Rabu, 26 November 2014

Ironi Guru, Sebuah refleksi



Hari Guru telah berlalu kemarin. "Milad"nya guru diperingati setiap 
tanggal 25 November. Sebuah tanggal bersejarah yang melandasi 
perjuangan guru, selain mengokohkan jati dirinya, juga perjuangan 
mengharkat derajatkan para peserta didiknya ke tahap yang ideal, atau 
bahasa hiperbolanya, memanusiakan manusia. 

Tahun demi tahun berlalu, guru tetap eksis dengan segala kemajuan dan 
atau kemundurannya. Kalau dulu guru berjuang meningkatkan imbalan 
keprofesionalannya, alhamdulillah guru sekarang (PNS) lebih sejahtera 
dengan tunjangan profesinya. Bila kesejahteraan sudah dicapai, apalagi 
yang mesti diperjuangkan guru? 

Perjuangan berikutnya adalah belajar berubah dan mengikuti perubahan. 
Guru diharapkan terus meng"update" dirinya agar ia profesional di 
ranah paedagogiknya, ranah sosialnya, juga ranah personalnya. Dengan 
berubahnya jaman, cara mengajar dan cara bekerja guru tentunya harus 
sesuai dengan kondisi kekinian. Inilah PR besar yang harus 
diselesaikan guru, agar tujuan ia mengajar dapat terlaksana dengan 
oftimal. 

Ironi Guru, Sebuah refleksi 

Dengan tak bermaksud menggeneralisir semua personal guru, namun di 
satu pihak ketika pemerintah meluncurkan tunjangan profesi, harapannya 
agar guru dapat fokus mendidik peserta didiknya, tak dipusingkan 
dengan cara mendapat tambahan penghasilan. Namun sepertinya ini belum 
berjalan maksimal. Kesejahteraan meningkat, cara kerja " masih itu-itu 
aja, seperti dulu". 

Ketika pemerintah mendengung-dengungkan "SEKOLAH BEBAS ASAP ROKOK", 
artinya ya jangan merokok di sekolah. Namun di beberapa sekolah, saya 
melihat dengan nyamannya guru menghisap rokok kesukaannya, bahkan di 
kelas atau di depan peserta didik. 

Ketika muatan kurikulum menekankan penguatan karakter atau 
akhlak/perilaku, tak sedikit guru mempertontonkan karakter yang tidak 
semestinya dimiliki guru, yang notabene "digugu dan ditiru". 

Ya, inilah potret kecil dari dunia pendidikan, di mana guru adalah 
aktor utama pengembannya. Bila guru tak berkarakter baik, maka 
dikhawatirkan akan menular kepada peserta didiknya. 

Ini juga refleksi, khusus bagi saya, bahwa jargon "guru adalah 
pahlawan tanpa tanda jasa" harus kembali disuarakan dan diupayakan. 
Jargon ini menjadi etos kerja guru, agar ia ikhlas dalam bekerja, 
mempersembahkan yang terbaik bagi anak negeri. 

Ya, mudah-mudahan apa yang saya tulis ini berlawanan dengan kondisi 
sebenarnya..... 

SELAMAT HARI GURU..

sumber  dari : http://www.diaf.web.id/

Tidak ada komentar: