(K-13) yang perlu dipertanyakan adalah diwajibkannya ekstrakurikuler
Pramuka. Kebijakan tersebut didasarkan pada pertimbangan sederhana
mengenai urgensi diperlukannya alat pendidikan karakter bagi generasi
muda di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Namun apakah Pramuka
wajib ini akan efektif atau hanya reaktif?
Hampir semua sekolah yang merupakan pangkalan atau gugus kegiatan
Pramuka mengalami kebingungan perihal pola pendidikan kepramukaan yang
mesti sesuai dengan 'keinginan' pemerintah. Mengambil contoh pada
jenjang pendidikan menengah atas, peserta didik kelas X dan XI wajib
mengikuti ekstrakurikuler Pramuka. Tentu menjadi hal yang fantastis
dari segi kuantitas yang akan mengikuti kegiatan tambahan ini. Tentu
bangga bahwa Pramuka makin diakui eksistensinya, namun perlu
dipertanyakan persiapan matang ketika Pramuka diikuti dengan sedikit
penekanan 'wajib'.
Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud harus proaktif menjalin kerjasama
aktif dengan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dalam menenntukan arah
pembinaan karakter melalui Pramuka. Pemerintah juga jangan lantas
menutup mata dengan alasan penyeragaman minat kegiatan tambahan
Pramuka akan mampu mengurai kemiskinan karakter peserta didik.
Penanganan atau pembinaan terhadap orang yang berminat melakukan
sesuatu dipastikan akan sangat berbeda dengan orang yang mengikuti
kegiatan atas dasar diwajibkan.
Hal lain yang perlu diingat secara seksama adalah Undang-undang Nomor
12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, termasuk di dalamnya AD/ART
Gerakan Pramuka. Kaitan produk konstitusi ini dengan proses pewajiban
ekstrakurikuler Pramuka merupakan hal yang kurang sesuai jika tidak
mau disebut sebagai tindakan inkonstitusional penyelenggara negara.
Pasalnya dalam UU tersebut dijelaskan secara gamblang bahwa kegiatan
Pramuka bersifat mandiri, sukarela, dan nonpolitis. Sukarela
dijelaskan bahwa keanggotaannya atas kemauan sendiri, tidak ada
paksaan atau diwajibkan.
Rasionalisasi maupun alasan diwajibkannya sebuah ekstrakurikuler yang
asalnya bersifat sukarela sebagai langkah tanggap darurat pendidikan
karakter, jangan sampai menjadikan pemerintah terkesan reaktif.
Menjadikan Pramuka sebagai alat pendidikan karakter harus
memperhatikan aturan perundang-undangan yang dibuat. Padahal dalam
konteks pembelajaran berbasis masalah yang muncul di K-13, hal ini
termasuk permasalahan yang perlu dicarikan solusi. Jika pemerintah
tidak cepat dan tepat menyikapi hal ini, tidak menutup kemungkinan
akan menjadi pemicu awal malfungsi konstitusi. Wallahu 'alam.:)
Catatan :
Tulisan ini buah karya Heri Ismanto, guru SMAN 2 Banjar, dimuat di
rubrik Forum Guru HU Pikiran Rakyat, dengan perubahan seperlunya
sumber : http://www.diaf.web.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar