan kisah 72 anak-anak muda terbaik dari ribuan anak muda hebat lainnya yang rela meninggalkan kenyamanan kota, bersusah-susah hidup di desa terpencil. Karya ini merangkum perjalanan mereka dengan berbagai kesulitan, hambatan, tangis dan tawa yang dijalani dengan ikhlas sebagai pengajar muda, mengabdi menjadi guru Sekolah Dasar di berbagai penjuru Tanah Air.
Buku ini sangat menarik, dan topik dalam buku ini masih relative update, terlebih ide dari buku ini adalah mengangkat kisah perjuangan anak-anak bangsa dari gerakan Indonesia Mengajar yang diprakarsai oleh Anis Baswedan, Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dasar dan Menengah, Kabinet Presiden Jokowi.
Kelebihan buku ini, didesain seperti cerita pendek, sehingga tidak membosankan pembaca, 72 judul untuk 72 kisah berbeda yang dikemas secara menarik dan disajikan sangat praktis. Dengan menggunakan kalimat dan bahasa yang sederhana agar mudah dimengerti oleh pembaca. Dilengkapi dengan profil para pengajar muda tersebut dan foto-foto yang menyentuh hati selama mereka berjuang dan berjaya, menjadi saksi bahwa bagaimana sebuah karya, betapapun kecilnya bisa menggulirkan perubahan yang besar. Namun, sayangnya foto-foto yang ada tidak terdapat keterangan tempat pengambilan foto, berikut penjelasan dari kegiatan dalam foto tersebut, sehingga pembaca harus membaca keseluruhan kisah untuk bisa memahami maksud dari foto-foto tersebut.
Karya ini menjadi pembuka cakrawala bagi pembaca bahwa di berbagai pelosok negeri masih banyak sisi kehidupan menarik yang belum kita ketahui. Dengan mengikuti lembaran demi lembaran kisah-kisah yang ada di buku ini akan sangat menginspirasi bagi anak muda lainnya, dan mengetuk hati para pembaca yang telah diberi kemudahan dan kemakmuran untuk bisa berbagi dan peduli untuk membangun negeri. Bahwa yang dilakukan oleh anak-anak muda itu bukanlah sebuah pengorbanan, tetapi lebih dari suatu kehormatan dalam mewakili bangsa ini untuk memberikan harapan, memupuk optimisme, dan menyampaikan pesan ke seluruh pelosok negeri bahwa mereka yang ada di sana pun adalah se-Bangsa dan se-Tanah Air. Melalui karya ini, pembaca bukan hanya akan belajar cinta dan pengabdian dari para pengajar muda itu, pembaca juga bisa belajar dari murid-murid di berbagai pelosok negeri ini akan arti kesungguhan, semangat yang tak pernah retak, dan bahkan optimisme bahwa keterbatasan itu tidak menghambat sebuah cita-cita