Senin, 31 Maret 2014

Menyoal Wajibnya Ekstrakurikuler Pramuka dalam Kurikulum 2013





Salah satu kebjakan pemerintah pasca implementasi Kurikulum 2013
(K-13) yang perlu dipertanyakan adalah diwajibkannya ekstrakurikuler
Pramuka. Kebijakan tersebut didasarkan pada pertimbangan sederhana
mengenai urgensi diperlukannya alat pendidikan karakter bagi generasi
muda di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Namun apakah Pramuka
wajib ini akan efektif atau hanya reaktif?

Hampir semua sekolah yang merupakan pangkalan atau gugus kegiatan
Pramuka mengalami kebingungan perihal pola pendidikan kepramukaan yang
mesti sesuai dengan 'keinginan' pemerintah. Mengambil contoh pada
jenjang pendidikan menengah atas, peserta didik kelas X dan XI wajib
mengikuti ekstrakurikuler Pramuka. Tentu menjadi hal yang fantastis
dari segi kuantitas yang akan mengikuti kegiatan tambahan ini. Tentu
bangga bahwa Pramuka makin diakui eksistensinya, namun perlu
dipertanyakan persiapan matang ketika Pramuka diikuti dengan sedikit
penekanan 'wajib'.

Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud harus proaktif menjalin kerjasama
aktif dengan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dalam menenntukan arah
pembinaan karakter melalui Pramuka. Pemerintah juga jangan lantas
menutup mata dengan alasan penyeragaman minat kegiatan tambahan
Pramuka akan mampu mengurai kemiskinan karakter peserta didik.
Penanganan atau pembinaan terhadap orang yang berminat melakukan
sesuatu dipastikan akan sangat berbeda dengan orang yang mengikuti
kegiatan atas dasar diwajibkan.

Hal lain yang perlu diingat secara seksama adalah Undang-undang Nomor
12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, termasuk di dalamnya AD/ART
Gerakan Pramuka. Kaitan produk konstitusi ini dengan proses pewajiban
ekstrakurikuler Pramuka merupakan hal yang kurang sesuai jika tidak
mau disebut sebagai tindakan inkonstitusional penyelenggara negara.
Pasalnya dalam UU tersebut dijelaskan secara gamblang bahwa kegiatan
Pramuka bersifat mandiri, sukarela, dan nonpolitis. Sukarela
dijelaskan bahwa keanggotaannya atas kemauan sendiri, tidak ada
paksaan atau diwajibkan.

Rasionalisasi maupun alasan diwajibkannya sebuah ekstrakurikuler yang
asalnya bersifat sukarela sebagai langkah tanggap darurat pendidikan
karakter, jangan sampai menjadikan pemerintah terkesan reaktif.
Menjadikan Pramuka sebagai alat pendidikan karakter harus
memperhatikan aturan perundang-undangan yang dibuat. Padahal dalam
konteks pembelajaran berbasis masalah yang muncul di K-13, hal ini
termasuk permasalahan yang perlu dicarikan solusi. Jika pemerintah
tidak cepat dan tepat menyikapi hal ini, tidak menutup kemungkinan
akan menjadi pemicu awal malfungsi konstitusi. Wallahu 'alam.:)

Catatan :
Tulisan ini buah karya Heri Ismanto, guru SMAN 2 Banjar, dimuat di
rubrik Forum Guru HU Pikiran Rakyat, dengan perubahan seperlunya
sumber : http://www.diaf.web.id/

Rabu, 26 Maret 2014

Karakteristik Filsafat, Teori dan Praktik Pendidikan


Mengetahui filsafat sering  dikonotasikan  dengan  sesuatu yang besifat prinsip dan sering juga dikaitkan pada pandangan hidup yang mengandung nilai-nilai dasar. Padahal semua yang ada di alam ini sudah sejak awal menjadi pemikiran dan teka-teki yang tak ada habis-habisnya untuk diselidiki sehingga menjadi fundamen timbulnya filsafat. Dengan kata lain, filsafat adalah hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budinya untuk memahani secara radikal, integral dan universal tentang hakikat Tuhan, alam, dan manusia, serta sikap manusia dengan  konsekwensinya tentang  pemahamannya terhadap filsafat (Anshari, 19984: 12).

Untuk itu, dalam membahas filsafat diperlukan perenungan yang mendalam oleh akal dan pekerjaan pikiran manusia. Berfilsafat berarti manusia mencari jawaban dengan cara ilmiah, obyektif, memberikan pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada akal budi yang dimilikinya karena filsafat itu timbul dari kodrat manusia.

Sesuai dengan makna filsafat, yaitu sebagai ilmu yang bertujuan untuk berusaha memahami semua yang timbul dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia, maka berfilosofis memerlukan suatu ilmu dalam mewujudkan pemahaman tersebut, terutama dalam dunia kependidikan, tenaga pendidik perlu memahami karakteristik filsafat, teori dan praktik pendidikan di lapangan sehingga sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Dalam dunia kependidikan, seorang pendidik baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan, Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru dan dosen). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu: metafisika, epistemologi dan aksiologi. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang pendidik adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku pendidik, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, warga belajar, dan pengetahuan.

Antara filsafat pendidikan, teori pendidikan dan implementasinya di lapangan harus bersinergi, sehingga tujuan pendidikan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia dapat terpenuhi.

Pengertian Filsafat dan Filsafat Pendidikan

1. Pengertian Filsafat
Arti kata filsafat yaitu: Kata "Filsafat" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "cinta-akan hikmat" atau "cinta akan ilmu pengetahuan". Seseorang yang "berfilsafat" adalah seorang "pecinta" , "pencari" hikmat atau pengetahuan
Agus (2008) menyatakan bahwa:
"Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan." 

Jalius Jama (2008: 9) menyatakan bahwa "filsafat merupakan upaya perenungan pemikiran yang sistematis dan rasional untuk memahami siapa diri anda dan memahami dunia." Hal ini memberikan makna bahwa orang yang berfilsafat akan berusaha untuk mencari tahu segala hal yang terkait dengan dirinya, sehingga dengan demikian dia akan menyadari sepenuhnya hakikat dirinya. Pengetahuan tentang diri ini meliputi siapa dirinya, dari mana, sedang di mana dan hendak ke mana. Disamping itu yang berfilsafat juga akan berupaya mengenali lingkungan, yakni tentang orang lain, makhluk lain. Pada akhirnya, dia akan mengetahui bagaimana keterkaitan keberadaan dirinya secara individu dengan lingkungan tersebut. Dengan mengetahui dan menyadari dirinya dan makhluk lain selain dirinya itu, dia akan mempunyai pandangan luas dan sistematis serta konsisten dalam hidupnya. 

2. Filsafat Pendidikan  
  Umar Tirtarahardja (2005: 37), mengemukakan gagasan bahwa dalam pendidikan itu harus menuju kepada pembentukan manusia yang utuh. Lebih jauh dinyatakan Tirtahardja, bahwa pendidikan memperhatikan kesatuan aspek jasmani dan rohani, aspek diri (individualitas) dan aspek sosial, aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, serta segi serba keseimbangan manusia dengan dirinya, (konsentris), dengan lingkungan sosial dan alamnya (horizontal) dan dengan Tuhannya (vertikal). Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas dan mandiri, sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya, serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional  dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.   

Sejalan dengan pengertian di atas, Abu Ahmadi (2005: 99) menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengusahakan supaya tiap-tiap individu sempurna pertumbuhan tubuhnya, sehat pikirannya, baik budi pekertinya dan sebagainya, sehingga ia dapat mencapai kesempurnaannya dan berbahagia hidupnya di dunia lahir dan batin. Sementara itu, Mudyahardjo (2003: 3) menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan pribadi secara optimal dengan tujuan-tujuan sosial yang bersifat manusiawi seutuhnya yang dapat memainkan peranannya sebagai warga dalam berbagai lingkungan persekutuan hidup dan kelompok sosial.

Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 Tentang Sistem Pendidikan Nasional:
"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara."

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan  simpulkan bahwa pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik, baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.

Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak mungkin dapat dijangkau seluruhnya oleh sains atau ilmu pendidikan. Seorang pendidik, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan.
Seorang pendidik perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Pendidik sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan pendidik sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama.

Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik. Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.

Lalu bagaimana peranan filsafat pendidikan bagi pendidik? Apa yang menentukan filsafat pendidikan seorang pendidik? Berdasarkan pertanyaan tersebut maka Agus (2001: 3) menyatakan bahwa:
" .... terdapat tiga persoalan yang ingin dipecahkan oleh filsafat: 1) Apakah sebenarnya hakikat hidup itu? Pertanyaan ini dipelajari oleh Metafisika; 2) Apakah yang dapat saya ketahui? Permasalahan ini dikupas oleh Epistemologi; dan 3) Apakah manusia itu? Masalah ini dibahas olen Atropologi Filsafat."

Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:
a. Metafisika
Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakikat: hakikat dunia, hakikat manusia, termasuk di dalamnya hakikat anak. Metafisika secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada.
Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit untuk mengetahui tujuan pendidikan. Seorang pendidik seharusnya tidak hanya tahu tentang hakikat dunia dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakikat manusia, khususnya hakikat anak (Agus Marsidi, 2008: 3).

b. Epistemologi
Kumpulan pertanyaan yang berhubungan dengan para pendidik adalah epistemologi. Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari situasi satu ke situasi lainnya? Dan akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama pendidik harus menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian pendidik harus menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi warga belajar. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima cara mengetahui sesuai dengan minat/kepentingan masing-masing pendidik, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas, wahyu Tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi.

Pendidik tidak hanya mengetahui bagaimana warga belajar memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana warga belajar mengikuti pembelajaran. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.

c. Aksiologi
Cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Baik secara langsung atau pun tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidik. Nilai akan timbul dalam atau dengan adanya hubungan sosial. Beberapa pertanyaan aksiologis mendasar, yang harus dijawab pendidik adalah: 1) Nilai-nilai apa yang dikenalkan pendidik kepada warga belajar untuk diadopsi? 2) Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? 3) Nilai-nilai apa yang benar-benar dipegang oleh orang yang benar-benar terdidik?

Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa pendidik memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh warga belajar melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan.

Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang pendidik mengenai pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional pendidik. Setiap pendidik seharusnya mengetahui dan memiliki filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik atau terbaik.

Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para pendidik dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa filsafat pendidikan adalah suatu (seperangkat) keyakinan yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam kaitannya dengan fungsi dan kedudukannya sebagai pendidik tersebut. Peran filsafat pendidikan bagi pendidik sangat besar dan sangat bermanfaat. Dengan filsafat metafisika, pendidik mengetahui hakekat manusia, khususnya warga belajar sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya. Filsafat metafisika juga berguna untuk mengetahui atau menetapkan tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi, pendidik mengetahui apa yang harus diberikan kepada warga belajar, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi, pendidik memahami apa yang harus diperoleh warga belajar, tentu saja tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut.

Menurut Kneller (1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, dan  lebih kompleks yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.

Untuk itu, seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan perlu mengetahui filsafat pendidikan. Hal ini disebabkan karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu, pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan guru dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Berbicara tentang pendidikan, tidak akan terlepas dari masalah apa sebenarnya tujuan pendidikan itu. Pendidikan dapat dikatakan berhasil jika sudah mempunyai tujuan-tujuan yang jelas dan ditempuh dengan tindakan-tindakan yang jelas pula. Di Indonesia sendiri, dari masalah pendidikan ini akhirnya muncul polemik-polemik yang harus segera dipecahkan. Contohnya, rendahnya kualitas pendidikan Indonesia dibanding dengan negara berkembang lainnya, maraknya masalah tawuran antar pelajar, dan mirisnya moral bangsa yang hampir setiap hari diberitakan di media cetak maupun elektronik tentang kasus korupsi, pencabulan, dan tindakan kekerasan dalam rumah tangga, dan banyak kasus-kasus lain yang menunjukkan kegagalan dalam dunia pendidikan.

 Hal tersebut perlu disigi, apakah persoalan tersebut muncul karena ketidaksingkronan antara teori dan praktik di lapangan. Untuk mengetahui hal tersebut, tentu secara filosofisnya perlu ditinjau ulang tentang hakikat teori dan praktik pendidikan tersebut sehingga apa yang diharapkan dapat terealisasi dengan baik sesuai tujuan pendidikan.

a. Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan

Filsafat ilmu pendidikan dibedakan dalam 4 macam, yaitu:
1) Ontology ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola organisasi ilmu pendidikan;
2) Epistomologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat objek formal dan  material ilmu pendidikan;
3) Metodologi ilmu pendidikan, yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan; dan
4) Aksiologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan.

Untuk lebih jelasnya, dapat  disajikan uraiannya sebagai berikut.
2) Dasar ontologis ilmu pendidikan
Hal yang melatarbelakangi filsafat, yaitu diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra, yaitu dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).

Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situiasi sosial, manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antarpribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula, terlepas dari faktor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh, maka menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan demikian, pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil tes hasi belajar (THB) summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi.

3) Dasar epistemologis ilmu pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan  menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan untuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomena pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalam berbagai bentuk penelitian dan penyelidikan seperti penelitian quashi-eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex-post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyai objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall & Buchler,1942).

4) Dasar aksiologis ilmu pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu, nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian, ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagai pedagok. Dalam hal ini, relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia. Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi metode ilmiah (Kalr Perason,1990).

5) Dasar antropologis ilmu pendidikan
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalam upayanya belajar mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya: (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Berfikir Filsafat
Pada bagian awal tulisan ini telah dikemukakan sekelumit pandangan tentang apa itu filsafat. Dimana filsafat berarti melakukan upaya perenungan fikiran yang sistematis dan rasional untuk memahami segala sesuatu, termasuk diri sendiri dan lingkungan. Berarti dalam berfilsafat yang dipentingkan ada memikirkan sesuatu.
Menurut Louis O. Kattsoff, berfikir filosofis dapat diartikan:
a. Berfikir secara radikal;
b. Berfikir secara universal;
c. Berfikir secara konseptual (bukan fakta/operasional);
d. Berfikir secara koheren dan logis;
e. Berfikir secara konsisten;
f. Berfikir secara sistematis;
g. Berfikir secara komprehensif;
h. Berfikir secara bebas, tanpa prasangka (bebas nilai); dan
i. Berfikir secara bertanggung jawab.

Apa yang kita fikirkan?, Apa dasar kita berfikir, atau kenapa kita berfikir? Kita berfikir karena kita ada. Pada dasarnya yang kita fikirkan itu adalah sesuatu yang ada. Inilah sebagai pendorong kita untuk berfikir. Jika kita renungkan secara mendalam, tidak pernah kita berfikir sesuatu yang tidak pernah ada baik saat ini atau pun dimasa lalu.

Kita melihat segala sesuatu (kenyatataan, praktek, atau fenomena) di sekitar kita, atau bahkan pada diri kita sendiri, lalu hal itu memberikan dorongan kepada otak kita untuk berfikir atau memikirkannya. Kita mengalami sesuatu (memperoleh pengalaman) atau kita mengetahui sesuatu (memperoleh pengetahuan), dan kemudia kita memikirkannya. Demikian juga halnya dengan tradisi, cara, atau metode yang kita ketahui, kita lihat, membuat kita kita meikirkannya.

Sesungguhnya dengan berfikir itu tercipta ilmu pengetahuan (science). Kita mengetahui bahwa ilmu pengetahuan itu berisi konsep-konsep, prinsip-prinsip hubungan sistem-sistem. Dalam ilmu pengetahuan terdapat konsep hubungan antara variabel yang terlibat dalam alam fisika, sehingga darinya dapat dilahirkan rumus-rumus atau aksioma-aksioma. Selanjutnya dalam penerapan ilmu pengetahuan untuk kehidupan manusia dihasilkan teknologi (teknik). Teknik adalah cara untuk melakukan sesuatu dengan mempertimbang keefektifan dan keefisienan.

Orang yang memikirkan secara mendalam, atau berfikir secara filosofis, seperti yang dikemukakan oleh Louis O Kattsoff, terhadap konsep-konsep, prinsip-prinsip atau pun strategi-strategi ilmu pengetahuan akan mencapai pengetahuan terdalam (makna hakiki). Makna hakiki inilah yang menjadi roh atau jiwa dari ilmu pengetahuan itu.

Jadi dapat penulis simpulkan bahwa sesungguhnya apapun praktek-praktek pengetahuan, pengalaman atau tradisi, cara dan metode yang kita lihat dengan kasat mata, ada ilmunya. Ilmu itu, yang berisi konsep, prinsip, dan strategi-strategi, akan menjadi "hidup" atau punya jiwa (roh) jika difikirkan secara filsafati. Atau kalau kita balik, filsafat adalah roh atau jiwa dari ilmu pengetahuan.

A. Teori Pendidikan
Mengapa kita harus mempelajari teori pendidikan? Jawabnya antara lain karena yang kita hadapi dalam pendidikan adalah manusia. Berbicara tentang manusia akan menyangkut harkat, derajat, martabat, dan hak asasinya. Perbuatan mendidik bukan merupakan perbuatan serampangan, melainkan suatu perbuatan yang harus betul-betul didasari dan disadari dalam rangka membimbing manusia pada suatu tujuan yang akan dicapai.

Walaupun kita telah memahami berbagai teori pendidikan, namun kita tidak boleh beranggapan bahwa kita telah memiliki resep untuk menjalankan tugas dalam pendidikan. Dalam pendidikan tidak dikenal suatu resep yang pasti atau mutlak, karena yang utama dalam pendidikan adlah kreativitas dan kepribadian pendidik. Prof. Sadikun Pribadi (dalam buku Uyoh Sadulloh, M. Pd) 2010, hal.2 mengatakan "Itulah sebabnya mengapa suatu upaya pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dikemukakan dalam bentuk resep atau aturan yang tetap untuk dijalankan. Yang penting bukan resepnya, melainkan kepribadian dan kreativitas pendidik sendiri. Pendidikan (walaupun harus didukung oleh ilmu pendidikan atau pedagogik) dalam pelaksanaannya , lebih merupakan seni pada teori. Setiap tindakan dalam pendidikan tidak akan dengan sendirinya dapat menerapkan teori yang ada, walaupun telah teruji, berhasil dipraktikkan di tempat/negeri lain. Dalam pelaksanaan pendidikan, kita harus memperhatikan siterdidik sebagai manusia unik dengan segala aspek kepribadiannya, memperhatikan kepribadian pendidik, memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan, tujuan yang akan dicapai yang bersumber pada falsafah dan pandangan hidup manusia dimana pendidikan berlangsung.

Pendidikan memerlukan teori pendidikan, karena teori pendidikan akan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Teori pendidikan dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengetahui arah dan tujuan yang akan dicapai.
2. Teori pendidikan berfungsi untuk mengurangi kesalahan-kesalahan dalam praktik pendidikan. Dengan memahami teori, kita akan mengetahui mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan.
3. Teori pendidikan dapat dijadikan sebagai tolak ukur sampai di mana kita telah berhasil melaksanakan tugas dalam pendidikan.

Untuk lebih memahami uraian di atas, berikut ini disinggung pengertian/ istilah dari teori.
a. Dalam dictinary Americana dijelaskan bahwa teori adalah:
1) Suatu susunan yang sistematis tentang fakta-fakta yang berkaitan dengan dalil-dalil nyata atau dalil-dalil hipotesis.
2) Suatu penjelasan hipotesis tentang fenomena atau sebagai hipotesis yang belum teruji secara empiris.
3) Suatu eksposisi tentang prinsip-prinsip umum atau prinsip-prinsip abstak ilmu humaniora yang berasal dari praktik.
4) Suatu rencana atau sistem yang dapat dijadikan sutau metode bertindak.
5) Suatu doktrin atau hukum yang hanya didasarkan atas renungan spekulatif.

b. Dagobert Runes (1963: 317) mengemukakan tiga pengertian teori, yaitu:
1) Hypothesis, more loosely supposition, whatever is  problematic verified
2) As opposed to practice systematically organized knowlegde of relatively high generallity.
3) As opposed to low and observation explenation. The deduction of axsioms, and theorems, of one system from assertions (not necessarity verified) from another system and of relatively less problematic and more intelligible.

Istilah tersebut dapat diartikan sebagai berikut:
1) Teori merupkan suatu hepotesis tentang segala masalah, dapat diuji tetapi tidak perlu diuji.
2) Teori merupakan lawan dari praktik, merupakan pengetahuan yang disusun secara sistematis dari kesimpulan umum relatif.
3) Teori diartikan sebagai lawan dari hukum-hukum dan observasi, suatu deduksi dari aksioma-aksioma dan teorema-teorema suatu sistem yang pasti (tidak perlu di uji) secara relatif kurang problematis dan lebih banyak diterima atau diyakini.

c. Selanjutnya, G. F Kneller (1971: 41) mengemukakan pengertian teori sebagai berikut. The word theory has two central meaning. It can refer to hypothesis or set of hypothesis that have been verified by observation or expriment, as in the case of the theory gravitation. It can be a general synonym for systematic thingking or a set of coherent thought.

Pendapat tersebut diartikan bahwa teori memiliki dua pengertian. Pertama, bahwa teori itu empiris, dalam arti sebagai suatu hasil pengujian terhadap hipotesis dengan melalui observasi dan eksperimen. Cara berpikir digunakan dalam penelitian ini adalah metode induktif. Maka teori di sini sama dengan makna teori dalam sains. Kedua, teori dapat diperoleh melalui berpikir sistematis spekulatif, dengan metode deduktif). Dalam hal ini Kneller mengemukakan bahwa teori merupakan "a set of coherent thought", seperangkat berpikir koheren, yang sesuai dengan teori koherensi tentang kebenaran. Menurut teori koheren, kebenaran suatu teori bukan bersesuaian dengan realitas, melainkan kesesuaian secara harmonis dengan pengetahuan kita yang dimiliki, kesesuaian dengan asumsi-asumsi, atau dalil-dalil yang berlaku. Sementara teori kedua menggunakan cara berpikir rasional deduktif, dapat bersumber pada hasil pemikiran fIlosofi yang telah ada, seperti dalil-dalil yang bersumber dari ajaran-ajaran agama (wahyu dari Tuhan), artinya teori merupakan seperangkat prinsip yang berkaitan erat sebagai petunjuk praktis. Teori tidak sekedar diartikan sebagai suatu penjelasan terhadap fenomena, melainkan merupakan suatu petunjuk untuk membangun atau mengontrol pengalaman. Seorang guru yang mengajar dalam kelas, yang menyadari akan profesinya, tidak melakukan trial ang error, melainkan ia dibimbing oleh seperangkat prinsip yang disebut "teori pendidikan".

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan, bahwa antara teori dan praktik adakalanya mengalami perubahan. Hal ini terjadi karena subjek didik memiliki keunikan yang beragam. Untuk itu, guru sebagai pendidik perlu memahami ilmu pendidikan sebagai benteng dalam menghadapi keragaman karakteristik peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran yang bermuara pada tujuan pendidikan secara nasional.

C. Praktik Pendidikan
Menurut Redja M, (Depdikbud: IKIP Bandung, 1991) dalam Uyun 2010: 1 mengatakan bahwa praktik pendidikan adalah seperangkat kegiatan bersama yang bertujuan membantu pihak lain agar mengalami perubahan tingkah laku yang diharapkan. Praktik pendidikan dapat dilihat dari tiga aspek:
1. Aspek tujuan, membantu pihak lain mengalami perubahan tingkah laku fundamental yang diharapkan.
2. Proses kegiatan merupakan seperangkat kegiatan sosial/ bersama, usaha menciptakan peristiwa pendidikan dan mengarahkannya, serta merupakan usaha secara sadar atau tidak sadar melaksanakan prinsip-prinsip pendidikan.
3. Aspek dorongan atau motivasi, untuk melaksanakan praktik pendidikan muncul karena dirasakan adanya kewajiban untuk menolong orang lain.

D. Pendekatan Dalam Teori Pendidikan
1. Pendekatan Sain
Merupakan suatu pengkajian dengan menggunakan sain untuk mempelajari, menelaah, dan memecahkan masalah-masalah pendidikan. Teori pendidikan dengan pendekatan sains disebut sains pendidikan (science of education). Cara kerja yang dipergunakan sebagaimana prinsip-prinsip dan metode kerja sains.
Sains pendidikan menghasilkan ilmu pendidikan sebagai terapan dan sains dasarnya. Misalnya sosiologi pendidikan, merupakan terapan dari sosiologi untuk menelaah masalah-masalah pendidikan; Psikologi pendidikan merupakan terapan dari psikologi untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan. Pendekatan sains ingin menelaah masalah-masalah pendidikan secara ilmiah (scientific) dan mempelajari proses-proses psikolgi, sosiologi, sosiokultural, dan ekologi, karena akan mempengaruhi dan menentukan pendidikan.

a. Karakteristik Pendekatan Sains
           Pendekatan sains dapat dilihat dari tiga segi:
1) Objek pengkajian, dalam sains pendidikan sangat terbatas, karena objeknya merupakan salah satu aspek dari pendidikan. Dengan objeknya yang terbatas itulah sains pendidikan mencoba menganalisis objeknya yang menjadi unsur-unsur yang lebih kecil. Misalnya sosiologi pendidikan, sebagai salah satu bagian dari sains pendidikan. Objek ipenelitiannya terbatas pada faktor-faktor sosial dan pendidikan.
2) Tujuan pengkajian, adalah untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pendidikan. Mendeskripsikan dan menggambarkan apa yang terjadi dalam peristiwa pendidikan. Karakteristik seperti ini disebut deskriptif atau deskriptif analitis, yaitu menggambarkan secara rinci tentang unsur-unsur dan aspek pendidikan yang menjadi objek penyelidikannya.
3) Metode kerja pengkajian, ialah dengan menggunakan metode sains (yang lebih dikenal dengan metode ilmiah), yaitu dengan cara induktif. Teori pendidikan dengan cara induktif berasal dari fakta-fakta khusus, fakta empiris pendidikan, dianalisis dan diverifikasi, kemudian ditarik suatu kesimpulan generalisasi sebagai suatu teori pendidikan.

Metode sains merupakan prosedur kerja yang terencana dan cermat, melalui pengalaman, dengan menggunakan kerangka pemikiran tertentu
b. Jenis-jenis Sains Pendidikan
1) Sosiologi pendidikan, merupakan cabang sains pendidikan. Sosiologi pendidikan berangkat dari asumsi bahwa pendidikan merupakan organisasi sosial, sehingga objek penyelidikan sosiologi pendidikan adalah faktor-faktor sosial dalam pendidikan.
2)  Psikologi pendidikan, merupakan cabang  pendidikan, sebagai aplikasi dari psikologi dalam kajian pendidikan, sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan hasil-hasil penelitian dalam psikologi. Terminologi-terminologi atau istilah-istilah yang dipergunakan sudah barang tentu istilah-istilah yang berasal dari psikologi, misalnya motivasi belajar, minat, insting. Psikologi pendidikan bertolak dari asumsi, bahwa pendidikan merupaka hal ihwal individu yang sedang belajar. Belajar merupakan perubahan prilaku individu. Jadi objek penelitian dalam psikologi pendidikan adalah perilaku individu dalam belajar.
3) Administrasi pendidikan, merupakan cabang sains pendidikan sebagai aplikasi dari ilmu manajemen, dipenagruhi dan bersumber dari hasil penelitian dalam bidang manajemen. Terminologi yang dipergunakan sudah barang tentu istilah yang biasa dipergunakan dalam bidang manajemen, seperti: planning, supervisi, kontrol, dan sebagainya. Administrasi pendidikan bertolak dari asumsi bahwa pendidikan adalah usaha pendayagunaan sumber yang tersedia secara efektif dan efisien. Yang menjadi objek utama penelitian administrasi pendidikan adalah pengelolaan atau pengaturan sumber daya manusia dan bukan manusia, agar individu dapat belajar efektif dan efisien.
4) Teknologi pendidikan, bertolak dari asumsi bahwa pendidikan merupakan aspek metodologi dan teknik belajar mengajar yang efektif dan efisien.
5) Evaluasi pendidikan, merupakan cabang sains pendidikan , sebagai aplikasi dari psikologi pendidikan dan statistik. Jadi banyak dipengaruhi oleh hasil perkembangan dan penelitian dalam psikologi pendidikan dan statistik. Evaluasi pendidikan berasal dari asumsi bahwa pendidikan merupakan persoalan untuk menemukan dan menentukan tingkat keberhasilan pendidikan.

2. Pendekatan Filosofi
Merupakan pendekatan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan metode filsafat. Pengetahuan atau teori pendidikan yang dihasilkan dengan pendekatan filosofi disebut filsafat pendidikan. Menurut Handerson (1959) dalam Uyoh (2010: 8) mengatakan bahwa fisafat pendidikan adalah filsafat yang diterapkan. Diaplikasikan untuk menelaah dan memecahkan amsalah-masalah pendidikan.

Cara kerja dan hasil-hasil filsafat dapat dipergunakan untuk membantu memecahkan masla-masalah dalam hidup dan kehidupan, dimana pendidikan merupakan salah satu kebutuhan penting dari kehidupan manusia. Pendidikan membutuhkan filsafat, karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks, dan lebih mendalam yang tidak terbatas oleh pengalaman indrawi maupun fakta-fakta faktual yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh sains pendidikan (science of education) masalah-masalah tersebut diantaranya adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup manusia. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan suatu fakta, namun pembahasannya tidak bisa dengan menggunakan cara-cara yang dilakukan oleh sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam.

a.  Karakteristik Pendekatan Filosofi
Dapat dilihat dari :
1) Objek pengkajian, yaitu dengan menggubnakan pendekatan filosofi, adalah semua aspek pendidikan tidak terbatas pada salah satu aspek saja, seluruh aspek pendidikan seperti tujuan pendidiksn, isi pendidikan, metode pendidikan, pendidik, anak didik, keluarga, masyarakat nerupakan pengkajian komprehensif dari pengkajian flosofi. Pengkajian seperti ini disebut pengkajian sinopsis, yaitu suatu pengkajian yang bersifat merangkum dan mencakup semua aspek pendidikan.
2) Tujuan pengkajian filosofi dalam pendidikan adalah merumuskan apa dan bagaimana seharusnya tentang pendidikan. Kajian filosofi berusaha merumuskan apa yang dimaksud dengan pendidikan? Bagaimana seharusnya tujuan pendidikan? Bagaimana seharusnya kurikulum disusun/ dirumuskan? Pengkajian seperti itu disebut pengkajian normatif, karena berkaitan dengan norma-norma, nilai-nilai yang berlku dalam kehidupan manusia, sehingga pengkajian tersebut harus sampai pada suatu rumusan, apa yang seharusnya terjadi dalam pendidikan yang berlangsung dalam kehidupan.
3) Metode pengkajian filosofi adalah melalui kajian rasional yang mendalam tentang pendidikan dengan menggunakan semua pengalaman manusia dan kemanusiaannya. Oleh karena itu pengalaman kemanusiaan seseorang dapat diterapkan dalam menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan.
b. Pendekatan Religi
Menerangkan bahwa suatu ajaran religi dijadikan sumber inspirasi untuk menyusun teori atau konsep-konsep pendidikan yang dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan pendidikan. Ajaran religi yang berisikan kepercayaan dan nilai-nilai dalam kehidupan dapat dijadikan sumber dalam menentukan tujuan pendidikan, materi pendidikan, metode, bahkan sampai pada jenis-jenis pendidikan.
Metode yang digunakan dalam menyusun teori/ konsep pendidikan adalah tesis deduktif. Dikatakan tesis, karena bertolak dari dalil-dalil agama yang tidak dapat kita tolak kebenarannya. Dikatakan deduktif, karena teori pendidikan disusun dari prinsip-prinsip yang berlaku umum, diterapkan untuk memikirkan amsalah-masalah khusus. Ajaran agama yang berlakuy umum dijadikan sebagai pangkal untuk memikirkan prinsip-prinsip pendidikan yang khusus.

Sebagai contoh, teori pendidikan Islam akan berangkat dari Al-Quran, sehingga ayat-ayat Al-Quran akan dijadikan landasan dalam keseluruhan sistem pendidikan. Abdur Rahman Shalih Abdullah (1991) dala Uyun (2010: 10) membandingkan teori pendidikan Islam dengan teori sains. Bahwa teori sains bersifat deskriptif, dapat membantu para pendidik, tetapi tidak mungkin dapat menjadi oparadigma bagi teori pendidikan, karena dalam pendidikan teori tidak sekedar menerangkan bagaimana atau mengapa sesuatu peristiwa terjadi. Fungsi teori dalam pendidikan adalah menjadi petunjuk prilaku peserta didik. Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai Qurani merupakan pembentukan elemen dasar kurikulum dan sekolah berkepentingan membawa siswa-siswanya agar sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Praktik perilaku harus dinilai para pendidik dan pemberian nilai tidak bisa dibatasi pada penemuan-penemuan ilmiah.

Pengkajian teori sains dan Al-Quran harus sejalan. Sains berkepentingan dengan fakta-fakta yang dapat dilihat. Sains tidak mampu menyentuh elemen-elemen yang tidak dapat diobservasi dan diukur. Al-Quran merupakan "kitap Wahyu" dari Allah, dan sains tidak mampu mengujinya secara empiris dan secara keseluruhan. Surat Al-Baqarah ayat 3 mengungkapkan keyakinan orang mukmin terhadap segala yang gaib, mendahului reverensi terhadap perilaku yang dapat diobservasi.

Al-Quran memberikan landasan pemikiran yang berkaitan dengan manusia, siapa manusia? Dari mana manusia? Dan mau kemana manusia? Serta harus bagaimana manusia berbuat dalam kehidupan di dunia ini. Dalam hal ini Al-Quran menyediakan lapangan yang komprehensif universal tentang landasan dan tujuan hidup manusia yang sangat bermanfaat bagi para ahli pendidikan untuk menyusun dasar dan tujuan pendidikan yang luas dan umumnya sifatnya. Untuk mengklasifikasikan tujuan tersebut kepada tujuan-tujuan yang lebih khusus, dan materi apa yang cocok pada tiap tingkat tujuan tadi, para ahli pendidikan dapat memanfaatkan temuan-temuan sains, seperti hasil temuan dalam psikologi, sosiologi, sains-sains fisik, dan cabang-cabang sains lainnya.
Teori pendidikan dengan pendekatan religi, hanya akan diikuti oleh kelompoknya atau para penganutnya yang sudah meyakini dan mengimani kebenaran ajaran religi tersebut.

d. Pendekatan Multidisipliner
Untuk menghasilkan suatu konsep yang komprehensif dan menyeluruh dalam mempelajari pendidikan tidak bisa hanya dengan menggunakan salah satu pendekatan atau disiplin saja. Misalnya, kita hanya menggunakan psikologi, sosiologi, filsafat atau hanya dengan pendekatan religi. Pendidikan yang memiliki lapangan yang sangat luas, menyangkut semua pengalaman dan pemikiran manusia tentang pendidikan tidak mungkin kalau hanya dilihat dari salah satu aspek atau dari salah satu kajian saja.
Jadi pendekatan yang perlu kita lakukan adalah pendekatan yang menyeluruh (pendekatan holistik), pendekatan multidisiplin yang terpadu. Artinya pendekatan yang satu dengan pendekatn yang lain saling berhubungan.

E.Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan

1. Implikasi bagi guru
Konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru, maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Di samping itu, penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu, semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan  harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan.

Selain itu, pendidik dan subjek didik melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan. Hal ini hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena, kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatan bagi subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.

Dengan demikian, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal akan mampu menunaikan fungsinya serta peserta didik tidak kehilangan hak hidupnya di dalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan kata lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.

Perlu digarisbawahi, bahwa tidak dikacaukannya antara bentuk dan hakikat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakikatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakikat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu, maka gerakan ini hanya berhenti pada "penerbitan" prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih  belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.

2. Implikasi bagi pendidikan guru dan tenaga kependidikan
 Teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan  yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat.

Rambu-rambu tersebut di atas  merupakan  pencerminan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis. Seperti telah diutarakan yang telah diuraikan di atas, dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian di dalam menilai perancang dan implementasi program, maupun didalam "mempertahankan" program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.

KESIMPULAN

Filsafat merupakan upaya perenungan pemikiran yang sistematis dan rasional untuk memahami siapa diri kita dan bagaimana kita memahami dunia di sekitar kita. Dalam rangka menjalankan tugas kekhalifahan di muka bumi kita butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan, dimana dengan ilmu hidup menjadi mudah dan dengan keterampilan kita dapat bekerja dalam rangka mengeksiskan diri kita di tengah kelompok kita. Namun perlu disadari, bahwa ilmu dan keterampilan saja tidak cukup, kita juga butuh kecakapan hidup (life skill). Ilmu, keterampilan dan life skill itu hanya dapat diperoleh melalui pendidikan.

Berfikir filsafati akan menghantarkan seseorang kepada jiwa dari ilmu pengetahuan. Artinya adalah bahwa apapun yang kita lihat kemudian kita ilmui, melalui pemikiran filsafati, kita akan sampai pada makna hakikinya. Jadi filsafat adalah jiwa dari ilmu pengetahuan manusia.

Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan "kacamata" yang dikenakan dalam memandang, menyikapi, serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual kependidikan. Selain itu, pendidikan dengan ilmu pendidikan perlu diterapkan kepada seluruh peserta didik, agar terciptanya SDM yang berkualitas, berakhlaq, berilmu, berbudi pekerti luhur, dan berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Daftar Bacaan/Referensi:

Abu Ahmadi (2005). Ilmu Pendidikan. Penerbit Reka Cipta Jakarta

Agus Marsidi, H. (2008). Pendidik dan Filsafat Pendidikan. http://elearn.bpplsp-reg5.go.id/cetak.php?id=22 diakses 9 Januari 2009.

Aljufri B. Syarif. (2005). Pengembangan Kurikulum Program
     Studi Pendidikan Teknik dan Kejuruan Berbasis Kompetensi. Makalah.
     FT UNP Padang.

Anwar, Dr., M. Pd. (2006). Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education). Penerbit Alfabeta. Bandung.

Australian National Training Authority.(2003). Defining Generic Skills. Adelaide: NCVER .(on-line). Diakses pada tanggal 18-6-2005 dari ww.ncver.edu.au

Barry,U.P.(2000). Final Report World Forum Education. France. Graphoprint.

Depdiknas. Pengembangan Model Pendidikan Kecakapan Hidup. Jakarta. Balitbang Depdiknas (on-line). Diakses pada tanggal 22-12-2008 dari www.puskur.net

Desk (2003). Higher Education and graduate employability. (on-line). Diakses pada tanggal 24-5-2008 dari aair.org.au/jir/2007 Papers/thasnapark.pdf

Gibb, J.(ed) ( 2003). Generic Skills through the eyes of displaced worker Adelaide: NCVER

Hager, Paul & Holland, Susan.(ed).(2006). Graduate AttributesLearning and Employability. Dordrectht: Springer.

Hasbullah.(2008). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_11.html  diakses 9 Januari 2009.

Jalius Jama. (2007). Bahan Kajian Perkuliahan Filsafat Ilmu. Padang: Universitas Negeri Padang

John Dewey. (1944). Democracy And Education. The Free Press. London.

Jujun Suriasumantri. S. (1990). Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer). Penerbit Sinar Harapan. Jakarta.

Kearns,P.(2001). Review Of Research Generic Skills for New Economy. Adelaide: NCVER.

Norman, N.M & Jordan,C.J.Targeting Life Skills In 4-H. Gainesville. University of Florida.(on-line). http://4h.ifas.ufl.edu (Diakses pada tanggal 18-6-2008).

Prayitno. (2008). Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Padang: Universitas Negeri Padang.
Purwanto, Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Redja Mudyahardjo (2006). Pengantar Pendidikan. Penerbit Rineka Cipta.
        Jakarta


Sidi Gazalba, (1990). Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Yogyakarta : Kanisius.

Sudarsono, Drs., S.H., M. Si. (2001). Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar). Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Umar Tirtarahardja (2008) http://dedihendriana.wordpress.com/category/filsafat-pendidikan/  diakses 9 Januari 2009.

Uyoh Sadulloh. (2010). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.


Mustofa Abi Hamid, S.Pd. (Mahasiswa Pascasarjana  Universitas Negeri Padang)

Karakteristik Filsafat, Teori dan Praktik Pendidikan


Mengetahui filsafat sering  dikonotasikan  dengan  sesuatu yang besifat prinsip dan sering juga dikaitkan pada pandangan hidup yang mengandung nilai-nilai dasar. Padahal semua yang ada di alam ini sudah sejak awal menjadi pemikiran dan teka-teki yang tak ada habis-habisnya untuk diselidiki sehingga menjadi fundamen timbulnya filsafat. Dengan kata lain, filsafat adalah hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budinya untuk memahani secara radikal, integral dan universal tentang hakikat Tuhan, alam, dan manusia, serta sikap manusia dengan  konsekwensinya tentang  pemahamannya terhadap filsafat (Anshari, 19984: 12).

Untuk itu, dalam membahas filsafat diperlukan perenungan yang mendalam oleh akal dan pekerjaan pikiran manusia. Berfilsafat berarti manusia mencari jawaban dengan cara ilmiah, obyektif, memberikan pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada akal budi yang dimilikinya karena filsafat itu timbul dari kodrat manusia.

Sesuai dengan makna filsafat, yaitu sebagai ilmu yang bertujuan untuk berusaha memahami semua yang timbul dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia, maka berfilosofis memerlukan suatu ilmu dalam mewujudkan pemahaman tersebut, terutama dalam dunia kependidikan, tenaga pendidik perlu memahami karakteristik filsafat, teori dan praktik pendidikan di lapangan sehingga sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Dalam dunia kependidikan, seorang pendidik baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan, Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru dan dosen). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu: metafisika, epistemologi dan aksiologi. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang pendidik adalah seperangkat keyakinan yang dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku pendidik, yaitu: Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran, warga belajar, dan pengetahuan.

Antara filsafat pendidikan, teori pendidikan dan implementasinya di lapangan harus bersinergi, sehingga tujuan pendidikan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia dapat terpenuhi.

Pengertian Filsafat dan Filsafat Pendidikan

1. Pengertian Filsafat
Arti kata filsafat yaitu: Kata "Filsafat" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "cinta-akan hikmat" atau "cinta akan ilmu pengetahuan". Seseorang yang "berfilsafat" adalah seorang "pecinta" , "pencari" hikmat atau pengetahuan
Agus (2008) menyatakan bahwa:
"Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan." 

Jalius Jama (2008: 9) menyatakan bahwa "filsafat merupakan upaya perenungan pemikiran yang sistematis dan rasional untuk memahami siapa diri anda dan memahami dunia." Hal ini memberikan makna bahwa orang yang berfilsafat akan berusaha untuk mencari tahu segala hal yang terkait dengan dirinya, sehingga dengan demikian dia akan menyadari sepenuhnya hakikat dirinya. Pengetahuan tentang diri ini meliputi siapa dirinya, dari mana, sedang di mana dan hendak ke mana. Disamping itu yang berfilsafat juga akan berupaya mengenali lingkungan, yakni tentang orang lain, makhluk lain. Pada akhirnya, dia akan mengetahui bagaimana keterkaitan keberadaan dirinya secara individu dengan lingkungan tersebut. Dengan mengetahui dan menyadari dirinya dan makhluk lain selain dirinya itu, dia akan mempunyai pandangan luas dan sistematis serta konsisten dalam hidupnya. 

2. Filsafat Pendidikan  
  Umar Tirtarahardja (2005: 37), mengemukakan gagasan bahwa dalam pendidikan itu harus menuju kepada pembentukan manusia yang utuh. Lebih jauh dinyatakan Tirtahardja, bahwa pendidikan memperhatikan kesatuan aspek jasmani dan rohani, aspek diri (individualitas) dan aspek sosial, aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, serta segi serba keseimbangan manusia dengan dirinya, (konsentris), dengan lingkungan sosial dan alamnya (horizontal) dan dengan Tuhannya (vertikal). Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas dan mandiri, sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya, serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional  dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.   

Sejalan dengan pengertian di atas, Abu Ahmadi (2005: 99) menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengusahakan supaya tiap-tiap individu sempurna pertumbuhan tubuhnya, sehat pikirannya, baik budi pekertinya dan sebagainya, sehingga ia dapat mencapai kesempurnaannya dan berbahagia hidupnya di dunia lahir dan batin. Sementara itu, Mudyahardjo (2003: 3) menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan pribadi secara optimal dengan tujuan-tujuan sosial yang bersifat manusiawi seutuhnya yang dapat memainkan peranannya sebagai warga dalam berbagai lingkungan persekutuan hidup dan kelompok sosial.

Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 Tentang Sistem Pendidikan Nasional:
"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara."

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan  simpulkan bahwa pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik, baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.

Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak mungkin dapat dijangkau seluruhnya oleh sains atau ilmu pendidikan. Seorang pendidik, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat pendidikan.
Seorang pendidik perlu memahami dan tidak boleh buta terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Pendidik sebagai pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan pendidik sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan hidup bersama.

Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik. Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.

Lalu bagaimana peranan filsafat pendidikan bagi pendidik? Apa yang menentukan filsafat pendidikan seorang pendidik? Berdasarkan pertanyaan tersebut maka Agus (2001: 3) menyatakan bahwa:
" .... terdapat tiga persoalan yang ingin dipecahkan oleh filsafat: 1) Apakah sebenarnya hakikat hidup itu? Pertanyaan ini dipelajari oleh Metafisika; 2) Apakah yang dapat saya ketahui? Permasalahan ini dikupas oleh Epistemologi; dan 3) Apakah manusia itu? Masalah ini dibahas olen Atropologi Filsafat."

Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:
a. Metafisika
Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakikat: hakikat dunia, hakikat manusia, termasuk di dalamnya hakikat anak. Metafisika secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada.
Memahami filsafat ini diperlukan secara implisit untuk mengetahui tujuan pendidikan. Seorang pendidik seharusnya tidak hanya tahu tentang hakikat dunia dimana ia tinggal, tetapi harus tahu hakikat manusia, khususnya hakikat anak (Agus Marsidi, 2008: 3).

b. Epistemologi
Kumpulan pertanyaan yang berhubungan dengan para pendidik adalah epistemologi. Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah dari situasi satu ke situasi lainnya? Dan akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi signifikan untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama pendidik harus menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian pendidik harus menentukan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini bagi warga belajar. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima cara mengetahui sesuai dengan minat/kepentingan masing-masing pendidik, yaitu mengetahui berdasarkan otoritas, wahyu Tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi.

Pendidik tidak hanya mengetahui bagaimana warga belajar memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana warga belajar mengikuti pembelajaran. Dengan demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.

c. Aksiologi
Cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat kaitannya dengan pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Baik secara langsung atau pun tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidik. Nilai akan timbul dalam atau dengan adanya hubungan sosial. Beberapa pertanyaan aksiologis mendasar, yang harus dijawab pendidik adalah: 1) Nilai-nilai apa yang dikenalkan pendidik kepada warga belajar untuk diadopsi? 2) Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? 3) Nilai-nilai apa yang benar-benar dipegang oleh orang yang benar-benar terdidik?

Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa pendidik memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh warga belajar melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan.

Filsafat pendidikan terdiri dari apa yang diyakini seorang pendidik mengenai pendidikan, atau merupakan kumpulan prinsip yang membimbing tindakan profesional pendidik. Setiap pendidik seharusnya mengetahui dan memiliki filsafat pendidikan, yaitu seperangkat keyakinan mengenai bagaimana manusia belajar dan tumbuh serta apa yang harus pelajari agar dapat tinggal dalam kehidupan yang baik atau terbaik.

Filsafat pendidikan secara fital juga berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para pendidik dapat menemukan berbagai pemecahan permasalahan pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa filsafat pendidikan adalah suatu (seperangkat) keyakinan yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dalam kaitannya dengan fungsi dan kedudukannya sebagai pendidik tersebut. Peran filsafat pendidikan bagi pendidik sangat besar dan sangat bermanfaat. Dengan filsafat metafisika, pendidik mengetahui hakekat manusia, khususnya warga belajar sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya. Filsafat metafisika juga berguna untuk mengetahui atau menetapkan tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi, pendidik mengetahui apa yang harus diberikan kepada warga belajar, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi, pendidik memahami apa yang harus diperoleh warga belajar, tentu saja tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena pengetahuan tersebut.

Menurut Kneller (1971). Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, dan  lebih kompleks yang tidak dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.

Untuk itu, seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan perlu mengetahui filsafat pendidikan. Hal ini disebabkan karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik (guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar (PBM). Selain itu, pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan guru dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Berbicara tentang pendidikan, tidak akan terlepas dari masalah apa sebenarnya tujuan pendidikan itu. Pendidikan dapat dikatakan berhasil jika sudah mempunyai tujuan-tujuan yang jelas dan ditempuh dengan tindakan-tindakan yang jelas pula. Di Indonesia sendiri, dari masalah pendidikan ini akhirnya muncul polemik-polemik yang harus segera dipecahkan. Contohnya, rendahnya kualitas pendidikan Indonesia dibanding dengan negara berkembang lainnya, maraknya masalah tawuran antar pelajar, dan mirisnya moral bangsa yang hampir setiap hari diberitakan di media cetak maupun elektronik tentang kasus korupsi, pencabulan, dan tindakan kekerasan dalam rumah tangga, dan banyak kasus-kasus lain yang menunjukkan kegagalan dalam dunia pendidikan.

 Hal tersebut perlu disigi, apakah persoalan tersebut muncul karena ketidaksingkronan antara teori dan praktik di lapangan. Untuk mengetahui hal tersebut, tentu secara filosofisnya perlu ditinjau ulang tentang hakikat teori dan praktik pendidikan tersebut sehingga apa yang diharapkan dapat terealisasi dengan baik sesuai tujuan pendidikan.

a. Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan

Filsafat ilmu pendidikan dibedakan dalam 4 macam, yaitu:
1) Ontology ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola organisasi ilmu pendidikan;
2) Epistomologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat objek formal dan  material ilmu pendidikan;
3) Metodologi ilmu pendidikan, yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan; dan
4) Aksiologi ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan.

Untuk lebih jelasnya, dapat  disajikan uraiannya sebagai berikut.
2) Dasar ontologis ilmu pendidikan
Hal yang melatarbelakangi filsafat, yaitu diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra, yaitu dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).

Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Di dalam situiasi sosial, manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antarpribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula, terlepas dari faktor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh, maka menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan demikian, pendidikan hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil tes hasi belajar (THB) summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi.

3) Dasar epistemologis ilmu pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan  menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan untuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomena pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalam berbagai bentuk penelitian dan penyelidikan seperti penelitian quashi-eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex-post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyai objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall & Buchler,1942).

4) Dasar aksiologis ilmu pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu, nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian, ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagai pedagok. Dalam hal ini, relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia. Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi metode ilmiah (Kalr Perason,1990).

5) Dasar antropologis ilmu pendidikan
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalam upayanya belajar mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya: (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Berfikir Filsafat
Pada bagian awal tulisan ini telah dikemukakan sekelumit pandangan tentang apa itu filsafat. Dimana filsafat berarti melakukan upaya perenungan fikiran yang sistematis dan rasional untuk memahami segala sesuatu, termasuk diri sendiri dan lingkungan. Berarti dalam berfilsafat yang dipentingkan ada memikirkan sesuatu.
Menurut Louis O. Kattsoff, berfikir filosofis dapat diartikan:
a. Berfikir secara radikal;
b. Berfikir secara universal;
c. Berfikir secara konseptual (bukan fakta/operasional);
d. Berfikir secara koheren dan logis;
e. Berfikir secara konsisten;
f. Berfikir secara sistematis;
g. Berfikir secara komprehensif;
h. Berfikir secara bebas, tanpa prasangka (bebas nilai); dan
i. Berfikir secara bertanggung jawab.

Apa yang kita fikirkan?, Apa dasar kita berfikir, atau kenapa kita berfikir? Kita berfikir karena kita ada. Pada dasarnya yang kita fikirkan itu adalah sesuatu yang ada. Inilah sebagai pendorong kita untuk berfikir. Jika kita renungkan secara mendalam, tidak pernah kita berfikir sesuatu yang tidak pernah ada baik saat ini atau pun dimasa lalu.

Kita melihat segala sesuatu (kenyatataan, praktek, atau fenomena) di sekitar kita, atau bahkan pada diri kita sendiri, lalu hal itu memberikan dorongan kepada otak kita untuk berfikir atau memikirkannya. Kita mengalami sesuatu (memperoleh pengalaman) atau kita mengetahui sesuatu (memperoleh pengetahuan), dan kemudia kita memikirkannya. Demikian juga halnya dengan tradisi, cara, atau metode yang kita ketahui, kita lihat, membuat kita kita meikirkannya.

Sesungguhnya dengan berfikir itu tercipta ilmu pengetahuan (science). Kita mengetahui bahwa ilmu pengetahuan itu berisi konsep-konsep, prinsip-prinsip hubungan sistem-sistem. Dalam ilmu pengetahuan terdapat konsep hubungan antara variabel yang terlibat dalam alam fisika, sehingga darinya dapat dilahirkan rumus-rumus atau aksioma-aksioma. Selanjutnya dalam penerapan ilmu pengetahuan untuk kehidupan manusia dihasilkan teknologi (teknik). Teknik adalah cara untuk melakukan sesuatu dengan mempertimbang keefektifan dan keefisienan.

Orang yang memikirkan secara mendalam, atau berfikir secara filosofis, seperti yang dikemukakan oleh Louis O Kattsoff, terhadap konsep-konsep, prinsip-prinsip atau pun strategi-strategi ilmu pengetahuan akan mencapai pengetahuan terdalam (makna hakiki). Makna hakiki inilah yang menjadi roh atau jiwa dari ilmu pengetahuan itu.

Jadi dapat penulis simpulkan bahwa sesungguhnya apapun praktek-praktek pengetahuan, pengalaman atau tradisi, cara dan metode yang kita lihat dengan kasat mata, ada ilmunya. Ilmu itu, yang berisi konsep, prinsip, dan strategi-strategi, akan menjadi "hidup" atau punya jiwa (roh) jika difikirkan secara filsafati. Atau kalau kita balik, filsafat adalah roh atau jiwa dari ilmu pengetahuan.

A. Teori Pendidikan
Mengapa kita harus mempelajari teori pendidikan? Jawabnya antara lain karena yang kita hadapi dalam pendidikan adalah manusia. Berbicara tentang manusia akan menyangkut harkat, derajat, martabat, dan hak asasinya. Perbuatan mendidik bukan merupakan perbuatan serampangan, melainkan suatu perbuatan yang harus betul-betul didasari dan disadari dalam rangka membimbing manusia pada suatu tujuan yang akan dicapai.

Walaupun kita telah memahami berbagai teori pendidikan, namun kita tidak boleh beranggapan bahwa kita telah memiliki resep untuk menjalankan tugas dalam pendidikan. Dalam pendidikan tidak dikenal suatu resep yang pasti atau mutlak, karena yang utama dalam pendidikan adlah kreativitas dan kepribadian pendidik. Prof. Sadikun Pribadi (dalam buku Uyoh Sadulloh, M. Pd) 2010, hal.2 mengatakan "Itulah sebabnya mengapa suatu upaya pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dikemukakan dalam bentuk resep atau aturan yang tetap untuk dijalankan. Yang penting bukan resepnya, melainkan kepribadian dan kreativitas pendidik sendiri. Pendidikan (walaupun harus didukung oleh ilmu pendidikan atau pedagogik) dalam pelaksanaannya , lebih merupakan seni pada teori. Setiap tindakan dalam pendidikan tidak akan dengan sendirinya dapat menerapkan teori yang ada, walaupun telah teruji, berhasil dipraktikkan di tempat/negeri lain. Dalam pelaksanaan pendidikan, kita harus memperhatikan siterdidik sebagai manusia unik dengan segala aspek kepribadiannya, memperhatikan kepribadian pendidik, memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan, tujuan yang akan dicapai yang bersumber pada falsafah dan pandangan hidup manusia dimana pendidikan berlangsung.

Pendidikan memerlukan teori pendidikan, karena teori pendidikan akan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Teori pendidikan dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengetahui arah dan tujuan yang akan dicapai.
2. Teori pendidikan berfungsi untuk mengurangi kesalahan-kesalahan dalam praktik pendidikan. Dengan memahami teori, kita akan mengetahui mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan.
3. Teori pendidikan dapat dijadikan sebagai tolak ukur sampai di mana kita telah berhasil melaksanakan tugas dalam pendidikan.

Untuk lebih memahami uraian di atas, berikut ini disinggung pengertian/ istilah dari teori.
a. Dalam dictinary Americana dijelaskan bahwa teori adalah:
1) Suatu susunan yang sistematis tentang fakta-fakta yang berkaitan dengan dalil-dalil nyata atau dalil-dalil hipotesis.
2) Suatu penjelasan hipotesis tentang fenomena atau sebagai hipotesis yang belum teruji secara empiris.
3) Suatu eksposisi tentang prinsip-prinsip umum atau prinsip-prinsip abstak ilmu humaniora yang berasal dari praktik.
4) Suatu rencana atau sistem yang dapat dijadikan sutau metode bertindak.
5) Suatu doktrin atau hukum yang hanya didasarkan atas renungan spekulatif.

b. Dagobert Runes (1963: 317) mengemukakan tiga pengertian teori, yaitu:
1) Hypothesis, more loosely supposition, whatever is  problematic verified
2) As opposed to practice systematically organized knowlegde of relatively high generallity.
3) As opposed to low and observation explenation. The deduction of axsioms, and theorems, of one system from assertions (not necessarity verified) from another system and of relatively less problematic and more intelligible.

Istilah tersebut dapat diartikan sebagai berikut:
1) Teori merupkan suatu hepotesis tentang segala masalah, dapat diuji tetapi tidak perlu diuji.
2) Teori merupakan lawan dari praktik, merupakan pengetahuan yang disusun secara sistematis dari kesimpulan umum relatif.
3) Teori diartikan sebagai lawan dari hukum-hukum dan observasi, suatu deduksi dari aksioma-aksioma dan teorema-teorema suatu sistem yang pasti (tidak perlu di uji) secara relatif kurang problematis dan lebih banyak diterima atau diyakini.

c. Selanjutnya, G. F Kneller (1971: 41) mengemukakan pengertian teori sebagai berikut. The word theory has two central meaning. It can refer to hypothesis or set of hypothesis that have been verified by observation or expriment, as in the case of the theory gravitation. It can be a general synonym for systematic thingking or a set of coherent thought.

Pendapat tersebut diartikan bahwa teori memiliki dua pengertian. Pertama, bahwa teori itu empiris, dalam arti sebagai suatu hasil pengujian terhadap hipotesis dengan melalui observasi dan eksperimen. Cara berpikir digunakan dalam penelitian ini adalah metode induktif. Maka teori di sini sama dengan makna teori dalam sains. Kedua, teori dapat diperoleh melalui berpikir sistematis spekulatif, dengan metode deduktif). Dalam hal ini Kneller mengemukakan bahwa teori merupakan "a set of coherent thought", seperangkat berpikir koheren, yang sesuai dengan teori koherensi tentang kebenaran. Menurut teori koheren, kebenaran suatu teori bukan bersesuaian dengan realitas, melainkan kesesuaian secara harmonis dengan pengetahuan kita yang dimiliki, kesesuaian dengan asumsi-asumsi, atau dalil-dalil yang berlaku. Sementara teori kedua menggunakan cara berpikir rasional deduktif, dapat bersumber pada hasil pemikiran fIlosofi yang telah ada, seperti dalil-dalil yang bersumber dari ajaran-ajaran agama (wahyu dari Tuhan), artinya teori merupakan seperangkat prinsip yang berkaitan erat sebagai petunjuk praktis. Teori tidak sekedar diartikan sebagai suatu penjelasan terhadap fenomena, melainkan merupakan suatu petunjuk untuk membangun atau mengontrol pengalaman. Seorang guru yang mengajar dalam kelas, yang menyadari akan profesinya, tidak melakukan trial ang error, melainkan ia dibimbing oleh seperangkat prinsip yang disebut "teori pendidikan".

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan, bahwa antara teori dan praktik adakalanya mengalami perubahan. Hal ini terjadi karena subjek didik memiliki keunikan yang beragam. Untuk itu, guru sebagai pendidik perlu memahami ilmu pendidikan sebagai benteng dalam menghadapi keragaman karakteristik peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran yang bermuara pada tujuan pendidikan secara nasional.

C. Praktik Pendidikan
Menurut Redja M, (Depdikbud: IKIP Bandung, 1991) dalam Uyun 2010: 1 mengatakan bahwa praktik pendidikan adalah seperangkat kegiatan bersama yang bertujuan membantu pihak lain agar mengalami perubahan tingkah laku yang diharapkan. Praktik pendidikan dapat dilihat dari tiga aspek:
1. Aspek tujuan, membantu pihak lain mengalami perubahan tingkah laku fundamental yang diharapkan.
2. Proses kegiatan merupakan seperangkat kegiatan sosial/ bersama, usaha menciptakan peristiwa pendidikan dan mengarahkannya, serta merupakan usaha secara sadar atau tidak sadar melaksanakan prinsip-prinsip pendidikan.
3. Aspek dorongan atau motivasi, untuk melaksanakan praktik pendidikan muncul karena dirasakan adanya kewajiban untuk menolong orang lain.

D. Pendekatan Dalam Teori Pendidikan
1. Pendekatan Sain
Merupakan suatu pengkajian dengan menggunakan sain untuk mempelajari, menelaah, dan memecahkan masalah-masalah pendidikan. Teori pendidikan dengan pendekatan sains disebut sains pendidikan (science of education). Cara kerja yang dipergunakan sebagaimana prinsip-prinsip dan metode kerja sains.
Sains pendidikan menghasilkan ilmu pendidikan sebagai terapan dan sains dasarnya. Misalnya sosiologi pendidikan, merupakan terapan dari sosiologi untuk menelaah masalah-masalah pendidikan; Psikologi pendidikan merupakan terapan dari psikologi untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan. Pendekatan sains ingin menelaah masalah-masalah pendidikan secara ilmiah (scientific) dan mempelajari proses-proses psikolgi, sosiologi, sosiokultural, dan ekologi, karena akan mempengaruhi dan menentukan pendidikan.

a. Karakteristik Pendekatan Sains
           Pendekatan sains dapat dilihat dari tiga segi:
1) Objek pengkajian, dalam sains pendidikan sangat terbatas, karena objeknya merupakan salah satu aspek dari pendidikan. Dengan objeknya yang terbatas itulah sains pendidikan mencoba menganalisis objeknya yang menjadi unsur-unsur yang lebih kecil. Misalnya sosiologi pendidikan, sebagai salah satu bagian dari sains pendidikan. Objek ipenelitiannya terbatas pada faktor-faktor sosial dan pendidikan.
2) Tujuan pengkajian, adalah untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pendidikan. Mendeskripsikan dan menggambarkan apa yang terjadi dalam peristiwa pendidikan. Karakteristik seperti ini disebut deskriptif atau deskriptif analitis, yaitu menggambarkan secara rinci tentang unsur-unsur dan aspek pendidikan yang menjadi objek penyelidikannya.
3) Metode kerja pengkajian, ialah dengan menggunakan metode sains (yang lebih dikenal dengan metode ilmiah), yaitu dengan cara induktif. Teori pendidikan dengan cara induktif berasal dari fakta-fakta khusus, fakta empiris pendidikan, dianalisis dan diverifikasi, kemudian ditarik suatu kesimpulan generalisasi sebagai suatu teori pendidikan.

Metode sains merupakan prosedur kerja yang terencana dan cermat, melalui pengalaman, dengan menggunakan kerangka pemikiran tertentu
b. Jenis-jenis Sains Pendidikan
1) Sosiologi pendidikan, merupakan cabang sains pendidikan. Sosiologi pendidikan berangkat dari asumsi bahwa pendidikan merupakan organisasi sosial, sehingga objek penyelidikan sosiologi pendidikan adalah faktor-faktor sosial dalam pendidikan.
2)  Psikologi pendidikan, merupakan cabang  pendidikan, sebagai aplikasi dari psikologi dalam kajian pendidikan, sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan hasil-hasil penelitian dalam psikologi. Terminologi-terminologi atau istilah-istilah yang dipergunakan sudah barang tentu istilah-istilah yang berasal dari psikologi, misalnya motivasi belajar, minat, insting. Psikologi pendidikan bertolak dari asumsi, bahwa pendidikan merupaka hal ihwal individu yang sedang belajar. Belajar merupakan perubahan prilaku individu. Jadi objek penelitian dalam psikologi pendidikan adalah perilaku individu dalam belajar.
3) Administrasi pendidikan, merupakan cabang sains pendidikan sebagai aplikasi dari ilmu manajemen, dipenagruhi dan bersumber dari hasil penelitian dalam bidang manajemen. Terminologi yang dipergunakan sudah barang tentu istilah yang biasa dipergunakan dalam bidang manajemen, seperti: planning, supervisi, kontrol, dan sebagainya. Administrasi pendidikan bertolak dari asumsi bahwa pendidikan adalah usaha pendayagunaan sumber yang tersedia secara efektif dan efisien. Yang menjadi objek utama penelitian administrasi pendidikan adalah pengelolaan atau pengaturan sumber daya manusia dan bukan manusia, agar individu dapat belajar efektif dan efisien.
4) Teknologi pendidikan, bertolak dari asumsi bahwa pendidikan merupakan aspek metodologi dan teknik belajar mengajar yang efektif dan efisien.
5) Evaluasi pendidikan, merupakan cabang sains pendidikan , sebagai aplikasi dari psikologi pendidikan dan statistik. Jadi banyak dipengaruhi oleh hasil perkembangan dan penelitian dalam psikologi pendidikan dan statistik. Evaluasi pendidikan berasal dari asumsi bahwa pendidikan merupakan persoalan untuk menemukan dan menentukan tingkat keberhasilan pendidikan.

2. Pendekatan Filosofi
Merupakan pendekatan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan metode filsafat. Pengetahuan atau teori pendidikan yang dihasilkan dengan pendekatan filosofi disebut filsafat pendidikan. Menurut Handerson (1959) dalam Uyoh (2010: 8) mengatakan bahwa fisafat pendidikan adalah filsafat yang diterapkan. Diaplikasikan untuk menelaah dan memecahkan amsalah-masalah pendidikan.

Cara kerja dan hasil-hasil filsafat dapat dipergunakan untuk membantu memecahkan masla-masalah dalam hidup dan kehidupan, dimana pendidikan merupakan salah satu kebutuhan penting dari kehidupan manusia. Pendidikan membutuhkan filsafat, karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks, dan lebih mendalam yang tidak terbatas oleh pengalaman indrawi maupun fakta-fakta faktual yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh sains pendidikan (science of education) masalah-masalah tersebut diantaranya adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup manusia. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan suatu fakta, namun pembahasannya tidak bisa dengan menggunakan cara-cara yang dilakukan oleh sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam.

a.  Karakteristik Pendekatan Filosofi
Dapat dilihat dari :
1) Objek pengkajian, yaitu dengan menggubnakan pendekatan filosofi, adalah semua aspek pendidikan tidak terbatas pada salah satu aspek saja, seluruh aspek pendidikan seperti tujuan pendidiksn, isi pendidikan, metode pendidikan, pendidik, anak didik, keluarga, masyarakat nerupakan pengkajian komprehensif dari pengkajian flosofi. Pengkajian seperti ini disebut pengkajian sinopsis, yaitu suatu pengkajian yang bersifat merangkum dan mencakup semua aspek pendidikan.
2) Tujuan pengkajian filosofi dalam pendidikan adalah merumuskan apa dan bagaimana seharusnya tentang pendidikan. Kajian filosofi berusaha merumuskan apa yang dimaksud dengan pendidikan? Bagaimana seharusnya tujuan pendidikan? Bagaimana seharusnya kurikulum disusun/ dirumuskan? Pengkajian seperti itu disebut pengkajian normatif, karena berkaitan dengan norma-norma, nilai-nilai yang berlku dalam kehidupan manusia, sehingga pengkajian tersebut harus sampai pada suatu rumusan, apa yang seharusnya terjadi dalam pendidikan yang berlangsung dalam kehidupan.
3) Metode pengkajian filosofi adalah melalui kajian rasional yang mendalam tentang pendidikan dengan menggunakan semua pengalaman manusia dan kemanusiaannya. Oleh karena itu pengalaman kemanusiaan seseorang dapat diterapkan dalam menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan.
b. Pendekatan Religi
Menerangkan bahwa suatu ajaran religi dijadikan sumber inspirasi untuk menyusun teori atau konsep-konsep pendidikan yang dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan pendidikan. Ajaran religi yang berisikan kepercayaan dan nilai-nilai dalam kehidupan dapat dijadikan sumber dalam menentukan tujuan pendidikan, materi pendidikan, metode, bahkan sampai pada jenis-jenis pendidikan.
Metode yang digunakan dalam menyusun teori/ konsep pendidikan adalah tesis deduktif. Dikatakan tesis, karena bertolak dari dalil-dalil agama yang tidak dapat kita tolak kebenarannya. Dikatakan deduktif, karena teori pendidikan disusun dari prinsip-prinsip yang berlaku umum, diterapkan untuk memikirkan amsalah-masalah khusus. Ajaran agama yang berlakuy umum dijadikan sebagai pangkal untuk memikirkan prinsip-prinsip pendidikan yang khusus.

Sebagai contoh, teori pendidikan Islam akan berangkat dari Al-Quran, sehingga ayat-ayat Al-Quran akan dijadikan landasan dalam keseluruhan sistem pendidikan. Abdur Rahman Shalih Abdullah (1991) dala Uyun (2010: 10) membandingkan teori pendidikan Islam dengan teori sains. Bahwa teori sains bersifat deskriptif, dapat membantu para pendidik, tetapi tidak mungkin dapat menjadi oparadigma bagi teori pendidikan, karena dalam pendidikan teori tidak sekedar menerangkan bagaimana atau mengapa sesuatu peristiwa terjadi. Fungsi teori dalam pendidikan adalah menjadi petunjuk prilaku peserta didik. Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai Qurani merupakan pembentukan elemen dasar kurikulum dan sekolah berkepentingan membawa siswa-siswanya agar sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Praktik perilaku harus dinilai para pendidik dan pemberian nilai tidak bisa dibatasi pada penemuan-penemuan ilmiah.

Pengkajian teori sains dan Al-Quran harus sejalan. Sains berkepentingan dengan fakta-fakta yang dapat dilihat. Sains tidak mampu menyentuh elemen-elemen yang tidak dapat diobservasi dan diukur. Al-Quran merupakan "kitap Wahyu" dari Allah, dan sains tidak mampu mengujinya secara empiris dan secara keseluruhan. Surat Al-Baqarah ayat 3 mengungkapkan keyakinan orang mukmin terhadap segala yang gaib, mendahului reverensi terhadap perilaku yang dapat diobservasi.

Al-Quran memberikan landasan pemikiran yang berkaitan dengan manusia, siapa manusia? Dari mana manusia? Dan mau kemana manusia? Serta harus bagaimana manusia berbuat dalam kehidupan di dunia ini. Dalam hal ini Al-Quran menyediakan lapangan yang komprehensif universal tentang landasan dan tujuan hidup manusia yang sangat bermanfaat bagi para ahli pendidikan untuk menyusun dasar dan tujuan pendidikan yang luas dan umumnya sifatnya. Untuk mengklasifikasikan tujuan tersebut kepada tujuan-tujuan yang lebih khusus, dan materi apa yang cocok pada tiap tingkat tujuan tadi, para ahli pendidikan dapat memanfaatkan temuan-temuan sains, seperti hasil temuan dalam psikologi, sosiologi, sains-sains fisik, dan cabang-cabang sains lainnya.
Teori pendidikan dengan pendekatan religi, hanya akan diikuti oleh kelompoknya atau para penganutnya yang sudah meyakini dan mengimani kebenaran ajaran religi tersebut.

d. Pendekatan Multidisipliner
Untuk menghasilkan suatu konsep yang komprehensif dan menyeluruh dalam mempelajari pendidikan tidak bisa hanya dengan menggunakan salah satu pendekatan atau disiplin saja. Misalnya, kita hanya menggunakan psikologi, sosiologi, filsafat atau hanya dengan pendekatan religi. Pendidikan yang memiliki lapangan yang sangat luas, menyangkut semua pengalaman dan pemikiran manusia tentang pendidikan tidak mungkin kalau hanya dilihat dari salah satu aspek atau dari salah satu kajian saja.
Jadi pendekatan yang perlu kita lakukan adalah pendekatan yang menyeluruh (pendekatan holistik), pendekatan multidisiplin yang terpadu. Artinya pendekatan yang satu dengan pendekatn yang lain saling berhubungan.

E.Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan

1. Implikasi bagi guru
Konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru, maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Di samping itu, penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu, semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan  harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan.

Selain itu, pendidik dan subjek didik melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan. Hal ini hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena, kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatan bagi subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.

Dengan demikian, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal akan mampu menunaikan fungsinya serta peserta didik tidak kehilangan hak hidupnya di dalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan kata lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.

Perlu digarisbawahi, bahwa tidak dikacaukannya antara bentuk dan hakikat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakikatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakikat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu, maka gerakan ini hanya berhenti pada "penerbitan" prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih  belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.

2. Implikasi bagi pendidikan guru dan tenaga kependidikan
 Teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan  yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat.

Rambu-rambu tersebut di atas  merupakan  pencerminan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis. Seperti telah diutarakan yang telah diuraikan di atas, dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian di dalam menilai perancang dan implementasi program, maupun didalam "mempertahankan" program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.

KESIMPULAN

Filsafat merupakan upaya perenungan pemikiran yang sistematis dan rasional untuk memahami siapa diri kita dan bagaimana kita memahami dunia di sekitar kita. Dalam rangka menjalankan tugas kekhalifahan di muka bumi kita butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan, dimana dengan ilmu hidup menjadi mudah dan dengan keterampilan kita dapat bekerja dalam rangka mengeksiskan diri kita di tengah kelompok kita. Namun perlu disadari, bahwa ilmu dan keterampilan saja tidak cukup, kita juga butuh kecakapan hidup (life skill). Ilmu, keterampilan dan life skill itu hanya dapat diperoleh melalui pendidikan.

Berfikir filsafati akan menghantarkan seseorang kepada jiwa dari ilmu pengetahuan. Artinya adalah bahwa apapun yang kita lihat kemudian kita ilmui, melalui pemikiran filsafati, kita akan sampai pada makna hakikinya. Jadi filsafat adalah jiwa dari ilmu pengetahuan manusia.

Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan "kacamata" yang dikenakan dalam memandang, menyikapi, serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual kependidikan. Selain itu, pendidikan dengan ilmu pendidikan perlu diterapkan kepada seluruh peserta didik, agar terciptanya SDM yang berkualitas, berakhlaq, berilmu, berbudi pekerti luhur, dan berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Daftar Bacaan/Referensi:

Abu Ahmadi (2005). Ilmu Pendidikan. Penerbit Reka Cipta Jakarta

Agus Marsidi, H. (2008). Pendidik dan Filsafat Pendidikan. http://elearn.bpplsp-reg5.go.id/cetak.php?id=22 diakses 9 Januari 2009.

Aljufri B. Syarif. (2005). Pengembangan Kurikulum Program
     Studi Pendidikan Teknik dan Kejuruan Berbasis Kompetensi. Makalah.
     FT UNP Padang.

Anwar, Dr., M. Pd. (2006). Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education). Penerbit Alfabeta. Bandung.

Australian National Training Authority.(2003). Defining Generic Skills. Adelaide: NCVER .(on-line). Diakses pada tanggal 18-6-2005 dari ww.ncver.edu.au

Barry,U.P.(2000). Final Report World Forum Education. France. Graphoprint.

Depdiknas. Pengembangan Model Pendidikan Kecakapan Hidup. Jakarta. Balitbang Depdiknas (on-line). Diakses pada tanggal 22-12-2008 dari www.puskur.net

Desk (2003). Higher Education and graduate employability. (on-line). Diakses pada tanggal 24-5-2008 dari aair.org.au/jir/2007 Papers/thasnapark.pdf

Gibb, J.(ed) ( 2003). Generic Skills through the eyes of displaced worker Adelaide: NCVER

Hager, Paul & Holland, Susan.(ed).(2006). Graduate AttributesLearning and Employability. Dordrectht: Springer.

Hasbullah.(2008). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_11.html  diakses 9 Januari 2009.

Jalius Jama. (2007). Bahan Kajian Perkuliahan Filsafat Ilmu. Padang: Universitas Negeri Padang

John Dewey. (1944). Democracy And Education. The Free Press. London.

Jujun Suriasumantri. S. (1990). Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer). Penerbit Sinar Harapan. Jakarta.

Kearns,P.(2001). Review Of Research Generic Skills for New Economy. Adelaide: NCVER.

Norman, N.M & Jordan,C.J.Targeting Life Skills In 4-H. Gainesville. University of Florida.(on-line). http://4h.ifas.ufl.edu (Diakses pada tanggal 18-6-2008).

Prayitno. (2008). Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Padang: Universitas Negeri Padang.
Purwanto, Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Redja Mudyahardjo (2006). Pengantar Pendidikan. Penerbit Rineka Cipta.
        Jakarta


Sidi Gazalba, (1990). Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Yogyakarta : Kanisius.

Sudarsono, Drs., S.H., M. Si. (2001). Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar). Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Umar Tirtarahardja (2008) http://dedihendriana.wordpress.com/category/filsafat-pendidikan/  diakses 9 Januari 2009.

Uyoh Sadulloh. (2010). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.


Mustofa Abi Hamid, S.Pd. (Mahasiswa Pascasarjana  Universitas Negeri Padang)