. Saya sudah terlanjur memberikan kebebasan kepada anak saya yang berusia 8 dan 12 tahun untuk menggunakan leptop. Awalnya anak yang berusia 5 tahun saat itu saya bebaskan memegang leptop untuk main game. Leptop tidak bisa dibuka tanpa memasukkan kata password. Anak saya terpaksa mengingat huruf demi huruf untuk dapat menuliskan password tersebut setiap kali akan membuka leptop. Dari situ anak saya juga bisa membaca dengan fasih sebelum masuk kelas 1 SD.
|
Anaku Mulki Shiroth Firdaus |
Lama-kelamaan, anak saya semakin mengerti bagaimana membuka internet. Sekarang anak tersebut sudah duduk di kelas 2 SD, sudah tak asing lagi dengan internet. Kebetulan anak saya Alhamdulillah mengerti hal yang berbau fornografi, sehingga setiap melihat gambar yang seronok dia bilang “itu gak boleh diihat dusun” (dusun = tidak sopan). Sepanjang pengawasan saya, anak saya membuka internet hanya sebatas untuk hal-hal tertentu. Misalnya, mencari contoh pantun anak-anak, mencari dan mencatat kode-kode GTA (kode pada PS), membaca cerita anak-anak, game online, dan membuka akun facebook miliknya.
|
Ketika anakku mencari kode GTA di internet |
Tentu saja kebebasan tersebut mengandung konsekwensi bagi saya sendiri. Setiap saya akan googling dan atau posting di blog ini saya harus menunggu anak saya selesai menggunakan leptop. Dan sebaliknya, ketika saya sedang menggunakan leptop sementara dia kebelet ingin memakainya, ia selalu mendesak meminta bergantian. Ketika itulah, ia selalu nongkrong bersama saya menunggu sampai diberikannya leptop, sambil sama-sama ikut melihat apa yang sedang saya baca. Biasanya, berita-berita yang saya baca tidak jauh dari masalah korupsi yang terjadi di berbagai tempat terutama Banten. Situs yang saya baca selalu merdeka.com.
Ketika anak saya melihat judul yang ada kata korupsi, sepontan bertanya tentang artinya. “Korupsi itu apa sih, Pah?” Jawaban saya adalah korupsi itu orang maling duit Negara. “Dosa nggak Pah?” Iya, pasti dosa, itu kan maling. “Emang duit negaranya disimpan di mana Pah, di Bank, kok dipaling sih?” Bukan, maling duit Negara itu misalnya, Papah menerima uang dari Pemerintah untuk ngebangun sekolahan. Terus beli semen 10 sak diakunya 20 sak, ngebohong karena ingin untung. Harga semen seribu, diakunya dua ribu, yang seribunya buat Papah. Nah, itu namanya korupsi. “Oh, gitu”. Sejak itu anak saya rupanya sedikit mengerti apa yang disebut korupsi.
Ini pertanda bahwa anak saya mengerti tentang pengertian korupsi dalam konteks yang lain. Pada suatu hari saya menyuruhnya membeli sebungkus rokok dengan uang tidak pas alias ada kembaliannya. Pulang dari warung, sambil memberikan rokok dan uang kembalian, dia ngomong: “Pah, maaf ya, Engki korupsi seribu buat beli ale-ale !” Ya, sudah lain kali izin dulu sama Papah ya, korupsi ga boleh. “Ya, Pah”.
|
Mulki Shiroth Firdaus Kelas I SD |
Dari gara-gara di atas, anak saya paham tentang korupsi. Tapi di sisi lain malah bikin modus menilep uang seribu buat beli ale-ale, dikatakannya korupsi pula. Hahahah…! Lalu, yang secara idealis saya ajarkan pada anak saya tadi, sebenarnya mengajari anak sejak dini agar tidak korupsi, atau malah mengajari korupsi?
Tulisan Pengantar Tidur, Maret 2014
sumber : http://petir-fenomenal.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar