Program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) telah menginjak angkatan III pada 2013. SM-3T merupakan program yang diadakan oleh Dikti dengan teknis menyebarkan sarjana-sarjana ke daerah 3T selama satu tahun pengabdian guna mengembangkan pendidikan di sana. SM-3T angkatan III dimulai pada September 2013 dan berakhir pada Agustus 2014. Peserta SM-3T yang berangkat melaksanakan program SM-3T berjumlah 287 sarjana dari 300 peserta yang lolos seleksi di UM. Setiap peserta SM-3T tentu memiliki alasan mengikuti program tersebut. Program SM-3T bukanlah program yang mudah untuk dilaksanakan. “SM-3T memberi pengalaman hidup yang sesungguhnya,” ungkap Aang Saptadri Yahya, salah satu peserta SM-3T angkatan III yang ditempatkan di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Penempatan SM-3T Kabupaten Sumba Timur terdapat 16 orang almamater UM dan 63 orang lain yang berasal dari gabungan almamater UNESA, IKIP Madiun, Universitas Negeri Jember, dan Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Mahasiswa Pendidikan Kimia tersebut menjelaskan bahwa sebagai calon guru profesional harus berlatih mandiri dan peduli terhadap sesama, menjunjung toleransi antar umat beragama serta menjadi agen perubahan di masyarakat.
Aang, begitu kerap disapa, mengaku sempat takut tidak lolos seleksi SM-3T. “Mengingat program mendidik di daerah waktu itu sedang tren seperti Indonesia Mengajar dan Jatim Mengajar. Selain itu, peminatnya juga banyak dan tidak semua yang mendaftar bisa diterima,” ungkapnya. Namun, dirinya tetap optimis dalam mengikuti tahapan seleksi, mulai dari tahap administrasi, tes akademik via online, wawancara, tes kepribadian, dan terakhir prakondisi.
Di dalam masa pengabdiannya bergabung dalam program SM-3T, Aang dan seorang sarjana lain ditugaskan di Desa Nggongi, Kecamatan Karera, berjarak ± 130 km dari pusat Kota Waingapu. Menurutnya, untuk mencapai Nggongi diperlukan waktu sekitar 7-12 jam bergantung dari banyaknya penumpang di oto. Oto adalah kendaraan roda empat seperti truk yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa digunakan untuk diduduki oleh penumpang. Tidak hanya manusia yang dimuat tetapi juga hewan, minyak tanah, dan material bangunan. Menurut pemuda kelahiran Mojokerto tersebut, jalan yang dilalui juga tak semulus jalan di Jawa. Bahkan rusaknya jalan pantura di Pulau Jawa tidak sengeri jalan di Sumba Timur. Dalam pandangan Aang, untuk ukuran daerah 3T, Nggongi sudah cukup lengkap.
Aang ditempatkan di SMKN 6 Karera. Sekolah tersebut merupakan sekolah yang baru berdiri pada 2013. Jumlah guru di sana tidak dapat dijawab pasti karena ada beberapa guru yang selama satu tahun sama sekali belum datang ke sekolah dengan berberapa alasan. Menurut Aang, guru yang aktif, yaitu kepala sekolah (PNS), seorang wakil kepala sekolan (PNS), delapan orang guru honorer dan ditambah dua orang peserta SM-3T. SMKN 6 Karera membuka dua jurusan, yaitu pertanian dan peternakan. SMKN 6 mempunyai 89 siswa kelas XI dan 80 siswa kelas X.
SMKN 6 Karera berlokasi di tengah-tengah padang sabana. Tidak ada tetangga, mes guru belum dibangun, belum ada sumur, dan listrik juga belum menjangkau sekolah. “Sehingga selama bertugas menjadi guru SM-3T, kami menumpang tinggal di mes guru SMPN 1 Ngadu Ngala yang lebih dekat dengan pusat kecamatan. Setiap harinya kami harus berjalan kaki 7 km pulang – pergi dari sekolah. Untuk sampai di sekolah, jalan yang ditempuh tidak semuanya mulus. “Ya, butuh waktu setidaknya 50 menit setiap harinya. Bila musim hujan tiba, waktu bertambah, rata-rata satu jam lebih,” terang pemuda yang hobi fotografi tersebut. Perjalanan yang mereka tempuh tidak seberapa jika dibandingkan para siswa. Siswa di sana rata-rata rumahnya belasan km dari sekolah. Kadang mereka sering terlambat karena rute yang mereka tempuh sangat jauh.
“Nggongi adalah sebuah harapan. Tempat dimana anak-anak kecamatan Karera menjadi penerus untuk memajukan daerahnya,” kata Aang. Menurutnya, mendidik mereka bukanlah urusan mudah. Guru-guru disana cenderung menempa mereka dengan cara keras. “Pukul kepala, lapis wajah, dan tendang kaki adalah makanan sehari-hari bagi siswa yang bermasalah di sekolah,” tambahnya. Namun apa mau dikata, semua itu sudah seperti “budaya” dalam mendidik yang sulit diputus mata rantainya.
Aang mengaku bahwa sebagai guru SM-3T, terkadang dirinya ikut terbawa dengan cara mendidik guru setempat. Namun pada akhirnya, menyerah bukanlah solusi. Ia terus berusaha dan mencoba melakukan berbagai pendekatan agar anak-anak menjadi disiplin. “Dan hasilnya memang ada, anak-anak cenderung menyukai guru yang mudah bergaul dengan mereka,” tuturnya. Cara yang ia lakukan adalah menyempatkan waktu untuk ngobrol dan jalan bersama di luar jam sekolah. Dari sinilah guru SM-3T bisa mengambil langkah yang baik untuk mendidik mereka dengan cara yang baik pula.
“Lewat SM-3T saya belajar banyak hal dari siswa saya. Hidup dalam kesederhaan namun asa harus tetap menyala. Tidak mudah untuk menjalaninya. Namun, saya yakin, saya tidak sendiri. Saya melaluinya dengan masyarakat yang penuh kehangatan,” ujar Aang. Baginya, ikut SM-3T tidak hanya mengabdi di sekolah. Lebih dari itu ia harus mampu memberi perubahan untuk masyarakat sekitar ke arah yang lebih baik.
Ketika ditanya mengenai hal paling berat dan sulit untuk dijalani ketika mengikuti program SM-3T, Aang mengaku bahwa menjadi minoritas dalam kehidupan beragama adalah tantangan terberat. “Ya, di Desa Nggongi mungkin kami berdua saja yang muslim dari sekitar seratus sembilan penduduk desa yang memeluk Kristen Protestan dan Katholik,” tuturnya. Keimanan sering kali diuji di tempat tugas. Kehadiran babi dan anjing yang berkeliaran di sekitar tempat tinggal, menjadi hambatan tersendiri. Belum lagi jika datang ke acara adat kemudian terhidang daging babi dan peci (baca: minuman beralkohol) yang diharamkan. Semua itu harus dikomunikasikan dengan baik supaya toleransi antarumat beragama tetap utuh.
“Untungnya, masyarakat Desa Nggongi sangat toleran terhadap muslim. Mereka sangat menghormati keyakinan dan agama kami. Bahkan, ketika kami diundang untuk datang makan di acara pesta atau adat, mereka mempersilahkan kami untuk memotong sendiri ayam atau kambing yang akan kami santap bersama,” jelas pemuda yang lahir pada 18 Pebruari 1990 itu. Aang menuturkan bahwa 12 ekor ayam dan seekor kambing jantan telah ia sembelih selama SM-3T.
Aang mengatakan bahwa hikmah yang bisa ia petik setelah kembali ke Jawa, tentunya harus bisa lebih menghormati perasaan orang lain yang menjadi minoritas dalam kehidupan beragama. “Hanya toleransi antar umat beragamalah yang menjadi satu-satunya jembatan penghubung di tengah kebhinekaan kita,” kata pemuda yang pernah menjuarai LKTI Masyarakat Ilmiah Pemuda Indonesia (MIPI) 2010 itu.
Bagi Aang, SM-3T adalah sebuah pilihan untuk mengabdi di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Tidak semua orang berkesempatan untuk mengikutinya.Setiap orang punya pilihan. Baginya, ikut SM-3T adalah sebuah tantangan untuk membuktikan, benarkah dirinya dulu masuk jurusan keguruan hanya karena ikut-ikutan atau dari hati terdalam ingin benar-benar menjadi guru? “Tidak ada alasan untuk enggan mendidik di luar Pulau Jawa. Selama masih ada panggilan nurani, apa salahnya kita mencoba datang untuk mengabdi mencerdaskan anak-anak sampai ke pelosok negeri,” tuturnya.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Supriyono, M. Pd., salah satu peninjau SM-3T di Manggarai. Dekan FIP tersebut menegaskan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, keberadaan peserta SM-3T harus diketahui motivasinya, apakah benar-benar ingin mengabdi atau hanya mencari peluang untuk Pendidikan Profesi Guru (PPG). Menurut Prof. Dr. Supriyono, M. Pd., passion sebagai pendidik harus digali dan diuji guna meningkatkan kompetensi profesional guru. “Kedua, sebagai sebuah program, SM-3T perlu dilanjutkan dan diteruskan,” tuturnya. “Ketiga, peserta SM-3T harus dibekali cukup tentang pendidikan dan kemasyarakatan,” ungkap Prof. Dr. Supriyono, M. Pd. Para peserta SM-3T diangap lebih tahu, serba tahu, dan dijadikan tokoh dalam masyarakat. “Pengajaran harus berbasis contoh konkret. Dengan adanya program ini, guru-guru di sana bisa memperoleh pencerahan karena para peserta SM-3T lebih inovatif,” terangnya.
Perjalanan panjang telah dilalui Aang selama masa pengabdian satu tahun dalam program SM-3T. Aang mengungkapkan bahwa mengabdi setahun di daerah 3T adalah sebuah motivasi. “Tidak ada kesuksesan yang didapat secara instan. Begitulah petuah orang tua. Semua itu butuh proses yang tidak sebentar. Kadang harus terseok-seok dahulu bahkan sampai terjatuh. Namun, tidak sedikit kebahagiaan yang dirasa saat menempuhnya,” tutur pemuda 24 tahun tersebut. Baginya, keberadaan anak-anak SMKN 6 Karera dalam menuntut ilmu menjadi semangat tersendiri untuk menjadi calon guru profesional. “Mereka memberi warna. Hitam dan putih kadang tercipta selaras dengan berjalannya waktu. Untuk itulah mendidik dengan setulus hati akan melahirkan generasi-generasi hebat untuk Indonesia,” pungkasnya.
Aang, begitu kerap disapa, mengaku sempat takut tidak lolos seleksi SM-3T. “Mengingat program mendidik di daerah waktu itu sedang tren seperti Indonesia Mengajar dan Jatim Mengajar. Selain itu, peminatnya juga banyak dan tidak semua yang mendaftar bisa diterima,” ungkapnya. Namun, dirinya tetap optimis dalam mengikuti tahapan seleksi, mulai dari tahap administrasi, tes akademik via online, wawancara, tes kepribadian, dan terakhir prakondisi.
Di dalam masa pengabdiannya bergabung dalam program SM-3T, Aang dan seorang sarjana lain ditugaskan di Desa Nggongi, Kecamatan Karera, berjarak ± 130 km dari pusat Kota Waingapu. Menurutnya, untuk mencapai Nggongi diperlukan waktu sekitar 7-12 jam bergantung dari banyaknya penumpang di oto. Oto adalah kendaraan roda empat seperti truk yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa digunakan untuk diduduki oleh penumpang. Tidak hanya manusia yang dimuat tetapi juga hewan, minyak tanah, dan material bangunan. Menurut pemuda kelahiran Mojokerto tersebut, jalan yang dilalui juga tak semulus jalan di Jawa. Bahkan rusaknya jalan pantura di Pulau Jawa tidak sengeri jalan di Sumba Timur. Dalam pandangan Aang, untuk ukuran daerah 3T, Nggongi sudah cukup lengkap.
Aang ditempatkan di SMKN 6 Karera. Sekolah tersebut merupakan sekolah yang baru berdiri pada 2013. Jumlah guru di sana tidak dapat dijawab pasti karena ada beberapa guru yang selama satu tahun sama sekali belum datang ke sekolah dengan berberapa alasan. Menurut Aang, guru yang aktif, yaitu kepala sekolah (PNS), seorang wakil kepala sekolan (PNS), delapan orang guru honorer dan ditambah dua orang peserta SM-3T. SMKN 6 Karera membuka dua jurusan, yaitu pertanian dan peternakan. SMKN 6 mempunyai 89 siswa kelas XI dan 80 siswa kelas X.
SMKN 6 Karera berlokasi di tengah-tengah padang sabana. Tidak ada tetangga, mes guru belum dibangun, belum ada sumur, dan listrik juga belum menjangkau sekolah. “Sehingga selama bertugas menjadi guru SM-3T, kami menumpang tinggal di mes guru SMPN 1 Ngadu Ngala yang lebih dekat dengan pusat kecamatan. Setiap harinya kami harus berjalan kaki 7 km pulang – pergi dari sekolah. Untuk sampai di sekolah, jalan yang ditempuh tidak semuanya mulus. “Ya, butuh waktu setidaknya 50 menit setiap harinya. Bila musim hujan tiba, waktu bertambah, rata-rata satu jam lebih,” terang pemuda yang hobi fotografi tersebut. Perjalanan yang mereka tempuh tidak seberapa jika dibandingkan para siswa. Siswa di sana rata-rata rumahnya belasan km dari sekolah. Kadang mereka sering terlambat karena rute yang mereka tempuh sangat jauh.
“Nggongi adalah sebuah harapan. Tempat dimana anak-anak kecamatan Karera menjadi penerus untuk memajukan daerahnya,” kata Aang. Menurutnya, mendidik mereka bukanlah urusan mudah. Guru-guru disana cenderung menempa mereka dengan cara keras. “Pukul kepala, lapis wajah, dan tendang kaki adalah makanan sehari-hari bagi siswa yang bermasalah di sekolah,” tambahnya. Namun apa mau dikata, semua itu sudah seperti “budaya” dalam mendidik yang sulit diputus mata rantainya.
Aang mengaku bahwa sebagai guru SM-3T, terkadang dirinya ikut terbawa dengan cara mendidik guru setempat. Namun pada akhirnya, menyerah bukanlah solusi. Ia terus berusaha dan mencoba melakukan berbagai pendekatan agar anak-anak menjadi disiplin. “Dan hasilnya memang ada, anak-anak cenderung menyukai guru yang mudah bergaul dengan mereka,” tuturnya. Cara yang ia lakukan adalah menyempatkan waktu untuk ngobrol dan jalan bersama di luar jam sekolah. Dari sinilah guru SM-3T bisa mengambil langkah yang baik untuk mendidik mereka dengan cara yang baik pula.
“Lewat SM-3T saya belajar banyak hal dari siswa saya. Hidup dalam kesederhaan namun asa harus tetap menyala. Tidak mudah untuk menjalaninya. Namun, saya yakin, saya tidak sendiri. Saya melaluinya dengan masyarakat yang penuh kehangatan,” ujar Aang. Baginya, ikut SM-3T tidak hanya mengabdi di sekolah. Lebih dari itu ia harus mampu memberi perubahan untuk masyarakat sekitar ke arah yang lebih baik.
Ketika ditanya mengenai hal paling berat dan sulit untuk dijalani ketika mengikuti program SM-3T, Aang mengaku bahwa menjadi minoritas dalam kehidupan beragama adalah tantangan terberat. “Ya, di Desa Nggongi mungkin kami berdua saja yang muslim dari sekitar seratus sembilan penduduk desa yang memeluk Kristen Protestan dan Katholik,” tuturnya. Keimanan sering kali diuji di tempat tugas. Kehadiran babi dan anjing yang berkeliaran di sekitar tempat tinggal, menjadi hambatan tersendiri. Belum lagi jika datang ke acara adat kemudian terhidang daging babi dan peci (baca: minuman beralkohol) yang diharamkan. Semua itu harus dikomunikasikan dengan baik supaya toleransi antarumat beragama tetap utuh.
“Untungnya, masyarakat Desa Nggongi sangat toleran terhadap muslim. Mereka sangat menghormati keyakinan dan agama kami. Bahkan, ketika kami diundang untuk datang makan di acara pesta atau adat, mereka mempersilahkan kami untuk memotong sendiri ayam atau kambing yang akan kami santap bersama,” jelas pemuda yang lahir pada 18 Pebruari 1990 itu. Aang menuturkan bahwa 12 ekor ayam dan seekor kambing jantan telah ia sembelih selama SM-3T.
Aang mengatakan bahwa hikmah yang bisa ia petik setelah kembali ke Jawa, tentunya harus bisa lebih menghormati perasaan orang lain yang menjadi minoritas dalam kehidupan beragama. “Hanya toleransi antar umat beragamalah yang menjadi satu-satunya jembatan penghubung di tengah kebhinekaan kita,” kata pemuda yang pernah menjuarai LKTI Masyarakat Ilmiah Pemuda Indonesia (MIPI) 2010 itu.
Bagi Aang, SM-3T adalah sebuah pilihan untuk mengabdi di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Tidak semua orang berkesempatan untuk mengikutinya.Setiap orang punya pilihan. Baginya, ikut SM-3T adalah sebuah tantangan untuk membuktikan, benarkah dirinya dulu masuk jurusan keguruan hanya karena ikut-ikutan atau dari hati terdalam ingin benar-benar menjadi guru? “Tidak ada alasan untuk enggan mendidik di luar Pulau Jawa. Selama masih ada panggilan nurani, apa salahnya kita mencoba datang untuk mengabdi mencerdaskan anak-anak sampai ke pelosok negeri,” tuturnya.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Supriyono, M. Pd., salah satu peninjau SM-3T di Manggarai. Dekan FIP tersebut menegaskan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, keberadaan peserta SM-3T harus diketahui motivasinya, apakah benar-benar ingin mengabdi atau hanya mencari peluang untuk Pendidikan Profesi Guru (PPG). Menurut Prof. Dr. Supriyono, M. Pd., passion sebagai pendidik harus digali dan diuji guna meningkatkan kompetensi profesional guru. “Kedua, sebagai sebuah program, SM-3T perlu dilanjutkan dan diteruskan,” tuturnya. “Ketiga, peserta SM-3T harus dibekali cukup tentang pendidikan dan kemasyarakatan,” ungkap Prof. Dr. Supriyono, M. Pd. Para peserta SM-3T diangap lebih tahu, serba tahu, dan dijadikan tokoh dalam masyarakat. “Pengajaran harus berbasis contoh konkret. Dengan adanya program ini, guru-guru di sana bisa memperoleh pencerahan karena para peserta SM-3T lebih inovatif,” terangnya.
Perjalanan panjang telah dilalui Aang selama masa pengabdian satu tahun dalam program SM-3T. Aang mengungkapkan bahwa mengabdi setahun di daerah 3T adalah sebuah motivasi. “Tidak ada kesuksesan yang didapat secara instan. Begitulah petuah orang tua. Semua itu butuh proses yang tidak sebentar. Kadang harus terseok-seok dahulu bahkan sampai terjatuh. Namun, tidak sedikit kebahagiaan yang dirasa saat menempuhnya,” tutur pemuda 24 tahun tersebut. Baginya, keberadaan anak-anak SMKN 6 Karera dalam menuntut ilmu menjadi semangat tersendiri untuk menjadi calon guru profesional. “Mereka memberi warna. Hitam dan putih kadang tercipta selaras dengan berjalannya waktu. Untuk itulah mendidik dengan setulus hati akan melahirkan generasi-generasi hebat untuk Indonesia,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar