Masalah utama guru bukan terletak pada kurikulum maupun strategi mengajar yang penyelesaiannya mesti melalui peningkatan dan penjaminan kompetensi, melainkan soal spirit dan keteladanan yang pada tingkatan selanjutnya akan menginspirasi.
Sejak diterbitkannya Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005, khalayak Indonesia mengenal konsep profesionalisme atas guru. Bersamaan dengan itu pula, muncul paradigma baru terhadap guru, sebagai tenaga profesional. Demi meraihnya, profesi berciri khas keteladanan itu kini mesti berhadapan dengan sejumlah persyaratan untuk mencapai profesionalitasnya.
Paling tidak, UU meminta guru untuk memenuhi kualifikasi akademik serta beragam kompetensi pendukungnya. Seperti kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang disahkan dalam selembar sertifikat. Untuk menjamin ketercapaiannya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menciptakan rumusan jitu: sertifikasi dan pendidikan profesi guru.
Program yang diturunkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 itu dijadikan senjata pamungkas dalam menjawab kebutuhan akan profesionalitas guru. Sebab, jalur menuju profesi guru ikut berubah bersama lahirnya agenda ini. Sehingga tidak boleh ada guru yang alpa mengikutinya. Bila terpaksa itu terjadi, resiko ditanggung sendiri. Ia dinyatakan tidak profesional dan tak mendapat gaji tambahan.
Ingin segera menghasilkan guru-guru berkualitas nomor satu, persiapan dan penyelenggaran program tersebut dilakukan. Kementerian menyediakan jalur sertifikasi untuk mereka yang sudah lima tahun mengajar di sekolah. Iming-iming uang tunjangan sebagai imbalan profesionalitas pun disambut baik oleh sebagian besar guru. Maklum sudah puluhan tahun guru Indonesia hidup dalam belenggu kemelaratan.
Namun, kabar ini segera ditolak oleh Y. Sumardiyanto, pengajar di SMA Kolese John De Britto Jogjakarta. Bagi guru yang sudah 20 tahun mengabdikan diri di dunia pendidikan ini, masalah utama guru bukan terletak pada kurikulum maupun strategi mengajar yang penyelesaiannya mesti melalui peningkatan dan penjaminan kompetensi, melainkan soal spirit dan keteladanan yang pada tingkatan selanjutnya akan menginspirasi.
Lewat buku perdananya Guru Gokil Murid Unyu, guru yang menggunakan nama pena J. Sumardianta ini mengatakan seberapa pun tinggi kompetensi guru, ia tidak akan mendapat perhatian murid bila tidak bisa menjadi inspirasi dengan menjadi teladan. Bagaimana seorang guru bisa menjadi sumber inspirasi? Minimal, ia tidak mendominasi kelas dengan berceramah sepanjang hari. Senantiasa menjadikan murid sebagai subjek pada kegiatan belajar mengajar.
Untuk memosisikan murid sebagai subjek, Sumardianta mengungkapkan bahwa hal tersebut tidak dapat terlaksana selama guru-guru masih mengikuti kurikulum yang diberlakukan oleh pemerintah. Sebab, sarat dengan otoritas kelompok dominan yang jelas-jelas bertujuan menunadayakan siswa bukan membebaskan.
Hal ini dapat ditinjau dari pelaksanaan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP). Kurikulum yang mengklaim diri memiliki semangat pemberian otonomi kepada guru dalam mengembangkan bahan ajar terbukti hanya bualan. Sebab, pemerintah masih memberlakukan Ujian Nasional (UN) sebagai syarat kelulusan siswa dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Maka, guru dan murid perlu untuk membongkar muatan ideologis yang ada dalam kurikulum dengan melakukan pendidikan yang membebaskan.
Sebagai konklusi atas pendidikan yang membebaskan, Sumardianta kemudian berpulang pada gagasan Paulo Freire. Pedagog asal Brazil yang mengajukan pola pendidikan pemberdayaan manusia melalui pertumbuhan kesadaran. Freire sendiri membagi kesadaran ke dalam tiga ranah. Kesadaran magis, naif, dan kritis.
Manusia berkesadaran magis tidak dapat menemukan kaitan antara ketidakberdayaan dengan struktur sosial ekonomi, sosial, politik dan budaya yang melingkunginya. Pandangan ini bercorak fatalistis, dengan memosisikan sesuatu yang ada di luar diri manusia sebagai penyebab ketidakberdayaan. Seorang fatalis menganggap seluruh hal yang tidak mampu dilakukannya merupakan kodrat Tuhan yang tidak bisa diubah.
Dalam kesadaran naif, manusia menyalahkan dirinya sendiri bila terjebak dalam situasi keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Sedangkan manusia berkesadaran kritis akan mampu membongkar penyebab keterbelakangan dan ketidakberdayaan yang terselubung oleh struktur ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sebagai tindak lanjut, guru punya tugas utama untuk menuntun tiap siswanya menapaki tingkat kesadaran yang lebih tinggi.
Untuk mencapai tingkatan kesadaran kritis, mesti dilangsungkan pembelajaran yang dialogis antara guru dengan murid. Kondisi yang sepenuhnya lepas dari pengendalian satu sama lain. Maka, dalam situasi seperti ini, guru sudah bertransformasi menjadi pendengar yang senantiasa memperhatikan, bukan guru berwatak konvensional yang terus menerus memberi instruksi yang mampu mengubur kreativitas dan karakter murid. Guru harus terlebih dulu menjadi sosok yang kritis sebelum menularkannya kepada para murid.
Poin utama dalam rangka menumbuhkan kesadaran kritis serta karakter yang kuat dalam diri tiap murid adalah dengan memberikan mereka pengajaran yang bermakna atau lebih dikenal dengan pembelajaran yang kontekstual. Mewujud hal ini, guru mestilah senantiasa memperkaya diri dengan beragam pengetahuan agar bisa merumus pengetahuan yang baru. Hingga pada tingkatan selanjutnya mampu mengaitkan pengajaran yang diberikan kepada kebutuhan hidup sehari-hari.
Dicontohkan oleh J. Sumardianta, sekolah tempatnya mengajar selalu mengadakan program live-in bagi murid-muridnya. Daerah-daerah berpenduduk miskin biasa jadi tujuan. Disana lah murid-murid SMA Kolese John De Britto–yang sebagian besar berasal dari kelas menengah atas–diasah karakternya dengan membiarkan mereka belajar langsung dengan hidup bersama penduduk setempat selama beberapa waktu. Dengan begitu, murid akan mendapatkan pelajaran dari langsung dari kehidupan yang mampu memberikan mereka lebih dari inspirasi.
Buat Sumardianta, untuk menciptakan pendidikan yang ideal, penekanannya terletak pada guru. Dalam hal ini, ia memercayakan perubahan dari dalam diri guru itu sendiri. Yakni dimulai dengan mengubah paradigma mengajar bukan sekadar untuk bekerja mencari nafkah melainkan belajar untuk meraih gelar S-4 (Sukses Sekolah Sejahtera Selamanya). Maka, dibutuhkan guru berkarakter altruis, yang sepenuhnya mengabdi kepada murid.
Perihal inspirasi juga menduduki posisi penting dalam gagasan yang dikemukakan Sumardianta. Oleh karena itu, guru mesti rajin membaca untuk mendapatkan referensi yang menginspirasi dan menuliskannya sebagai bentuk pengejawantahan pengetahuan yang sudah didapat.
Kemampuan menulis memang menjadi andalan guru yang satu ini. Melalui tulisan-tulisannya, ia menunjukkan kepada para murid bahwa dirinya merupakan sosok yang mampu menginspirasi. “Masing-masing guru harus punya nilai lebih. Kalau kita menjadi guru yang datar-datar saja, mohon maaf, tidak bakal ditengok siswa,” tulis Sumardianta di bagian akhir bukunya.
Saking gandrung dan percayanya pada hal-hal yang menginspirasi, Sumardianta membuka seluruh tulisan yang ada di buku ini dengan beragam kutipan dan kisah inspiratif. Baik yang bersumber dari dalam negeri, luar negeri, tokoh-tokoh dunia, hingga kisah-kisah yang diambil dari kitab suci lintas agama. Menjadi satu karakter yang menarik bila dikemudian hari J. Sumardianta menjadikan hal ini sebagai ciri khas tulisannya.
Buku ini cocok dibaca untuk siapa saja, terutama para guru dan calon guru yang haus inspirasi. Lewat tulisan-tulisannya, Sumardianta berhasil membuat pembaca terinspirasi untuk menjadi guru yang bijaksana dan mengabdi kepada murid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar